Bab 41"Hallo Tulang-Paman, apa kabar?""Baik Bere-keponakan, tumben nelpon ada yang bisa Tulang bantu?" jawab pamanku dengan ramah."Begini Tulang, ada yang menipu kami, menjual tanah yang sudah terjual. Kira-kira hukumannya apa Lang, bisa masuk bui tidak, berapa lama?" tanyaku langsung pada intinya."Waow..., Langsung to the poin ya Bere, tidak mau berdamai? penipuan 4 tahun penjara, sedangkan pemalsuan dokumen sekitar 8 tahun penjara, jangan gegabah lebih baik berdamai." saran Paman dengan suara lembut."Soalnya perdamaian bagi dia sebuah lelucon Lang, aku mau bikin efek jera padanya.""Posisi mu dimana ini Bere?""Aku di Ujung Batu Tulang.""Share lokasi, biar aku suruh dua orang teman polisi kesana untuk menemani Bere, sabar ya, Tulang harap perdamaian dengan cara kekeluargaan akan lebih baik Nak." kembali Paman memberi saran."Terimakasih Lang."Aku sengaja telpon saudara ibuku yang satu ini, selain bergerak di bidang hukum, beliau juga punya kedudukan penting di kota Riau ini.
Bab 42Aku melihat wajah keriput ibu mertua menyimpan kekecewaan, sebenarnya tidak tega juga melihat ibu bersedih begini, tapi mau bagaimana lagi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri, baik secara hukum maupun secara moral."Yuk Inang, kita ke kosan Togar dulu. Kalau Inang kecapekan, besok saja kita pulang ke Bagan Batu." ajak ku setelah Mitha masuk membanting pintu rumahnya."Kau duluan saja Nak, aku mau menemui Mitha sebentar," ucap ibu datar."Aku tunggu, Inang di mobil saja?" tanyaku memberi usul."Tidak usah Nak, biar nanti aku minta diantar ke tempat Togar. Aku mau melihat bagaimana mereka bersikap kepada orang tua mereka, setelah kejadian tadi.""Baiklah, kalau begitu keinginan Inang, aku pergi duluan ya Nang, Klo ada apa-apa hubungi aku, atau Togar. Biar aku tunggu di sana saja."Aku mengelus pundak Ibu mertua sebelum berlalu meninggalkannya.Aku membeli makanan ringan dan mie instan di minimarket terdekat, menemui anak lajang sering tidak ada apa-ap
Bab 43"Siapa yang menghina Mamak?" Togar langsung tersinggung dengan ucapan ibunya."Siapa yang tidak mendengarkan nasehat, maka itu sama dengan menghina orang tuanya." ibu mertua mengambil air minum di gelasnya, dan meminumnya hingga tandas."Jangan alihkan pembicaraan Mak, apa kak Mitung dan suaminya itu, tadi menghina Mamak? Katakan Mak apa yang di katakan pada Mamak?" Togar mendesak ibu mertua agar bicara yang sesungguhnya."Sudahlah Nak, tidak usah lagi di perpanjang, sekarang pikirkanlah hidupmu, mumpung Mamak mu ini masih hidup, carilah jodohmu." ibu seperti menutupi sesuatu tetang perilaku Mitha dan suaminya.Togar mengambil HP nya lalu menelepon seseorang, "suruh suamimu itu kemari, apa saja yang sudah kalian lakukan pada mamak tadi disana. Hidup cuma sekali, maka mati juga cuma sekali, cepatlah suruh suamimu kesini kalau tidak aku yang akan datang kesitu membuat perhitungan pada kalian."Tanpa mendengar suara dari seberang telpon, Togar langsung mematikan ponselnya. "Togar
Bab 44Aku lihat air mata mengalir di sudut matanya, aku tidak sanggup lagi menahan sesak di dadaku melihat wajah pucatnya dan keringat yang mengucur di seluruh dahinya. Akhirnya aku menangis juga, setelah susah payah sejak tadi menahannya."Katakan pada kakak Gar, mana yang sakit Dek? Apa sebenarnya penyakitmu? Huhuhu.... Jangan buat kakak takut!" Aku mengipasnya dengan sobekan kardus air mineral yang dia sediakan untuk tamu.Bidan yang dijemput oleh tetangga Togar sudah nyampai, setelah di tensi ternyata tensinya katanya sangat tinggi, lalu Bu Bidan merujuknya ke rumah sakit di kota, dengan jarak tempuh 2 jam perjalanan. Tidak ingin membuang waktu, aku langsung menyanggupinya. Aku minta tolong tetangga Togar untuk membantuku mengangkat tubuh Togar ke dalam mobilku. "Sabar ya Dek, kau harus sembuh, kita ke rumah sakit sekarang." Perasaan baru saja kami tertawa bersama, makan bersama, tapi begitu cepat waktu berlalu, sekarang dia tidak berdaya, bahkan untuk menjawab perkataanku saja
Bab 45Aku terus memeluk Togar, sama sekali tidak menyangka kalau usianya hanya sampai disini di dunia ini. Ibu mertua hanya diam, tanpa bersuara sepatah katapun, hanya air mata yang terus mengalir di pipi, dan raut wajahnya dingin, memandangi anaknya yang semakin lama semakin dingin.Almarhum Togar dibersihkan, sesuai dengan permintaanku, dan aku meminta satu ambulans untuk mengantar almarhum ke kampung. Sepertinya aku tidak akan bisa berdiam begini, mau tidak mau aku harus mengabari semua keluarga atas duka ini, minimal saudara kandung Togar. Sesaat aku berpikir hendak menelepon siapa lebih dulu, aku mencari kontak kak Susi yang di kampung. Agar dia siap-siap di kampung, membereskan rumah mertua, karna almarhum Togar akan disemayamkan disana sebelum penguburan. "Jangan kasih tahu Mitha dan suaminya, kalau anakku ini sudah meninggal," ucap ibu mertua menatapku penuh dingin.Aku hanya mengangguk, aku memeluk Ibu dengan perasaan yang sangat menyayat hati, "kita harus kuat Inang, janga
Bab 46"Togar tidak sakit Eda-ipar, tapi di tembak oleh si Saut suaminya Mitha," tiba-tiba ibu mertua bersuara, padahal sejak kami berangkat dari rumah sakit dan nyampai di kampung, hingga penguburan selesai ibu sama sekali tidak bersuara.Sontak semua yang mendengarnya kaget, termasuk aku. Aku melihat ibu mertua, seakan minta penjelasan atas ucapannya barusan."Sudah Mak Dinda, tidak usah di sembunyikan lagi kenyataan itu pada semua orang yang disini. Biar penipu itu dipenjara." jerit ibu menangis pilu. Ini pertama kalinya tangisannya keluar setelah sejak semalam hanya diam berurai air mata.Aku hanya bisa diam menanggapi perkataan ibu mertua, dengan mata yang tentunya berkaca-kaca, menahan sesak di dada air mata yang terus memaksa ingin keluar meskipun aku sudah berusaha menahannya."Riska, apa sebenarnya yang terjadi?" Kak Susi kini yang bertanya padaku."Kau jangan diam saja Dek, sebenarnya ada apa dengan Togar?" Bang Linggom ikut juga meminta keterangan dariku.Semua mereka mena
Bab 47Dengan bukti yang ada di ponsel Togar, berikut dengan para saksi mata yang benar-benar menyaksikan kejadian saat Togar tertembak meski saat itu masih tertolong, serta bukti photo-photo yang ada di ponsel Togar membuat penyelidikan berjalan cukup cepat. Saut diringkus dan dimasukkan ke penjara. Dia dijatuhi hukuman enam tahun penjara. Sebenarnya tidak sebanding dengan nyawa Togar yang sudah melayang begitupun trauma anakku Fery yang melihat langsung ayahnya di bacok pakai Kelewang dan golok panjang, serta penipuan yang dilakukannya. Seharusnya hukuman buat dia penjara seumur hidup. Tapi setelah melalui proses dan prosedur yang berlaku sehingga Saut hanya dijatuhi hukuman enam tahun penjara."Dek, rasanya Abang capek bolak-balik Bagan Batu - Ujung Batu begini. Bagaimana kalau kau mengundurkan diri saja dari kebun, biar ada juga yang bantuin Abang mengurus ladang kita."Aku yang mendengar permintaan Bang Linggom tidak langsung menjawab. Ku perhatikan sejak Bang Linggom mengundurka
Bab 48"Iya nanti kita bicara lagi ya Bang! Jangan cengeng gini deh. Aku jadi bingung. Abang tidur dulu, istirahat di kamar, nanti kita ke tempat papi agar pikiran kita sedikit terbuka kalau cerita sama orang tua."Aku beranjak hendak beberes rumah, tapi kembali Bang Linggom menahannya. Dia kembali memelukku dengan sangat erat. Menciumi wajahku berulangkali lalu dengan perlahan mencium bibir ini dengan sangat lembut. "Abang selalu merindukanmu Sayang. Abang tidak mau kau jauh dariku, temani aku tidur di kamar," bisiknya lembut di telingaku.Gemuruh di dadaku berdebar tidak beraturan. Sudah lama aku tidak merasakan denyar-denyar seperti ini. Bukan berarti cinta hilang ataupun pudar, tapi kerasnya kehidupan, masalah demi masalah yang datang, membuat kemesraan di antara kami suami istri jadi seperti terabaikan. Beruntung saat ini anak-anak ada di rumah papi, sehingga ada waktu buat kami berdua untuk saling menyalurkan kerinduan setelah hampir tiga Minggu berpisah.Ciuman Bang Linggom di
Bab 66Aku kaget dengan ucapan bang Linggom yang tiba-tiba Sarkar begitu. Si Mitha juga sudah punya mantu tapi tetap saja kelakuannya tak pernah bisa menghargai orang lain."Ck, baru makanan gini saja marahnya kayak orang kerasukan setan."Mitha langsung melempar kresek yang berisi terong tadi ke halaman rumah melalui pintu yang memang sedang terbuka, alhasil terong Belanda buah kesukaanku itu berserak di halaman rumah ada beberapa yang pecah. Dengan gontai aku berjalan keluar memungut terong-terong tersebut. Walau bagaimanapun itu adalah makanan tidak boleh dibuang. Apalagi ini pemberian orang. Aku lihat mata Mitha tajam menatapku mengutip satu persatu buah tersebut."Makan tuh buah,bila perlu masukkan sebagian di telingamu." ucapnya ngos-ngosan, sepertinya emosinya sudah di ujung tanduk."Iya dong, kalau kau tidak menghargai pemberian orang lain, itu masalah mu. Tapi aku setetes pun pemberian orang lain akan ku ingat, begitupun kecurangan, sedikit pun orang lain bersikap curang pa
Bab 65Pagi ini aku sengaja bangun lama. Aku dengar mertua sudah mulai bergerak di dapur. Tapi karena cuaca yang sangat dingin aku enggan keluar dari selimut. "Mak Thomas, bangunlah kau. Masaklah buat anak-anakmu. Nanti mereka bangun pasti pada lapar semua." Kudengar ibu mertua membangunkan Mitha, yang tidur di kamar. Sementara aku dan Linggom beserta Thomas dan istrinya, dan kelima adiknya tidur di ruang depan bareng-bareng bersama ibu mertua. Mitha dan suaminya tidur di kamar dengan alasan dingin dan tidak biasa tidur tanpa alas Spring bed."Akh, Mamak ini berisik kali. Dingin loh Mak, mana masih gelap juga. Biar nanti istrinya Thomas yang masak Mak, aku masih mau tidur.""Sudah tua, bentar lagi kau sudah memiliki cucu, tapi bawaanmu masih tetap kayak anak-anak. Terserah kaulah. Kalau kau mau anak-anakmu kelaparan ya sudah." sahut mertua sambil berlalu ke dapur.Aku melihat jam di tanganku, masih menunjukkan pukul lima subuh. Pagi ini Ferry dan kedua adiknya akan tiba di rumah kar
Bab 64"Kenapa harus membawa ini dan itu kau Mak Dinda, aku sendiri nya tinggal di rumah ini. Seberapa banyaklah buat aku makan." Ibu mertua protes setelah aku membongkar oleh-oleh yang aku bawa dari kardus."Memang selalu nya begini kan Mak, kalau bukan kami yang membawa kebutuhanmu di rumah ini memang ada yang akan memperhatikan Mamak?" sela bang Linggom dengan suara datar."Maafkanlah saudaramu yang lain ya Nak, mungkin begitulah yang mereka tau." Sahut ibu mertua sungkan."Lagipula ini buat bekal kita selama disini Inang, cucu-cucu mu paling juga nanti menghabiskannya." aku berusaha menetralisir suasana biar ibu mertua tidak merasa sungkan.Kebetulan pas kami nyampai rumah mertua masih sepi. Mitha, suaminya dan anak-anaknya pergi jalan-jalan. Sementara bang Dapot dan kak Susi beserta anak-anaknya masuk sibuk bekerja di ladangnya. Menurut kebiasaan paling nanti pas malam tahun baruan mereka datang berkumpul di rumah mertua. Sementara bang Tigor dan istri keduanya belum juga nyampa
Bab 63Aku cukup diam saja melihat tingkah Mitha. Barangkali dia tidak sadar betapa dulu aksi suaminya sangat membuat hati Ferry begitu trauma sampai sekarang. "Sudah Mak Thomas, tidak usah dibahas lagi." Saut memegang tangan Mitha."Tidak apa-apa Lae, inangbao. Tidak usah dipikirkan masalah bensin. Besok biar kami saja yang jemput orang Lae dan Inangbao kesini." Saut masih memegang tangan Mitha agar tetap berdiri di tempatnya, sambil menunduk sungkan kepada Bang Linggom dan aku."Tidak usah Amangbao, tidak perlu menjemput kami. Harusnya kita lebih baik tidak usah saling mengunjungi seperti ini. Cukup disaat kalian perlu pesta adat yang mengharuskan kami ada maka datanglah kemari, jika kami juga perlu pesta adat dan acara maka kami pun akan menghubungi kalian. Anggap saja hubungan kita sebatas pesta adat tradisi kita saja sebab biar bagaimanapun, Mak Thomas dan Pak Dinda tetap bersaudara kandung." Rasanya aku sudah muak dengan semua kepura-puraan ini. Datang kemari menawarkan pula
Bab 62Pesta pernikahan Thomas yang terkesan buru-buru tak pelak mengundang tanya orang-orang. Aku dan bang Linggom memutuskan untuk hadir setelah diskusi dengan bang Dapot dan bang Tigor.Pesta berjalan sebagaimana mestinya, para undangan pun banyak yang hadir. Baik dari kampung maupun keluarga yang ada disini. Pihak dari saudara Mitha memiliki peran sangat penting di pesta tersebut. Meski tidak begitu antusias tapi aku dan bang Linggom berusaha menempatkan diri agar tidak terlihat dimuka publik betapa peliknya permasalahan yang pernah terjadi diantara kami.Aku genggam tangan suamiku, sabar hasian, kelak anak-anak kita yang mendapat berkat dari Tuhan. Seiring berjalannya waktu, Mitha dan suaminya sudah mulai berani datang bertandang sesekali ke rumah. Walau suamiku tetap cuek dan dingin. Aku selalu mengajarkan anak-anakku untuk bersikap sopan kepada mereka, jika anakku yang nomor tiga dan nomor empat selalu menyambut ramah mereka, beda dengan anakku yang ke satu dan nomor dua yait
Bab 61"Apa maksudmu Bere?" ucap bang Linggom merenggangkan pelukan mereka"Ya Tulang, lebih baik aku tidak usah menikah kalau Tulang dan Nantulang tidak hadir." tegas Thomas masih posisi air mata membasahi pipinya."Thomas! Kau sudah besar. Dan kau pasti bisa mengingat bagaimana dulu jahatnya kedua orangtuamu ini kepada kami. Jadi sudahlah, tidak usah berdrama pakai nangis segala disini karena memang kami tidak akan iba pada kalian. Pergilah temui tulangmu yang dua lagi." ucapku dengan tenang."Apa salahku Nantulang, kesalahan orang tua kenapa dilimpahkan padaku. Aku minta maaf, tolong maafkan kami." Kembali Thomas memohon dengan penuh harap. Beralih mengambil tanganku dan menciumnya dengan hormat. Aku segera menarik tanganku dari kegemarannya sebelum hatiku luluh. Sesungguhnya tidak tega juga melihat keponakan kami ini menangis dan memohon, tapi jika mengingat perlakuan kedua orangtuanya membuat hati ini seperti membeku."Thomas, bagaimana mungkin kau tidak akan menikah, sementara
Bab 60"Ini padi-padi kita kenapa bisa begini Bang?"Aku berdiri memperhatikan padi yang susah payah kami tanam sekarang malah hangus menghitam."Sepertinya padi mu ini di semprot racun oleh seseorang Mak Dinda. Aku lihat dari kemarin daunnya pada kuning semua, sekarang jadi menghitam kering." Kak Lis, yang ladangnya bersebelahan dengan ladangku memberi penjelasan. Kak Lis juga lah yang telah mengirimkan SMS kepadaku tadi malam."Apa yang ada ya kak, kakak lihat jejak orang mencurigakan yang sengaja merusak ini?" Bang Linggom bertanya kepada kak Lis."Tidak ada Pak Dinda, kemarin lusa memang kami tidak ada disini, kalian pergi kami juga pergi. Ada pesta adik ipar ku di kampung."Bang Linggom tetap mengambil padi-padi kami itu. Meski menghitam tapi karena sudah berisi, setidaknya bisa di tumbuk pelan-pelan untuk mengeluarkan gabahnya dari berasnya.Miris memang, sedihnya tak terucapkan. Pengen cerita ke Papi dan saudara-saudara ku juga, rasanya aku enggan jadi beban buat mereka. Sedan
Bab 59“Helmi, aku memilih keluargaku! Aku akan segera mengurus perceraian kita.”Bang Roni menatap Kak Helmi, lalu mengusap air matanya dengan kedua telapak tangannya.Mendengar pernyataan Bang Roni. Membuat mata Kak Helmi membulat seakan tidak percaya apa yang barusan diucapkan oleh suaminya. Bukan hanya kak Helmi, aku yakin kami semua kaget atas ucapan Bang Roni terlihat dari wajah kami masing-masing yang kelihatan tegang.“Maksud Abang apa?” ucap Kak Helmi mendekat ke sisi Bang Roni.“Aku memilih keluargaku! Aku ingin kita bercerai.”“Papi, tolong maafkan aku Pi! Beri aku waktu untuk merubah segala sifat jelekku selama ini. Aku akan memberikan uang lima juta rupiah itu secara cuma-cuma kepada Riska, yang penting kami tidak bercerai.” “Jangan Anda pikir karena uang lima juta bisa membeli keharmonisan keluarga ini. Simpan uangmu, Eriska tidak akan menerima apapun yang akan Anda berikan!" tegas Papi kesal.Aku perhatikan, Papi tetap bersuara datar meskipun emosinya sedang meningkat,
Bab 58Padahal kalau dipikir-pikir, uang Bang Roni ini melebihi uang Bang Anton. Sawit Abangku ini lebih dari seratus hektar saat ini. Semua sudah berhasil. Sementara mereka belum memiliki anak. Sedih jadinya melihat Abangku yang satu ini.“Kalau Kau Bungaran bagaimana?” tanya Papi menoleh ke Abangku nomor tiga.“Lima puluh juta. Urus Lah ladang kalian itu dengan baik. Berdoa kepada Tuhan, biar apa yang kalian kerjakan diberkati Tuhan. Kalau sudah ada tempat yang cocok segera bangun rumah kalian disana, nanti Abang bantu biaya pembangunannya. Apa yang dilakukan iparmu itu Lae Linggom, jadikan cambuk menuju sukses. Keponakanku ini berempat harus bisa sekolah tinggi kalian buat, kalian harus buktikan meskipun dicurangi tapi mampu berdiri kokoh,” ucap Bang Bungaran tegas."Iya Riska, Kau jangan sungkan-sungkan. Selama ini begitu banyak masalah yang terjadi padamu, Kau pendam sendiri. Apa Kau tidak menganggap kami ini saudaramu? Papi sudah tua, bagaimanapun kitalah yang harus saling bahu