Ramdan hendak mendekati Gwen, tetapi suara klakson segera menyadarkannya bahwa ada seseorang yang menunggu di dalam mobil. Dia segera membuka pintu dan menatap Elea sebelum berkata."Tunggu sebentar. Aku harus menolong seseorang."Ramdan kembali menutup pintu sebelum mendekat dan menyeruak kerumunan. Melihat Gwen tergeletak dengan kaki dan kepala berdarah, Ramdan segera berjongkok."Tolong bantu saya bawa dia ke mobil."Seorang pria berbaju hijau mengangguk sebelum membantu Ramdan membopong Gwen menuju mobil. Setelah mengucapkan terima kasih, Ramdan bergegas melajukan mobil menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, kabin mobil hanya diisi dengan hening. Elea sesekali melirik Ramdan yang fokus menatap jalanan dengan wajah mengeras. Ada banyak pertanyaan yang bercokol di tempurung kepalanya, tetapi tak berani mengatakannya karena takut Ramdan akan marah.Sesampainya di rumah sakit, Ramdan memanggil petugas medis agar membawa Gwen ke ruang UGD. Usai mendengar penjelasan dari dokter, dia
Keesokan harinya, Ramdan terjaga lebih dulu. Dia tersenyum tipis sebelum mengecup kening istrinya. Lalu, beringsut turun dari ranjang dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya, dia keluar dan terkejut melihat istrinya sudah tidak ada di ranjang. Usai memakai baju, dia keluar kamar dan melihat Elea menangis sambil memeluk Alina. Ramdan bergegas mendekat dan mengambil pelukan Elea sambil menatap ibunya."Mau berangkat sekarang, Ma?""Ya, penerbangannya masih dua jam lagi. Tapi, kamu tahu sendiri jalanan seperti apa di jam sibuk seperti ini.""Jangan pergi, Ma. Elea masih mau tidur sambil dengar cerita Mama."Alina mengusap lembut pipi Elea sambil tersenyum tipis. "Mama pasti akan pulang setelah semua urusan di sana selesai, Sayang. Semua tugas Mama biar diambil alih Akhtar, ya?""Tapi Ramdan terlalu sibuk dengan kerjaannya.""Itu tidak akan terjadi sekarang. Mama janji Akhtar pasti akan berubah memprioritaskan kamu, Sayang. Bukan begitu, Akhtar?"Alina menatap taja
Ramdan berlari menyusuri lorong rumah sakit sampai di depan ruang perawatan Gwen. Dia mengatur napas sejenak sebelum membuka pintu. Namun, ruangan itu kosong dan rapi seperti tidak pernah ditinggali sebelumnya. Ramdan masuk dan menuju kamar mandi, tetapi wanita itu tak ada di sana. Dia mendesah frustasi dan menyugar rambut sebelum mengempaskan tubuh ke sofa."Ke mana dia?"Ramdan kembali bangkit dari sofa dan keluar ruangan. Dia mencari seseorang yang bisa dimintai keterangan. Di ujung lorong, dia bertemu dengan seorang tenaga medis dan segera menanyakan keberadaan Gwen."Pasien memaksa pulang, Pak. Dia sudah dijemput sama keluarganya tadi."Ramdan membeliak mendengar ucapan perawat di depannya. Usai mengucapkan terima kasih, dia kembali ke mobil dan melajukannya tanpa tujuan. Usai berputar selama setengah jam, dia berhenti sejenak dan mulai menghubungi Gwen. Namun, panggilannya diabaikan. Dia menggeram kesal sebelum kembali mencoba menghubungi. Kali ini panggilannya terjawab."Gwen,
"Apa maksud ka--"Telepon langsung terputus. Ramdan mencoba menghubungi nomor tadi, tetapi sudah tidak aktif lagi. Dia mendesah frustasi sebelum kembali merebah di samping Elea. Dia berusaha abai dengan ucapan sang penelepon sebelum memejamkan mata.Keesokan harinya, Elea terjaga lebih dulu. Saat melihat suaminya masih terpejam, dia mencium pipinya. "Bangun, Ramdan. Cepetan siap-siap sebelum terlambat ke bandaranya."Ramdan perlahan membuka mata sebelum balik mencium pipi sang istri dan beringsut turun dari ranjang menuju kamar mandi. Usai mandi, dia bergegas berpakaian dan keluar kamar sambil menggandeng Elea. Lalu, menerima koper yang disodorkan Edrik sebelum memeluk erat istrinya."Aku akan secepatnya pulang, Elea. Aku akan kasih kabar kalau sudah sampai sana.""Ya, aku tahu. Aku juga akan kasih kabar kalau ada apa-apa."Ramdan melerai pelukan sebelum mengecup sekilas bibir istrinya. Setelahnya, dia berlalu ke mobil dan melajukannya meninggalkan rumah. Setibanya di tempat parkir ba
Ramdan terjaga setelah merasakan sinar matahari menyentuh kulitnya. Dia beringsut duduk, tetapi nyeri yang membebat kepala membuatnya kembali merebah. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum memejamkan mata sejenak, menggali ingatan tentang kejadian semalam. Namun, hanya sakit yang membebat kepalanya. Dia kembali membuka mata, menyesuaikan cahaya yang masuk ke mata. Dia mengedarkan pandangan dan mengernyit heran, karena ruangan itu bukanlah kamarnya.Mendadak ranjang di sebelahnya bergoyang. Ramdan menoleh dan terkejut melihat Gwen terlelap. Perlahan, perasaan Ramdan berkecamuk hebat. Instingnya berkata ada yang tidak beres dengan dirinya. Dia mencoba duduk, tetapi tangan wanita itu dengan kurang ajarnya meraba dadanya. Dia menoleh dan melihat Gwen membuka mata sambil tersenyum."Pagi, Pak.""Lepaskan tanganmu, Gwen! Apa yang sudah kamu lakukan!"Gwen beringsut duduk sambil mendekap erat selimut untuk menutupi dadanya. Dia tersenyum dan masih berusaha untuk meny
Ramdan mengulas senyum saat mendengar penjelasan dokter mengenai kondisi calon buah hatinya. Elea juga melakukan hal yang sama sambil menggenggam erat jemari suaminya. Mereka bersitatap sejenak sebelum kembali mengulas senyum dan menatap sang dokter kandungan."Trimester kedua ini bisa dibilang level antara aman dan tidak. Jadi, tetap harus berhati-hati, ya, Bu.""Iya, Dok." Elea bergeming sejenak sambil melirik suaminya. Setelahnya, dia mencondongkan tubuh ke depan dan berbicara lirih kepada sang dokter. "Dok, kalau misalkan begituan sudah pasti aman, kan, ya?"Dokter di depan Elea mengernyit heran sebelum terkekeh dan mengangguk lemah. "Aman, Bu. Tapi tetap harus kontrol diri. Jangan terlalu kencang juga, bisa berbahaya nantinya."Melihat lirikan sang dokter yang diarahkan kepadanya, Ramdan mendesah lirih sebelum membuang pandangan ke sembarang arah. Setelahnya, dia mengucapkan terima kasih dan bergegas menggandeng Elea meninggalkan ruangan. Sepanjang lorong rumah sakit, Ramdan bung
"Mau apa kamu telepon? Katakan cepat atau aku tutup teleponnya!""Bisa kita ketemu, Pak.""Buat apa lagi? Belum cukupkah apa yang telah kamu lakukan ke saya kemarin, Gwen!""Saya mau minta bayaran, Pak. Masa Bapak sudah pakai saya, tapi tidak dibayar malah langsung pergi gitu aja. Enak di Bapak, rugi di saya.""Sialan! Terus berapa yang kamu minta?""Enggak banyak, cukup dua ratus juta. Kecil, kan, bagi Bapak?""Sialan! Kamu memerasku, Gwen!""Anggap saja begitu. Besok saya ambil di kantor, ya, Pak. Terima kasih banyak."Telepon terputus. Ramdan menggeram kesal sebelum membuang semua buku dan berkas yang ada di meja. "Sialan! Beraninya wanita jalang itu memerasku!"Ramdan kembali membuka layar ponsel dan menghubungi seseorang. Setelah panggilan diangkat, dia langsung memberikan perintah."Bawa wanita yang bernama Gwen Karisma ke hadapanku secepatnya!"Ramdan menutup telepon dan memukul meja, meluapkan kekesalan setelah merasa dipermainkan. Dia menggeram kesal sebelum mengatur napas ka
"Ada sedikit urusan kantor yang harus aku selesaikan malam ini juga, Elea. Kembalilah tidur!"Ramdan bergegas membuka pintu dan keluar. Lalu, berjalan tergesa menuju halaman belakang, tempat di mana ruang rahasianya berada. Ketika sampai di depan pintu, dia menatap dua penjaga di depannya."Silakan, Bos. Dia ada di dalam, masih utuh dan tidak kurang suatu apa pun."Ramdan mengangguk sekilas sebelum masuk. Di tengah ruangan dengan penerangan yang minim, dia bisa melihat sosok Gwen yang duduk di kursi dengan wajah menunduk. Kedua tangan dan kaki wanita itu diikat pada kayu sementara mulutnya dilakban.Ramdan makin mendekat, kemudian mencengkeram erat dagu Gwen dan memaksanya untuk mendongak. Dia menyeringai sebelum menampar pipi wanita itu. Perlahan, Gwen membuka mata dan terkesiap melihat Ramdan sudah berudir di depannya dengan wajah penuh amarah. Wanita itu menggeleng dan berusaha untuk berbicara, tetapi suaranya tak keluar.Ramdan tergelak sebelum melepas paksa lakban yang menutup mu