"Apa maksud ka--"Telepon langsung terputus. Ramdan mencoba menghubungi nomor tadi, tetapi sudah tidak aktif lagi. Dia mendesah frustasi sebelum kembali merebah di samping Elea. Dia berusaha abai dengan ucapan sang penelepon sebelum memejamkan mata.Keesokan harinya, Elea terjaga lebih dulu. Saat melihat suaminya masih terpejam, dia mencium pipinya. "Bangun, Ramdan. Cepetan siap-siap sebelum terlambat ke bandaranya."Ramdan perlahan membuka mata sebelum balik mencium pipi sang istri dan beringsut turun dari ranjang menuju kamar mandi. Usai mandi, dia bergegas berpakaian dan keluar kamar sambil menggandeng Elea. Lalu, menerima koper yang disodorkan Edrik sebelum memeluk erat istrinya."Aku akan secepatnya pulang, Elea. Aku akan kasih kabar kalau sudah sampai sana.""Ya, aku tahu. Aku juga akan kasih kabar kalau ada apa-apa."Ramdan melerai pelukan sebelum mengecup sekilas bibir istrinya. Setelahnya, dia berlalu ke mobil dan melajukannya meninggalkan rumah. Setibanya di tempat parkir ba
Ramdan terjaga setelah merasakan sinar matahari menyentuh kulitnya. Dia beringsut duduk, tetapi nyeri yang membebat kepala membuatnya kembali merebah. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum memejamkan mata sejenak, menggali ingatan tentang kejadian semalam. Namun, hanya sakit yang membebat kepalanya. Dia kembali membuka mata, menyesuaikan cahaya yang masuk ke mata. Dia mengedarkan pandangan dan mengernyit heran, karena ruangan itu bukanlah kamarnya.Mendadak ranjang di sebelahnya bergoyang. Ramdan menoleh dan terkejut melihat Gwen terlelap. Perlahan, perasaan Ramdan berkecamuk hebat. Instingnya berkata ada yang tidak beres dengan dirinya. Dia mencoba duduk, tetapi tangan wanita itu dengan kurang ajarnya meraba dadanya. Dia menoleh dan melihat Gwen membuka mata sambil tersenyum."Pagi, Pak.""Lepaskan tanganmu, Gwen! Apa yang sudah kamu lakukan!"Gwen beringsut duduk sambil mendekap erat selimut untuk menutupi dadanya. Dia tersenyum dan masih berusaha untuk meny
Ramdan mengulas senyum saat mendengar penjelasan dokter mengenai kondisi calon buah hatinya. Elea juga melakukan hal yang sama sambil menggenggam erat jemari suaminya. Mereka bersitatap sejenak sebelum kembali mengulas senyum dan menatap sang dokter kandungan."Trimester kedua ini bisa dibilang level antara aman dan tidak. Jadi, tetap harus berhati-hati, ya, Bu.""Iya, Dok." Elea bergeming sejenak sambil melirik suaminya. Setelahnya, dia mencondongkan tubuh ke depan dan berbicara lirih kepada sang dokter. "Dok, kalau misalkan begituan sudah pasti aman, kan, ya?"Dokter di depan Elea mengernyit heran sebelum terkekeh dan mengangguk lemah. "Aman, Bu. Tapi tetap harus kontrol diri. Jangan terlalu kencang juga, bisa berbahaya nantinya."Melihat lirikan sang dokter yang diarahkan kepadanya, Ramdan mendesah lirih sebelum membuang pandangan ke sembarang arah. Setelahnya, dia mengucapkan terima kasih dan bergegas menggandeng Elea meninggalkan ruangan. Sepanjang lorong rumah sakit, Ramdan bung
"Mau apa kamu telepon? Katakan cepat atau aku tutup teleponnya!""Bisa kita ketemu, Pak.""Buat apa lagi? Belum cukupkah apa yang telah kamu lakukan ke saya kemarin, Gwen!""Saya mau minta bayaran, Pak. Masa Bapak sudah pakai saya, tapi tidak dibayar malah langsung pergi gitu aja. Enak di Bapak, rugi di saya.""Sialan! Terus berapa yang kamu minta?""Enggak banyak, cukup dua ratus juta. Kecil, kan, bagi Bapak?""Sialan! Kamu memerasku, Gwen!""Anggap saja begitu. Besok saya ambil di kantor, ya, Pak. Terima kasih banyak."Telepon terputus. Ramdan menggeram kesal sebelum membuang semua buku dan berkas yang ada di meja. "Sialan! Beraninya wanita jalang itu memerasku!"Ramdan kembali membuka layar ponsel dan menghubungi seseorang. Setelah panggilan diangkat, dia langsung memberikan perintah."Bawa wanita yang bernama Gwen Karisma ke hadapanku secepatnya!"Ramdan menutup telepon dan memukul meja, meluapkan kekesalan setelah merasa dipermainkan. Dia menggeram kesal sebelum mengatur napas ka
"Ada sedikit urusan kantor yang harus aku selesaikan malam ini juga, Elea. Kembalilah tidur!"Ramdan bergegas membuka pintu dan keluar. Lalu, berjalan tergesa menuju halaman belakang, tempat di mana ruang rahasianya berada. Ketika sampai di depan pintu, dia menatap dua penjaga di depannya."Silakan, Bos. Dia ada di dalam, masih utuh dan tidak kurang suatu apa pun."Ramdan mengangguk sekilas sebelum masuk. Di tengah ruangan dengan penerangan yang minim, dia bisa melihat sosok Gwen yang duduk di kursi dengan wajah menunduk. Kedua tangan dan kaki wanita itu diikat pada kayu sementara mulutnya dilakban.Ramdan makin mendekat, kemudian mencengkeram erat dagu Gwen dan memaksanya untuk mendongak. Dia menyeringai sebelum menampar pipi wanita itu. Perlahan, Gwen membuka mata dan terkesiap melihat Ramdan sudah berudir di depannya dengan wajah penuh amarah. Wanita itu menggeleng dan berusaha untuk berbicara, tetapi suaranya tak keluar.Ramdan tergelak sebelum melepas paksa lakban yang menutup mu
Elea menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Setelah lima kali melakukan, keram yang tadi menyapa, perlahan menghilang. Setelahnya, dia bangkit dari duduk dan hendak ke dalam, tetapi langkahnya terhenti saat melihat Ramdan mendadak sudah berdiri di hadapannya. Dia membuang pandangan sebelum melewati Ramdan. Merasa sikap Elea tak seperti biasanya, Ramdan mengernyit heran sebelum mencekal pergelangan tangannya."Ada sesuatu yang aku lewatkan, Elea?"Elea bungkam dan berusaha melepaskan tangan suaminya. Namun, Ramdan malah makin menguatkan cekalannya. "Ada apa denganmu, Elea? Apa kamu marah karena aku belum membuatkanmu sarapan?"Elea masih bungkam, sehingga membuat Ramdan mendesah lirih sebelum memegang kedua lengannya. "Bilang, Elea. Kamu kenapa? Kenapa kamu cuma diam?"Elea yang awalnya enggan menatap Ramdan, perlahan melayangkan tatapan tajam. Embun yang menggantung di mata perlahan luruh membasahi pipinya. Ramdan terkejut dan berusaha untuk menghapus bulir bening itu, te
Ramdan menghela napas panjang sejenak sebelum menghubungi Gwen. Sayangnya, sampai panggilan ketiga kalinya, wanita itu belum juga mengangkatnya."Kamu ke mana, Gwen! Aaargh!" seru Ramdan sambil memukul kemudi.Setelahnya, Ramdan memutar balik mobilnya menuju rumah. Dia menekan pedal gas kuat agar segera sampai di rumah. Setibanya di sana, dia bergeming sejenak sebelum turun dari mobil. Dengan langkah berat, dia memasuki rumah dan terus berjalan sampai ke kamar yang ditempati Gwen. Namun, berapa kali dia mengetuk pintu, tak ada yang membukakannya. Dia menghela napas panjang sebelum berbalik masuk rumah.Ramdan samar mendengar seseorang sedang bicara. Dia menajamkan pendengaran dan mengayunkan langkah mendekati suara yang berasal dari kamar. Perlahan, dia membuka pintu dan melihat Elea sedang mengobrol dengan Gwen di lantai. Dia mengikis jarak dan berdiri tepat di samping kedua wanita itu.Elea dan Gwen kompak menoleh dan tersenyum. Namun, melihat raut wajah penuh kesedihan yang dipanca
Elea sampai di kafe tepat setelah dua puluh lima menit berkendara. Dia bergegas turun dan melenggang masuk. Lalu, mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan Dina. Saat melihat seorang wanita keluar dari ruang VVIP, dia mendekat dan menerobos masuk. Melihat ibunya sedang duduk sambil tertawa dengan teman-temannya, Elea mendekat dan langsung menarik tangannya."Elea mau ngomong sama Mama."Dina menurut sambil tersenyum kepada teman-temannya. Setibanya di depan toilet, wanita paruh baya itu menepis kasar tangan Elea."Bisa enggak kamu bersikap sopan sama Mama, hah!""Bukankah Mama tak pernah mengajarkan itu sebelumnya ke Elea? Lalu, kenapa sekarang mempermasalahkannya?""Jaga bicara kamu, Elea! Mau apa kamu sebenarnya ke sini, hah!""Katakan di mana Dandi, Ma.""Mana Mama tahu. Dia sudah lama menghilang karena ulah si sopir sialan itu!""Ma, stop sebut Ramdan seperti itu. Dia ....""Apa? Mama sama Papa tak pernah menganggapnya menantu meskipun tahu sebenarnya dia siapa." Dina melangk
Elea bergeming sesaat begitu tiba di depan area pemakaman. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menatap Ramdan."Kamu mau temani aku lagi, kan, Ramdan?""Kamu mau bertemu siapa di tempat seperti ini, Elea?"Elea tersenyum sekilas sebelum mengeluarkan sebuah foto dari dalam tas selempangnya. Lalu, menyerahkan foto itu kepada Ramdan. Pria itu mengernyit heran sebelum menatap istrinya."Ini siapa, Elea?""Dialah ibu kandungku, Ramdan. Kumala Permatasari, wanita kedua yang hadir dalam pernikahan Papa dan Mama. Aku tahu Ibu dimakamkan di sini setelah membaca buku Mama. Aku juga menemukan foto itu dalam bukunya."Elea menunduk dalam sambil menghela napas panjang. Lalu, kembali menatap Ramdan dan melanjutkan ucapannya. "Benar kata Mama, wajahku sama dengan Ibu. Makanya Mama sangat membenciku karena selalu mengingatkannya pada Ibu."Ramdan mengusap lembut bahu sang istri sebelum merengkuh dan mengecup keningnya. "Semuanya sudah berlalu, Elea. Yang terpenting sekarang
"Ada apa, Ramdan? Kenapa kamu menatapku begitu? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Berondongan pertanyaan dari Elea membuat Ramdan kelu. Dia membelokkan mobil dan kembali menuju kediaman Ramlan."Tunggu di sini, Elea. Biar aku titipkan Aldrin sebentar ke Mama.""Tapi, ada apa, Ramdan? Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan?"Ramdan bungkam dan segera mengambil Aldrin sebelum membawanya masuk ke rumah. Usai menyerahkan sang anak kepada Alina dan menceritakan apa yang terjadi, Ramdan kembali menuju mobil. Lalu, tergesa melajukannya menuju suatu tempat. Selama perjalanan, dia hanya bungkam meskipun Elea terus mendesaknya untuk berbicara.Mobil berhenti di depan bangunan yang mengingatkan Elea dengan kepergian Dina. Dia mematung di tempat duduk sebelum menatap Ramdan penuh tanya. "Sebenarnya ini ada apa, Ramdan? Kenapa kamu bawa aku ke sini? Siapa yang sakit?"Ramdan menghela napas panjang sebelum menggenggam erat jemari sang istri. Dia kembali menghela napas dan memegang kedua lengan Elea sebe
Elea mematut diri di cermin. Dia mengulas senyum sambil menelisik penampilan dirinya. Gaun hitam berlengan pendek dengan rok sedikit mengembang sebatas lutut itu tampak pas membungkus tubuhnya. Dia berbalik dan kembali menatap pantulan dirinya di cermin.Sementara itu, Ramdan yang sejak tadi menatap dari sofa sambil memangku Aldrin hanya mampu menggeleng lemah melihat sikap istrinya."Mau sampai kapan kamu berdiri di depan cermin, Elea? Kita sudah hampir telat.""Maafkan aku, Ramdan. Aku cuma tidak pede bertemu dengan keluargamu. Makanya aku harus totalitas dan mempersiapkan semuanya.Ramdan terkekeh sambil bangkit dari duduk. Dia mendekati Elea dan memeluk pinggangnya. Lalu, menyematkan kecupan di pipinya sebelum menatap Aldrin yang melihatnya."Lihat, Nak. Mama kamu sekarang jadi genit. Haruskah Papa memberinya hukuman nanti?"Aldrin tersenyum tipis sehingga membuat Ramdan dan Elea tergelak. Elea berbalik dan merapatkan tubuhnya kepada sang suami, kemudian membisikkan kalimat."Aku
Teruntuk Elea, Satu nama yang sangat aku sayang, tetapi juga sangat aku benci. Setiap kali melihat wajahnya, aku selalu teringat akan sosok Kumala Permatasari, wanita lugu dan polos yang aku kenal baik, tetapi malah menusukku dari belakang. Aku membencinya sama seperti membenci ibunya.Ingin rasanya memutar waktu dan menolak kehadiran Kumala di dekat Harsa, tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya bisa pasrah, apa lagi saat pria tua itu memintaku untuk merawat anak mereka. Ingin berontak, tapi aku bisa apa?Namanya Elea. Dia sebenarnya anak yang cantik dan baik, tapi entah mengapa setiap kali dekat dengannya, hanya ada kebencian dalam dada. Perlahan aku menutup mata atas semua perbuatannya. Aku tak peduli dengannya sehingga membuatnya jadi seorang pembangkang hanya untuk menarik perhatian. Amarah dan kecewa sudah terlanjur tertanam dalam dada, sehingga aku memutuskan untuk pergi dari rumah.Elea, maafkan Mama. Pernah pada satu titik, di mana kamu terjatuh dari tangga tempo hari. Mama
Elea gelisah duduk di samping kemudi. Dia meremas kuat jemarinya sebelum melirik Ramdan. Berita yang dibawa pria itu mau tidak mau menyentak hatinya. Dia makin gelisah di tempat duduk saat melihat jalanan yang padat."Bisakah kita cari jalan lain, Ramdan?""Tenang, Elea. Mereka pasti menunggu kita.""Tapi aku tak akan bisa tenang sebelum melihatnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang, Ramdan?"Ramdan meraih jemari Elea dan menggenggamnya erat, kemudian mengecupnya. Dia menoleh dan mengusap kepala sang istri, berusaha untuk menenangkannya. Setelah empat puluh lima menit berlalu, jalanan mulai terurai. Ramdan menekan pedal gas dan melajukan mobilnya menuju suatu tempat. Setibanya di sana, Elea segera turun dan berlari menyusuri lorong sebelum tiba di suatu ruangan.Elea bergeming sesaat ketika menatap ruangan di depannya. Sepi yang melingkupi ruangan itu makin menambah hawa dingin yang terasa. Dia menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian tangannya terulur untuk
Ramdan segera menyerahkan Aldrin kepada Elea sebelum menghampiri pintu. Lalu, menarik pergelangan tangan Aleta agar menjauhi kamar. Dia juga menatap Alina dan Ramlan bergantian sebelum kembali memaku pandangan kepada adiknya."Apa yang kalian lakukan di sini?""Aku tahu wanita pembohong itu sudah kembali, makanya aku minta diantar Mama sama Papa ke sini." Aleta berdecih sambil menatap Ramdan yang hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada. "Cuma gara-gara pangkal paha, kamu berani memaafkannya, Kak?""Aleta! Jaga ucapan kamu! Mau sampai kapan kamu membenci Elea? Dia juga berbohong karena diancam.""Persetan dengan semua ucapanmu, Kak! Bagiku sekali pembohong tetaplah pembohong. Aku sangat membencinya!"Kompak, keempat orang itu menoleh saat mendengar pintu dibuka. Melihat Elea keluar sambil menggendong Aldrin, senyum terkembang di bibir Alina dan Ramlan."Cucu kita, Ma," ucap Ramlan sambil mendekati Elea. "Mirip sama Akhtar waktu bayi."Alina mengangguk setuju dengan ucapan sua
Ramdan menatap lekat Aleta yang berdiri di ujung anak tangga teratas dengan dipapah Alina. Sedetik kemudian, Ramdan mendesah lirih dan memilih keluar rumah, mengabaikan kalimat permohonan yang dilontarkan sang adik. Dia meneruskan langkah menuju mobil dan melajukannya meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, kalimat Aleta terus terngiang di kepala."Aku akan datang untuk bersaksi, tapi dengan satu syarat. Jangan pernah menyuruhku untuk berhenti, setelah memintaku untuk memulainya."Ramdan kembali mengulang ucapan itu sambil sesekali memijat pelan pangkal hidungnya. Dia mendesah lirih setelah mengetahui maksud dari perkataan Aleta. Tak ingin ambil pusing dengan permintaan sang adik, Ramdan menggeleng kuat dan segera melajukan mobilnya menuju kediaman Harsa. Ramdan bergegas turun dari mobil dan berjalan tergesa memasuki rumah. Dia segera menaiki tangga ketika mendengar suara tangis Aldrin terdengar. Saat membuka pintu, dia hanya mendapati sang anak yang menangis di ranjang, sedangkan
Ramdan melajukan mobilnya keluar dari rumah Harsa. Dia mengumbar senyum sepanjang perjalanan saat membayangkan orang tuanya mengetahui bahwa sang cucu yang diketahui sudah meninggal, ternyata masih hidup. Ramdan menekan pedal gas kuat agar segera sampai di rumahnya.Ramdan bergegas memasuki rumah saat melihat mobil orang tuanya sudah terparkir di garasi. Dia menaiki tangga dengan tergesa saat mendengar sayup suara dari lantai atas. Langkah membawanya menuju kamar Aleta, tetapi dia bergeming di depan pintu saat mendengar percakapan ketiganya. Ramdan menajamkan telinga agar bisa mendengar apa yang dibicaraka Aleta dan orang tuanya."Papa dengar kasus kamu mau dibuka kembali, Aleta. Sekarang saatnya kamu untuk beberkan semua fakta karena pasti Akhtar tak main-main dengan bukti yang dia kumpulkan selama ini."Aleta menoleh ke arah Ramlan sebelum menggeleng lemah. "Enggak, Pa. Aleta enggak sanggup beberkan semua cerita pilu itu.""Tapi, ini harus, Sayang. Mau sampai kapan kamu begini terus
Ramdan bergeming saat melihat bayi berusia sekitar 3 bulan ada dalam gendongan seorang wanita. Ramdan mengerjap pelan sebelum menoleh kepada Elea. Namun, belum sempat membuka kata, wanita itu masuk. Lalu, menghampiri ranjang dan menyerahkan sang bayi kepada Elea.Ramdan masih bergeming. Namun, dia segera tersadar dan bergegas menghampiri Elea. Dia menggeleng lemah dan mendesah lirih saat tangan bayi itu dicium Elea. Ramdan mengernyit heran dan mengempaskan tubuhnya di tepi ranjang. Dia menatap lekat bayi itu sebelum beralih menatap istrinya."Dia ....""Aldrin Elraja Alaydrus."Ramdan menatap tak percaya Elea yang tersenyum kepadanya. Tangannya terulur mengusap kepala bayi yang ada di gendongan sang istri. Seulas senyum tipis tersemat di bibirnya."Benarkah dia ...."Ramdan menunjuk dirinya sendiri. Dia tak sanggup meneruskan ucapannya karena rasa haru yang menyeruak. Tiga bulan yang lalu saat mendengar sang anak akhirnya meninggal, hatinya hancur. Dunia runtuh bahkan nyaris hilang ka