Elea menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Setelah lima kali melakukan, keram yang tadi menyapa, perlahan menghilang. Setelahnya, dia bangkit dari duduk dan hendak ke dalam, tetapi langkahnya terhenti saat melihat Ramdan mendadak sudah berdiri di hadapannya. Dia membuang pandangan sebelum melewati Ramdan. Merasa sikap Elea tak seperti biasanya, Ramdan mengernyit heran sebelum mencekal pergelangan tangannya."Ada sesuatu yang aku lewatkan, Elea?"Elea bungkam dan berusaha melepaskan tangan suaminya. Namun, Ramdan malah makin menguatkan cekalannya. "Ada apa denganmu, Elea? Apa kamu marah karena aku belum membuatkanmu sarapan?"Elea masih bungkam, sehingga membuat Ramdan mendesah lirih sebelum memegang kedua lengannya. "Bilang, Elea. Kamu kenapa? Kenapa kamu cuma diam?"Elea yang awalnya enggan menatap Ramdan, perlahan melayangkan tatapan tajam. Embun yang menggantung di mata perlahan luruh membasahi pipinya. Ramdan terkejut dan berusaha untuk menghapus bulir bening itu, te
Ramdan menghela napas panjang sejenak sebelum menghubungi Gwen. Sayangnya, sampai panggilan ketiga kalinya, wanita itu belum juga mengangkatnya."Kamu ke mana, Gwen! Aaargh!" seru Ramdan sambil memukul kemudi.Setelahnya, Ramdan memutar balik mobilnya menuju rumah. Dia menekan pedal gas kuat agar segera sampai di rumah. Setibanya di sana, dia bergeming sejenak sebelum turun dari mobil. Dengan langkah berat, dia memasuki rumah dan terus berjalan sampai ke kamar yang ditempati Gwen. Namun, berapa kali dia mengetuk pintu, tak ada yang membukakannya. Dia menghela napas panjang sebelum berbalik masuk rumah.Ramdan samar mendengar seseorang sedang bicara. Dia menajamkan pendengaran dan mengayunkan langkah mendekati suara yang berasal dari kamar. Perlahan, dia membuka pintu dan melihat Elea sedang mengobrol dengan Gwen di lantai. Dia mengikis jarak dan berdiri tepat di samping kedua wanita itu.Elea dan Gwen kompak menoleh dan tersenyum. Namun, melihat raut wajah penuh kesedihan yang dipanca
Elea sampai di kafe tepat setelah dua puluh lima menit berkendara. Dia bergegas turun dan melenggang masuk. Lalu, mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan Dina. Saat melihat seorang wanita keluar dari ruang VVIP, dia mendekat dan menerobos masuk. Melihat ibunya sedang duduk sambil tertawa dengan teman-temannya, Elea mendekat dan langsung menarik tangannya."Elea mau ngomong sama Mama."Dina menurut sambil tersenyum kepada teman-temannya. Setibanya di depan toilet, wanita paruh baya itu menepis kasar tangan Elea."Bisa enggak kamu bersikap sopan sama Mama, hah!""Bukankah Mama tak pernah mengajarkan itu sebelumnya ke Elea? Lalu, kenapa sekarang mempermasalahkannya?""Jaga bicara kamu, Elea! Mau apa kamu sebenarnya ke sini, hah!""Katakan di mana Dandi, Ma.""Mana Mama tahu. Dia sudah lama menghilang karena ulah si sopir sialan itu!""Ma, stop sebut Ramdan seperti itu. Dia ....""Apa? Mama sama Papa tak pernah menganggapnya menantu meskipun tahu sebenarnya dia siapa." Dina melangk
Seminggu usai dirawat, Elea diperkenankan pulang. Meskipun dia sudah pulih, Ramdan tetap memperlakukannya dengan lembut. Pria itu bahkan lebih protektif dan cerewet daripada sebelumnya. Semua demi kebaikan Elea, begitu jawab Ramdan setiap kali ditanya kenapa. Elea hanya bisa menurut sambil tersenyum tipis. Setibanya di rumah setelah datang dari rumah sakit, Elea merebah di ranjang. Dia mengambil buku dan mulai membacanya sambil bersandar di kepala ranjang. Dia melihat nakas dan merasa ada yang janggal. Saat melihat ponselnya tak ada, dia kembali turun dari ranjang dan keluar kamar untuk mencari suaminya. Ketika tak menemukan sosok itu, Elea bertanya kepada Edrik saat melihatnya."Ramdan ke mana, Ed? Aku tidak menemukannya di mana pun.""Tuan Muda pergi lagi, Nyonya. Tapi, tidak memberitahu ke mana."Elea mengangguk sekilas sebelum beranjak ke kamar. Dia kembali duduk di ranjang dan mengambil buku untuk dibaca. Meskipun matanya menatap buku, tetapi pikirannya menerawang jauh.Sementar
Ramdan terus melajukan mobil menuju suatu tempat yang terletak di tepi kota. Setibanya di depan sebuah bangunan yang didominasi dengan tembok putih, Ramdan turun dari mobil. Dia melangkah masuk dan menyusuri lorong panjang sampai tiba di depan sebuah ruang perawatan. Dia bergeming dan menatap ke dalam melalui kaca yang ada di pintu."Dia sudah kami beri obat penenang setelah mengamuk dan melukai dirinya sendiri."Ramdan menoleh sekilas sebelum kembali menatap kaca. "Apa boleh aku melihatnya?""Silakan, Pak. Tapi, sebaiknya jangan lama-lama karena polisi sebenarnya belum memperbolehkan dia bertemu dengan siapa pun."Ramdan mengangguk sekilas sebelum perlahan mendorong pintu. Dia melangkah masuk dan berdiri di kaki ranjang, kemudian menatap seorang wanita yang terlihat penuh luka lebam di wajah dan sekujur tubuhnya. Wajah yang dulu cantik, kini berubah menyedihkan karena ulah seseorang.Ramdan menggeram kesal sambil mengepalkan tangan dan mengetatkan rahang. Napasnya memburu karena mena
Elea membekap mulut dalam pelukan Ramdan, tak percaya dengan apa yang terjadi di depannya. Matanya sudah basah oleh air mata yang menetes sejak tadi. Sementara, Ramdan mengusap lengan sang istri sambil tersenyum tipis. Setelah melihat dokter keluarga selesai memeriksa Aleta, pria itu segera bertanya."Bagaimana, Dok?""Akhirnya keajaiban itu datang juga. Aleta sudah sadar."Ramdan tersenyum lebar dengan mata mengembun, sedangkan Elea menangis makin kencang mendengar ucapan sang dokter. Mereka tak menyangka setelah hampir empat tahun lamanya, gadis itu bangun juga. Elea tak mampu menyembunyikan perasaan bahagianya. Dia memeluk erat Ramdan dan terguguk dalam dada bidangnya. Ada perasaan lega karena melihat adik iparnya itu bisa sadarkan diri setelah hampir putus asa karena semua usaha yang dilakukan belum membuahkan hasil.Usai tangisannya reda, Elea menghapus air mata dan mendongak untuk menatap suaminya. Dia mengusap lembut pipi Ramdan dan berkata."Doa kita terkabul, Ramdan. Aleta su
Ramdan bergeming di depan tubuh seseorang yang tertutup kain hingga ke kepala. Dia menghela napas berat sebelum mendekat dan menurunkan kain penutup sampai ke leher. Sejenak, dia memejamkan mata untuk berdoa sebelum kembali menatap wajah pucat di depannya."Maafkan aku, Gwen. Harusnya aku lebih cepat bertindak, jadi kamu tidak akan berakhir begini."Ramdan kembali menutupkan kain sampai ke kepala sebelum beranjak pergi meninggalkan ruang jenazah. Dia kembali menghela napas panjang ketika sampai di depan seorang pria yang bertubuh tegap dan memakai jas hitam."Aku pergi dulu, tolong urus pemakamannya. Kalau bisa kuburkan dia di dekat makam ibunya.""Siap, Bos."Ramdan membawa langkah beratnya menuju mobil. Dia mengempaskan tubuhnya di balik kemudi sebelum mengantuk-antukkan kepala ke sandaran kursi. Dia memejamkan mata sejenak sambil memijat pelan pangkal hidungnya karena nyeri yang perlahan membebat kepala. Dia membuka mata dan bergeming sejenak sambil menatap hampa ke depan. Satu hel
Satu jam menjelang fajar, Ramdan perlahan membuka mata. Dia mengedarkan pandangan sebelum menatap Elea yang tertidur di samping sambil memeluknya erat. Dia mengulas senyum tipis dan hendak bangun, tetapi kepala yang berdenyut nyeri membuatnya pasrah kembali berbaring.Merasa sang suami bergerak, Elea membuka mata. Dia mendongak dan tersenyum melihat Ramdan sudah terjaga. Dia beringsut duduk dan menempelkan punggung tangannya ke dahi Ramdan."Masih demam. Kamu istirahat aja, biar aku buatkan makan dulu."Ramdan hanya bisa berkedip pelan tanpa bisa mengucapkan kata. Dia menatap sang istri yang perlahan turun dari ranjang dan keluar kamar. Dia mencoba mengingat kejadian kemarin sambil memejamkan mata. Sekejap mata bayangan tentang serentetan kemarin kembali berputar di kepala. Dia menghela napas panjang sebelum memijat pelan pangkal hidungnya.Ramdan berusaha meraih ponsel yang ada di nakas sebelum berusaha menghubungi sekretarisnya. Namun, belum sempat panggilannya dijawab, dia menoleh