'PAK DIMITRI?!’Mata besar Aruna terbelalak mendapati sosok Dimitri yang kelihatan menaruh curiga baik pada dirinya maupun Dirga.“E–eh, permisi, Pak,” ucap Aruna yang memutuskan untuk segera pergi dari sana. Tapi, tidak semudah itu karena Dimitri dengan refleks memegangi pergelangan tangan gadis itu.Aruna menatapi tangannya yang dicekal Dimitri. Pun, begitu juga Dirga dan Dimitri sendiri yang langsung melepaskan tangan Aruna dalam sekali hentakan.“Saya tanya, kalian ngapain ke luar cuma berduaan di pintu tangga darurat?” Kali ini suara Dimitri terdengar lebih serius dari ucapannya sebelumnya. “Kalau main langsung pergi, saya curiga kalian sudah berbuat sesuatu,” kata Dimitri bergantian menatap Aruna lalu Dirga.“K-kita cuma ngobrol,” jawab Aruna dengan panik. Pandangannya naik untuk melirik Dirga. “Ya ‘kan, Dirga?” Mata besar Aruna sedikit memelotot, bermaksud mengkode Dirga untuk mengiakan.‘Tolong bilang iya!’ Kira-kira seperti itu bila disuarakan.“Mmm, kita cuma ngobrol,” angg
Keterkejutan Claudia menghibur Bahtiar dan Aland yang langsung tertawa cukup keras di tempatnya.Claudia menautkan kedua alisnya. Dia merasa telah ditipu! Satu kakinya menghentak kesal. Kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuh.“Kakek membohongiku supaya aku bisa datang menemui Kakek?” tanya Claudia menggelengkan kepalanya.Bahtiar menepuk-nepuk sebelah sofa yang masih luas. “Duduklah, Claudia.”“Tidak mau,” tolak Claudia tanpa pikir panjang. Dia hendak membalikkan badannya dan pergi. Namun, suara Aland mencegah pergerakannya.“Bukan Kakek, tapi gue,” kata Aland mengakui. Dia lantas membalikkan tubuhnya untuk menatap sang kakek. Aland kembali tersenyum.“Bagaimana, Kek? Ideku berhasil ‘kan? Sudah kukatakan Mbak Claudia pasti datang–”“–AW AW AW sakit sakit sakit!” ringis Aland kala merasakan telinga kanannya mendapatkan jeweran ganas dari tangan Claudia.Tangan Aland berusaha menepuk-nepuk tangan Claudia agar melepaskannya. “MBAK SAKIT!”Sebelum benar-benar melepaskannya, Claudia m
“Jelaskan, Aland!” Seandainya apa yang diucapkan cucu laki-lakinya itu benar, maka Bahtiar tidak akan membiarkan Claudia bersama pria tidak normal seperti Ryuga. Bahtiar tidak mengenal Ryuga secara personal. Mungkin setelah ini, dia akan mulai mencari tahu mengenai anak tunggal dari keluarga Daksa tersebut. “Baik, Kakek,” sahut Aland menarik napas terlebih dahulu. Claudia gelisah dalam duduknya. Netra matanya menatap marah ke arah Aland. ‘Bisa-bisanya Aland berpikir demikian tentang Ryuga … dari sudut mananya Ryuga tampak seperti— Sesaat Claudia terdiam. Dia juga pernah salah mengira Ryuga sebagai gigolo. “Kamu pasti salah paham,” geleng Claudia dengan dahi yang mengerut. Aland turut menggelengkan kepala. Dia mengatakan, “Mbak ingat waktu gue nonton pertandingan bola voli di kampus Tuma, gue sempat pergi ke toilet ‘kan ….” Aland sibuk menjelaskan kejadian di toilet kala dia mendapati Ryuga dan Riel dalam posisi yang tampak salah di matanya. Selagi mendengarkan, Claudia mengembu
Seharian ini Claudia dibuat gelisah. Usai kembali ke kampus setelah makan siang bersama, dia terus memikirkan ucapan Bahtiar yang mengatakan, “Besok pagi Ayahmu akan datang. Kakek akan bicara dengannya mengenai hubunganmu dan Ryuga, Claudia.” Tidak ada tanda-tanda Sang Ayah menghubungi Claudia lagi setelah Bahtiar menelepon Aji. Pun, begitu juga dengan Ryuga yang sampai detik ini tidak ada kabar. Claudia menggelengkan kepalanya. ‘Sudahlah, Clau. Mungkin Ryuga sibuk, jadi tidak sempat menghubungimu.’ Detik berikutnya, ponsel Claudia berbunyi pendek, menandakan ada pesan yang masuk. Wanita itu memutuskan untuk melipir di tepi koridor. Ya, kini Claudia tengah berjalan ke arah parkiran hendak pulang. [Ryuga: Aku merindukanmu, Claudia.] [Ryuga: Aku di parkiran kampus.] Membaca pesan tersebut otomatis membuat kedua sudut bibir Claudia menyunggingkan senyum. Perutnya terasa digelitik ribuan kupu-kupu. Claudia dengan cepat membalas pesan itu. [Claudia: Oke, aku ke sana sekarang, Ryuga
*Siang tadiPenolakan Aji tidak membuat Ryuga mengurungkan niatnya untuk tetap menjadi donatur bagi program baru yang akan dijalankan di desa tempat Claudia tinggal.Pria itu menyerahkan uang tersebut kepada Sekretaris Desa untuk dikelola.“Maafkan saya, Pak Ryuga,” ucap Riel memecah keheningan di dalam mobil. Atas perintah dari Ryuga, keduanya kembali ke kota di hari yang sama.“Tidak perlu, Riel,” dengus Ryuga yang tidak menyukainya ucapan permintaan maaf Riel barusan. Manik hitamnya melirik Riel sekilas. “Itu sama sekali bukan kesalahanmu.”Meskipun begitu, Riel tetap merasa dirinya kurang maksimal. Jarang-jarang hasil pekerjaannya mengecewakan Ryuga.“Apa yang akan Pak Ryuga lakukan selanjutnya?” Riel memutuskan bertanya. Dia akan melakukan pekerjaan lainnya dan berjanji akan memberikan hasil yang memuaskan.Ryuga tidak menangkap konteks pembicaraan Riel mengarah kemana. Namun, dia menyahut dengan suara dalamnya, “Aku akan pergi ke toko perhiasan.” Seringaian tipisnya terbit.Mend
“Aruna …,” rengek Anjani yang merasa terkejut karena diam-diam dia sebenarnya sedang mencuri dengar.Yang lain mungkin tidak mempedulikan pekikan Aruna barusan karena sedang menikmati waktu istirahat. Sementara Anjani sangat “Maaf, Jani he he,” ringis Aruna seraya memperlihatkan cengiran khasnya. Lantas setelah itu, Aruna kembali fokus pada sambungan telepon yang masih menyala, “Halo, Dad. Aruna butuh penjelasan, tapi sebentar … Aruna mau sambil ke luar dulu,” ucapnya dengan ceriwis.Di seberang sana Ryuga terkekeh mendapati Aruna yang tampak bersemangat. Perasaannya yang sedikit terluka oleh penolakan Aji tadi seakan sembuh hanya dengan mendengar suara ceria putrinya.The power of Aruna Lusa Daksa.“Mmm, baiklah,” angguk Ryuga seraya menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.Maka, Aruna langsung bangkit dari duduknya. Hal itu tidak luput perhatian dari Anjani. “Mau ke mana, Runa?”Ditodong pertanyaan seperti itu, Aruna menaikkan jari telunjuknya dan mengarah ke pintu ke luar. Dia mel
Udara malam ini terasa dingin di dalam lift apartemen. Namun, entah kenapa rasanya panas sekali untuk Ryuga. Pria itu sampai melonggarkan dasi dan membuka satu kancing atas kemejanya.Tiba-tiba kesiur angin datang dari arah samping. Manik hitam Ryuga mendapati sebuah kipas angin portabel milik Claudia melayang tepat di bawah lehernya.Claudia tersenyum dengan matanya. Wanita itu menggoyangkan pelan kipas portabel berwarna Lilac tersebut sambil mengatakan, “Aku rasa kamu membutuhkan ini, Ryuga.”“Berikan padaku, Claudia,” pinta Ryuga menengadahkan tangan. Sepertinya benda kecil itu lumayan membantu mengurangi rasa gerahnya.Namun, Claudia menolak memberikan. Wanita itu menggelengkan kepala. “Biar aku saja, Ryuga.”Kedua alis Ryuga langsung menukik. Dia tetap menengadahkan tangan. Tapi, Claudia tetap tidak mau memberikan.“Jangan katakan itu saat bersamaku, Claudia,” ucap Ryuga dengan tegas.Claudia memicingkan mata sambil melipat kedua bibirnya ke dalam lantas menggelengkan kepalanya t
Claudia tidak ingin merusak suasana makan malam romantis yang telah disiapkan Ryuga. Demikian, Claudia berusaha untuk menunda keinginannya untuk memberitahu Ryuga tentang apa yang terjadi tadi siang. “Ryuga,” panggil Claudia selagi tangannya menaruh alat makan di piring. Claudia sudah selesai makan. Pandangannya naik untuk menatap Ryuga yang ternyata juga tengah menatapnya. “Mmm?” sahutnya dengan suara yang dalam. “Mau es krim untuk penutup mulut, Claudia?” tawarnya. Ditawari makanan kesukaannya, Claudia mana mungkin menolak. Dia menganggukkan kepalanya. “Mauuuu.” Bibir cherry-nya merespons dengan sedikit maju ke depan, membuat Claudia tampak terlihat lucu. Ryuga balas terkekeh. “Barusan ada apa memanggilku?” Dia sengaja mengalihkan topik untuk suatu hal. “Besok malam, kamu ada kegiatan, Ryuga?” Claudia sengaja menanyakan ini untuk berjaga-jaga jika kakek dan ayahnya meminta Ryuga datang menemui keduanya. “Apa memikirkan seseorang termasuk kegiatan, Claudia?” Alih-alih langsung