Bab 6 – Elmond Blueray
Aku terpingkal-pingkal dalam hati ketika Selena lintang pukang mengejarku. Aku sengaja berjalan santai, tapi jangkauan kaki jenjangku memang bukan tandingannya. Sehingga di pertengahan, aku berhenti di tempat, pura-pura mengecek layar ponsel.
“Elmond aku mohon dengarkan aku?” sergahnya terengah-engah seraya menarik bagian belakang tuxedoku.
“Memangnya dari tadi aku tidak mendengarkanmu?” timpalku enteng.
Dia tertegun sesaat kemudian menggeleng heboh. “Bukan, maksudku … bisakah kamu mengganti permintaanmu? Mungkin ada barang mewah yang ingin kamu beli?”
Jadi dia berencana menyuapku dengan barang mewah untuk mengganti permintaanku bermain bersamanya di ranjang. Sungguh penolakan yang teramat keji. Mau tak mau, aku harus percaya bahwa dia sudah menikah sekaligus tipe istri yang setia. Sial, aku jadi semakin ingin memilikinya.
Bila aku tidak ditakdirkan untuk bersama Natty, kenapa semesta mempermainkanku? Seolah aku berjalan mengitari sosok Natty sebagai porosnya. Aku sudah hampir sembuh dari lukaku, dan perempuan ini dengan mudahnya datang membuka luka lamaku sekaligus menorehkan luka baru. Dia pikir dia siapa? Berani menolakku selagi mengenakan wajah Natty.
“Aku tidak ingin barang dan permintaanku tidak bisa diganggu gugat,” tandasku.
Bibir merah Selena terbuka. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi urung. Terdengar suara bising dari anak tangga, dan hal itu membuatnya panik. Dia mendorong tubuhku sekuat tenaga menuju pintu terdekat, pintu menuju entah ke mana. Dia bahkan tidak peduli pintunya sudah terbuka atau belum, sehingga wajahku sukses menumbuk daun pintu.
“Ma—maaf aku tidak bermaksud mencelakaimu,” gelagapnya.
Aku tidak merespons permintaan maafnya karena sibuk memijat-mijat ujung hidungku yang nyeri bukan main. Lena cekatan membuka pintu lalu menarikku ikut bersamanya masuk ke ruangan gelap nan dingin. Aku memaklumi kepanikannya setelah aku mendeklarasikan niat akan menyebarkan statusnya kepada setiap orang yang aku temui di pesta ini. Andai saja dia tahu aku sedang bermain tarik ulur demi mendapatkannya.
Masa bodoh bila dia sudah menikah sekali pun. Aku bertaruh, suaminya adalah jenis laki-laki yang menikahi gadis cantik demi merahasiakan kelainan seksualnya. Caranya lalai menjaga Selena sudah lebih dari cukup menjelaskan figurnya. Bila Selena istriku, aku akan mendedikasikan hidupku untuk mencintainya dan menjaganya dari bajingan manapun yang ada di muka bumi ini. Tuhan, tolong jangan ingatkan aku kalau sekarang aku bajingannya.
Selena sibuk mengintip di celah pintu selagi aku meraba-raba dinding mencari saklar. Setelah berhasil menyalakan lampu, aku hendak menaikkan suhu AC, tapi aku tak menemukan batang remotenya. Ruangan ini membuatku serasa bagai daging impor di lemari beku.
Selena berbalik meninggalkan pintu. Dia menatap cemas padaku. “Sebelah mana yang sakit?” tanyanya sambil berjinjit. Dia menekan-nekan tulang rawan hidungku menggunakan telunjuk.
“Mendekatlah!” paksaku. Aku gesit merangkul pinggulnya dengan tangan kanan, membuatnya menghimpitku. “Lecet, Kan?” ketusku. Ya aku yakin ada bagian yang lecet di ujung hidungku.
Sekilas, dia membelalak marah, tapi sekejap raut itu memudar. Dia mungkin sadar kalau aku harus diperlakukan sangat baik agar hasil negosiasi yang dia harapkan dapat tercapai. Rautnya begitu menggemaskan, membuatku ketagihan untuk menciptakan godaan-godaan berikutnya.
“Seberapa kayanya kamu hingga berani menawarkan barang mewah kepadaku?” tanyaku seraya mengulurkan tangan yang lain dan aku pun sempurna mendekapnya.
Dia menunduk menghindari tatapanku kemudian menggeleng lambat. Tangannya mendorong dadaku lembut, dia bergerak menjauh dan aku menurutinya. “Bisakah kita mendiskusikannya sambil duduk?” pintanya lirih. Netranya mengarah ke empat buah kursi kayu jati yang menghimpit meja bundar berbahan serupa. Tanpa menunggu persetujuanku, dia berjalan menghampiri salah satu kursi, menempati seraya bersedekap manghalau hawa dingin.
Aku diam mencermati tingkahnya sampai akhirnya dia melirikku gamang.
“Sampai kapan kamu akan berdiri seperti itu?” tanyanya tanpa melihatku. Dia meraih salah satu buku dari empat tumpukan buku novel di atas meja. Aku bisa mengetahui kalau itu buku novel dari judul-judul yang tertera di samping buku.
“Andai kamu belum menikah, apakah kamu akan tetap menolakku?” sergahku.
Dia mengangguk.
Tiba-tiba sesuatu berbisik di kalbuku, mendesakku melontarkan pujian demi mengusut latar belakangnya lebih jauh. “Kamu pasti tipe istri yang setia,” pujiku.
Selena mendongak menatap mataku sekaligus mengangguk heboh. “Tentu. Sudah semestinya seorang istri berperilaku seperti itu. Kamu juga, pasti mengharapkan perempuan yang setia, memegang teguh janji pernikahan, mencintaimu dengan tulus,” tuturnya sambil membolak balik halaman buku lalu menutupnya. Mungkin dia tipe gadis yang pusing melihat deretan huruf.
“Lantas, bagaimana dengan suamimu? Apa dia menganut prinsip yang serupa denganmu?” Aku berusaha mengingatkan tentang pengakuannya yang kontradiktif. Sudah menikah, tetapi tidak berpengalaman di ranjang.
Aku mengukur ekspresinya dan benar saja, dia sedang kelabakan mencari kalimat balasan yang pas. Aku bisa melihat kekacauannya di balik pupil berwarna coklat eksotis itu. Aku sungguh berharap dia mengakui bahwa suaminya penyuka sesama jenis sehingga aku memiliki alasan untuk menerkamnya detik ini juga.
“D—dia ...” Selena terbata-bata, melirikku gamang. “Tentu … tentu saja.” Dia melayangkan pandangan ke arah deretan rak berisi buku-buku di sisi lain ruangan kemudian bangkit meninggalkanku bersama kebingungan.
“Wah, luar biasa. Cetakan pertama,” gumamnya seraya menarik salah satu buku bersampul hitam, tak jelas apa judulnya. Selena berbalik, dan aku bisa melihat binar di matanya. Seolah dia baru saja menemukan benda berharga paling langka di jagat raya. “Aku tidak percaya aku menemukanmu di sini.” Sekarang dia berbicara dengan buku.
“Hei … kurasa kita sedang mendiskusikan hal penting sekarang!” potongku mengusik rasa takjubnya terhadap buku.
“Ma—maaf, tapi buku ini …” Dia mendekap erat buku itu ke dada, membuatku dengki setengah mati, berharap aku bisa menjelma menjadi sebuah buku sekarang. “Sudah lama kucari-cari,” imbuhnya.
Dia kemudian kembali ke tempat duduknya dan aku menyusul duduk di sebelahnya. After Marriage, karya seorang penulis Indonesia. “Kamu suka cerita romansa?”
“Romance comedy lebih tepatnya,” ralat Selena.
“Apa kamu menikmati lelucon seperti penekuk yang disirami krim kocok di malam pertama atau gadis culun yang ternyata memiliki pegas di bagian pinggul sehingga dia bisa mengambil alih situasi selama di ranjang?”
“Tidak seseronok itu, tetapi iya,” akunya sambil mengulum senyum.
“Mencengangkan.”
“Apanya?”
“Selera kita sama.”
“Benarkah?” Selena berbalik sepenuhnya padaku, terlihat sangat antusias sekaligus meragukan pengakuanku. “Dua orang yang tengah bercumbu, belum tentu saling mencintai …”
“Bisa jadi si laki-laki mengharapkan sebuah komitmen selagi si gadis hanya memburu kehangatan,” tutur kami serempak, mengutip narasi dari salah satu buku bergenre romantis yang wajib dimiliki oleh para pecinta novel romansa. Selena tersipu selagi aku menguntai senyum bodoh.
Sungguh, aku tidak menyangka, upayaku menambah kadar keromantisan supaya Natty jatuh ke tanganku malah berfungsi pada Selena.
Kala itu, aku membeli beberapa buku bergenre romance, berlatar masa abad pertengahan, lantaran Natty terobsesi kepada kisah cinta bernuansa romantis, bersama pria yang digambarkan seperti pangeran- pangeran berkuda putih dan semacamnya. Dia bahkan, menyukai aktivitas ranjang yang ditaburi banyak kelopak mawar merah, lilin, aroma terapi serta instrumen musik klasik. Namun, saat aku mulai bosan dengan kisah-kisah omong kosong itu, minatku tertambat pada novel fiksi bergenre romance comedy setelah melihat Jenny, sekretarisku, terpingkal-pingkal di meja kerjanya.
Aku membeli satu, dan langsung kecanduan. Entah kenapa, kisah bergenre roncom selalu mengesankan bagiku, lebih manusiawi dan lebih membumi. Maksudku, kita bisa mendengar kisah cinta seperti itu di lingkungan sekitar bahkan, berpeluang besar mengalaminya sendiri. Lagi pula di zaman sekarang, kita tidak mungkin melambai-lambai di jendela kamar berkusen antik, setinggi ratusan meter, di sebuah kastil tua atau bangunan kerajaan, dan bila beruntung, mengoleksi banyak selir berikut polemiknya.
“Jadi … buku tentang apa ini?” tanyaku murni penasaran. Di luar dugaan, Selena menggeser buku di genggamannya, beserta tubuhnya mendekat padaku. Bolehkah aku sedikit berharap, bila benar karakter Selena seperti salah satu karakter pemeran utama perempuan di salah satu buku yang pernah aku baca, maka, boleh jadi aku akan segera menguasainya. Masa bodoh dia istri orang.
Bab 7 – Selena Lyra El begitu tenang membaca bersamaku. Dia bahkan, tidak menyadari aku memperhatikan bulu mata lentiknya bergetar setiap kali pupil birunya bergeser konstan. Tak perlu waktu lama bagiku menetapkan El sebagai bibliophagist yang anti melewatkan apapun. Dia membaca kata perkata, dan meresapi setiap situasi yang diciptakan oleh narasi dan dialog. Dia bahkan, sempat memukul punggung tanganku tatkala aku mendahuluinya membalik halaman. Lalu kami sampai pada bagian di mana sang tokoh utama wanita, bercinta dengan tokoh utama laki-laki dalam kondisi setengah mabuk. Karena aku yakin, bila mereka mabuk berat, mereka akan kesulitan menyelesaikan permainan hingga mencapai klimaks. Aku melepas fokusku, dan menggeser buku sepenuhnya ke arah El. Aku membiarkannya menguasai buku itu. Dia sempat menoleh kaget padaku, tapi secepat kilat kembali fokus ke buku. Akhirnya, ada juga hal di dunia ini yang mampu mengalihkan perhatiannya dariku. Dan t
Bab 8 ~ Elmond Blueray Dia bisa saja berbohong padaku, misalnya dengan mengatakan, aku bahagia dengan pernikahanku, lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Namun, Selena membisu, kepalanya yang menoleh ke samping, perlahan berbalik ke depan lalu menduduk. Sontak, hatiku pun bersyukur, meski dia tidak menjawab, reaksinya atas pertanyaanku, membangkitkan asaku. Aku beringsut di ceruk lehernya, menikmati keharuman jasmine di surai serta kulitnya. Selena mematung, dan pada detik ini, aku penasaran terhadap apa yang tengah dia rasakan. Terutama mengenai sentuhan, apakah dia menyukai caraku menyentuhnya? “El, aku wanita yang sudah bersuami," lirihnya melarangku mengeksplorasinya. Dia menggeliat bangkit, tapi aku menahannya. “Aku mohon, tinggalkan dia Selena! Aku lebih tahu cara membahagiakanmu,” bujukku. Aku tidak bisa menahan air mataku untuk tidak merebak, aku benar-benar tidak ingin kehilangan yang satu ini.
Bab 9 - Selena LyraMenyeramkan rasanya melihat sisi lain El yang menyerupai macan kelaparan. Akan tetapi, aku tidak kuasa melawan bahkan, untuk sekadar berteriak meminta tolong. El memonopoli seluruh kinerja tubuhku, jiwaku. Terlebih peringatannya barusan, membuatku mengingat hal-hal mengerikan yang sebelum ini sudah kusaksikan di banyak media informasi. Tentang robeknya lubang senggama seorang gadis korban pemerkosaan yang otomatis membuatku menangis ngeri, tentang pembunuhan setelah persetubuhan brutal, sungguh, diam adalah gagasan terbaik bagiku saat ini.El mendaratkan kecupan di keningku, intens dan lama. Aku bisa merasakan kehangatan menjalar dari titik itu ke seluruh tubuh dan berangsur-angsur mengalihkan rasa perih pada area intimku."Aku akan mulai bergerak!" pamitnya sebelum meninggalkan keningku.Pinggul El bergerak mundur secara lambat, menarik tubuhku ikut bersamanya. Tanpa bisa kutahan, rint
Bab 10 - Elmond Blueray Aku duduk belunjur di karpet sambil menyandarkan punggung di tepi sofa. Material sofa yang terbuat dari oscar mengkilap serta tanpa pori-pori, membuat permukaan kulit punggungku lengket sekaligus menggigil. Beberapa kali aku mencoba membetulkan posisi duduk, berharap usahaku dapat mengurangi rasa tak nyaman pada punggungku, tapi percuma. Semoga saja, aktifitas bercinta yang kulakukan secara spontanitas dengan Selena tidak berdampak buruk bagi persendianku. Mengingat aku baru dua minggu berjalan tanpa bantuan tongkat. Sensasi nyeri masih kerap menyergap kedua tungkaiku yang sempat lumpuh selama dua tahun terakhir. Khususnya bila aku terlalu aktif bergerak. Lucu rasanya bila mengenang masa-masa tersulit dalam hidupku di mana aku menghabiskan energi dan waktu untuk menangisi Natty. Sebenarnya sekarang pun masih, tapi tidak sehisteris dan seintens dulu. Hanya bila aku berada dalam mode kesepian
Bab 11 - Selena Lyra Aku selalu terheran-heran setiap melihat film atau drama yang mengusung adegan pemerkosaan. Sebagai penonton sekaligus kaum feminis, aku selalu bisa menemukan celah perlawanan dalam adegan-adegan itu. Entah dengan cara menendang telak buah zakar, memecahkan vas bunga ke kepala si pria, atau menggigit batang leher. Namun, di beberapa tayangan, kebanyakan perempuan selalu terpojok tanpa bisa melawan atau bahkan, pernah mencoba melawan. Si wanita hanya bisa menangis, mendorong si pria sekadarnya atau berteriak histeris sampai kehabisan tenaga. Apabila dia meragukan kekuatannya sendiri, dia bisa saja bersembunyi ke sisi ruangan lainnya, apapun asal dapat mengulur waktu hingga tiba datangnya kesempatan membebaskan diri dari situasi laknat itu. Akan tetapi, ketika sekarang aku mengalami situasi nahas itu. Aku tidak berkutik alias mati kutu sebab, pada satu momen, aku langsung diterjang oleh dua musuh, yakni has
Bab 12 - Elmond Blueray Semoga saja firasatku benar bahwa, Selena memang menginginkanku. Namun, egoisme yang dua tahun belakangan ini kurasa telah lenyap, kini meronta-ronta menuntut kepastian dari Selena secara gamblang. Hal ini tidak terlepas dari pengalamanku menjalin hubungan bersama Natty. Ketika aku meminta Natty berjanji akan satu hal, dan dia tidak lekas menjawab, pada akhirnya dia menciumku membabi buta sebagai gantinya yang kukira merupakan kesanggupannya. Namun, ketika aku menagih janji itu untuk ditepati oleh Natty, memang adakalanya dia menepati, tapi sering juga dipungkiri. Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku berjanji untuk itu dan bla bla bla. Natty akan berkelit demikian dan aku hanya bisa membatin, what the fuck are you. Detik itu aku berjanji pada diriku sendiri, tidak akan memi
Bab 1 - Selena LyraEntah bangsa setan mana yang telah merasuk ke relung jiwaku. Meski sudah tahu resikonya, aku nekat melibasnya. Entah ke mana perginya Selena si anak culun nan bersahaja yang mampu menghabiskan sepanjang hari di balik buku fiksi ketimbang menghadiri pesta buah-buahan. Terdengar lucu, tapi begitulah cara sahabatku menyamarkan judul acaranya yang sangat mewakili konsep tak senonoh di pesta itu.Melihat keceriaan si pengemudi mobil SUV merek termasyur bernama Gita Nugroho praktis, kian memperparah kengerian di hatiku. Tak biasanya dia begini. Melibas jalanan sembari tiada henti menyeringai dan menyenandungkan lagu Hurt So Good milik Astrid, penyanyi perempuan remaja asal Norwegia. Sebenarnya lagu ini sangat enak didengar, berhubung Gita membawakan dengan gaya suara ala tikus kejepit jadi ya ... agak menggelikan di telinga.“Lo yakin status pernikahan gue enggak bakal terbongkar di sana?” tanyaku cemas.
Bab 2 – Selena LyraAndai saja aku tidak pernah tidur di kelas bahasa inggris, aku pasti tidak akan salah paham mengira Gita sedang menjelek-jelekkanku di depan El. Entah apa yang Gita bisikan di telinga El, pria itu kemudian menyingkir dengan cara berjalan mundur tanpa melepas tatapannya dariku. Awalnya aku mengira dia punya kebiasaan menyentuh wanita yang baru dia kenal sebagai upaya mengakrabkan diri. Namun bila kucermati, caranya mengawasiku seperti aku pernah berbuat dosa tak terampuni padanya. Meskipun sedang sibuk menyesap minuman di gelas highball, matanya tetap saja terpaku padaku.“Selamat datang di pesta pembuahan.” Lantunan suara merdu yang bersumber dari pusat ruangan menggema memberi sambutan. Ametika Putri, biasa dipanggil Madam Ame yakni, wanita yang sudah membesarkan sahabat seperjuanganku sejak di panti asuhan hingga sedewasa ini. Beliau berjiwa independen sehingga enggan berkomitmen dalam bentuk apapun. Sel