Bab 3 – Selena Lyra
“Siapa Netty?” tanyaku kepada Gita tanpa basa-basi.
Sesudah mandi dan mengenakan bathrobe, aku duduk memperhatikan Gita di depan kaca rias. Dia menyisir rambut sepinggulku yang basah sekaligus memoles wajahku dengan riasan natural.
“Mendiang calon istrinya. Natty dan janinnya meninggal seminggu sebelum pernikahan mereka berlangsung.” Gita mengambil hairdryer dan menyalakannya. Suara bising dari mesin pengering rambut langsung memonopoli percakapan kami.
Lantas, kenapa dia memanggilku Natty? Apa aku mengingatkannya dengan mendiang Natty? Reaksi kaget El saat pertama kali melihatku menjadi kesan yang sulit kuabaikan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana harus kehilangan orang yang kita cintai tatkala cinta sudah mengakar kuat dan tumbuh liar sampai sulit dibabat. Berjuang melewati hari-hari melelahkan sembari menanti penggantinya bila beruntung. Malang nian nasib pria tampan itu. Semalang nasib Leonardo DiCaprio di film Titanic.
“Apakah El sesuai seleramu?” tanya Gita membuyarkan lamunanku.
“Apa?” Kagetku. “Dia mirip Jack Dawson di film Titanic, tapi dalam versi yang lebih gagah serta maskulin,” tuturku mengembangkan senyum di wajah Gita. Berbeda dari kesanku saat melihat debut Leonardo DiCaprio di film tragis itu. Terlalu muda, terkesan kekanakan bahkan, sepertinya dia belum menumbuhkan bulu sebagai simbol kematangan.
Gita berkaca, memperbaiki tatanan rambut hitam cepolnya serta tali gaun panjang berwarna marunnya. “Lo tunggu di sini ya! Gue mau lihat kondisi El dulu sama ambil baju buat lo terus kita pulang,” pamit Gita.
Aku mengangguk heboh diikuti senyum ceria. Merasa bahagia mendengar kata pulang seperti anak kecil yang dijanjikan pergi jalan-jalan setelah menangis karena dipukuli. Sejak mendengar ajakan Gita sebulan lalu, aku sudah menduga pesta ini tidak cocok untukku. Aku yakin Gita kini juga sependapat denganku.
Tiga puluh menit berlalu. Gita pergi tanpa ada kabar terbaru. Ide penitipan barang-barang itu sama sekali tidak cemerlang. Ponselku berada di tangan para penjaga itu sehingga aku tidak bisa menghubungi Gita. Apa aku perlu mencoba mencarinya di sekitar sini? Jangan sampai dia terlibat masalah dengan sepupunya yang mabuk itu sehingga harus mengabaikan aku.
Bermodalkan bathrobe berwarna putih yang menempel di tubuhku, aku mantap meninggalkan kamar. Semoga tidak ada tamu yang memergokiku keluyuran dengan penampilan seperti ini. Masih tak tenang, aku berbalik meraih bantal sebagai penghalang wajah agar tidak ada yang mengenaliku selagi aku mencari Gita di rumah ini. Tunggu ... apa dia pergi ke toko baju untuk membeli baju gantiku? Tidak mustahil, karena Gita sahabat karibku. Ya bisa jadi seperti itu. Baru setengah jam berlalu, itu belum lama Selena. Belum lama.
Apa sebaiknya aku mengecek ke kamar El sebelum kembali ke kamarku? Siapa tahu Gita sedang kerepotan di sana. Sebenarnya ini seperti mencoba menengok sarang hewan buas, tetapi El sedang mabuk dan aku harap dia sedang tidur lelap sekarang.
Kamar El tepat di sebelah puncak tangga, selisih empat kamar dari kamarku. Ragu-ragu, aku memutar knop pintu. Terkunci. Benar, pasti Gita yang menguncinya dari dalam karena El terlalu mabuk untuk itu. Aku mengetuk pintunya sekali, tak ada sahutan. Lalu pada ketukan kedua, knop pintu berputar dan terbuka dari dalam. Sosok El menjulang di hadapanku, rambutnya basah berikut balutan handuk putih di pinggul.
Aku ternganga menyaksikan pemandangan tubuh pria bertelanjang dada berikut wajah tampan berbingkai surai basah. Sebagai wanita normal, aku memang takjub melihatnya. Namun, akal sehatku tidak melepasku begitu saja. Bayangan wajah mas Bagas seolah menampar pipiku telak hingga terlempar ke samping.
“Ada apa?” datarnya. Tatapannya sudah tak seaneh sebelumnya. Apa mungkin kepalanya terbentur sesuatu tau dia telah mendapatkan pencerahan dari Gita? Apapun itu, aku berharap yang terbaik baginya. Sayang kan bila wajah tampan itu tidak dibarengi dengan kesehatan mental yang bagus. Melihat sorot mata tegasnya, aku yakin kini dia bisa diajak bicara. Aku hanya perlu menanyakan apakah Gita ada di dalam lalu apapun jawabannya aku harus lekas angkat kaki. El masih menatapku lekat-lekat sepertinya menanti reaksiku.
“A—apa Gita ada di dalam?” tanyaku tergagap sekaligus salah tingkah. Aku menggaruk gugup tengkukku yang tidak gatal. Caranya melihatku benar-benar mengintimidasi sampai membuatku bercosplay seperti kutu mati.
Hening beberapa saat. “Ada perlu apa kamu mencari Gita?” dinginnya.
Pertanyaanku tidak terjawab. Semoga aku tidak membuatnya marah. Bukannya aku mengharapkan dia bertingkah seperti sebelumnya hanya saja sikap dinginnya ini membuatku kesulitan bicara. “Aku … aku,” gagapku.
El mengangkat alis kanannya selagi menantiku menyelesaikan kalimat. “Aku kemari bersama dia dan ingin mengajaknya pulang.”
“Apa orang tuamu memberi aturan ketat tentang jam malam?” tanyanya lancang. “Ini baru jam tujuh.”
“Bukan begitu. Aku hanya khawatir kalau dia pulang sendirian setelah mengantarku ke rumah. Wanita selalu rawan menjadi korban kriminalitas terutama di malam hari.” Kendalikan matamu Lena. Fokus ke wajah saja, jangan terlalu turun.
Seolah bisa membaca pikiranku, El merubah pose dengan mengangkat tangan kanan lalu menyandarkannya pada daun pintu. Otot sayap tubuhnya menonjol kokoh, memancing siapa saja untuk lari memeluknya. Aku menghalangi pandanganku dengan bantal dan terdengar suara mendengkus dari lawan bicaraku.
“Mari kuantar pulang,” tawarnya.
“Tidak, terima kasih. Aku tunggu Gita saja,” tolakku mentah-mentah. Selain gelagatnya menyerupai pria cabul kelas kakap, aku tak ingin identitasku terbongkar meski dia bersaudara dengan Gita.
“Okey terserah kau saja. Gita ada di dalam. Silahkan sampaikan sendiri pesanmu. Aku pusing, mau tidur,” ketusnya seraya membuka pintu lebih lebar.
Aku mendesah letih atas upayanya membuang-buang waktuku dengan memancing obrolan panjang lebar selagi Gita sedang bersamanya di kamar.
“Kalau kau tidak segera masuk, aku akan menutup pintunya,” ancamnya membuatku memutar mata kesal. Aku berharap dia menangkap ulah kurang ajarku barusan sebagai alasan untuk memulai baku hantam. Sayangnya dia keburu memalingkan wajah.
Tanpa firasat apapun, aku bergegas masuk ke dalam kamar, melewati El yang tengah berdiri di ambang pintu sembari mencekal knop. Matanya mengekori lajuku ketika aku diam-diam meliriknya.
“Gita, Git,” panggilku seraya aktif mencari. Namun, sekian lama berusaha aku tak kunjung menemukan batang hidungnya. Kamar ini hanya terdiri dari tiga bagian yakni kamar tidur, walk in closet dan kamar mandi. Tidak mungkin kan bila Gita bersembunyi di plafon, di bawah ranjang atau di dalam lemari pakaian. Fix … El membohongiku.
Aku mematung bak maneken ketika sinyal bahayaku berkedip samar lalu muncul firasat bahwa aku telah terjebak di dalam perangkap singa. Terbukti, akses keluar masuk kamar ini telah tertutup rapat, sedangkan pelaku utama pemblokiran itu berjalan menghampiriku. Tatapannya lapar bagai predator yang berpapasan dengan mangsanya. Ya … tatapan itu kembali lagi.
Bab 4 – Elmond Blueray Aku senang bahwa Dewi Fortuna berangsur-angsur menyuplai keberuntungan padaku. Aku baru saja berniat pergi mencari Selena, tak disangka dia malah datang kepadaku dan hebatnya lagi dia hanya mengenakan bathrobe yang semakin mendongkrak intensitas pesonanya. Benar kata Gita, dia bukanlah Natty yang suka ingkar janji. “Gita tidak ada di manapun,” cicitnya sambil menatapku ketakutan. Reaksi manis yang semakin membuat kerinduanku membuncah. Dia pasti berpikir aku memperdayanya padahal aku hanya berusaha mendukung alibi yang susah payah dia bangun demi kembali kemari. Andai dia tahu bahwa dia tidak perlu repot menggunakan Gita sebagai alasan untuk datang kepadaku. Entah kenapa, meski aku sangat merindukan Natty-ku yang nakal dan serba agresif di ranjang, tapijenis wanita penakut yang satu ini malah membangkitkan rasa penasaranku. “Oh ya?” pungkasku pura-pura terkejut. “Maaf, alkohol membuat
Bab 5 – Selena Lyra Tuhan ... aku harus bagaimana sekarang? Betapa kurang ajarnya El yang terus menerus menempelkan tubuhnya padaku. Dia tidak peduli bila aku terang-terangan menolaknya. Tidak, dia tidak boleh dibiarkan mengambil kendali atasku. "Aaaarrrghhh!" pekiknya setelah aku mendengkul pangkal pahanya. Masa bodoh bila dia cedera yang penting aku bisa lepas dulu dari dekapanya. "Apa kamu penganut sadisme?" tuduhnya berapi-api. Kedua tangannya memegangi pangkal paha dan rautnya jelas menahan derita. "Kamu sendiri ... kenapa terus menerus melecehkanku? Kamu pikir karena kamu sepupu Gita lantas kamu bebas menggerayangiku begitu?" serangku balik. Dia harus tahu, di mana bumi dipijak, di situ langit dijujung. "Aku ... melecehkanmu?" Dia mengulang dakwaanku sambil menunjuk dadanya jelas tidak merasa demikian. "Kamu sudah tahu kan tujuan pesta ini diadakan?" "Yaaa ... karena aku tahu mangkanya aku bisa bicara seperti
Bab 6 – Elmond Blueray Aku terpingkal-pingkal dalam hati ketika Selena lintang pukang mengejarku. Aku sengaja berjalan santai, tapi jangkauan kaki jenjangku memang bukan tandingannya. Sehingga di pertengahan, aku berhenti di tempat, pura-pura mengecek layar ponsel. “Elmond aku mohon dengarkan aku?” sergahnya terengah-engah seraya menarik bagian belakang tuxedoku. “Memangnya dari tadi aku tidak mendengarkanmu?” timpalku enteng. Dia tertegun sesaat kemudian menggeleng heboh. “Bukan, maksudku … bisakah kamu mengganti permintaanmu? Mungkin ada barang mewah yang ingin kamu beli?” Jadi dia berencana menyuapku dengan barang mewah untuk mengganti permintaanku bermain bersamanya di ranjang. Sungguh penolakan yang teramat keji. Mau tak mau, aku harus percaya bahwa dia sudah menikah sekaligus tipe istri yang setia. Sial, aku jadi semakin ingin memilikinya. Bila aku tidak ditakdirkan untuk bersama Natty, kenapa semesta mempermaink
Bab 7 – Selena Lyra El begitu tenang membaca bersamaku. Dia bahkan, tidak menyadari aku memperhatikan bulu mata lentiknya bergetar setiap kali pupil birunya bergeser konstan. Tak perlu waktu lama bagiku menetapkan El sebagai bibliophagist yang anti melewatkan apapun. Dia membaca kata perkata, dan meresapi setiap situasi yang diciptakan oleh narasi dan dialog. Dia bahkan, sempat memukul punggung tanganku tatkala aku mendahuluinya membalik halaman. Lalu kami sampai pada bagian di mana sang tokoh utama wanita, bercinta dengan tokoh utama laki-laki dalam kondisi setengah mabuk. Karena aku yakin, bila mereka mabuk berat, mereka akan kesulitan menyelesaikan permainan hingga mencapai klimaks. Aku melepas fokusku, dan menggeser buku sepenuhnya ke arah El. Aku membiarkannya menguasai buku itu. Dia sempat menoleh kaget padaku, tapi secepat kilat kembali fokus ke buku. Akhirnya, ada juga hal di dunia ini yang mampu mengalihkan perhatiannya dariku. Dan t
Bab 8 ~ Elmond Blueray Dia bisa saja berbohong padaku, misalnya dengan mengatakan, aku bahagia dengan pernikahanku, lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Namun, Selena membisu, kepalanya yang menoleh ke samping, perlahan berbalik ke depan lalu menduduk. Sontak, hatiku pun bersyukur, meski dia tidak menjawab, reaksinya atas pertanyaanku, membangkitkan asaku. Aku beringsut di ceruk lehernya, menikmati keharuman jasmine di surai serta kulitnya. Selena mematung, dan pada detik ini, aku penasaran terhadap apa yang tengah dia rasakan. Terutama mengenai sentuhan, apakah dia menyukai caraku menyentuhnya? “El, aku wanita yang sudah bersuami," lirihnya melarangku mengeksplorasinya. Dia menggeliat bangkit, tapi aku menahannya. “Aku mohon, tinggalkan dia Selena! Aku lebih tahu cara membahagiakanmu,” bujukku. Aku tidak bisa menahan air mataku untuk tidak merebak, aku benar-benar tidak ingin kehilangan yang satu ini.
Bab 9 - Selena LyraMenyeramkan rasanya melihat sisi lain El yang menyerupai macan kelaparan. Akan tetapi, aku tidak kuasa melawan bahkan, untuk sekadar berteriak meminta tolong. El memonopoli seluruh kinerja tubuhku, jiwaku. Terlebih peringatannya barusan, membuatku mengingat hal-hal mengerikan yang sebelum ini sudah kusaksikan di banyak media informasi. Tentang robeknya lubang senggama seorang gadis korban pemerkosaan yang otomatis membuatku menangis ngeri, tentang pembunuhan setelah persetubuhan brutal, sungguh, diam adalah gagasan terbaik bagiku saat ini.El mendaratkan kecupan di keningku, intens dan lama. Aku bisa merasakan kehangatan menjalar dari titik itu ke seluruh tubuh dan berangsur-angsur mengalihkan rasa perih pada area intimku."Aku akan mulai bergerak!" pamitnya sebelum meninggalkan keningku.Pinggul El bergerak mundur secara lambat, menarik tubuhku ikut bersamanya. Tanpa bisa kutahan, rint
Bab 10 - Elmond Blueray Aku duduk belunjur di karpet sambil menyandarkan punggung di tepi sofa. Material sofa yang terbuat dari oscar mengkilap serta tanpa pori-pori, membuat permukaan kulit punggungku lengket sekaligus menggigil. Beberapa kali aku mencoba membetulkan posisi duduk, berharap usahaku dapat mengurangi rasa tak nyaman pada punggungku, tapi percuma. Semoga saja, aktifitas bercinta yang kulakukan secara spontanitas dengan Selena tidak berdampak buruk bagi persendianku. Mengingat aku baru dua minggu berjalan tanpa bantuan tongkat. Sensasi nyeri masih kerap menyergap kedua tungkaiku yang sempat lumpuh selama dua tahun terakhir. Khususnya bila aku terlalu aktif bergerak. Lucu rasanya bila mengenang masa-masa tersulit dalam hidupku di mana aku menghabiskan energi dan waktu untuk menangisi Natty. Sebenarnya sekarang pun masih, tapi tidak sehisteris dan seintens dulu. Hanya bila aku berada dalam mode kesepian
Bab 11 - Selena Lyra Aku selalu terheran-heran setiap melihat film atau drama yang mengusung adegan pemerkosaan. Sebagai penonton sekaligus kaum feminis, aku selalu bisa menemukan celah perlawanan dalam adegan-adegan itu. Entah dengan cara menendang telak buah zakar, memecahkan vas bunga ke kepala si pria, atau menggigit batang leher. Namun, di beberapa tayangan, kebanyakan perempuan selalu terpojok tanpa bisa melawan atau bahkan, pernah mencoba melawan. Si wanita hanya bisa menangis, mendorong si pria sekadarnya atau berteriak histeris sampai kehabisan tenaga. Apabila dia meragukan kekuatannya sendiri, dia bisa saja bersembunyi ke sisi ruangan lainnya, apapun asal dapat mengulur waktu hingga tiba datangnya kesempatan membebaskan diri dari situasi laknat itu. Akan tetapi, ketika sekarang aku mengalami situasi nahas itu. Aku tidak berkutik alias mati kutu sebab, pada satu momen, aku langsung diterjang oleh dua musuh, yakni has