Menantu Kesayangan
01"Ini Mantu atau Preman yang dibawa Linggom ke rumah ibunya, ya?"Meski berbisik tapi sangat jelas ditangkap daun telingaku, apa yang dibicarakan oleh ibu-ibu itu. Kesan pertama ditujukan padaku sebagai menantu baru di rumah orang tuanya Bang Linggom, suami tercintaku.Setelah pernikahan sederhana yang kami gelar di Pekanbaru dua bulan yang lalu, aku dibawa Bang Linggom pulang ke kampung. Tepatnya rumah Mertua.Momen pulang kampung ini, sekaligus memperkenalkan aku ke semua keluarga besarnya yang tidak ikut datang ke pesta kami, juga memperkenalkanku pada kerabat dan tetangga Mertua.Mertuaku tinggal di salah satu desa di Dolok sanggul, Humbang Hasundutan. Sumatera Utara. Di kampung mertuaku ini cukup dingin menusuk tulang. Asri sih ya, udaranya sangat sejuk. Tapi dinginnya ini, sepertinya buat aku tidak akan betah berlama-lama tinggal disini.Sebenarnya keluargaku juga sama suku rasnya dengan suamiku. Yaitu suku Batak. Bedanya adalah orang tua Mamaku, sudah menetap di Pekanbaru. Sedangkan orang tua Papaku menetap di Palembang.Jadi sejak kecil, kita pulang kampungnya ke Palembang saja. Sedangkan ke rumah Kakek/Nenek di Pekanbaru namanya bukan pulang kampung, tapi pulang ke rumah Oppung-Kakek/Nenek. Karena jarak tempuh hanya sekitar satu jam berkendara sepeda motor dari rumahku ke rumah Oppung.Nah, kembali lagi ke bisik-bisik tetangga Ibu Mertua. Yang di undang makan sekedarnya saat perkenalan kedatangan kami."Kalau aku jadi ibunya Linggom, tidak akan kuterima menantu seperti itu! lihat tuh, mukanya sangar, badannya besar dan berotot, cocoknya dia itu preman pasar."Lagi aku mendengar bisikan-bisikan ibu-ibu di belakangku, sambil cekikikan tidak jelas. Yang membuat telingaku makin panas. Jujur saja, kalau bukan karena menantu baru ingin rasanya aku menyumpel mulut ibu-ibu itu dengan cabe rawit yang ada di dapur.Tadi sempat aku lihat ada cabe rawit Mertua penuh se ember anti pecah hitam di dapur, sepertinya Mertua lagi panen cabai, aku melihatnya saat mengambil piring untuk tempat oleh-oleh yang kami bawa disuguhkan ke tamu-tamu."Habislah, ibunya Linggom, nanti akan dijadikan mantunya sebagai alas kakinya. Dibuat tangga naik dan tangga turun rumah. Dapat mantu model gitu sih, ihh ... seram." Kembali ibu-ibu itu cekikikan yang menurutku mirip Nek Lampir.Aku melirik mereka satu persatu, biar ku tandai dulu orang-orangnya. Tiba waktunya mereka akan melihat menantu preman ini, akan menjelma jadi preman betulan, batinku mengepalkan tangan.Setelah acara ramah-tamah dan makan-makan selesai. Para keluarga dan tamu Mertua pulang ke rumah masing-masing. Aku yang sudah tidak nyaman saking dinginnya langsung masuk ke kamar yang tadi ditunjukkan Bang Linggom untuk kami tempati selama disini.Belakangan lah urusan bisik-bisik tetangga, yang utama saat ini menghangatkan tubuh yang sudah sejak tadi menggigil kedinginan. Segera aku naik tempat tidur dan menggulung selimut tebal ke seluruh tubuhku. Aku ingin tidur nyenyak dan mimpi indah malam ini. Tapi ... Saat kakiku sudah mulai menghangat dibungkus selimut, mimpiku juga sudah hampir sampai di awang-awang, tiba-tiba saja aku mendengar suara yang sedikit gaduh."Linggom!, istrimu kok bisa tidur di kamar kami? Kenapa tidak kamu suruh tidur di kamar yang sudah disediakan buat kalian?"Mendengar ibunya Bang Linggom bicara seperti itu, aku terkejut dan bertanya dalam hati, apa aku salah kamar tadi pas masuk ya? masih tetap di dalam selimut tebal enggan rasanya aku keluar mengingat dinginnya cuaca di kampung ini.Aku mendengar langkah kaki mendekati aku, aduh ... Klo benar aku salah kamar alangkah malunya. Gimana caraku membuka selimut dan melihat mereka semua. Semakin tak berani keluar dari gulungan selimut. Lebih baik aku pura-pura tidur saja deh, bathinku."Ris-Riska, bangun Dek, kenapa kau tidur di kamar Bapak?"Aku pura-pura tidak mendengar suara Bang Linggom, malu woi, jelas malu banget malah, masak mantu salah kamar, masuk kamar Mertua pula. mau ditaruh dimana ini muka?."Riska, bangun sayang. Ini kamar Bapak loh, pindah ke kamar kita yok," ucap Bang Linggom sambil menggoyang-goyangkan badanku."Apaan sih Bang, dingin tau! Mengganggu orang tidur saja." Aku pura-pura marah dan masih terus bersembunyi dibalik selimut.Bukannya berhenti, bang Linggom bahkan menggelitik aku hingga selimut lepas dari gulungan badanku."Ini kamarnya Bapak dan Mamak sayang, ayok keluar," ucapnya lembut."Apa? Kamar Bapak?" Aku pura-pura kaget untuk menutupi malu di wajah ini. Perlahan aku membuka selimut, mukaku merah, melihat bapak dan ibu Mertua yang berdiri dekat pintu kamar mereka.Aku melihat ibunya Bang Linggom geleng kepala, sedangkan bapaknya hanya tersenyum simpul, tapi tidak ada raut kemarahan yang kutangkap di wajah kedua mertuaku itu."Maaf Amang, Inang, kirain tadi kamar kami, soalnya dingin banget, aku hanya fokus ke selimut tebal ini saja." Ucapku sambil bangun keluar dari selimut tebal yang berwarna merah hati ke sukaanku itu.****Hari ini bapak dan mamak mertua pergi ke ladang, katanya cabe rawitnya belum dipetik semua. Bang Linggom ikut mertua ke ladang. sementara aku dan Neli, adeknya Bang Linggom tinggal di rumah. Mumpung tidak ada orang di rumah, aku mengajak Neli beres-beres rumah. Kami memasak bersama, mengepel rumah, membersihkan semua perabot dapur.Begitu juga areal pekarangan rumah tidak luput dari hasil beres-beres kami hari ini. Semua bersih hati senang. Meski untuk menyuci semua itu penuh perjuangan, kami harus mengangkat air dari sungai kecil yang jaraknya sekitar 500 meter dari rumah. Sebab di desa ini masih jarang yang memiliki kamar mandi. Sedangkan mau buang air besar saja harus sembunyi di balik pohon kopi, dan tak jarang cebok hanya pakai daun-daun yang tumbuh di sekitarnya."Kumpulin semua baju-baju kotor Dek, biar kita nyuci ke sungai, sekalian kita mandi di sana," ucapku semangat kepada Neli, saudara iparku."Oke kak."Kami pergi ke sungai membawa pakaian kotor yang menggunung di ember, menurut pengakuan Neli, mereka nyuci pakaian sekali dalam seminggu, sehingga sekali nyuci kain kotor menumpuk, seperti saat ini dua ember besar kain yang kotor harus dicuci dengan tangan.Kebayang kan gimana capeknya? yang biasanya nyuci pakai mesin, mau tidak mau harus pakai tangan, ditambah lagi cuaca yang super dingin minta ampun, lengkaplah sudah derita mantu baru ini. Akan tetapi aku tetap berpikir positif, cuma sebentar saja kok kami tinggal disini, selesai libur dari kantor kami sudah kembali lagi ke kota. Lagian tidak mungkin matilah hanya karena dingin.Setelah acara nyuci baju selesai, aku dan Neli mandi, Neli membawa pakaian ganti ke sungai, tidak dengan aku karena memang aku tidak kepikiran, maklum ini masih pengalaman pertama aku, dengan usul dari Neli akhirnya, aku pakai sarung basah saja sebagai pengganti bajuku, handuk kulilitkan di leher hingga dada biar sedikit menutupi aurat bagian atas.Bibirku membiru, lantaran dingin yang begitu menusuk, badanku juga ikut bergetar, ingin rasanya cepat-cepat sampai di rumah, ganti baju, masuk kamar, bergulung dengan selimut tebal, tapi tidak di kamar mertua lagi ya.Saat kami lewat, pandangan orang-orang kampung seperti tidak suka padaku. "Sudah tahu mandi di sungai bukannya bawa baju ganti, ini malah pakai kain seperti itu, apa tidak diajari orang tuanya dia bersopan santun."Aku menoleh ke arah suara itu, dan orang itu adalah masih kerabat ibu mertua, yang kemarin datang ke rumah. Dia juga salah satu ibu yang ikut bergosip ria tentang aku kemarin di rumah. Sebenarnya kalau bukan menyinggung orang tuaku, aku masih maklum, ini karena menyangkut orang tua yang katanya tidak mengajariku, seketika darahku mendidih.Dengan langkah pasti aku mendekati ibu itu. "Maaf Ibu, kalau belum mengenal aku dan orang tuaku, jangan pernah kudengar sekali lagi Ibu bicara tentang aku dan keluargaku ya."Bab 2"Eh, baru saja kemarin kau datang ke kampung ini, sudah berlagak sok, lihat dirimu, apa menurutmu pantas seorang menantu berpakaian seperti ini pulang dari sungai? Sementara di kampung ini kebanyakan simatuam-mertuamu. Ngerti sopan santun tidak kau? Apa kau berniat mau merayu para suami-suami kami?" Mendengar cerocos ibu itu membuat darahku semakin mendidih. "Idih merayu? amit-amit deh, muka-muka kampung, kulit hitam legam, rambut bauk gosong, terpanggang Matahari pula setiap hari, seperti itu mau aku rayu? Mending punya uang, ini hidup pas-pasan pula. Menang jauhlah suamiku. Nyari penyakit saja rayu suami orang. Sepertinya Ibu ini perlu periksa deh, entah otaknya sudah berpindah dari kepala jadi di pantat," batinku berkata pada diriku sendiri. Sebenarnya sih ingin bicara langsung, tapi namanya orang tua, tidak tega juga aku, berkata kasar seperti itu. Lagipula kasihan ntar mertuaku, dibully orang sekampung, menantu baru Pak Regar itu, Preman woi ... gak enak banget kan dengar
Bab 03"Wah, berani benar menantumu ini Mak Dapot, kalian lihat ini, pakai ngancam segala lagi." Lalu ibu itu mendekati suamiku, "Linggom!, ajarin dong istrimu ini bertutur kata dengan orang tua, jangan diam saja kau." Mendengar tutur kata yang diucapkan, aku tambah kesal. Apa dia gak sadar kalau dia juga tidak ada tutur katanya, "Iya Maktua, nanti Riska aku nasehati." Bang Linggom menatapku menggeleng kepala, aku tahu maksudnya agar jangan lagi membalas ucapan ibu itu. "Tuh, dengar suamimu, jangan badanmu saja yang kau gedein, tapi ot*kmu nol, aku ini mertuamu sama dengan Mak Dapot." Ibu itu berlalu pergi melenggang seperti dia saja yang sudah benar."Hei Inang, tunggu!" Karena dia tadi sudah mengatakan dia mertuaku, setaraf dengan ibu mertua akhirnya aku memanggilnya inang biar lebih dihargai, walau bagaimanapun namanya orang tua harus tetap dijaga lisan kita yang lebih muda, jika berhadapan dengan orang yang lebih tua."Riska, sudah dong sayang, tidak usah diladeni nanti makin r
Bab 04Aku melihat ibu itu sudah mulai pucat, mungkin dia sudah merasa malu karena tetangga sudah pada rame di halaman rumah Mertua. Maklumlah sudah jam 5 sore, jam pulangnya orang dari ladang masing-masing. "Tolong dijawab Bu, apa Ibu terima seandainya aku bicara seperti yang Ibu bicarakan tentang aku tadi?" sengaja ku ulangi karena kulihat ibu itu lagi tidak konsen, entahlah apa yang buat dia jadi tidak segalak tadi. Aku juga mengabaikan teriakan ibu-ibu tadi, sebab tujuanku hanya ingin membuat ibu ini jera saja, bukan sengaja mempermalukan."Sudahlah, aku mau pulang saja, aku mau pu-pulang saja. Percuma bicara dengan orang yang tidak punya perasaan." ucapnya sudah mulai gagap.Waduh, gawat ibu ini, sama sekali tidak ada rasa bersalahnya, bebal juga ini ibu ya. Dari kemarin dia yang nuduh aku yang gak-gak, eh sekarang malah bilang aku tak punya perasaan. Terbuat dari batu kali hati ibu ini, sama sekali tidak bisa membedakan mana yang pantas dan tidak pantas diucapkan."Tidak bisa B
Bab 05Aku kaget, mendengar Bapak Mertua menyuruh Bu Restu meminta maaf padaku, sebenarnya bagiku ini sudah cukup, karena ibu itu sudah meminta maaf kepada Bapak dan Ibu di depan para warga. Tapi melihat apa yang barusan dilakukannya padaku sehingga aku diam saja tidak lagi melarang ibu itu meminta maaf padaku. "Apa? Aku minta maaf lagi ke menantu Bapak yang tidak berperasaan ini? Aku tidak mau, aku seorang orangtua, yang setaraf dengan mertuanya, harus meminta maaf kepada anak yang baru datang ke desa ini? Tidak, aku tidak mau." Aku melihat urat leher Bu Restu makin mengeras menahan dongkol dan kesal di hatinya."Iyalah Bu, minta maaf lah kepada mantu Pak Dapot." ucap seorang ibu yang duduk di pojokan."Iya Mak Restu, makanya jangan asal sembarang bicara, Ibu pikir bisa semua orang di perlakukan se'enak hati Ibu?" Ibu di belakang Bu Restupun ikut ambil suara."Sudah tua, tetap perlakuannya selalu bikin malu." Sekarang ibu yang di dekat pintu yang berucap."Iya, Bu Restu! Yang tidak
Bab 06Aku kaget melihat reaksi istri Abang Ipar, aku ingin menyusul kakak itu ke kamarnya tapi, Ibu Mertua mempererat genggaman tangannya padaku. "Tidak usah disusul Nak, nanti kalau sudah capek dia akan baik sendiri."Mendengar penuturan Ibu Mertua, hatiku jadi miris, suamiku 6 orang bersaudara, Bang Linggom anak ketiga, diatas Bang Linggom, dua Laki-laki sudah pada menikah juga. Yang paling sulung tinggal bersama Mertua, itulah Bang Dapot dan istrinya. Sedangkan satu lagi tinggal di Kota Medan. Yang keempat juga laki-laki, belum menikah, sementara kelima dan keenam, perempuan dua-duanya dan belum ada yang menikah."Sudah Inang, jangan menangis lagi, aku jadi sedih nih." Aku hapus airmata ku yang tak sengaja menetes di pipi. Kalau sudah masalah orang tua, rasanya tak tega melihat mereka kalau sampai meneteskan airmata. Aku kembali membenamkan wajahku di pelukan ibunya suamiku itu. Rasanya nyaman meski tidak senyaman Ibu Kandung.Setelah puas pelukan dengan Inang Mertua, aku meliha
Bab 07"Pak, Mak, kami berangkat ya! Jaga selalu kesehatan, jangan terlalu capek-capek kerjanya." Bang Linggom pamitan kepada Bapak dan Ibunya sembari merangkul mereka satu persatu dengan haru."Iya Nak, baik-baik kalian disana ya Nak! Ingat kalau sedikit saja kalian berbuat buruk di perantauan, maka akan dengan cepat tersiar kabar sampai ke kampung ini. Dan itu akan membuat Bapak dan Ibu malu. Jaga kalianlah kehormatan serta harga diri keluarga kita dengan baik, karena seperti yang kau tahu, Bapak dan ibumu ini hanyalah orang miskin yang hanya punya sedikit ladang buat menyambung hidup. Jadi kalau sampai lagi kalian berbuat buruk di perantauan, itu sama saja mencoreng muka Bapak dan Ibu di kampung ini," ucap Bapak menasehati kami."Baik Pak." Aku dan Bang Linggom kompak menganggukkan kepala."Ini ada sedikit uang, sekedar buat beli gula dan kopi Inang, diterima ya!" Aku memberikan amplop berisi sedikit uang buat Ibu Mertua."Simpanlah Nak, terus darimana kalian punya uang, sementara
Bab 08"Dek, Bang Tigor tadi telpon, katanya mau pinjam uang buat tambahan modal usaha mereka. Nanti setelah dua bulan baru dikembalikan." Bang Linggom cerita saat kami nyantai nonton TV, film laga kesukaanku. Bang Tigor adalah anak kedua Mertuaku yang tinggalnya di Medan."Terus, Bang Linggom, kasih?" tanyaku masih tetap melihat TV."Belum, tadi aku bilang ke Bang Tigor, aku tanya kamu dulu dek." Iyah syukur deh, aku suka dengan cara Bang Linggom, dia itu tidak pernah mau ngambil keputusan sepihak sebelum diskusi padaku. Komitmen kami dari awal berumah tangga memang itu, apapun keadaannya urusan rumah tangga harus melibatkan suami dan isteri. Jangan mentang-mentang suami berpenghasilan lebih, atau suami yang kerja, sehingga tidak menghargai istri, begitupun sebaliknya. "Maunya Bang Linggom sekarang gimana? kita kasih? berapa rupanya mereka minta Bang?" aku menoleh sesaat suamiku lalu kembali fokus ke layar TV melihat aksi pemain laga idolaku. "Kalau ada 50 juta katanya, tap
Bab 09Mendengar perkataan kak Desi, terasa perih di ulu hati ini. Bagaimana mungkin aku mau memisah suamiku yang bersaudara. Mataku panas menahan air yang mendesak keluar. Tidak, aku tidak boleh lemah. Akan ku tunjukkan pada mereka bahwa aku tidak bisa ditindas. Papaku selalu bilang, kalau tidak salah tidak boleh takut."Ya jelas Kak, tidak mungkin sama lagi dong ya, seorang lelaki lajang dengan seorang lelaki yang sudah beristri. Harusnya Kakak tau dan sadar akan hal itu," ucapku dengan tegas."Oh, jadi kamu mau menolak permintaan Bang Tigor tentang pinjaman uang itu hah?" suaranya lantang. Aku menjauhkan ponsel dari telingaku karena suaranya yang melengking itu membuat gendang telingaku rasanya sakit."Kalau iya, kenapa rupanya? Yang punya uang kan aku bukan Kakak?" Sengaja aku berkata demikian, aku mau lihat seperti apa istri ipar ku ini kalau sedang marah."Dasar manusia tidak ada hati, sama kakaknya tidak sopan, besok kalau tidak kamu kirimkan uang yang 50 juta itu, akan ku lapor