Bab 5 – Selena Lyra
Tuhan ... aku harus bagaimana sekarang? Betapa kurang ajarnya El yang terus menerus menempelkan tubuhnya padaku. Dia tidak peduli bila aku terang-terangan menolaknya. Tidak, dia tidak boleh dibiarkan mengambil kendali atasku."Aaaarrrghhh!" pekiknya setelah aku mendengkul pangkal pahanya. Masa bodoh bila dia cedera yang penting aku bisa lepas dulu dari dekapanya.
"Apa kamu penganut sadisme?" tuduhnya berapi-api. Kedua tangannya memegangi pangkal paha dan rautnya jelas menahan derita.
"Kamu sendiri ... kenapa terus menerus melecehkanku? Kamu pikir karena kamu sepupu Gita lantas kamu bebas menggerayangiku begitu?" serangku balik. Dia harus tahu, di mana bumi dipijak, di situ langit dijujung.
"Aku ... melecehkanmu?" Dia mengulang dakwaanku sambil menunjuk dadanya jelas tidak merasa demikian. "Kamu sudah tahu kan tujuan pesta ini diadakan?"
"Yaaa ... karena aku tahu mangkanya aku bisa bicara seperti ini. Aku sudah bilang aku sudah punya pasangan dan jelas maknanya kalau aku tidak berminat padamu."
"Aku akan mencari tahu siapa pasanganmu di pesta ini dan begitu kami bertemu, aku pastikan kalian akan berpisah," ancamnya sambil melucuti handuk di pinggang, menyisakan boxer ketat berwana hitam. Refleks, aksinya itu membuatku buru-buru membalikkan badan. Berpaling semampuku.
Aku bisa mendengar tawa satirenya. "Tingkahmu yang seperti perawan ini membuatku semakin penasaran," pungkasnya.
Berikutnya derap langkah mengekoriku. Naluriku merasakan adanya ancaman besar yang akan menerkamku dari belakang. Sekuat tenaga, aku berlari ke arah kamar mandi untuk bersembunyi.
"Hei, kamu sedang apa?" serunya tertahan sembari terus mendorong daun pintu yang mati-matian kuganjal.
"Pergi, tinggalkan aku sendiri!" usirku tanpa berniat menyerah atas tenaga pria yang dimilikinya. Ini bukan soal siapa yang kuat, tetapi momentum dan strategilah yang menentukan keselamatanku.
"Apa kamu bercanda? Ayo keluar!" titahnya semena-mena.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, kamu hanya cowok sinting yang berusaha meniduriku."
"Keluarlah selagi aku meminta baik-baik!" Suara baritonnya sukses mengiris kalbuku. Entah kenapa muncul firasat kalau riwayatku akan berakhir malam ini. Aku bisa melihat pantulan tubuhku di cermin, basah kuyup oleh peluh —rambut acak-acakkan dan napas tak beraturan— sedang susah payah mengganjal pintu kamar mandi. Tuhan, tolong selamatkan aku dari iblis yang sedang mengejarku ini. Aku sendirian, tidak mampu bertahan lebih lama lagi untuk menghalaunya. Huft ... aku bahkan terlalu malu untuk memohon keselamatan kepada Tuhan. Insiden ini memang berawal dari kebodohanku yang termakan oleh rasa penasaran terhadap konsep kotor pesta ini. Pesta Pembuahan ... dan aku berakhir di bilik hajat bersama pria yang siap membuahiku. Kacau, ini kacau!
Benar saja, setelah cukup lama mempertahankan daun pintu agar tak terbuka sepenuhnya, sebuah tabrakan keras membuatku terjerembab di ubin lembab.
"Kemari!" kata El sambil mencengkeram lengan tanganku dan menarikku kasar sampai bangkit menghadap padanya.
Suaraku terkekang di tenggorokan, hanya air mata yang kini membanjiri pipiku. Aku terlalu takut untuk bersuara padahal aku ingin sekali berteriak kencang meminta tolong. Hal berikutnya yang bisa kulakukan ialah menyilangkan kedua tangan di dada, berusaha mempertahankan kedudukan bathrobe-ku. Kami bersitatap dan El membakarku dengan sorot seperti pembunuh berantai.
"Mulai sekarang, enyahkan pasangan pestamu dari pikiranmu! Aku bisa memberimu anak berwajah bule yang sangat menawan. Tidakkah kamu melihat aku yang terbaik di pesta ini?" serunya percaya diri.
Meskipun banyak pria bule berpenampilan memikat di pesta ini, visual El memang yang paling menarik perhatianku. Wajah Leonardo DiCaprio-nya adalah seleraku. Sayangnya, wajah hangat itu tidak diimbangi oleh perangai yang baik. Dia sangat agresif kepada wanita walau sejauh penglihatanku, dia hanya begitu padaku.
"Aku sudah menikah." Mulutku tak kuasa menahan kebohongan. El mengernyit tajam hingga dahinya berlapis. Warna abu-abu matanya menyesatkanku.
"Kamu terlalu jauh mempermainkanku," desisnya.
"Aku serius, aku tidak main-main. Aku kemari karena Gita memohon padaku dan aku tidak bisa menolaknya. Kalau kamu melepasku, aku berjanji akan menunjukkan semua bukti pengakuanku."
"Sekalipun ucapanmu benar, tidakkah kamu berpikir bahwa pengakuanmu akan menjerumuskan Gita dan Tante Ame ke dalam masalah besar? Pesta ini tidak hanya menyangkut mereka berdua, tapi juga para anggota lain yang memiliki pengaruh besar dalam bisnis Tante Ame. Mereka bisa menuntut denda besar atau yang paling buruk mereka bisa menarik saham mereka atas tindakan wanprestasimu. Itu semua sudah tercantum dalam kontrak perekrutan anggota Pesta Pembuahan."
"Itu tidak akan terjadi bila pengakuanku berhenti padamu."
Lapisan pada dahinya perlahan menghilang berganti menjadi seringai angkuh. "Setidaknya kamu harus memberiku sesuatu sebagai kompensasi tutup mulut."
"Apa?" Astaga, aku salah bicara.
El melepas cengkeramannya. Membiarkanku berdiri lemas karena sibuk menghayati kebodohanku.
"Aku tidak punya banyak waktu untuk menanti pertimbanganmu."
"Kompensasi macam apa yang kamu inginkan?"
Lagi-lagi dia menyeringai dan kali ini aku tahu dia sedang berada di atas podium kemenangan. "Aku ingin kamu di ranjang."
"Aku tidak bisa," tandasku cepat.
"Baiklah, kamu sudah memutuskan." Selepas berkata demikian, El melenggang pergi begitu saja. Kontras dengan usaha kerasnya untuk mendapatkanku beberapa menit sebelumnya. Mau tak mau aku mengikutinya demi mencari tahu rencananya.
"Kamu tidak berencana untuk memberitahu para tamu bahwa aku sudah menikah, Bukan? Kamu keponakan Tante Ame sekaligus sepupu Gita, kamu tidak mungkin tega."
"Siapa bilang aku tidak tega," katanya sambil melirik padaku. Tak jelas makna di balik lirikan itu, tapi entah kenapa aku merasa terintimidasi. Dia memungut satu persatu rangkaian tuxedonya dan mengenakannya. "Aku tahu tujuan Gita dan Tante Ame membawamu kemari dan aku berpikir untuk membalas dendam kepada mereka."
"Maksudnya?" Apalagi sekarang.
"Aku sudah bersusah payah menerima kepergian Natty dan ketika aku memutuskan untuk kembali ke Australia, mereka membawamu kemari. Ini semua sudah mereka rencanakan dengan matang. Sialnya mereka membawa perempuan naif yang bahkan, tidak berminat sedikit pun padaku. Jadi untuk menebus harga diriku setelah kamu tolak mentah-mentah, aku akan membongkar status pernikahanmu di depan para tamu pesta ini. Biarlah kalian hancur bersamaku."
Aku menggeleng heboh mendengar ide sadisnya.
"Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanyanya setelah beberapa saat memindai kecemasanku. "Bila tidak ada, aku pergi." Dia mengakhiri percakapan setelah mengenakan dasi kupu-kupunya di leher. Aku menggigil selagi mengekori gerak geriknya yang meraba-raba bagian atas lemari pakaian—tepat dia menyembunyikan kunci pintu—. Dia sempat berbalik dan berjalan ke sofa untuk mengambil ponselnya yang tertinggal. Mengecek layarnya sebentar lalu kembali berjalan menuju pintu. Selama itu, tak satu pun ide muncul dibenakku sebagai solusi atas permasalahan ini. Aku masih berharap bahwa aku tidak perlu melibatkan tubuhku sebagai media kompensasi karena sudah berani datang ke tempat maksiat ini. Di samping itu, aku tidak bisa membiarkan sahabatku terlibat masalah karenaku. Mungkin awalnya Gita berniat baik mempertemukan aku dengan El sebagai teman pelipur lara. Gita pasti tidak menduga bahwa ternyata sepupunya memiliki sifat sebejat ini. Jenis pria yang mudah meniduri perempuan meski baru pertama bertemu. Meski dia tahu aku buka Natty-nya.
"Aku tidak memiliki pengalaman apapun mengenai aktivitas ranjang," celetukku seketika menghentikan aksinya. Pada detik ini aku benar-benar linglung.
El mendengkus keras lalu menoleh kepadaku. "Kamu bilang sudah menikah, Bukan? Kenapa sekarang berlagak naif? Asal kamu tahu, semakin kamu memperdayaku, semakin aku tidak berminat padamu. Jadi lupakan saja!" Dia mengibaskan tangan kirinya lalu memutar knop pintu.
Astaga, terpaksa aku panik tunggang langgang mengejarnya. Situasinya berbalik secepat pesawat jet akibat mulutku yang tidak cerdas mengolah kalimat. Harusnya aku mendengarkan nasihat Mas Bagas yang menyuruhku untuk lebih sering berkomunikasi.
Bab 6 – Elmond Blueray Aku terpingkal-pingkal dalam hati ketika Selena lintang pukang mengejarku. Aku sengaja berjalan santai, tapi jangkauan kaki jenjangku memang bukan tandingannya. Sehingga di pertengahan, aku berhenti di tempat, pura-pura mengecek layar ponsel. “Elmond aku mohon dengarkan aku?” sergahnya terengah-engah seraya menarik bagian belakang tuxedoku. “Memangnya dari tadi aku tidak mendengarkanmu?” timpalku enteng. Dia tertegun sesaat kemudian menggeleng heboh. “Bukan, maksudku … bisakah kamu mengganti permintaanmu? Mungkin ada barang mewah yang ingin kamu beli?” Jadi dia berencana menyuapku dengan barang mewah untuk mengganti permintaanku bermain bersamanya di ranjang. Sungguh penolakan yang teramat keji. Mau tak mau, aku harus percaya bahwa dia sudah menikah sekaligus tipe istri yang setia. Sial, aku jadi semakin ingin memilikinya. Bila aku tidak ditakdirkan untuk bersama Natty, kenapa semesta mempermaink
Bab 7 – Selena Lyra El begitu tenang membaca bersamaku. Dia bahkan, tidak menyadari aku memperhatikan bulu mata lentiknya bergetar setiap kali pupil birunya bergeser konstan. Tak perlu waktu lama bagiku menetapkan El sebagai bibliophagist yang anti melewatkan apapun. Dia membaca kata perkata, dan meresapi setiap situasi yang diciptakan oleh narasi dan dialog. Dia bahkan, sempat memukul punggung tanganku tatkala aku mendahuluinya membalik halaman. Lalu kami sampai pada bagian di mana sang tokoh utama wanita, bercinta dengan tokoh utama laki-laki dalam kondisi setengah mabuk. Karena aku yakin, bila mereka mabuk berat, mereka akan kesulitan menyelesaikan permainan hingga mencapai klimaks. Aku melepas fokusku, dan menggeser buku sepenuhnya ke arah El. Aku membiarkannya menguasai buku itu. Dia sempat menoleh kaget padaku, tapi secepat kilat kembali fokus ke buku. Akhirnya, ada juga hal di dunia ini yang mampu mengalihkan perhatiannya dariku. Dan t
Bab 8 ~ Elmond Blueray Dia bisa saja berbohong padaku, misalnya dengan mengatakan, aku bahagia dengan pernikahanku, lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Namun, Selena membisu, kepalanya yang menoleh ke samping, perlahan berbalik ke depan lalu menduduk. Sontak, hatiku pun bersyukur, meski dia tidak menjawab, reaksinya atas pertanyaanku, membangkitkan asaku. Aku beringsut di ceruk lehernya, menikmati keharuman jasmine di surai serta kulitnya. Selena mematung, dan pada detik ini, aku penasaran terhadap apa yang tengah dia rasakan. Terutama mengenai sentuhan, apakah dia menyukai caraku menyentuhnya? “El, aku wanita yang sudah bersuami," lirihnya melarangku mengeksplorasinya. Dia menggeliat bangkit, tapi aku menahannya. “Aku mohon, tinggalkan dia Selena! Aku lebih tahu cara membahagiakanmu,” bujukku. Aku tidak bisa menahan air mataku untuk tidak merebak, aku benar-benar tidak ingin kehilangan yang satu ini.
Bab 9 - Selena LyraMenyeramkan rasanya melihat sisi lain El yang menyerupai macan kelaparan. Akan tetapi, aku tidak kuasa melawan bahkan, untuk sekadar berteriak meminta tolong. El memonopoli seluruh kinerja tubuhku, jiwaku. Terlebih peringatannya barusan, membuatku mengingat hal-hal mengerikan yang sebelum ini sudah kusaksikan di banyak media informasi. Tentang robeknya lubang senggama seorang gadis korban pemerkosaan yang otomatis membuatku menangis ngeri, tentang pembunuhan setelah persetubuhan brutal, sungguh, diam adalah gagasan terbaik bagiku saat ini.El mendaratkan kecupan di keningku, intens dan lama. Aku bisa merasakan kehangatan menjalar dari titik itu ke seluruh tubuh dan berangsur-angsur mengalihkan rasa perih pada area intimku."Aku akan mulai bergerak!" pamitnya sebelum meninggalkan keningku.Pinggul El bergerak mundur secara lambat, menarik tubuhku ikut bersamanya. Tanpa bisa kutahan, rint
Bab 10 - Elmond Blueray Aku duduk belunjur di karpet sambil menyandarkan punggung di tepi sofa. Material sofa yang terbuat dari oscar mengkilap serta tanpa pori-pori, membuat permukaan kulit punggungku lengket sekaligus menggigil. Beberapa kali aku mencoba membetulkan posisi duduk, berharap usahaku dapat mengurangi rasa tak nyaman pada punggungku, tapi percuma. Semoga saja, aktifitas bercinta yang kulakukan secara spontanitas dengan Selena tidak berdampak buruk bagi persendianku. Mengingat aku baru dua minggu berjalan tanpa bantuan tongkat. Sensasi nyeri masih kerap menyergap kedua tungkaiku yang sempat lumpuh selama dua tahun terakhir. Khususnya bila aku terlalu aktif bergerak. Lucu rasanya bila mengenang masa-masa tersulit dalam hidupku di mana aku menghabiskan energi dan waktu untuk menangisi Natty. Sebenarnya sekarang pun masih, tapi tidak sehisteris dan seintens dulu. Hanya bila aku berada dalam mode kesepian
Bab 11 - Selena Lyra Aku selalu terheran-heran setiap melihat film atau drama yang mengusung adegan pemerkosaan. Sebagai penonton sekaligus kaum feminis, aku selalu bisa menemukan celah perlawanan dalam adegan-adegan itu. Entah dengan cara menendang telak buah zakar, memecahkan vas bunga ke kepala si pria, atau menggigit batang leher. Namun, di beberapa tayangan, kebanyakan perempuan selalu terpojok tanpa bisa melawan atau bahkan, pernah mencoba melawan. Si wanita hanya bisa menangis, mendorong si pria sekadarnya atau berteriak histeris sampai kehabisan tenaga. Apabila dia meragukan kekuatannya sendiri, dia bisa saja bersembunyi ke sisi ruangan lainnya, apapun asal dapat mengulur waktu hingga tiba datangnya kesempatan membebaskan diri dari situasi laknat itu. Akan tetapi, ketika sekarang aku mengalami situasi nahas itu. Aku tidak berkutik alias mati kutu sebab, pada satu momen, aku langsung diterjang oleh dua musuh, yakni has
Bab 12 - Elmond Blueray Semoga saja firasatku benar bahwa, Selena memang menginginkanku. Namun, egoisme yang dua tahun belakangan ini kurasa telah lenyap, kini meronta-ronta menuntut kepastian dari Selena secara gamblang. Hal ini tidak terlepas dari pengalamanku menjalin hubungan bersama Natty. Ketika aku meminta Natty berjanji akan satu hal, dan dia tidak lekas menjawab, pada akhirnya dia menciumku membabi buta sebagai gantinya yang kukira merupakan kesanggupannya. Namun, ketika aku menagih janji itu untuk ditepati oleh Natty, memang adakalanya dia menepati, tapi sering juga dipungkiri. Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku berjanji untuk itu dan bla bla bla. Natty akan berkelit demikian dan aku hanya bisa membatin, what the fuck are you. Detik itu aku berjanji pada diriku sendiri, tidak akan memi
Bab 1 - Selena LyraEntah bangsa setan mana yang telah merasuk ke relung jiwaku. Meski sudah tahu resikonya, aku nekat melibasnya. Entah ke mana perginya Selena si anak culun nan bersahaja yang mampu menghabiskan sepanjang hari di balik buku fiksi ketimbang menghadiri pesta buah-buahan. Terdengar lucu, tapi begitulah cara sahabatku menyamarkan judul acaranya yang sangat mewakili konsep tak senonoh di pesta itu.Melihat keceriaan si pengemudi mobil SUV merek termasyur bernama Gita Nugroho praktis, kian memperparah kengerian di hatiku. Tak biasanya dia begini. Melibas jalanan sembari tiada henti menyeringai dan menyenandungkan lagu Hurt So Good milik Astrid, penyanyi perempuan remaja asal Norwegia. Sebenarnya lagu ini sangat enak didengar, berhubung Gita membawakan dengan gaya suara ala tikus kejepit jadi ya ... agak menggelikan di telinga.“Lo yakin status pernikahan gue enggak bakal terbongkar di sana?” tanyaku cemas.