POV Aprilia
PRANG!!!Aku menjatuhkan gelas yang kugenggam saat melihat berita di televisi yang memberitakan bahwa suamiku Alan mengalami kecelakaan tunggal di London, mobilnya masuk ke dalam jurang dan telah dievakuasi namun tubuhnya belum ditemukan sampai saat ini.Kabar itu membuat duniaku hancur seketika, tanganku gemetar, tubuhku terasa lemah tak berdaya. Namun aku harus kuat, sebisa mungkin aku berusaha bangkit. Tanpa terasa bulir bening jatuh begitu saja membasahi pipiku, segera aku mengusapnya dengan kasar lalu dengan langkah gontai diriku berlari kecil menaiki anak tangga menuju kamarku yang terletak di lantai atas.Sesampainya di sana aku segera meraih ponsel mencoba untuk menghubungi suamiku, Alan. Aku sangat berharap bahwa yang berada dalam kecelakaan itu bukan dirinya.Tut! Tut! Tut!Panggilan tidak tersambung, kucoba mengulangi kembali panggilan itu. Namun tetap sama saja, akhirnya kuputuskan menghubungi kakak iparku. Belum sampai aku meneleponnya, ia sudah terlebih dulu menghubungiku. Segera kugeser tombol hijau untuk menjawab panggilan itu.[April, apa kamu sudah tahu berita tentang Alan?] suara kak Andrew terdengar penuh khawatir saat menanyaiku.[I ... iya Kak, aku sudah melihatnya baru saja di TV. Tolong katakan bahwa berita itu tidak benar Kak, Alan pasti baik-baik saja kan?] tanyaku penuh harap, bahwa suamiku baik-baik saja dan tidak termasuk dalam kecelakaan itu.[Maaf Pril, kamu harus berbesar hati. Kecelakaan itu memang benar karena ... aku sudah memastikan dengan pihak kepolisian di sana bahwa mobil itu memang milik Alan,] terang kak Andrew terdengar lirih di akhir kalimat.Mendengar penuturannya membuat hatiku terasa hancur dan begitu sesak, aku hanya bisa terisak tanpa sanggup berkata lagi.[Halo April, kamu masih di sana?]Aku tak sanggup menjawab pertanyaan kak Andrew, lidahku terasa kelu meski hanya untuk sekedar berkata iya. Kujatuhkan ponsel ke lantai tanpa menutup panggilan telepon yang masih tersambung dengan kakak iparku.Hatiku benar-benar hancur, begitu pula duniaku. Lelaki yang aku cintai telah pergi meninggalkanku dan putri kecil kami untuk selama-lamanya. Aku terduduk lemas di lantai dan hanya bisa menangis tersedu memeluk diriku sendiri sambil meratapi kepergian suamiku, suami yang teramat kucintai.Aku kembali teringat perjalanan cinta kami untuk dapat bersama sampai seperti saat ini tidaklah mudah, baru tiga tahun kami menjalani kehidupan bersama sebagai sepasang suami istri. Namun Tuhan telah memisahkan kami kembali. Apa yang harus aku lakukan tanpa dirinya? Sanggupkah aku menjalani kehidupan setelah kepergiannya? Bagaimana dengan nasib putri kecil kami yang masih berusia dua tahun?Pertanyaan demi pertanyaan terus berputar di otakku sampai aku tidak menyadari suara bel pintu yang sedari tadi berbunyi, membuatku melangkahkan kaki ini menuruni anak tangga satu persatu lalu menuju pintu utama untuk segera membukanya.Ceklek!Begitu aku membuka pintu tampaklah tubuh jangkung kakak iparku yang sudah berdiri di depan pintu dengan wajah khawatir.“April ... kita harus segera ke London untuk mengetahui perkembangan pencarian jenazah Alan,” ajak kak Andrew.“Je— nazah?”Kak Andrew mengangguk pelan, namun hatiku menolak bahwa yang ia bicarakan adalah Alanku. Tidak mungkin Alanku pergi secepat ini, itu pasti bukan dia. Dia sudah berjanji akan menemaniku sampai kita menua bersama dan kembali kepada Sang Pencipta.Tanpa bisa aku tahan, tubuhku yang terasa lemah hampir saja terjatuh. Setengah sadar aku melihat kakak iparku mendekat dengan sigap ia menangkap tubuhku yang lemah ini. Ia membawaku masuk ke dalam rumah dan membaringkan diriku di atas sofa ruang tamu lalu semuanya pun menjadi gelap begitu saja.**Aku mengerjapkan mata beberapa kali saat cahaya lampu menyorot begitu tajam membuatku terasa berat untuk membuka mata. Setelah berhasil menyesuaikan penglihatan, aku membuka mata dengan sempurna. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan ternyata aku sedang berada di ruang tamu rumahku hadiah pernikahan dari suamiku Alan, ditemani oleh anggota keluarga Alexander dan Dawson yang sudah berkumpul lengkap.“April, kamu sudah sadar Nak,” ujar mami Annie, beliau adalah ibu sambungku yang telah dinikahi oleh papi setahun yang lalu.“Iya Mi,” sahutku pelan.Tubuhku masih terasa sangat lemah, sambil memegangi kepala yang masih terasa pusing aku berusaha bangun untuk duduk dengan dibantu oleh mami Annie.“Istirahat saja dulu Sayang, jangan dipaksakan. Kamu masih lemah,” ucap papiku, papi Arsene.Aku menggeleng lemah. “Aku tidak papa Pi, aku harus ke London sekarang. Alan membutuhkan aku di sana, tolong izinkan aku pergi ya,” pintaku dengan tatapan memohon.“Sayang, kondisi kamu tidak memungkinkan untuk ke sana. Kami semua tidak mau kamu sampai drop di perjalanan nanti, pulihkan dulu kondisimu ya,” tutur papiku seraya mengelus kepalaku dengan lembut.“Kamu pikirkan juga anak kamu Pril, lebih baik kamu turuti nasihat papi,” kata Kak Zac menambahkan.“Kalian tidak mengerti apa yang aku rasakan! Aku kehilangan suamiku, ayah dari anakku. Bagaimana aku bisa beristirahat dengan tenang di sini sementara suamiku masih belum ditemukan! Aku sangat yakin dia masih hidup, aku akan mencarinya sendiri ke sana. Meski dengan atau tanpa izin dari kalian aku akan tetap pergi,” ucapku dengan tegas kemudian kembali menangis ketika mengingat kembali wajah suamiku.Semua orang menatapku dengan iba, namun aku harus kuat aku tak mau semua orang mengasihani diriku.**Perlahan mami Annie mendekat lalu memeluk diriku, tanpa bisa kutahan aku semakin menangis tersedu dalam pelukannya. Terasa sedikit menenangkan untukku, mami mengusap punggungku hingga membuatku jauh lebih tenang dari sebelumnya.“Kalau memang kamu bersikeras ingin pergi, harus ada seseorang yang menemani kamu Nak,” kata papa George membuatku menoleh ke arahnya.“Ya benar, tapi siapa yang bersedia menemani April dan bisa menjaganya selama di sana nanti?” mama Amelia bertanya pada semuanya.“Aku. Aku bersedia menjaga dan menemani April selama di sana,” ucap kak Andrew mengajukan diri untuk menemaniku pergi.Semua orang beralih menatap kak Andrew kemudian satu persatu dari mereka mengangguk setuju.“Papa setuju, biar perusahaan di sini papa yang urus untuk sementara.”“Baiklah, kami semua setuju. Tolong kamu jaga putri saya baik-baik ya Nak Andrew,” pinta papi Arsene.Kak Andrew terlihat mengangguk. “Saya akan menjaga April dengan segenap jiwa saya, Om.”“Terima kasih,” sahut pap
Tak! Tak! Tak!Suara langkah kaki seorang wanita yang menggunakan sepatu hak tinggi terdengar menggema mengiringi perjalanannya menuju sebuah ruangan bertuliskan “Chief Executive Officer (CEO)”. Sepanjang perjalanan menuju ruangannya di lantai atas, para karyawan menyambut wanita itu dengan ucapan selamat pagi dan dibalas olehnya dengan senyuman ramah yang selalu menghiasi wajah cantiknya.“Sudah hampir satu tahun aku menjalani semua ini, aku harus bisa bertahan,” gumam wanita itu menyemangati dirinya sendiri.Sesampainya di dalam ruangan, wanita itu segera melangkah menuju meja kerja yang terletak di sudut ruangan dengan latar belakang jendela besar dan pemandangan indah kota London yang menampakkan jam Big Ben terlihat dari kejauhan. Ia menggantungkan tasnya di stand hanger kemudian menghempaskan tubuhnya di atas kursi empuk kebesarannya.Tok! Tok! Tok!Baru saja akan memulai membuka laptop untuk bekerja, suara ketukan di pintu membuat wanita itu terpaksa menghentikan aktivitas
Andrew menahan lengan Luna. “Lalu mau kamu apa?”“Kita menikah.”“Kalau itu aku belum bisa.”“Kenapa?”“Karena Alan belum ditemukan, bagaimana pun dia adikku. Mana mungkin kita menggelar pesta pernikahan sementara adik iparku masih berduka karena kehilangan suaminya.”“Sudahlah Andrew, kamu selalu saja memiliki alasan untuk mengulur waktu pernikahan kita.” Luna menarik lengannya dengan kasar lalu melangkah ke kamarnya dan menutup pintu dengan sedikit kencang.Di dalam kamar, wanita itu hanya bisa menangis meratapi nasibnya yang tak kunjung mendapat kepastian dari Andrew. Tiga tahun lamanya ia bersabar menanti kekasihnya itu untuk segera menikahinya, hingga saat ini adiknya menghilang membuatnya semakin mengulur waktu untuk segera meresmikan hubungan mereka.“Entah apa yang ada di hatimu Andrew, kenapa aku selalu merasa kamu tidak pernah mencintaiku,” batin Luna menangis.“Maafkan aku Luna, meski kita telah bertunangan tapi aku belum siap untuk menikah denganmu,” gumam Andrew k
Sementara itu di Indonesia...Kantor Alexander-Dawson (Merger Grup)“Luna, tolong kamu siapkan semua dokumen yang perlu tanda tangan saya sekarang. Karena besok saya akan pergi ke London untuk rapat dengan para klien di sana,” perintah Andrew pada sekretaris sekaligus tunangannya itu.“Ke sana lagi? Haruskah setiap bulan? Apa tidak bisa yang lain saja mewakili kamu, sekali ini saja?” cecar Luna dengan nada tidak suka seraya melipat kedua tangan di depan dada.“Luna, meski pun kamu tunangan saya tolong bersikap profesional. Jalankan saja perintah saya barusan,” ucap Andrew penuh penekanan.Luna menurunkan tangannya seraya menundukkan kepala. “Maaf ... akan segera saya kerjakan. Permisi,” pamitnya, kemudian dengan langkah gontai berjalan kembali ke ruangan kerjanya dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata.Andrew hanya bisa menggelengkan kepala dengan sikap tunangannya itu, menurutnya Luna menjadi sering cemburu padanya akhir-akhir ini. Terutama jika ia pergi ke Londo
“Kak Zac? Dafa? Kalian sudah di sini?” April tampak sedikit terkejut dengan kehadiran dua orang pria yang tiba-tiba sudah berada di kantornya itu.Zac mengangguk, melepas kaca mata hitamnya lalu melangkah mendekat sambil merentangkan kedua tangannya. “Apa kamu tidak merindukan kakakmu yang tampan ini?” April segera menghambur ke dalam pelukan Zac dengan senyuman yang mengembang di bibirnya. “Tentu saja aku sangat merindukanmu, Kak. Kenapa tidak bilang kalau datang hari ini? Kan aku bisa meminta sopir untuk menjemput kalian di bandara.”Zac pun mengeratkan pelukan April seraya mengusap dengan sayang, punggung adik tercintanya itu. “Tenang saja, kami sengaja tidak bilang karena ingin memberimu kejutan. Sudah lama sekali rasanya sejak kita berpisah sebulan lalu. Bagaimana kabarmu dan Alana? Kalian baik-baik saja kan di sini?” April mengurai pelukan mereka. “Tentu saja Kak, kami baik,” balasnya dengan senyuman canggung lalu beralih menatap Dafa yang sedari tadi memperhatikan mereka
Di kantor ALSON Company...Menjelang siang, rapat yang dihadiri oleh perwakilan para petinggi masing-masing perusahaan setiap bulannya itu telah selesai digelar. Kini Andrew, Zac, dan Dafa tengah berkumpul di ruangan April sambil berbincang-bincang menunggu waktu makan siang tiba. Sementara Luna yang kelelahan karena perjalanan jauh, terpaksa tinggal di apartemen sekaligus menjaga Alana.“Dafa, kamu bilang akan memberikan data asisten yang akan bekerja padaku. Apakah sudah ada?” tagih April sesuai yang Dafa janjikan padanya semalam.“Tentu saja, tunggu aku akan kirim datanya padamu.” Kali ini Dafa terlihat lebih tenang, tak lagi gelisah seperti semalam. Lalu ia mengotak-atik ponselnya untuk mengirim data yang April minta. “Oke sudah ya, silakan kamu cek. Jika ada pertanyaan lebih lanjut silakan hubungi bapak Dafa Fabian,” ujarnya diiringi kekehan pelan.April membuka pesan dari Dafa untuk memastikan data yang dikirim pria itu sudah masuk. “Oke, sudah aku terima. Akan aku periksa d
Setelah berbincang beberapa saat, April sepakat untuk mencoba memperkerjakan Andra terlebih dahulu sebelum memutuskan akan terus memakai jasanya atau tidak.“Baik Pak Andra, besok Anda sudah bisa mulai bekerja ya. Saya akan memberi waktu percobaan selama tiga bulan, setelah itu akan saya putuskan bagaimana selanjutnya.”Andra mengangguk pelan. “Terima kasih banyak Bu Aprilia atas kesempatan yang Ibu berikan kepada saya. Saya akan bekerja sebaik mungkin dan tidak akan mengecewakan Ibu,” sahutnya sambil tersenyum dan membetulkan kaca matanya.“Boleh saya bertanya sesuatu?”“Silakan, Bu.”“Anda asli orang sini? Pernah ke Indonesia sebelumnya? Apa Anda mempunyai saudara kembar?” cecar April membuat Andra menautkan alisnya. Merasa bingung dengan rentetan pertanyaan yang diajukan oleh atasan barunya itu.“Maaf sebelumnya Bu, tapi di data yang saya berikan pada perusahaan ini semuanya sudah lengkap dan Anda bisa membacanya di sana,” tolak Andra sesopan mungkin.“Hmm maaf ya, saya hany
Keesokan paginya, Zac dan Dafa telah kembali pulang ke Indonesia. Tinggallah Andrew dan Luna yang masih akan menginap selama satu minggu ke depan. April sedang memasak di dapur dengan dibantu oleh Luna, sedangkan Andrew menemani Alana bermain di ruang tengah.“Jadi kapan rencananya pernikahan kalian akan digelar?” tanya April sambil mengaduk sup yang ia masak lalu memberinya sedikit taburan garam.“Entahlah Pril, sepertinya masih lama,” sahut Luna yang sedang menata piring.“Kenapa memangnya? Apa masih belum menemukan gedung yang sesuai?” “Bukan tentang itu, masalahnya ada di Andrew sendiri,” terang Luna, akhirnya ia bercerita pada April bagaimana sikap Andrew terhadapnya selama ini.April mematikan kompor karena supnya telah matang, kemudian mengambil duduk di samping Luna untuk mendengarkan cerita wanita itu.“Aku pikir kak Andrew sudah berubah dan mulai mencintaimu, apa iya dia seperti itu?” tanya April ingin memastikan karena tak percaya dengan cerita Luna bahwa Andrew masi