Bab 1 - Selena Lyra
Entah bangsa setan mana yang telah merasuk ke relung jiwaku. Meski sudah tahu resikonya, aku nekat melibasnya. Entah ke mana perginya Selena si anak culun nan bersahaja yang mampu menghabiskan sepanjang hari di balik buku fiksi ketimbang menghadiri pesta buah-buahan. Terdengar lucu, tapi begitulah cara sahabatku menyamarkan judul acaranya yang sangat mewakili konsep tak senonoh di pesta itu.
Melihat keceriaan si pengemudi mobil SUV merek termasyur bernama Gita Nugroho praktis, kian memperparah kengerian di hatiku. Tak biasanya dia begini. Melibas jalanan sembari tiada henti menyeringai dan menyenandungkan lagu Hurt So Good milik Astrid, penyanyi perempuan remaja asal Norwegia. Sebenarnya lagu ini sangat enak didengar, berhubung Gita membawakan dengan gaya suara ala tikus kejepit jadi ya ... agak menggelikan di telinga.
“Lo yakin status pernikahan gue enggak bakal terbongkar di sana?” tanyaku cemas.
Kecemasan yang tidak ada habisnya semenjak aku menyetujui ajakan Gita pergi ke pesta pembuahan minggu lalu. See ... percayalah namanya sungguh mewakili konsep pestanya dan aku sempat menyuruh Gita mengucapkannya sebanyak tiga kali sampai aku meyakini apa yang aku dengar.
Bagian yang mampu menarik minatku datang ke pesta manakala Gita menjelaskan bahwa sesi pembuahannya tidak terjadi pada malam pesta. Pestanya hanya sebagai ajang perkenalan belaka, sisanya mereka akan melanjutkan di lain kesempatan sesuai kesepakatan yang bersangkutan.
“Gue jamin gak bakal kebongkar, kecuali lo yang koar-koar di sana,” timpal Gita. Lagi-lagi disertai seringai ala Joker.
“Gila, enggak mungkinlah, bosan hidup itu namanya.” Gita sudah memperingatkan jauh-jauh hari tepatnya setelah aku mengikuti sejumlah tes kesehatan reproduksi. Bahwasanya bila penyamaranku sebagai perempuan lajang tersibak, maka aku dan Gita bisa dikenai sanksi berat berupa denda milyaran rupiah. Tak peduli bila Gita adalah putri angkat dari sang pendiri pesta. Terpaksa aku meninggalkan cincin kawin dan kartu identitasku di rumah, sesuatu yang pantang kulakukan.
Selain terpaksa menuruti rayuan Gita, aku juga penasaran terhadap pesta rutin di akhir pekan yang membuat seorang dokter obgyn rela meninggalkan jadwal ketat praktiknya. Semasa di panti asuhan bahkan, sampai selesai mengenyam bangku sekolah, Gita tak sudi bergaul dengan teman-teman yang doyan clubbing, shopping atau menghabiskan waktu untuk perawatan kecantikan di salon. Dia mengabdikan hidup untuk ilmu pengetahuan dan enggan bersenang-senang. Alhasil kini dia berhasil mewujudkan impiannya sebagai dokter spesialis kandungan sekaligus pemilik salah satu rumah sakit ternama di Jakarta.
Terlepas dari faktor penasaran, aku memang sedang merasa bosan berperan sebagai ratu pengangguran. Mas Bagas memang tidak melarangku untuk pergi kemana pun, tetapi burung peliharaan yang gemar menghabiskan kehidupan di dalam sangkar memang tak bernyali terbang jauh. Oleh karenanya, hanya Gita —sahabat sehidup sematiku— yang mampu membujukku meninggalkan peraduan.
Mobil Gita berbelok memasuki hunian mewah di tengah pusat kota. Tempat paling strategis di Jakarta. Suasana sunyi di lingkungan ini serupa di lingkungan tempat tinggalku. Sarang para orang kaya mencari ketenangan batin usai penat bekerja.
“Lo udah bilang ke Mama Ame, Kan? Kalau gue mau datang malam ini?” tanyaku memastikan protokol keselamatan kami telah terpenuhi.
“Udah dong Beib. Untung aja yang ngadain pesta nyokap gue, jadi gak repot minta izinnya.” Aaaarghhhh ... seringai itu lagi.
Seorang security berperawakan tambun datang menghampiri kami. Tampak tidak kompeten menjalankan tugas. Cara berjalannya nyaris menyerupai seekor pinguin yang hamil trimester terakhir lantaran perutnya mengganjal di antara kaki.
“Valet,” cetus Gita sesampainya di depan pintu rumah. Wajar, deretan mobil mewah sudah berjajar di dalam garasi seluas lapangan basket dan Gita tidak ingin repot-repot menyusup di antaranya. Sesudah mematikan mesin, dia menyerahkan kunci mobil kepada security yang terus saja melirik padaku.
“Gue punya kejutan buat lo,” terang Gita sembari melucuti sabuk pengamannya dan juga milikku.
“Apa?” tanyaku mengernyit.
“Lihat saja nanti.”
Selena menggiringku ke halaman rumah barunya yang tidak pernah kukunjungi semenjak dia pindah. Jika ini terjadi enam belas tahun lalu, aku pasti ternganga menyaksikan pilar-pilar gagah berikut pintu berornamen rumit nan dinamis serta patung para Dewi Yunani yang menambah kesan artistik. Maklum, selama di panti asuhan, kami hanya dikelilingi bangunan semi permanen yang sudah mengalami banyak pengeroposan.
Dua orang berbusana tuxedo hitam datang menghalau kami. Salah satunya membawa baki stainless yang terlihat berat. Gayanya seperti pembawa bendera pusaka saat upacara kemerdekaan di istana negara.
“Selamat malam Nona. Saya Jhon Bramen dan partner saya Jack Hutington. Silahkan letakkan barang-barang anda di sini,” kata Jhon seraya mengulurkan baki.
Aku melirik kepada Gita berharap dia mencegahku mengingat dia dan mama tirinya adalah pelaksana pesta ini. Besar harapanku bisa mendapat pengecualian. Namun setelah beberapa detik berlalu, dia hanya diam memainkan ponsel. Terpaksa aku meletakkan tas jinjing berisi dompet, ponsel serta alat rias mini milikku ke atas baki.
“Silahkan masuk!” Dua orang pria itu membukakan pintu kembar berwarna coklat, berornamen naga dan netraku langsung disambut oleh pemandangan berkelas.
“Lo enggak nitipin tas juga?”tanyaku usil.
“Gue kan putrinya tuan rumah,” cengirnya. Aku mencebik pura-pura kesal. “Tenang, barang lo aman kok di sini. Formalitas aja demi menjaga privasi pesta supaya para tamu tidak saling mengganggu.”
Aku mengangguk-angguk sependapat. Padahal logikanya, privasiku juga sama berharganya dengan privasi semua orang di pesta ini. Bayangan tentang para penjaga itu mengobrak-abrik isi tasku, sungguh menghantuiku. Apalagi aku tidak pandai mengingat kode pengunci ponsel sehingga aku menghindari fitur penting itu.
“Lena, kemarilah!” Selagi aku asyik mengedarkan pandangan ke seantero ruangan, Gita memanggilku. Aku menghampirinya ke sudut ruangan yang tak jauh dari pintu masuk. Menyibak kerumunan.
Seorang pria berperawakan raksasa, maksudku tegap menjulang— jenis tinggi badan yang membuat tengkukku berkedut nyeri— sedang memunggungiku. Melalui perspektif belakang, aku bisa menebak kalau wajahnya super tampan. Aku berjanji pada diriku sendiri sebelum datang kemari bahwa aku tidak akan bereaksi berlebihan atas anugerah yang disandang oleh mayoritas para pria bule. Pria itu baru berbalik tatkala Gita menekan pundaknya.
“Perkenalkan, Lena ... ini adik Sepupuku Elmond Blueray dan El, ini Selena Lyra sahabat karibku sejak kecil,” ujar Gita antusias.
Konsep ketampanan serupa Leonardo DiCaprio tersaji di hadapanku. Aktor favoritku dan aku tidak kuasa menyembunyikan ekspresi bodohku. Aku bisa merasakan mulutku menganga dan daguku mengantung dengan cara yang paling memalukan.
Ya, wajahku pasti bukanlah seleranya. Terbukti, pria bule itu membelalak melihatku seolah aku siluman ular yang sedang meliuk-liuk menakuti. Kami berdua berdiri sejauh kurang lebih semeter, sedangkan Gita berdiri di sebelah Sepupunya. Di luar dugaanku, pria itu bergerak mengejutkanku dengan cara melangkah lebar meringkas jarak kami. Lengan kirinya menyabet serta membungkus rapat pinggulku sementara tangan yang lain menangkup wajahku. Dia kini memilin pipiku, seolah ingin mengukur tingkat elasitas.
Aku melirik Gita mencari petunjuk mengenai reaksi yang harus kuberikan kepada pria ini. Aktivitas fisik bersama lawan jenis yang menurut pria bule wajar, kerap dipandang saru di negara khatulistiwa. Akan tetapi, aku tidak bisa menembakkan protes dan mengatakan tindakannya merupakan pelecehan, mengingat ini adalah pesta privat berkonsep perburuan benih unggul.
Gita telah menjelaskan tentang resiko adanya kontak fisik pada pertemuan pertama bersama pria-pria bule di pesta ini. Aku hanya perlu mengimbangi tanpa menyinggung perasaan mereka. Gita telah menjelaskan bahwa para anggota berhak menolak dan memilih teman pesta. Meski aku tidak memerlukan teman pria, setidaknya aku harus berakting meyakinkan sebagai perempuan lajang terlebih pria ini adalah Sepupu Gita.
“You scared my friend, just slow down baby!” tangkas Gita. Aku tidak cukup pandai berbahasa Inggris, tetapi melihat Gita menarik pundak El untuk menjauhkannya dariku, aku yakin Gita sedang menegur.
“She looks like ...” ucapan El terjeda. Sorotnya seolah menembus bagian terdalam diriku dan praktis membuatku seperti ditelanjangi. “Natty,” lirihnya.
“I know, that’s why i invited her,” balas Gita dan dia berhasil melepaskan Elmond dariku. “I told you that you won't regret staying here,” imbuh Gita sambil menyeringai.
Bab 2 – Selena LyraAndai saja aku tidak pernah tidur di kelas bahasa inggris, aku pasti tidak akan salah paham mengira Gita sedang menjelek-jelekkanku di depan El. Entah apa yang Gita bisikan di telinga El, pria itu kemudian menyingkir dengan cara berjalan mundur tanpa melepas tatapannya dariku. Awalnya aku mengira dia punya kebiasaan menyentuh wanita yang baru dia kenal sebagai upaya mengakrabkan diri. Namun bila kucermati, caranya mengawasiku seperti aku pernah berbuat dosa tak terampuni padanya. Meskipun sedang sibuk menyesap minuman di gelas highball, matanya tetap saja terpaku padaku.“Selamat datang di pesta pembuahan.” Lantunan suara merdu yang bersumber dari pusat ruangan menggema memberi sambutan. Ametika Putri, biasa dipanggil Madam Ame yakni, wanita yang sudah membesarkan sahabat seperjuanganku sejak di panti asuhan hingga sedewasa ini. Beliau berjiwa independen sehingga enggan berkomitmen dalam bentuk apapun. Sel
Bab 3 – Selena Lyra“Siapa Netty?” tanyaku kepada Gita tanpa basa-basi.Sesudah mandi dan mengenakan bathrobe, aku duduk memperhatikan Gita di depan kaca rias. Dia menyisir rambut sepinggulku yang basah sekaligus memoles wajahku dengan riasan natural.“Mendiang calon istrinya. Natty dan janinnya meninggal seminggu sebelum pernikahan mereka berlangsung.” Gita mengambil hairdryer dan menyalakannya. Suara bising dari mesin pengering rambut langsung memonopoli percakapan kami.Lantas, kenapa dia memanggilku Natty? Apa aku mengingatkannya dengan mendiang Natty? Reaksi kaget El saat pertama kali melihatku menjadi kesan yang sulit kuabaikan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana harus kehilangan orang yang kita cintai tatkala cinta sudah mengakar kuat dan tumbuh liar sampai sulit dibabat. Berjuang melewati hari-hari melelahkan sembari menanti penggantinya bila beruntung.
Bab 4 – Elmond Blueray Aku senang bahwa Dewi Fortuna berangsur-angsur menyuplai keberuntungan padaku. Aku baru saja berniat pergi mencari Selena, tak disangka dia malah datang kepadaku dan hebatnya lagi dia hanya mengenakan bathrobe yang semakin mendongkrak intensitas pesonanya. Benar kata Gita, dia bukanlah Natty yang suka ingkar janji. “Gita tidak ada di manapun,” cicitnya sambil menatapku ketakutan. Reaksi manis yang semakin membuat kerinduanku membuncah. Dia pasti berpikir aku memperdayanya padahal aku hanya berusaha mendukung alibi yang susah payah dia bangun demi kembali kemari. Andai dia tahu bahwa dia tidak perlu repot menggunakan Gita sebagai alasan untuk datang kepadaku. Entah kenapa, meski aku sangat merindukan Natty-ku yang nakal dan serba agresif di ranjang, tapijenis wanita penakut yang satu ini malah membangkitkan rasa penasaranku. “Oh ya?” pungkasku pura-pura terkejut. “Maaf, alkohol membuat
Bab 5 – Selena Lyra Tuhan ... aku harus bagaimana sekarang? Betapa kurang ajarnya El yang terus menerus menempelkan tubuhnya padaku. Dia tidak peduli bila aku terang-terangan menolaknya. Tidak, dia tidak boleh dibiarkan mengambil kendali atasku. "Aaaarrrghhh!" pekiknya setelah aku mendengkul pangkal pahanya. Masa bodoh bila dia cedera yang penting aku bisa lepas dulu dari dekapanya. "Apa kamu penganut sadisme?" tuduhnya berapi-api. Kedua tangannya memegangi pangkal paha dan rautnya jelas menahan derita. "Kamu sendiri ... kenapa terus menerus melecehkanku? Kamu pikir karena kamu sepupu Gita lantas kamu bebas menggerayangiku begitu?" serangku balik. Dia harus tahu, di mana bumi dipijak, di situ langit dijujung. "Aku ... melecehkanmu?" Dia mengulang dakwaanku sambil menunjuk dadanya jelas tidak merasa demikian. "Kamu sudah tahu kan tujuan pesta ini diadakan?" "Yaaa ... karena aku tahu mangkanya aku bisa bicara seperti
Bab 6 – Elmond Blueray Aku terpingkal-pingkal dalam hati ketika Selena lintang pukang mengejarku. Aku sengaja berjalan santai, tapi jangkauan kaki jenjangku memang bukan tandingannya. Sehingga di pertengahan, aku berhenti di tempat, pura-pura mengecek layar ponsel. “Elmond aku mohon dengarkan aku?” sergahnya terengah-engah seraya menarik bagian belakang tuxedoku. “Memangnya dari tadi aku tidak mendengarkanmu?” timpalku enteng. Dia tertegun sesaat kemudian menggeleng heboh. “Bukan, maksudku … bisakah kamu mengganti permintaanmu? Mungkin ada barang mewah yang ingin kamu beli?” Jadi dia berencana menyuapku dengan barang mewah untuk mengganti permintaanku bermain bersamanya di ranjang. Sungguh penolakan yang teramat keji. Mau tak mau, aku harus percaya bahwa dia sudah menikah sekaligus tipe istri yang setia. Sial, aku jadi semakin ingin memilikinya. Bila aku tidak ditakdirkan untuk bersama Natty, kenapa semesta mempermaink
Bab 7 – Selena Lyra El begitu tenang membaca bersamaku. Dia bahkan, tidak menyadari aku memperhatikan bulu mata lentiknya bergetar setiap kali pupil birunya bergeser konstan. Tak perlu waktu lama bagiku menetapkan El sebagai bibliophagist yang anti melewatkan apapun. Dia membaca kata perkata, dan meresapi setiap situasi yang diciptakan oleh narasi dan dialog. Dia bahkan, sempat memukul punggung tanganku tatkala aku mendahuluinya membalik halaman. Lalu kami sampai pada bagian di mana sang tokoh utama wanita, bercinta dengan tokoh utama laki-laki dalam kondisi setengah mabuk. Karena aku yakin, bila mereka mabuk berat, mereka akan kesulitan menyelesaikan permainan hingga mencapai klimaks. Aku melepas fokusku, dan menggeser buku sepenuhnya ke arah El. Aku membiarkannya menguasai buku itu. Dia sempat menoleh kaget padaku, tapi secepat kilat kembali fokus ke buku. Akhirnya, ada juga hal di dunia ini yang mampu mengalihkan perhatiannya dariku. Dan t
Bab 8 ~ Elmond Blueray Dia bisa saja berbohong padaku, misalnya dengan mengatakan, aku bahagia dengan pernikahanku, lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Namun, Selena membisu, kepalanya yang menoleh ke samping, perlahan berbalik ke depan lalu menduduk. Sontak, hatiku pun bersyukur, meski dia tidak menjawab, reaksinya atas pertanyaanku, membangkitkan asaku. Aku beringsut di ceruk lehernya, menikmati keharuman jasmine di surai serta kulitnya. Selena mematung, dan pada detik ini, aku penasaran terhadap apa yang tengah dia rasakan. Terutama mengenai sentuhan, apakah dia menyukai caraku menyentuhnya? “El, aku wanita yang sudah bersuami," lirihnya melarangku mengeksplorasinya. Dia menggeliat bangkit, tapi aku menahannya. “Aku mohon, tinggalkan dia Selena! Aku lebih tahu cara membahagiakanmu,” bujukku. Aku tidak bisa menahan air mataku untuk tidak merebak, aku benar-benar tidak ingin kehilangan yang satu ini.
Bab 9 - Selena LyraMenyeramkan rasanya melihat sisi lain El yang menyerupai macan kelaparan. Akan tetapi, aku tidak kuasa melawan bahkan, untuk sekadar berteriak meminta tolong. El memonopoli seluruh kinerja tubuhku, jiwaku. Terlebih peringatannya barusan, membuatku mengingat hal-hal mengerikan yang sebelum ini sudah kusaksikan di banyak media informasi. Tentang robeknya lubang senggama seorang gadis korban pemerkosaan yang otomatis membuatku menangis ngeri, tentang pembunuhan setelah persetubuhan brutal, sungguh, diam adalah gagasan terbaik bagiku saat ini.El mendaratkan kecupan di keningku, intens dan lama. Aku bisa merasakan kehangatan menjalar dari titik itu ke seluruh tubuh dan berangsur-angsur mengalihkan rasa perih pada area intimku."Aku akan mulai bergerak!" pamitnya sebelum meninggalkan keningku.Pinggul El bergerak mundur secara lambat, menarik tubuhku ikut bersamanya. Tanpa bisa kutahan, rint