Bab 44Aku lihat air mata mengalir di sudut matanya, aku tidak sanggup lagi menahan sesak di dadaku melihat wajah pucatnya dan keringat yang mengucur di seluruh dahinya. Akhirnya aku menangis juga, setelah susah payah sejak tadi menahannya."Katakan pada kakak Gar, mana yang sakit Dek? Apa sebenarnya penyakitmu? Huhuhu.... Jangan buat kakak takut!" Aku mengipasnya dengan sobekan kardus air mineral yang dia sediakan untuk tamu.Bidan yang dijemput oleh tetangga Togar sudah nyampai, setelah di tensi ternyata tensinya katanya sangat tinggi, lalu Bu Bidan merujuknya ke rumah sakit di kota, dengan jarak tempuh 2 jam perjalanan. Tidak ingin membuang waktu, aku langsung menyanggupinya. Aku minta tolong tetangga Togar untuk membantuku mengangkat tubuh Togar ke dalam mobilku. "Sabar ya Dek, kau harus sembuh, kita ke rumah sakit sekarang." Perasaan baru saja kami tertawa bersama, makan bersama, tapi begitu cepat waktu berlalu, sekarang dia tidak berdaya, bahkan untuk menjawab perkataanku saja
Bab 45Aku terus memeluk Togar, sama sekali tidak menyangka kalau usianya hanya sampai disini di dunia ini. Ibu mertua hanya diam, tanpa bersuara sepatah katapun, hanya air mata yang terus mengalir di pipi, dan raut wajahnya dingin, memandangi anaknya yang semakin lama semakin dingin.Almarhum Togar dibersihkan, sesuai dengan permintaanku, dan aku meminta satu ambulans untuk mengantar almarhum ke kampung. Sepertinya aku tidak akan bisa berdiam begini, mau tidak mau aku harus mengabari semua keluarga atas duka ini, minimal saudara kandung Togar. Sesaat aku berpikir hendak menelepon siapa lebih dulu, aku mencari kontak kak Susi yang di kampung. Agar dia siap-siap di kampung, membereskan rumah mertua, karna almarhum Togar akan disemayamkan disana sebelum penguburan. "Jangan kasih tahu Mitha dan suaminya, kalau anakku ini sudah meninggal," ucap ibu mertua menatapku penuh dingin.Aku hanya mengangguk, aku memeluk Ibu dengan perasaan yang sangat menyayat hati, "kita harus kuat Inang, janga
Bab 46"Togar tidak sakit Eda-ipar, tapi di tembak oleh si Saut suaminya Mitha," tiba-tiba ibu mertua bersuara, padahal sejak kami berangkat dari rumah sakit dan nyampai di kampung, hingga penguburan selesai ibu sama sekali tidak bersuara.Sontak semua yang mendengarnya kaget, termasuk aku. Aku melihat ibu mertua, seakan minta penjelasan atas ucapannya barusan."Sudah Mak Dinda, tidak usah di sembunyikan lagi kenyataan itu pada semua orang yang disini. Biar penipu itu dipenjara." jerit ibu menangis pilu. Ini pertama kalinya tangisannya keluar setelah sejak semalam hanya diam berurai air mata.Aku hanya bisa diam menanggapi perkataan ibu mertua, dengan mata yang tentunya berkaca-kaca, menahan sesak di dada air mata yang terus memaksa ingin keluar meskipun aku sudah berusaha menahannya."Riska, apa sebenarnya yang terjadi?" Kak Susi kini yang bertanya padaku."Kau jangan diam saja Dek, sebenarnya ada apa dengan Togar?" Bang Linggom ikut juga meminta keterangan dariku.Semua mereka mena
Bab 47Dengan bukti yang ada di ponsel Togar, berikut dengan para saksi mata yang benar-benar menyaksikan kejadian saat Togar tertembak meski saat itu masih tertolong, serta bukti photo-photo yang ada di ponsel Togar membuat penyelidikan berjalan cukup cepat. Saut diringkus dan dimasukkan ke penjara. Dia dijatuhi hukuman enam tahun penjara. Sebenarnya tidak sebanding dengan nyawa Togar yang sudah melayang begitupun trauma anakku Fery yang melihat langsung ayahnya di bacok pakai Kelewang dan golok panjang, serta penipuan yang dilakukannya. Seharusnya hukuman buat dia penjara seumur hidup. Tapi setelah melalui proses dan prosedur yang berlaku sehingga Saut hanya dijatuhi hukuman enam tahun penjara."Dek, rasanya Abang capek bolak-balik Bagan Batu - Ujung Batu begini. Bagaimana kalau kau mengundurkan diri saja dari kebun, biar ada juga yang bantuin Abang mengurus ladang kita."Aku yang mendengar permintaan Bang Linggom tidak langsung menjawab. Ku perhatikan sejak Bang Linggom mengundurka
Bab 48"Iya nanti kita bicara lagi ya Bang! Jangan cengeng gini deh. Aku jadi bingung. Abang tidur dulu, istirahat di kamar, nanti kita ke tempat papi agar pikiran kita sedikit terbuka kalau cerita sama orang tua."Aku beranjak hendak beberes rumah, tapi kembali Bang Linggom menahannya. Dia kembali memelukku dengan sangat erat. Menciumi wajahku berulangkali lalu dengan perlahan mencium bibir ini dengan sangat lembut. "Abang selalu merindukanmu Sayang. Abang tidak mau kau jauh dariku, temani aku tidur di kamar," bisiknya lembut di telingaku.Gemuruh di dadaku berdebar tidak beraturan. Sudah lama aku tidak merasakan denyar-denyar seperti ini. Bukan berarti cinta hilang ataupun pudar, tapi kerasnya kehidupan, masalah demi masalah yang datang, membuat kemesraan di antara kami suami istri jadi seperti terabaikan. Beruntung saat ini anak-anak ada di rumah papi, sehingga ada waktu buat kami berdua untuk saling menyalurkan kerinduan setelah hampir tiga Minggu berpisah.Ciuman Bang Linggom di
Bab 49"Inang ini, tidak mungkin Kak Susi tidak mau mengurus. Paling itu Inang yang ngadu yang nggak-nggak sama Bang Dapot makanya mereka jadi tengkar," ucapku kesal."Sudahlah, namanya orang tua. Baru kehilangan anaknya, sementara suaminya tempat untuk berbagi pun sudah tidak ada, jadi wajar kalau emosinya tidak stabil. Kau yang muda mengertilah."Mami menegurku dengan tatapan sedikit mengintimidasi. Aku menunduk pasrah. Ada sedikit perasaan kesal, kenapa Mami selalu saja mengajak aku mengerti setiap urusan dengan pihak Bang Linggom. Sebenarnya kadang aku capek juga. Bukan apa-apa, saat ini hidup lagi banyak masalah. Tabungan semakin menipis, kalau bolak-balik kampung jadinya semua jadi berantakan. Sementara kalau aku mengundurkan diri, bulan depan tidak lagi dapat gaji. Pusing kepalaku."Saat-saat beginilah di uji bagaimana kalian bersikap kepada orang tua, lalu bagaimana kalian bersikap agar keharmonisan keluarga kalian tetap terjaga, walau kenyataan tidak seperti yang kalian ingin
Bab 50"Sejak kau berteman dengan Reni, sudah sangat sering kau bicara kasar kepada aku. Sekarang kau bahkan tidak punya sopan bicara seperti itu pada kakak iparmu sendiri, lalu uang Riska dan Linggom yang selama ini pernah kau pakai apa bisa kau kembalikan?"Ibu mertua menatap tajam putrinya. Suara ibu mertua yang tadinya lemas, mendadak melengking setelah mendengar jawaban Neli padaku."Tunggu saja aku kerja, akan ku kembalikan kok. Hitung saja dulu disana berapa total yang harus ku bayarkan nantinya."Neli bahkan tidak merasa bersalah atas ucapannya sendiri. "Sudah, sudah Inang. Jangan diperpanjang lagi." Aku membereskan dapur tempat kami makan tadi bersama ibu mertua. Entah kenapa memang akhir-akhir ini Neli terlihat ketus kalau di ajak cerita.Sementara Neli pergi keluar dengan membanting kasar pintu tengah penghubung dapur dan ruang keluarga."Nelli! Mau kemana kau?" tanya ibu mertua dengan nada yang begitu marah."Terserah aku," jawabnya langsung pergi menjauh dengan sepeda m
Bab 51"Kak, kok aku dengarnya jadi ngeri ya? Emang si Reni itu siapa sih Kak?""Reni itu anaknya Bu Restu tadi Riska, sudah menjadi rahasia umum kalau si Reni ini di Medan itu, kerjaannya menjajakan dirinya ke om-om yang kesepian."Aku meneguk sedikit kopi yang disediakan Kak Susi, sport jantung juga mendengarkan pengakuan kak Susi tentang si Reni teman Nelly itu."Tapi mereka tidak ke Medan Kak, Nelly tadi bilangnya ke Batam. Dan herannya lagi, di ijinkan ataupun tidak, Nelly harus pergi besok pagi.""Ke Medan itu Riska, aduh ... sudah berapa teman-teman si Reni ini dia jual di Medan sana. Si Nelly saja yang bodoh tidak pintar cari teman. Mungkin mata si Nelly silau melihat barang-barang Reni sehingga dia mau seperti Reni." "Berarti harus kita cegah dong Kak. Masa kita biarkan adik ipar kita terjerumus ke dalam dosa.""Yang ada nanti kau yang pasti di benci Ibu Mertua kita Riska, lebih baik diam saja daripada cari masalah.""Tapi aku tidak bisa Kak membiarkan saudara sendiri terje