Perlahan mami Annie mendekat lalu memeluk diriku, tanpa bisa kutahan aku semakin menangis tersedu dalam pelukannya. Terasa sedikit menenangkan untukku, mami mengusap punggungku hingga membuatku jauh lebih tenang dari sebelumnya.
“Kalau memang kamu bersikeras ingin pergi, harus ada seseorang yang menemani kamu Nak,” kata papa George membuatku menoleh ke arahnya.“Ya benar, tapi siapa yang bersedia menemani April dan bisa menjaganya selama di sana nanti?” mama Amelia bertanya pada semuanya.“Aku. Aku bersedia menjaga dan menemani April selama di sana,” ucap kak Andrew mengajukan diri untuk menemaniku pergi.Semua orang beralih menatap kak Andrew kemudian satu persatu dari mereka mengangguk setuju.“Papa setuju, biar perusahaan di sini papa yang urus untuk sementara.”“Baiklah, kami semua setuju. Tolong kamu jaga putri saya baik-baik ya Nak Andrew,” pinta papi Arsene.Kak Andrew terlihat mengangguk. “Saya akan menjaga April dengan segenap jiwa saya, Om.”“Terima kasih,” sahut papi terlihat lega melepasku karena akan ada kak Andrew yang bersedia menjagaku.“Lalu bagaimana dengan Alana?” tanya kak Emily membuatku baru tersadar bahwa ada putriku yang masih bergantung padaku.“Kami bisa menjaganya,” sahut mami Annie dengan tenang.“Alana biar ikut denganku saja, aku tidak ingin merepotkan kalian,” tolakku sehalus mungkin.“Apa yang kamu bicarakan Pril? Kami ini keluargamu, kamu tenang saja Alana akan aman bersama kami di sini. Kalau perlu aku akan membawanya tinggal bersamaku dan Zac, karena Miquel pasti senang bisa tinggal bersama adiknya,” ujar kak Emily. Ia mendekat, memelukku sebentar lalu melepasnya sambil tersenyum tipis. “Tabahkan hatimu ya, kami akan selalu mendukung dan mendoakanmu dari sini.”“Terima kasih banyak Kak,” balasku. Lalu kami berpelukan kembali.Aku merasa sangat beruntung dikelilingi oleh keluarga yang sangat peduli dan menyayangiku. Meski aku kehilangan suamiku, cinta dari keluargaku telah menjadi kekuatan baru untukku. Aku semakin percaya akan bisa menemukan kembali suamiku, aku sangat yakin bahwa dirinya masih hidup saat ini.**Keesokan paginya aku dan kak Andrew berpamitan pada seluruh anggota keluarga kami yang sejak semalam menemaniku. Tak lupa juga pada putri kecilku yang tak hentinya menangis saat aku berpamitan padanya.“Maafkan mami karena kita harus berpisah sebentar ya Sayang, mami janji akan kembali secepatnya bersama papi. Jadi anak yang pintar ya, patuh sama oma, opa, kakek, nenek, uncle, aunty semuanya akan jaga Alana ya Sayang, termasuk kak Miquel,” ujarku sambil berusaha tersenyum untuk menutupi kesedihanku.“Alana mau ikut, Mami,” rengeknya.Alana memelukku dengan erat sambil terisak karena tak ingin ditinggal pergi olehku. Aku pun ikut menangis seraya mengeratkan pelukan kami. Hingga akhirnya mami Annie berhasil membujuknya dan aku pun segera berangkat ke bandara bersama kak Andrew.**“April, apa pun yang terjadi aku akan selalu berada di samping kamu. Jadi tenangkan dirimu ya,” hibur kak Andrew padaku.Aku pun hanya bisa mengangguk lemah lalu menghempaskan diri di atas kursi di dalam pesawat. Begitu pun kak Andrew, ia mengambil duduk tempat di sampingku. Sepanjang perjalanan kak Andrew tak henti memberi semangat padaku, agar aku selalu kuat dalam menghadapi kenyataan bahwa suamiku telah pergi untuk selamanya.Namun dengan penuh keyakinan, aku selalu berkata pada diriku sendiri bahwa Alan masih hidup. Entah keyakinan itu timbul dari mana, tapi aku sangat yakin suamiku itu masih hidup dan sedang menunggu kehadiranku untuk menjemputnya pulang kembali bersama.“Sayang, aku akan segera datang. Tunggulah di sana kita pasti akan bertemu,” gumamku dalam hati sambil menatap keluar melalui jendela pesawat yang membawaku terbang menuju London.**Sesampainya di London, aku dan kak Andrew segera menuju lokasi tempat di mana mobil Alan terjatuh. Polisi memberi laporan bahwa mereka hanya menemukan mobilnya saja, tidak dengan Alan di dalamnya. Lalu ke mana Alan? Tidak ada jejak sama sekali yang bisa memberi petunjuk tentang hilangnya Alan.“Sayang, kamu di mana?” gumamku seraya menatap sendu pada jurang yang membuat Alanku kecelakaan.“April ....”Panggilan dari kak Andrew membuatku menoleh padanya.“Mari kita ke apartemen dulu, kamu harus beristirahat. Besok baru kita lanjutkan pencarian,” ajaknya padaku.Aku menggeleng pelan. “Tidak Kak, aku masih ingin di sini. Menunggu Alan.”Kak Andrew menghela napas berat, lalu merangkulku. “April ... tolong dengarkan aku. Kamu juga butuh istirahat, aku tidak mau kamu sampai sakit karena kelelahan. Tolong dengarkan kakakmu ini ya,” pintanya dengan tatapan memohon.Dengan terpaksa akhirnya aku pun mengangguk, lalu kami pun segera meninggalkan lokasi menuju apartemen. Tempat yang sudah Alan beli untuk keluarga kami jika sedang berkunjung kemari.“Kak Andrew ... terima kasih,” ucapku saat kami sudah sampai di apartemen.“Terima kasih untuk apa? Kamu juga adikku, sudah sewajarnya aku melakukan semua ini,” tuturnya seraya tersenyum dengan tulus.Aku pun kembali terharu dengan semua perlakuan baiknya, dia selalu memberikan yang terbaik untukku dan juga Alan. Aku merasa sangat berhutang budi padanya, dia adalah orang yang selalu ada untukku dan Alan saat kami membutuhkan sesuatu. Kak Andrew-lah orang pertama yang selalu mengulurkan tangan untuk membantu kami. Ucapan terima kasih pun tidak akan pernah cukup untuk membalas kebaikannya selama ini. Aku merasa sangat beruntung memiliki kakak ipar sebaik dirinya.**Next part akan ganti POV author.**Tak! Tak! Tak!Suara langkah kaki seorang wanita yang menggunakan sepatu hak tinggi terdengar menggema mengiringi perjalanannya menuju sebuah ruangan bertuliskan “Chief Executive Officer (CEO)”. Sepanjang perjalanan menuju ruangannya di lantai atas, para karyawan menyambut wanita itu dengan ucapan selamat pagi dan dibalas olehnya dengan senyuman ramah yang selalu menghiasi wajah cantiknya.“Sudah hampir satu tahun aku menjalani semua ini, aku harus bisa bertahan,” gumam wanita itu menyemangati dirinya sendiri.Sesampainya di dalam ruangan, wanita itu segera melangkah menuju meja kerja yang terletak di sudut ruangan dengan latar belakang jendela besar dan pemandangan indah kota London yang menampakkan jam Big Ben terlihat dari kejauhan. Ia menggantungkan tasnya di stand hanger kemudian menghempaskan tubuhnya di atas kursi empuk kebesarannya.Tok! Tok! Tok!Baru saja akan memulai membuka laptop untuk bekerja, suara ketukan di pintu membuat wanita itu terpaksa menghentikan aktivitas
Andrew menahan lengan Luna. “Lalu mau kamu apa?”“Kita menikah.”“Kalau itu aku belum bisa.”“Kenapa?”“Karena Alan belum ditemukan, bagaimana pun dia adikku. Mana mungkin kita menggelar pesta pernikahan sementara adik iparku masih berduka karena kehilangan suaminya.”“Sudahlah Andrew, kamu selalu saja memiliki alasan untuk mengulur waktu pernikahan kita.” Luna menarik lengannya dengan kasar lalu melangkah ke kamarnya dan menutup pintu dengan sedikit kencang.Di dalam kamar, wanita itu hanya bisa menangis meratapi nasibnya yang tak kunjung mendapat kepastian dari Andrew. Tiga tahun lamanya ia bersabar menanti kekasihnya itu untuk segera menikahinya, hingga saat ini adiknya menghilang membuatnya semakin mengulur waktu untuk segera meresmikan hubungan mereka.“Entah apa yang ada di hatimu Andrew, kenapa aku selalu merasa kamu tidak pernah mencintaiku,” batin Luna menangis.“Maafkan aku Luna, meski kita telah bertunangan tapi aku belum siap untuk menikah denganmu,” gumam Andrew k
Sementara itu di Indonesia...Kantor Alexander-Dawson (Merger Grup)“Luna, tolong kamu siapkan semua dokumen yang perlu tanda tangan saya sekarang. Karena besok saya akan pergi ke London untuk rapat dengan para klien di sana,” perintah Andrew pada sekretaris sekaligus tunangannya itu.“Ke sana lagi? Haruskah setiap bulan? Apa tidak bisa yang lain saja mewakili kamu, sekali ini saja?” cecar Luna dengan nada tidak suka seraya melipat kedua tangan di depan dada.“Luna, meski pun kamu tunangan saya tolong bersikap profesional. Jalankan saja perintah saya barusan,” ucap Andrew penuh penekanan.Luna menurunkan tangannya seraya menundukkan kepala. “Maaf ... akan segera saya kerjakan. Permisi,” pamitnya, kemudian dengan langkah gontai berjalan kembali ke ruangan kerjanya dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata.Andrew hanya bisa menggelengkan kepala dengan sikap tunangannya itu, menurutnya Luna menjadi sering cemburu padanya akhir-akhir ini. Terutama jika ia pergi ke Londo
“Kak Zac? Dafa? Kalian sudah di sini?” April tampak sedikit terkejut dengan kehadiran dua orang pria yang tiba-tiba sudah berada di kantornya itu.Zac mengangguk, melepas kaca mata hitamnya lalu melangkah mendekat sambil merentangkan kedua tangannya. “Apa kamu tidak merindukan kakakmu yang tampan ini?” April segera menghambur ke dalam pelukan Zac dengan senyuman yang mengembang di bibirnya. “Tentu saja aku sangat merindukanmu, Kak. Kenapa tidak bilang kalau datang hari ini? Kan aku bisa meminta sopir untuk menjemput kalian di bandara.”Zac pun mengeratkan pelukan April seraya mengusap dengan sayang, punggung adik tercintanya itu. “Tenang saja, kami sengaja tidak bilang karena ingin memberimu kejutan. Sudah lama sekali rasanya sejak kita berpisah sebulan lalu. Bagaimana kabarmu dan Alana? Kalian baik-baik saja kan di sini?” April mengurai pelukan mereka. “Tentu saja Kak, kami baik,” balasnya dengan senyuman canggung lalu beralih menatap Dafa yang sedari tadi memperhatikan mereka
Di kantor ALSON Company...Menjelang siang, rapat yang dihadiri oleh perwakilan para petinggi masing-masing perusahaan setiap bulannya itu telah selesai digelar. Kini Andrew, Zac, dan Dafa tengah berkumpul di ruangan April sambil berbincang-bincang menunggu waktu makan siang tiba. Sementara Luna yang kelelahan karena perjalanan jauh, terpaksa tinggal di apartemen sekaligus menjaga Alana.“Dafa, kamu bilang akan memberikan data asisten yang akan bekerja padaku. Apakah sudah ada?” tagih April sesuai yang Dafa janjikan padanya semalam.“Tentu saja, tunggu aku akan kirim datanya padamu.” Kali ini Dafa terlihat lebih tenang, tak lagi gelisah seperti semalam. Lalu ia mengotak-atik ponselnya untuk mengirim data yang April minta. “Oke sudah ya, silakan kamu cek. Jika ada pertanyaan lebih lanjut silakan hubungi bapak Dafa Fabian,” ujarnya diiringi kekehan pelan.April membuka pesan dari Dafa untuk memastikan data yang dikirim pria itu sudah masuk. “Oke, sudah aku terima. Akan aku periksa d
Setelah berbincang beberapa saat, April sepakat untuk mencoba memperkerjakan Andra terlebih dahulu sebelum memutuskan akan terus memakai jasanya atau tidak.“Baik Pak Andra, besok Anda sudah bisa mulai bekerja ya. Saya akan memberi waktu percobaan selama tiga bulan, setelah itu akan saya putuskan bagaimana selanjutnya.”Andra mengangguk pelan. “Terima kasih banyak Bu Aprilia atas kesempatan yang Ibu berikan kepada saya. Saya akan bekerja sebaik mungkin dan tidak akan mengecewakan Ibu,” sahutnya sambil tersenyum dan membetulkan kaca matanya.“Boleh saya bertanya sesuatu?”“Silakan, Bu.”“Anda asli orang sini? Pernah ke Indonesia sebelumnya? Apa Anda mempunyai saudara kembar?” cecar April membuat Andra menautkan alisnya. Merasa bingung dengan rentetan pertanyaan yang diajukan oleh atasan barunya itu.“Maaf sebelumnya Bu, tapi di data yang saya berikan pada perusahaan ini semuanya sudah lengkap dan Anda bisa membacanya di sana,” tolak Andra sesopan mungkin.“Hmm maaf ya, saya hany
Keesokan paginya, Zac dan Dafa telah kembali pulang ke Indonesia. Tinggallah Andrew dan Luna yang masih akan menginap selama satu minggu ke depan. April sedang memasak di dapur dengan dibantu oleh Luna, sedangkan Andrew menemani Alana bermain di ruang tengah.“Jadi kapan rencananya pernikahan kalian akan digelar?” tanya April sambil mengaduk sup yang ia masak lalu memberinya sedikit taburan garam.“Entahlah Pril, sepertinya masih lama,” sahut Luna yang sedang menata piring.“Kenapa memangnya? Apa masih belum menemukan gedung yang sesuai?” “Bukan tentang itu, masalahnya ada di Andrew sendiri,” terang Luna, akhirnya ia bercerita pada April bagaimana sikap Andrew terhadapnya selama ini.April mematikan kompor karena supnya telah matang, kemudian mengambil duduk di samping Luna untuk mendengarkan cerita wanita itu.“Aku pikir kak Andrew sudah berubah dan mulai mencintaimu, apa iya dia seperti itu?” tanya April ingin memastikan karena tak percaya dengan cerita Luna bahwa Andrew masi
April menatap asisten pribadinya itu dengan pandangan yang tajam. “Menyebalkan sekali dia, sama seperti Alan di awal pertemuan kami. Ah, kenapa aku jadi menyamakan mereka. Dia sama sekali tidak sama dengan suamiku yang tampan dan begitu mencintaiku,” batinnya dengan pandangan yang tak lepas dari Andra.“Anda kenapa menatap saya seperti itu?” tanya Andra seraya menautkan alisnya.April mengalihkan pandangannya lalu mengusap wajah dengan kasar. “Tolong belikan saya es krim di kantin, ini uangnya,” pintanya seraya berbalik kembali dan memberikan selembar uang.Andra menerima uang itu dengan sedikit ragu. “Hanya itu, Bu?” tanyanya memastikan.“Ya, sudah sana cepatlah,” usir April karena merasa tak tahan dengan kehadiran asisten pribadinya itu yang semakin membuatnya pusing.Andra pun mengangguk paham dan segera keluar ruangan menuju kantin untuk membelikan April es krim sesuai permintaan wanita itu.**“Dafa, aku menjadi artis bukan hanya untuk uang. Tapi ini cita-citaku sejak dulu