Bab 61"Apa maksudmu Bere?" ucap bang Linggom merenggangkan pelukan mereka"Ya Tulang, lebih baik aku tidak usah menikah kalau Tulang dan Nantulang tidak hadir." tegas Thomas masih posisi air mata membasahi pipinya."Thomas! Kau sudah besar. Dan kau pasti bisa mengingat bagaimana dulu jahatnya kedua orangtuamu ini kepada kami. Jadi sudahlah, tidak usah berdrama pakai nangis segala disini karena memang kami tidak akan iba pada kalian. Pergilah temui tulangmu yang dua lagi." ucapku dengan tenang."Apa salahku Nantulang, kesalahan orang tua kenapa dilimpahkan padaku. Aku minta maaf, tolong maafkan kami." Kembali Thomas memohon dengan penuh harap. Beralih mengambil tanganku dan menciumnya dengan hormat. Aku segera menarik tanganku dari kegemarannya sebelum hatiku luluh. Sesungguhnya tidak tega juga melihat keponakan kami ini menangis dan memohon, tapi jika mengingat perlakuan kedua orangtuanya membuat hati ini seperti membeku."Thomas, bagaimana mungkin kau tidak akan menikah, sementara
Bab 62Pesta pernikahan Thomas yang terkesan buru-buru tak pelak mengundang tanya orang-orang. Aku dan bang Linggom memutuskan untuk hadir setelah diskusi dengan bang Dapot dan bang Tigor.Pesta berjalan sebagaimana mestinya, para undangan pun banyak yang hadir. Baik dari kampung maupun keluarga yang ada disini. Pihak dari saudara Mitha memiliki peran sangat penting di pesta tersebut. Meski tidak begitu antusias tapi aku dan bang Linggom berusaha menempatkan diri agar tidak terlihat dimuka publik betapa peliknya permasalahan yang pernah terjadi diantara kami.Aku genggam tangan suamiku, sabar hasian, kelak anak-anak kita yang mendapat berkat dari Tuhan. Seiring berjalannya waktu, Mitha dan suaminya sudah mulai berani datang bertandang sesekali ke rumah. Walau suamiku tetap cuek dan dingin. Aku selalu mengajarkan anak-anakku untuk bersikap sopan kepada mereka, jika anakku yang nomor tiga dan nomor empat selalu menyambut ramah mereka, beda dengan anakku yang ke satu dan nomor dua yait
Bab 63Aku cukup diam saja melihat tingkah Mitha. Barangkali dia tidak sadar betapa dulu aksi suaminya sangat membuat hati Ferry begitu trauma sampai sekarang. "Sudah Mak Thomas, tidak usah dibahas lagi." Saut memegang tangan Mitha."Tidak apa-apa Lae, inangbao. Tidak usah dipikirkan masalah bensin. Besok biar kami saja yang jemput orang Lae dan Inangbao kesini." Saut masih memegang tangan Mitha agar tetap berdiri di tempatnya, sambil menunduk sungkan kepada Bang Linggom dan aku."Tidak usah Amangbao, tidak perlu menjemput kami. Harusnya kita lebih baik tidak usah saling mengunjungi seperti ini. Cukup disaat kalian perlu pesta adat yang mengharuskan kami ada maka datanglah kemari, jika kami juga perlu pesta adat dan acara maka kami pun akan menghubungi kalian. Anggap saja hubungan kita sebatas pesta adat tradisi kita saja sebab biar bagaimanapun, Mak Thomas dan Pak Dinda tetap bersaudara kandung." Rasanya aku sudah muak dengan semua kepura-puraan ini. Datang kemari menawarkan pula
Bab 64"Kenapa harus membawa ini dan itu kau Mak Dinda, aku sendiri nya tinggal di rumah ini. Seberapa banyaklah buat aku makan." Ibu mertua protes setelah aku membongkar oleh-oleh yang aku bawa dari kardus."Memang selalu nya begini kan Mak, kalau bukan kami yang membawa kebutuhanmu di rumah ini memang ada yang akan memperhatikan Mamak?" sela bang Linggom dengan suara datar."Maafkanlah saudaramu yang lain ya Nak, mungkin begitulah yang mereka tau." Sahut ibu mertua sungkan."Lagipula ini buat bekal kita selama disini Inang, cucu-cucu mu paling juga nanti menghabiskannya." aku berusaha menetralisir suasana biar ibu mertua tidak merasa sungkan.Kebetulan pas kami nyampai rumah mertua masih sepi. Mitha, suaminya dan anak-anaknya pergi jalan-jalan. Sementara bang Dapot dan kak Susi beserta anak-anaknya masuk sibuk bekerja di ladangnya. Menurut kebiasaan paling nanti pas malam tahun baruan mereka datang berkumpul di rumah mertua. Sementara bang Tigor dan istri keduanya belum juga nyampa
Bab 65Pagi ini aku sengaja bangun lama. Aku dengar mertua sudah mulai bergerak di dapur. Tapi karena cuaca yang sangat dingin aku enggan keluar dari selimut. "Mak Thomas, bangunlah kau. Masaklah buat anak-anakmu. Nanti mereka bangun pasti pada lapar semua." Kudengar ibu mertua membangunkan Mitha, yang tidur di kamar. Sementara aku dan Linggom beserta Thomas dan istrinya, dan kelima adiknya tidur di ruang depan bareng-bareng bersama ibu mertua. Mitha dan suaminya tidur di kamar dengan alasan dingin dan tidak biasa tidur tanpa alas Spring bed."Akh, Mamak ini berisik kali. Dingin loh Mak, mana masih gelap juga. Biar nanti istrinya Thomas yang masak Mak, aku masih mau tidur.""Sudah tua, bentar lagi kau sudah memiliki cucu, tapi bawaanmu masih tetap kayak anak-anak. Terserah kaulah. Kalau kau mau anak-anakmu kelaparan ya sudah." sahut mertua sambil berlalu ke dapur.Aku melihat jam di tanganku, masih menunjukkan pukul lima subuh. Pagi ini Ferry dan kedua adiknya akan tiba di rumah kar
Bab 66Aku kaget dengan ucapan bang Linggom yang tiba-tiba Sarkar begitu. Si Mitha juga sudah punya mantu tapi tetap saja kelakuannya tak pernah bisa menghargai orang lain."Ck, baru makanan gini saja marahnya kayak orang kerasukan setan."Mitha langsung melempar kresek yang berisi terong tadi ke halaman rumah melalui pintu yang memang sedang terbuka, alhasil terong Belanda buah kesukaanku itu berserak di halaman rumah ada beberapa yang pecah. Dengan gontai aku berjalan keluar memungut terong-terong tersebut. Walau bagaimanapun itu adalah makanan tidak boleh dibuang. Apalagi ini pemberian orang. Aku lihat mata Mitha tajam menatapku mengutip satu persatu buah tersebut."Makan tuh buah,bila perlu masukkan sebagian di telingamu." ucapnya ngos-ngosan, sepertinya emosinya sudah di ujung tanduk."Iya dong, kalau kau tidak menghargai pemberian orang lain, itu masalah mu. Tapi aku setetes pun pemberian orang lain akan ku ingat, begitupun kecurangan, sedikit pun orang lain bersikap curang pa
Menantu Kesayangan01"Ini Mantu atau Preman yang dibawa Linggom ke rumah ibunya, ya?"Meski berbisik tapi sangat jelas ditangkap daun telingaku, apa yang dibicarakan oleh ibu-ibu itu. Kesan pertama ditujukan padaku sebagai menantu baru di rumah orang tuanya Bang Linggom, suami tercintaku.Setelah pernikahan sederhana yang kami gelar di Pekanbaru dua bulan yang lalu, aku dibawa Bang Linggom pulang ke kampung. Tepatnya rumah Mertua. Momen pulang kampung ini, sekaligus memperkenalkan aku ke semua keluarga besarnya yang tidak ikut datang ke pesta kami, juga memperkenalkanku pada kerabat dan tetangga Mertua. Mertuaku tinggal di salah satu desa di Dolok sanggul, Humbang Hasundutan. Sumatera Utara. Di kampung mertuaku ini cukup dingin menusuk tulang. Asri sih ya, udaranya sangat sejuk. Tapi dinginnya ini, sepertinya buat aku tidak akan betah berlama-lama tinggal disini.Sebenarnya keluargaku juga sama suku rasnya dengan suamiku. Yaitu suku Batak. Bedanya adalah orang tua Mamaku, sudah men
Bab 2"Eh, baru saja kemarin kau datang ke kampung ini, sudah berlagak sok, lihat dirimu, apa menurutmu pantas seorang menantu berpakaian seperti ini pulang dari sungai? Sementara di kampung ini kebanyakan simatuam-mertuamu. Ngerti sopan santun tidak kau? Apa kau berniat mau merayu para suami-suami kami?" Mendengar cerocos ibu itu membuat darahku semakin mendidih. "Idih merayu? amit-amit deh, muka-muka kampung, kulit hitam legam, rambut bauk gosong, terpanggang Matahari pula setiap hari, seperti itu mau aku rayu? Mending punya uang, ini hidup pas-pasan pula. Menang jauhlah suamiku. Nyari penyakit saja rayu suami orang. Sepertinya Ibu ini perlu periksa deh, entah otaknya sudah berpindah dari kepala jadi di pantat," batinku berkata pada diriku sendiri. Sebenarnya sih ingin bicara langsung, tapi namanya orang tua, tidak tega juga aku, berkata kasar seperti itu. Lagipula kasihan ntar mertuaku, dibully orang sekampung, menantu baru Pak Regar itu, Preman woi ... gak enak banget kan dengar
Bab 66Aku kaget dengan ucapan bang Linggom yang tiba-tiba Sarkar begitu. Si Mitha juga sudah punya mantu tapi tetap saja kelakuannya tak pernah bisa menghargai orang lain."Ck, baru makanan gini saja marahnya kayak orang kerasukan setan."Mitha langsung melempar kresek yang berisi terong tadi ke halaman rumah melalui pintu yang memang sedang terbuka, alhasil terong Belanda buah kesukaanku itu berserak di halaman rumah ada beberapa yang pecah. Dengan gontai aku berjalan keluar memungut terong-terong tersebut. Walau bagaimanapun itu adalah makanan tidak boleh dibuang. Apalagi ini pemberian orang. Aku lihat mata Mitha tajam menatapku mengutip satu persatu buah tersebut."Makan tuh buah,bila perlu masukkan sebagian di telingamu." ucapnya ngos-ngosan, sepertinya emosinya sudah di ujung tanduk."Iya dong, kalau kau tidak menghargai pemberian orang lain, itu masalah mu. Tapi aku setetes pun pemberian orang lain akan ku ingat, begitupun kecurangan, sedikit pun orang lain bersikap curang pa
Bab 65Pagi ini aku sengaja bangun lama. Aku dengar mertua sudah mulai bergerak di dapur. Tapi karena cuaca yang sangat dingin aku enggan keluar dari selimut. "Mak Thomas, bangunlah kau. Masaklah buat anak-anakmu. Nanti mereka bangun pasti pada lapar semua." Kudengar ibu mertua membangunkan Mitha, yang tidur di kamar. Sementara aku dan Linggom beserta Thomas dan istrinya, dan kelima adiknya tidur di ruang depan bareng-bareng bersama ibu mertua. Mitha dan suaminya tidur di kamar dengan alasan dingin dan tidak biasa tidur tanpa alas Spring bed."Akh, Mamak ini berisik kali. Dingin loh Mak, mana masih gelap juga. Biar nanti istrinya Thomas yang masak Mak, aku masih mau tidur.""Sudah tua, bentar lagi kau sudah memiliki cucu, tapi bawaanmu masih tetap kayak anak-anak. Terserah kaulah. Kalau kau mau anak-anakmu kelaparan ya sudah." sahut mertua sambil berlalu ke dapur.Aku melihat jam di tanganku, masih menunjukkan pukul lima subuh. Pagi ini Ferry dan kedua adiknya akan tiba di rumah kar
Bab 64"Kenapa harus membawa ini dan itu kau Mak Dinda, aku sendiri nya tinggal di rumah ini. Seberapa banyaklah buat aku makan." Ibu mertua protes setelah aku membongkar oleh-oleh yang aku bawa dari kardus."Memang selalu nya begini kan Mak, kalau bukan kami yang membawa kebutuhanmu di rumah ini memang ada yang akan memperhatikan Mamak?" sela bang Linggom dengan suara datar."Maafkanlah saudaramu yang lain ya Nak, mungkin begitulah yang mereka tau." Sahut ibu mertua sungkan."Lagipula ini buat bekal kita selama disini Inang, cucu-cucu mu paling juga nanti menghabiskannya." aku berusaha menetralisir suasana biar ibu mertua tidak merasa sungkan.Kebetulan pas kami nyampai rumah mertua masih sepi. Mitha, suaminya dan anak-anaknya pergi jalan-jalan. Sementara bang Dapot dan kak Susi beserta anak-anaknya masuk sibuk bekerja di ladangnya. Menurut kebiasaan paling nanti pas malam tahun baruan mereka datang berkumpul di rumah mertua. Sementara bang Tigor dan istri keduanya belum juga nyampa
Bab 63Aku cukup diam saja melihat tingkah Mitha. Barangkali dia tidak sadar betapa dulu aksi suaminya sangat membuat hati Ferry begitu trauma sampai sekarang. "Sudah Mak Thomas, tidak usah dibahas lagi." Saut memegang tangan Mitha."Tidak apa-apa Lae, inangbao. Tidak usah dipikirkan masalah bensin. Besok biar kami saja yang jemput orang Lae dan Inangbao kesini." Saut masih memegang tangan Mitha agar tetap berdiri di tempatnya, sambil menunduk sungkan kepada Bang Linggom dan aku."Tidak usah Amangbao, tidak perlu menjemput kami. Harusnya kita lebih baik tidak usah saling mengunjungi seperti ini. Cukup disaat kalian perlu pesta adat yang mengharuskan kami ada maka datanglah kemari, jika kami juga perlu pesta adat dan acara maka kami pun akan menghubungi kalian. Anggap saja hubungan kita sebatas pesta adat tradisi kita saja sebab biar bagaimanapun, Mak Thomas dan Pak Dinda tetap bersaudara kandung." Rasanya aku sudah muak dengan semua kepura-puraan ini. Datang kemari menawarkan pula
Bab 62Pesta pernikahan Thomas yang terkesan buru-buru tak pelak mengundang tanya orang-orang. Aku dan bang Linggom memutuskan untuk hadir setelah diskusi dengan bang Dapot dan bang Tigor.Pesta berjalan sebagaimana mestinya, para undangan pun banyak yang hadir. Baik dari kampung maupun keluarga yang ada disini. Pihak dari saudara Mitha memiliki peran sangat penting di pesta tersebut. Meski tidak begitu antusias tapi aku dan bang Linggom berusaha menempatkan diri agar tidak terlihat dimuka publik betapa peliknya permasalahan yang pernah terjadi diantara kami.Aku genggam tangan suamiku, sabar hasian, kelak anak-anak kita yang mendapat berkat dari Tuhan. Seiring berjalannya waktu, Mitha dan suaminya sudah mulai berani datang bertandang sesekali ke rumah. Walau suamiku tetap cuek dan dingin. Aku selalu mengajarkan anak-anakku untuk bersikap sopan kepada mereka, jika anakku yang nomor tiga dan nomor empat selalu menyambut ramah mereka, beda dengan anakku yang ke satu dan nomor dua yait
Bab 61"Apa maksudmu Bere?" ucap bang Linggom merenggangkan pelukan mereka"Ya Tulang, lebih baik aku tidak usah menikah kalau Tulang dan Nantulang tidak hadir." tegas Thomas masih posisi air mata membasahi pipinya."Thomas! Kau sudah besar. Dan kau pasti bisa mengingat bagaimana dulu jahatnya kedua orangtuamu ini kepada kami. Jadi sudahlah, tidak usah berdrama pakai nangis segala disini karena memang kami tidak akan iba pada kalian. Pergilah temui tulangmu yang dua lagi." ucapku dengan tenang."Apa salahku Nantulang, kesalahan orang tua kenapa dilimpahkan padaku. Aku minta maaf, tolong maafkan kami." Kembali Thomas memohon dengan penuh harap. Beralih mengambil tanganku dan menciumnya dengan hormat. Aku segera menarik tanganku dari kegemarannya sebelum hatiku luluh. Sesungguhnya tidak tega juga melihat keponakan kami ini menangis dan memohon, tapi jika mengingat perlakuan kedua orangtuanya membuat hati ini seperti membeku."Thomas, bagaimana mungkin kau tidak akan menikah, sementara
Bab 60"Ini padi-padi kita kenapa bisa begini Bang?"Aku berdiri memperhatikan padi yang susah payah kami tanam sekarang malah hangus menghitam."Sepertinya padi mu ini di semprot racun oleh seseorang Mak Dinda. Aku lihat dari kemarin daunnya pada kuning semua, sekarang jadi menghitam kering." Kak Lis, yang ladangnya bersebelahan dengan ladangku memberi penjelasan. Kak Lis juga lah yang telah mengirimkan SMS kepadaku tadi malam."Apa yang ada ya kak, kakak lihat jejak orang mencurigakan yang sengaja merusak ini?" Bang Linggom bertanya kepada kak Lis."Tidak ada Pak Dinda, kemarin lusa memang kami tidak ada disini, kalian pergi kami juga pergi. Ada pesta adik ipar ku di kampung."Bang Linggom tetap mengambil padi-padi kami itu. Meski menghitam tapi karena sudah berisi, setidaknya bisa di tumbuk pelan-pelan untuk mengeluarkan gabahnya dari berasnya.Miris memang, sedihnya tak terucapkan. Pengen cerita ke Papi dan saudara-saudara ku juga, rasanya aku enggan jadi beban buat mereka. Sedan
Bab 59“Helmi, aku memilih keluargaku! Aku akan segera mengurus perceraian kita.”Bang Roni menatap Kak Helmi, lalu mengusap air matanya dengan kedua telapak tangannya.Mendengar pernyataan Bang Roni. Membuat mata Kak Helmi membulat seakan tidak percaya apa yang barusan diucapkan oleh suaminya. Bukan hanya kak Helmi, aku yakin kami semua kaget atas ucapan Bang Roni terlihat dari wajah kami masing-masing yang kelihatan tegang.“Maksud Abang apa?” ucap Kak Helmi mendekat ke sisi Bang Roni.“Aku memilih keluargaku! Aku ingin kita bercerai.”“Papi, tolong maafkan aku Pi! Beri aku waktu untuk merubah segala sifat jelekku selama ini. Aku akan memberikan uang lima juta rupiah itu secara cuma-cuma kepada Riska, yang penting kami tidak bercerai.” “Jangan Anda pikir karena uang lima juta bisa membeli keharmonisan keluarga ini. Simpan uangmu, Eriska tidak akan menerima apapun yang akan Anda berikan!" tegas Papi kesal.Aku perhatikan, Papi tetap bersuara datar meskipun emosinya sedang meningkat,
Bab 58Padahal kalau dipikir-pikir, uang Bang Roni ini melebihi uang Bang Anton. Sawit Abangku ini lebih dari seratus hektar saat ini. Semua sudah berhasil. Sementara mereka belum memiliki anak. Sedih jadinya melihat Abangku yang satu ini.“Kalau Kau Bungaran bagaimana?” tanya Papi menoleh ke Abangku nomor tiga.“Lima puluh juta. Urus Lah ladang kalian itu dengan baik. Berdoa kepada Tuhan, biar apa yang kalian kerjakan diberkati Tuhan. Kalau sudah ada tempat yang cocok segera bangun rumah kalian disana, nanti Abang bantu biaya pembangunannya. Apa yang dilakukan iparmu itu Lae Linggom, jadikan cambuk menuju sukses. Keponakanku ini berempat harus bisa sekolah tinggi kalian buat, kalian harus buktikan meskipun dicurangi tapi mampu berdiri kokoh,” ucap Bang Bungaran tegas."Iya Riska, Kau jangan sungkan-sungkan. Selama ini begitu banyak masalah yang terjadi padamu, Kau pendam sendiri. Apa Kau tidak menganggap kami ini saudaramu? Papi sudah tua, bagaimanapun kitalah yang harus saling bahu