Ramdan berlari menyusuri lorong rumah sakit sampai di depan ruang perawatan Gwen. Dia mengatur napas sejenak sebelum membuka pintu. Namun, ruangan itu kosong dan rapi seperti tidak pernah ditinggali sebelumnya. Ramdan masuk dan menuju kamar mandi, tetapi wanita itu tak ada di sana. Dia mendesah frustasi dan menyugar rambut sebelum mengempaskan tubuh ke sofa."Ke mana dia?"Ramdan kembali bangkit dari sofa dan keluar ruangan. Dia mencari seseorang yang bisa dimintai keterangan. Di ujung lorong, dia bertemu dengan seorang tenaga medis dan segera menanyakan keberadaan Gwen."Pasien memaksa pulang, Pak. Dia sudah dijemput sama keluarganya tadi."Ramdan membeliak mendengar ucapan perawat di depannya. Usai mengucapkan terima kasih, dia kembali ke mobil dan melajukannya tanpa tujuan. Usai berputar selama setengah jam, dia berhenti sejenak dan mulai menghubungi Gwen. Namun, panggilannya diabaikan. Dia menggeram kesal sebelum kembali mencoba menghubungi. Kali ini panggilannya terjawab."Gwen,
"Apa maksud ka--"Telepon langsung terputus. Ramdan mencoba menghubungi nomor tadi, tetapi sudah tidak aktif lagi. Dia mendesah frustasi sebelum kembali merebah di samping Elea. Dia berusaha abai dengan ucapan sang penelepon sebelum memejamkan mata.Keesokan harinya, Elea terjaga lebih dulu. Saat melihat suaminya masih terpejam, dia mencium pipinya. "Bangun, Ramdan. Cepetan siap-siap sebelum terlambat ke bandaranya."Ramdan perlahan membuka mata sebelum balik mencium pipi sang istri dan beringsut turun dari ranjang menuju kamar mandi. Usai mandi, dia bergegas berpakaian dan keluar kamar sambil menggandeng Elea. Lalu, menerima koper yang disodorkan Edrik sebelum memeluk erat istrinya."Aku akan secepatnya pulang, Elea. Aku akan kasih kabar kalau sudah sampai sana.""Ya, aku tahu. Aku juga akan kasih kabar kalau ada apa-apa."Ramdan melerai pelukan sebelum mengecup sekilas bibir istrinya. Setelahnya, dia berlalu ke mobil dan melajukannya meninggalkan rumah. Setibanya di tempat parkir ba
Ramdan terjaga setelah merasakan sinar matahari menyentuh kulitnya. Dia beringsut duduk, tetapi nyeri yang membebat kepala membuatnya kembali merebah. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum memejamkan mata sejenak, menggali ingatan tentang kejadian semalam. Namun, hanya sakit yang membebat kepalanya. Dia kembali membuka mata, menyesuaikan cahaya yang masuk ke mata. Dia mengedarkan pandangan dan mengernyit heran, karena ruangan itu bukanlah kamarnya.Mendadak ranjang di sebelahnya bergoyang. Ramdan menoleh dan terkejut melihat Gwen terlelap. Perlahan, perasaan Ramdan berkecamuk hebat. Instingnya berkata ada yang tidak beres dengan dirinya. Dia mencoba duduk, tetapi tangan wanita itu dengan kurang ajarnya meraba dadanya. Dia menoleh dan melihat Gwen membuka mata sambil tersenyum."Pagi, Pak.""Lepaskan tanganmu, Gwen! Apa yang sudah kamu lakukan!"Gwen beringsut duduk sambil mendekap erat selimut untuk menutupi dadanya. Dia tersenyum dan masih berusaha untuk meny
Ramdan mengulas senyum saat mendengar penjelasan dokter mengenai kondisi calon buah hatinya. Elea juga melakukan hal yang sama sambil menggenggam erat jemari suaminya. Mereka bersitatap sejenak sebelum kembali mengulas senyum dan menatap sang dokter kandungan."Trimester kedua ini bisa dibilang level antara aman dan tidak. Jadi, tetap harus berhati-hati, ya, Bu.""Iya, Dok." Elea bergeming sejenak sambil melirik suaminya. Setelahnya, dia mencondongkan tubuh ke depan dan berbicara lirih kepada sang dokter. "Dok, kalau misalkan begituan sudah pasti aman, kan, ya?"Dokter di depan Elea mengernyit heran sebelum terkekeh dan mengangguk lemah. "Aman, Bu. Tapi tetap harus kontrol diri. Jangan terlalu kencang juga, bisa berbahaya nantinya."Melihat lirikan sang dokter yang diarahkan kepadanya, Ramdan mendesah lirih sebelum membuang pandangan ke sembarang arah. Setelahnya, dia mengucapkan terima kasih dan bergegas menggandeng Elea meninggalkan ruangan. Sepanjang lorong rumah sakit, Ramdan bung
"Mau apa kamu telepon? Katakan cepat atau aku tutup teleponnya!""Bisa kita ketemu, Pak.""Buat apa lagi? Belum cukupkah apa yang telah kamu lakukan ke saya kemarin, Gwen!""Saya mau minta bayaran, Pak. Masa Bapak sudah pakai saya, tapi tidak dibayar malah langsung pergi gitu aja. Enak di Bapak, rugi di saya.""Sialan! Terus berapa yang kamu minta?""Enggak banyak, cukup dua ratus juta. Kecil, kan, bagi Bapak?""Sialan! Kamu memerasku, Gwen!""Anggap saja begitu. Besok saya ambil di kantor, ya, Pak. Terima kasih banyak."Telepon terputus. Ramdan menggeram kesal sebelum membuang semua buku dan berkas yang ada di meja. "Sialan! Beraninya wanita jalang itu memerasku!"Ramdan kembali membuka layar ponsel dan menghubungi seseorang. Setelah panggilan diangkat, dia langsung memberikan perintah."Bawa wanita yang bernama Gwen Karisma ke hadapanku secepatnya!"Ramdan menutup telepon dan memukul meja, meluapkan kekesalan setelah merasa dipermainkan. Dia menggeram kesal sebelum mengatur napas ka
"Ada sedikit urusan kantor yang harus aku selesaikan malam ini juga, Elea. Kembalilah tidur!"Ramdan bergegas membuka pintu dan keluar. Lalu, berjalan tergesa menuju halaman belakang, tempat di mana ruang rahasianya berada. Ketika sampai di depan pintu, dia menatap dua penjaga di depannya."Silakan, Bos. Dia ada di dalam, masih utuh dan tidak kurang suatu apa pun."Ramdan mengangguk sekilas sebelum masuk. Di tengah ruangan dengan penerangan yang minim, dia bisa melihat sosok Gwen yang duduk di kursi dengan wajah menunduk. Kedua tangan dan kaki wanita itu diikat pada kayu sementara mulutnya dilakban.Ramdan makin mendekat, kemudian mencengkeram erat dagu Gwen dan memaksanya untuk mendongak. Dia menyeringai sebelum menampar pipi wanita itu. Perlahan, Gwen membuka mata dan terkesiap melihat Ramdan sudah berudir di depannya dengan wajah penuh amarah. Wanita itu menggeleng dan berusaha untuk berbicara, tetapi suaranya tak keluar.Ramdan tergelak sebelum melepas paksa lakban yang menutup mu
Elea menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Setelah lima kali melakukan, keram yang tadi menyapa, perlahan menghilang. Setelahnya, dia bangkit dari duduk dan hendak ke dalam, tetapi langkahnya terhenti saat melihat Ramdan mendadak sudah berdiri di hadapannya. Dia membuang pandangan sebelum melewati Ramdan. Merasa sikap Elea tak seperti biasanya, Ramdan mengernyit heran sebelum mencekal pergelangan tangannya."Ada sesuatu yang aku lewatkan, Elea?"Elea bungkam dan berusaha melepaskan tangan suaminya. Namun, Ramdan malah makin menguatkan cekalannya. "Ada apa denganmu, Elea? Apa kamu marah karena aku belum membuatkanmu sarapan?"Elea masih bungkam, sehingga membuat Ramdan mendesah lirih sebelum memegang kedua lengannya. "Bilang, Elea. Kamu kenapa? Kenapa kamu cuma diam?"Elea yang awalnya enggan menatap Ramdan, perlahan melayangkan tatapan tajam. Embun yang menggantung di mata perlahan luruh membasahi pipinya. Ramdan terkejut dan berusaha untuk menghapus bulir bening itu, te
Ramdan menghela napas panjang sejenak sebelum menghubungi Gwen. Sayangnya, sampai panggilan ketiga kalinya, wanita itu belum juga mengangkatnya."Kamu ke mana, Gwen! Aaargh!" seru Ramdan sambil memukul kemudi.Setelahnya, Ramdan memutar balik mobilnya menuju rumah. Dia menekan pedal gas kuat agar segera sampai di rumah. Setibanya di sana, dia bergeming sejenak sebelum turun dari mobil. Dengan langkah berat, dia memasuki rumah dan terus berjalan sampai ke kamar yang ditempati Gwen. Namun, berapa kali dia mengetuk pintu, tak ada yang membukakannya. Dia menghela napas panjang sebelum berbalik masuk rumah.Ramdan samar mendengar seseorang sedang bicara. Dia menajamkan pendengaran dan mengayunkan langkah mendekati suara yang berasal dari kamar. Perlahan, dia membuka pintu dan melihat Elea sedang mengobrol dengan Gwen di lantai. Dia mengikis jarak dan berdiri tepat di samping kedua wanita itu.Elea dan Gwen kompak menoleh dan tersenyum. Namun, melihat raut wajah penuh kesedihan yang dipanca