Share

Bab 4 - Masuk Perangkap

Bab 4 – Elmond Blueray

Aku senang bahwa Dewi Fortuna berangsur-angsur menyuplai keberuntungan padaku. Aku baru saja berniat pergi mencari Selena, tak disangka dia malah datang kepadaku dan hebatnya lagi dia hanya mengenakan bathrobe yang semakin mendongkrak intensitas pesonanya. Benar kata Gita, dia bukanlah Natty yang suka ingkar janji.

“Gita tidak ada di manapun,” cicitnya sambil menatapku ketakutan. Reaksi manis yang semakin membuat kerinduanku membuncah. Dia pasti berpikir aku memperdayanya padahal aku hanya berusaha mendukung alibi yang susah payah dia bangun demi kembali kemari. Andai dia tahu bahwa dia tidak perlu repot menggunakan Gita sebagai alasan untuk datang kepadaku.

Entah kenapa, meski aku sangat merindukan Natty-ku yang nakal dan serba agresif di ranjang, tapi jenis wanita penakut yang satu ini malah membangkitkan rasa penasaranku.

“Oh ya?” pungkasku pura-pura terkejut. “Maaf, alkohol membuat mataku berkabut. Kamu bisa menunggu Gita kalau mau … di sini … bersamaku.”

Aku lalu berjalan santai hendak menuju sofa yang memang berada di belakangnya, hanya ingin mengambil ponsel di saku celana. Hasil dari mati-matian menentang kebijakan pesta ini. Sepertinya ide penitipan barang itu dibuat oleh seseorang yang sedang mabuk tuak. Tidakkah mereka mempertimbangan mobilitas dari sisi pebisnis sepertiku? Namun, entah kenapa Selena mundur dengan cepat sampai jatuh terduduk di sofa. Sorot ketakutannya memancar intens.

“Kau kenapa?” kekehku merasa lucu.

“Jangan mendekat!” pecatnya sepihak. Hal itu jelas membuatku kehilangan kata-kata. Haruskah aku memberitahunya bahwa aku paling benci mendengar penolakan?

“Tingkahmu seperti gadis perawan saja,” godaku berniat memancing pengakuanya.

“Aku sudah punya pasangan di pesta ini. Jadi jangan macam-macam." Dia memperingatkan.

Tunggu ... situasi macam apa ini? Dan beraninya dia mengaku punya pasangan di depanku.

Tenangkan hatimu Elmond, kau tidak perlu marah. Lagi pula dia bukan Natty, wajar kalau dia punya pria lain sebelum bertemu denganmu.

“Kalau begitu panggil priamu kemari!” Aku akan memaksanya menyudahi hubungan sialan kalian.  

“Aku tidak bawa ponsel.”

“Pakai ponselku.”

“Dia juga tidak bawa, tunggu … bukannya semua orang diwajibkan menitipkan barang pribadi di pintu masuk?”

Aku berkacak pinggang. “Pengecualian untukku,” Aku mengedikkan bahu. “Kamu pasti belum lupa tentang hubungan kekeluargaanku bersama pendiri pesta ini, Kan?” tanyaku memastikan. Ini aneh, kalau dia masuk melalui koneksi Gita dan Tante, seharusnya dia mendapat pengecualian juga sepertiku.

Dia mengangguk lamban, matanya merunduk sejenak sampai akhirnya dia kembali menatapku dan bergerak kikuk mengusap tengkuknya. “Apa kamu bisa meminjamkan ponselmu untuk menelepon Gita?”

“Silahkan.” Aku kembali berjalan menghampiri celanaku yang teronggok di sandaran sofa dan Selena bergeser menjauh seiring langkah majuku. Sikapnya membuatku kesal. Aku bahkan sempat membeku memelototinya dan sewaktu dia menyadari kejengkelanku, dia memalingkan pandangan.

Setelah merogoh beberapa saat dan menekan kode pengaman berupa empat deret nomor, aku pun menyodorkan ponselku. Aku mendengkus lucu tatkala dia menerimanya dengan sopan menggunakan kedua tangan menengadah.

Dia cekatan menekan-nekan nomor Gita. Jelas dia telah menghafal nomor ponsel Gita di luar kepala seolah-olah nomor itu adalah nomor untuk panggilan darurat. Setelah berkali-kali menempelkan ponsel ke telinga kanan, menekan dan terus mengulangi prosedur yang sama, tak ada kalimat terucap kecuali desahan putus asa.

Sambil mengulum senyum, perlahan aku duduk menjajarinya. Dia melirikku penuh waspada seolah aku bisa menerkamnya sewaktu-waktu. Namun, bila memang begitu anggapannya, maka nalurinya seratus persen benar. Aku tidak akan membiarkannya pergi begitu saja tanpa jaminan bahwa dia akan menghabiskan sisa hidupnya bersamaku.

“A—aku turut berduka cita atas meninggalnya Natty," katanya membantingku pada kenyataan. Dia membekap ponselku di dada. Apakah, bagian itu juga sama hangatnya dengan milik Natty?

"Seberapa jauh pengetahuanmu  tentang Natty?" Dia mengerjap gugup. Aku menduga Gita telah menceritakan banyak hal tentangku. Aku penasaran, apakah reaksi kelunya ini karena dia ketakutan bila teman kencannya memergokinya bersamaku atau karena mendengar betapa miripnya dia dan Natty. Kami membisu sampai akhirnya bunyi ponselku membuyarkan keheningan di antara kami.

Panggilan itu dari Gita. Entah apa yang tengah mereka bicarakan tapi melalui raut kusut Selena aku bisa menduga itu bukanlah kabar baik. Tiba-tiba Selena meyodorkan ponsel kepadaku.

"Gita ingin bicara," katanya yang kusambut dengan datar.

"Ya?" sapaku di telepon. Besar harapanku Gita berhalangan menjemput supaya aku memiliki lebih banyak waktu bersama Selena.

"Aku ada panggilan operasi caesar mendadak. Tolong jaga Selena. Jika kamu terlalu mabuk untuk mengantarnya pulang, panggilkan taksi."

"Tenanglah dan fokus pada operasimu saja. Aku akan menangani Selena."

"Berjanjilah jangan apa-apakan dia!" pesan Gita.

"Maaf ... sudah dulu." Aku bisa mendengar kepanikan Gita saat menjauhkan ponsel dari telinga. Namun, aku mengabaikan pesannya lalu memutus sambungan telepon.

"Mari kuantar pulang," tawarku pada Selena.

"Terima kasih, tapi aku akan pulang bersama pasanganku di pesta ini."

Sial, dia tidak membiarkanku melupakan prianya. "Pakaianmu?"

"Ada di kamar. Gita sudah mencucinya dan tidak masalah bagiku mengenakan pakaian separuh basah."

"Bila kamu pulang bersamaku, aku akan memesan gaun untukmu melalui onlineshop." Ideku barusan tak pelak membuatnya diam terpaku. Aku yakin dia sedang menimbang-nimbang.

"Tidak, terima kasih."

Dia secara gesit meletakkan ponselku di sofa lalu bangkit dan separuh berlari menuju pintu.

Aarghh sial, akhirnya aku menemukan kesamaan antara dia dan Natty. Sama-sama keras kepala. Tak sulit bagi tungkai jenjangku mengungguli kecepatan langkahnya. Sehingga aku sanggup memblokir jalurnya dan akibatnya tubuh kami bertumbukkan. Beruntung gerak refleksku mampu mengimbangi momentum ini dengan menangkap tubuhnya sebelum terpental jatuh.

Dia memelotot jelas tak menduga akan aksiku dan aku masih menantinya berbicara. "Aku mau pulang," cicitnya kemudian.

"Iya aku tahu," datarku. Diam-diam aku meraih kunci pintu dan bertekad menyembunyikannya saat dia lengah.

Dia beringsut mendorong dadaku menggunakan kedua tangannya tapi lenganku tak berpindah seinchi pun dari pinggulnya. Sentuhan kulitnya di dada polosku, mau tak mau menggugah sensitifitas kejantananku. Keresahan kini melingkupi seluruh tubuhku dan aku yakin inilah dampak dari vakumnya aktifitas ranjangku selama dua tahun masa pemulihan. Tubuh Selena dingin, kontras dengan suhu panas tubuhku.

"Kalau begitu tolong lepaskan!" lirihnya.

"Aku benar-benar merindukanmu," racauku terpengaruh oleh sihir parasnya. Kenapa … kenapa dia begitu mirip dengan Natty-ku? Aku tidak bisa membayangkan siksaan batin yang kudapat bila membiarkannya pergi begitu saja. Tuhan, kenapa kau membiarkanku kehilangan diriku lagi. Tanpa bisa kuhalau, air mataku segera membanjiri pelupuk dan mengaburkan pandangan serta akal sehatku.

Aku bisa merasakan sekujur tubuh Selena menegang sekaligus bergetar dalam skala kecil. Detik demi detik tubuh rampingnya mengguncang permukaan tubuh bagian depanku yang menempel rapat padanya. Dia mengerjap gugup, serta tampak semakin ketakutan.

"Maaf, aku tidak bisa membantu apa-apa. Aku hanya bisa mendoakan semoga dukamu lekas sirna."

"Bagaimana bila kamulah orang yang mampu membuat dukaku sirna?"

"Itu hanya spekulasi sepihakmu, baik kamu dan aku sama-sama baru bertemu dan ... aku tidak memiliki apapun untuk membantu mengusir dukamu."

"Asal kamu tahu ... kamu memiliki segalanya." Aku mengulurkan  lengan kiriku untuk memeluk erat pinggangnya dan secara bersamaan, dorongannya di dada telajangku semakin kuat. "Aku mohon, hiduplah bersamaku!"

Dia menengadah menatapku. Pelupuk yang tadinya melebar kemudian menyipit seiring kepalanya yang menunduk. Aku yakin tengkuknya sedang berdenyut nyeri karena sejak tadi bersitatap denganku.

"Kamu sudah gila," desisnya tajam saat punggungnya melengkung menjauh dan tanpa dia sadari kepalanya kian meringkuk di dadaku. Aku membungkuk untuk mencium puncak kepalanya yang didominasi oleh aroma bunga. Kupeluk tubuh rampingnya rapat-rapat seolah takut dia menghilang bagai buih.

"Ya aku gila dan orang gila ini tidak akan membiarkanmu pergi dari sini," tegasku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status