"Mau apa kamu telepon? Katakan cepat atau aku tutup teleponnya!""Bisa kita ketemu, Pak.""Buat apa lagi? Belum cukupkah apa yang telah kamu lakukan ke saya kemarin, Gwen!""Saya mau minta bayaran, Pak. Masa Bapak sudah pakai saya, tapi tidak dibayar malah langsung pergi gitu aja. Enak di Bapak, rugi di saya.""Sialan! Terus berapa yang kamu minta?""Enggak banyak, cukup dua ratus juta. Kecil, kan, bagi Bapak?""Sialan! Kamu memerasku, Gwen!""Anggap saja begitu. Besok saya ambil di kantor, ya, Pak. Terima kasih banyak."Telepon terputus. Ramdan menggeram kesal sebelum membuang semua buku dan berkas yang ada di meja. "Sialan! Beraninya wanita jalang itu memerasku!"Ramdan kembali membuka layar ponsel dan menghubungi seseorang. Setelah panggilan diangkat, dia langsung memberikan perintah."Bawa wanita yang bernama Gwen Karisma ke hadapanku secepatnya!"Ramdan menutup telepon dan memukul meja, meluapkan kekesalan setelah merasa dipermainkan. Dia menggeram kesal sebelum mengatur napas ka
"Ada sedikit urusan kantor yang harus aku selesaikan malam ini juga, Elea. Kembalilah tidur!"Ramdan bergegas membuka pintu dan keluar. Lalu, berjalan tergesa menuju halaman belakang, tempat di mana ruang rahasianya berada. Ketika sampai di depan pintu, dia menatap dua penjaga di depannya."Silakan, Bos. Dia ada di dalam, masih utuh dan tidak kurang suatu apa pun."Ramdan mengangguk sekilas sebelum masuk. Di tengah ruangan dengan penerangan yang minim, dia bisa melihat sosok Gwen yang duduk di kursi dengan wajah menunduk. Kedua tangan dan kaki wanita itu diikat pada kayu sementara mulutnya dilakban.Ramdan makin mendekat, kemudian mencengkeram erat dagu Gwen dan memaksanya untuk mendongak. Dia menyeringai sebelum menampar pipi wanita itu. Perlahan, Gwen membuka mata dan terkesiap melihat Ramdan sudah berudir di depannya dengan wajah penuh amarah. Wanita itu menggeleng dan berusaha untuk berbicara, tetapi suaranya tak keluar.Ramdan tergelak sebelum melepas paksa lakban yang menutup mu
Elea menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Setelah lima kali melakukan, keram yang tadi menyapa, perlahan menghilang. Setelahnya, dia bangkit dari duduk dan hendak ke dalam, tetapi langkahnya terhenti saat melihat Ramdan mendadak sudah berdiri di hadapannya. Dia membuang pandangan sebelum melewati Ramdan. Merasa sikap Elea tak seperti biasanya, Ramdan mengernyit heran sebelum mencekal pergelangan tangannya."Ada sesuatu yang aku lewatkan, Elea?"Elea bungkam dan berusaha melepaskan tangan suaminya. Namun, Ramdan malah makin menguatkan cekalannya. "Ada apa denganmu, Elea? Apa kamu marah karena aku belum membuatkanmu sarapan?"Elea masih bungkam, sehingga membuat Ramdan mendesah lirih sebelum memegang kedua lengannya. "Bilang, Elea. Kamu kenapa? Kenapa kamu cuma diam?"Elea yang awalnya enggan menatap Ramdan, perlahan melayangkan tatapan tajam. Embun yang menggantung di mata perlahan luruh membasahi pipinya. Ramdan terkejut dan berusaha untuk menghapus bulir bening itu, te
Ramdan menghela napas panjang sejenak sebelum menghubungi Gwen. Sayangnya, sampai panggilan ketiga kalinya, wanita itu belum juga mengangkatnya."Kamu ke mana, Gwen! Aaargh!" seru Ramdan sambil memukul kemudi.Setelahnya, Ramdan memutar balik mobilnya menuju rumah. Dia menekan pedal gas kuat agar segera sampai di rumah. Setibanya di sana, dia bergeming sejenak sebelum turun dari mobil. Dengan langkah berat, dia memasuki rumah dan terus berjalan sampai ke kamar yang ditempati Gwen. Namun, berapa kali dia mengetuk pintu, tak ada yang membukakannya. Dia menghela napas panjang sebelum berbalik masuk rumah.Ramdan samar mendengar seseorang sedang bicara. Dia menajamkan pendengaran dan mengayunkan langkah mendekati suara yang berasal dari kamar. Perlahan, dia membuka pintu dan melihat Elea sedang mengobrol dengan Gwen di lantai. Dia mengikis jarak dan berdiri tepat di samping kedua wanita itu.Elea dan Gwen kompak menoleh dan tersenyum. Namun, melihat raut wajah penuh kesedihan yang dipanca
Elea sampai di kafe tepat setelah dua puluh lima menit berkendara. Dia bergegas turun dan melenggang masuk. Lalu, mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan Dina. Saat melihat seorang wanita keluar dari ruang VVIP, dia mendekat dan menerobos masuk. Melihat ibunya sedang duduk sambil tertawa dengan teman-temannya, Elea mendekat dan langsung menarik tangannya."Elea mau ngomong sama Mama."Dina menurut sambil tersenyum kepada teman-temannya. Setibanya di depan toilet, wanita paruh baya itu menepis kasar tangan Elea."Bisa enggak kamu bersikap sopan sama Mama, hah!""Bukankah Mama tak pernah mengajarkan itu sebelumnya ke Elea? Lalu, kenapa sekarang mempermasalahkannya?""Jaga bicara kamu, Elea! Mau apa kamu sebenarnya ke sini, hah!""Katakan di mana Dandi, Ma.""Mana Mama tahu. Dia sudah lama menghilang karena ulah si sopir sialan itu!""Ma, stop sebut Ramdan seperti itu. Dia ....""Apa? Mama sama Papa tak pernah menganggapnya menantu meskipun tahu sebenarnya dia siapa." Dina melangk
Seminggu usai dirawat, Elea diperkenankan pulang. Meskipun dia sudah pulih, Ramdan tetap memperlakukannya dengan lembut. Pria itu bahkan lebih protektif dan cerewet daripada sebelumnya. Semua demi kebaikan Elea, begitu jawab Ramdan setiap kali ditanya kenapa. Elea hanya bisa menurut sambil tersenyum tipis. Setibanya di rumah setelah datang dari rumah sakit, Elea merebah di ranjang. Dia mengambil buku dan mulai membacanya sambil bersandar di kepala ranjang. Dia melihat nakas dan merasa ada yang janggal. Saat melihat ponselnya tak ada, dia kembali turun dari ranjang dan keluar kamar untuk mencari suaminya. Ketika tak menemukan sosok itu, Elea bertanya kepada Edrik saat melihatnya."Ramdan ke mana, Ed? Aku tidak menemukannya di mana pun.""Tuan Muda pergi lagi, Nyonya. Tapi, tidak memberitahu ke mana."Elea mengangguk sekilas sebelum beranjak ke kamar. Dia kembali duduk di ranjang dan mengambil buku untuk dibaca. Meskipun matanya menatap buku, tetapi pikirannya menerawang jauh.Sementar
Ramdan terus melajukan mobil menuju suatu tempat yang terletak di tepi kota. Setibanya di depan sebuah bangunan yang didominasi dengan tembok putih, Ramdan turun dari mobil. Dia melangkah masuk dan menyusuri lorong panjang sampai tiba di depan sebuah ruang perawatan. Dia bergeming dan menatap ke dalam melalui kaca yang ada di pintu."Dia sudah kami beri obat penenang setelah mengamuk dan melukai dirinya sendiri."Ramdan menoleh sekilas sebelum kembali menatap kaca. "Apa boleh aku melihatnya?""Silakan, Pak. Tapi, sebaiknya jangan lama-lama karena polisi sebenarnya belum memperbolehkan dia bertemu dengan siapa pun."Ramdan mengangguk sekilas sebelum perlahan mendorong pintu. Dia melangkah masuk dan berdiri di kaki ranjang, kemudian menatap seorang wanita yang terlihat penuh luka lebam di wajah dan sekujur tubuhnya. Wajah yang dulu cantik, kini berubah menyedihkan karena ulah seseorang.Ramdan menggeram kesal sambil mengepalkan tangan dan mengetatkan rahang. Napasnya memburu karena mena
Elea membekap mulut dalam pelukan Ramdan, tak percaya dengan apa yang terjadi di depannya. Matanya sudah basah oleh air mata yang menetes sejak tadi. Sementara, Ramdan mengusap lengan sang istri sambil tersenyum tipis. Setelah melihat dokter keluarga selesai memeriksa Aleta, pria itu segera bertanya."Bagaimana, Dok?""Akhirnya keajaiban itu datang juga. Aleta sudah sadar."Ramdan tersenyum lebar dengan mata mengembun, sedangkan Elea menangis makin kencang mendengar ucapan sang dokter. Mereka tak menyangka setelah hampir empat tahun lamanya, gadis itu bangun juga. Elea tak mampu menyembunyikan perasaan bahagianya. Dia memeluk erat Ramdan dan terguguk dalam dada bidangnya. Ada perasaan lega karena melihat adik iparnya itu bisa sadarkan diri setelah hampir putus asa karena semua usaha yang dilakukan belum membuahkan hasil.Usai tangisannya reda, Elea menghapus air mata dan mendongak untuk menatap suaminya. Dia mengusap lembut pipi Ramdan dan berkata."Doa kita terkabul, Ramdan. Aleta su