Bab 09Mendengar perkataan kak Desi, terasa perih di ulu hati ini. Bagaimana mungkin aku mau memisah suamiku yang bersaudara. Mataku panas menahan air yang mendesak keluar. Tidak, aku tidak boleh lemah. Akan ku tunjukkan pada mereka bahwa aku tidak bisa ditindas. Papaku selalu bilang, kalau tidak salah tidak boleh takut."Ya jelas Kak, tidak mungkin sama lagi dong ya, seorang lelaki lajang dengan seorang lelaki yang sudah beristri. Harusnya Kakak tau dan sadar akan hal itu," ucapku dengan tegas."Oh, jadi kamu mau menolak permintaan Bang Tigor tentang pinjaman uang itu hah?" suaranya lantang. Aku menjauhkan ponsel dari telingaku karena suaranya yang melengking itu membuat gendang telingaku rasanya sakit."Kalau iya, kenapa rupanya? Yang punya uang kan aku bukan Kakak?" Sengaja aku berkata demikian, aku mau lihat seperti apa istri ipar ku ini kalau sedang marah."Dasar manusia tidak ada hati, sama kakaknya tidak sopan, besok kalau tidak kamu kirimkan uang yang 50 juta itu, akan ku lapor
Bab 10Dua bulan setelah uang 25 juta itu ku kirim ke rekening Bang Tigor, Mitha adek perempuan bang Linggom datang ke rumah. Tumben tidak ada kabar tiba-tiba sudah nongol. Mitha ini kerja masih satu provinsi dengan kami, tapi beda kecamatan, rencana tahun ini akan menikah dengan seorang lelaki yang bekerja sebagai karyawan di PT perkebunan swasta daerah ujung batu. Sedangkan kami tinggal di Bagan Batu Riau.Sebulan lalu, aku sudah melahirkan Putri pertama ku. Dan sudah satu bulan ini juga ibu mertua menemaniku di rumah. Aku merasa beruntung punya mertua yang baik dan perhatian. Dan dari ibu Mertua lah aku tau bahwa Mitha mau menikah di tahun ini."Wih ... Ternyata Mama belum pulang toh?" Mita langsung masuk dan duduk di sofa, tanpa memberi salam kepada kami yang ada di rumah."Iya, kasihan kakakmu sendirian di rumah, sementara abangmu, setiap hari pulang malam," ucap Ibu Mertua meminum susunya yang barusan aku suguhkan sesaat sebelum Mita datang."Mak, minggu depan keluarga Bang Ald
Bab 11"Tunduk aturan ...? Hello ... emang loe siapa gua? sehingga gue harus tunduk? mimpi jangan ketinggian Kak, apa karna Kakak menantu tertua, lantas aku harus tunduk? Kalian salah, kalau mengharap aku akan tunduk pada kalian, demi apapun aku tidak bakal tunduk pada kalian, ingat itu!" ucapku penuh dengan penekanan."Kita lihat saja nanti, apakah kesombongan mu ini akan berlanjut, kalau kamu tidak turut pada aturan ku!" Tutt ...Kak Susi mematikan telpon sepihak. Ya syukurlah, daripada hanya menambah pikiran, bila perlu tidak usah komunikasi, kalau ketemuan baru bertegur sapa. Aku rasa itu lebih baik untuk menjaga silaturahmi tetap baik."Riska, maafkan Susi dan Desi, tidak usah diambil hati omongan mereka, mereka berdua memang seperti itu, selalu kompak kalau mau menindas seseorang. Kadang Mama iri dengan orang lain, punya menantu bisa akur semua, sedangkan menantuku entahlah, Susi dan Desi seperti orang lain jika berhadapan dengan aku, tidak seperti Riska yang sudah seperti anak
Bab 12"Keluar sekarang dari rumah ini!"Wajah bang Linggom merah, capek dari kerjaan disuguhi adik model gini jelas mengundang emosi. Aku gemetaran, seumur-umur sejak kenal suamiku, belum pernah aku melihatnya se marah ini. Mau mendekati dia saja rasanya aku takut."Memang sejak tadi aku sudah mau pulang kok, benar kata kak Desi, istrimu yang preman ini telah mengguna-gunai Abang dan Mamak sehingga Mamak tidak lagi sayang padaku dan Abang juga tidak lagi peduli pada saudara," sahut Mita dengan suara lantang.Mitha menunjuk aku seakan aku biang kerok pertengkaran mereka. Aduh ... Kok gak nyambung gini ya perdebatan nya. Mertua betah bersamaku di kata sudah aku pelet. Suami akur denganku di bilang juga ku pelet. Dasar manusia-manusia aneh."Plak..."Kali ini satu tamparan ibu mendarat di pipi mulus adik ipar, membuat aku semakin melongo melihatnya, kenapa jadi main tangan ya? Ngeri deh yah. Iya juga sih, mulut adik ipar ini terlalu berbisa, kalau tidak ada ibu sekarang disini, mungkin
Bab 13Aku mendekati Mitha, jiwa barbar ku sudah meronta-ronta minta pelampiasan. Ku mulai dari menarik rambut coklat miliknya, kutarik setengah kuat, lalu ku hempaskan membuat dia hampir saja terjatuh."Dengar! sebelum Kamu datang ke rumah ini tidak pernah ada keributan disini. Sekarang kamu datang membawa keributan dan memfitnah aku. Itu pintu keluar, silahkan keluar dari rumah ini sekarang juga, karena aku tidak sudi menerima tamu seperti mu. Makananku kau makan, barangku mau kau pinjam tapi kau terang-terangan fitnah aku. Maksudmu apa?" Aku semakin mendekatkan diri kepada Mitha, aku lihat dia mulai menjauhkan diri bergeser memberi jarak dariku."Maksudku, karena kau Istri dari Abangku, tentu yang Kau punya adalah hasil keringat saudaraku, jadi Aku berhak atas itu, masih mending Aku pinjam, kalau Aku mau barang-barang mu ini pun, bisa aku ambil untukku, bila perlu aku rampas darimu, karena aku lebih dulu saudaranya sejak kecil, daripada kau dikenal setelah Abangku dewasa." jawabnya
Bab 14Mitha diam menunduk dan mulai terisak. Sesekali dia batuk dan mengusap air mata di pipinya dengan tisu yang ada di meja. "Kalau Kau tidak mau meminta maaf, sekarang pergi Kau dari rumah ini! Terserah mau kemana. Tapi, jangan harap Mamak akan menerima baik lamaran calon suamimu. Biarlah Bapak dan Abangmu serta Kakak iparmu yang di kampung menerima kedatangan mereka. Karena aku masih lebih baik disini untuk menghindari acara lamaranmu itu, daripada pulang mengurusi manusia yang tidak punya akhlak seperti mu. Carilah Mamak yang pantas buatmu, yang bisa memberikan apa yang kau inginkan. Kalau memang selama ini, sebagai Mamak, Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu, maafkan Aku, karena hanya begitulah kemampuan yang bisa kulakukan untuk memperjuangkan kalian, hingga Kau tamat Diploma."Ibu semakin terisak, Bang Linggom juga kembali memeluk Ibu Mertua, aku duduk dekat Ibu dengan air mata mengalir, sedangkan Mitha masih terus terisak, dan kali ini tangisannya semakin pecah. Mitha terdu
Bab 15"Seperti kata Abangmu tadinya Mit, berucap itu mah gampang, tapi kami mau lihat bagaimana sikapmu kedepan itu yang utama. sebagai saudara, sebelum kamu minta maaf juga tentu kami sudah lebih dulu memaafkan mu, tapi kalau tetap sikapmu masih begitu-begitu saja, maka kata maafmu ini tidak ada artinya. Silahkan merenung malam ini, pikirkan, seandainya Aku ada diposisi mu bagaimana kamu akan bersikap.Sudahlah Mit, abangmu belum makan sepulang kerja, Aku mau melayani suamiku dulu, kalaupun kalian bilang aku tukang pelet terserah kalianlah, bagiku kedua mertua sudah aku anggap sebagai orang tuaku kandung, begitupun hubunganku dengan suamiku semoga baik selalu. Itu sudah lebih dari cukup buatku, kalau masalah saudara, kalian peduli pada kami yah kami peduli pada kalian, kalau kalian bisanya memfitnah, cukup tahu sajalah bahwa sampai begitulah kelas kalian." ucapku setelah menepis halus tangan Mitha."Tapi kak ..."Belum selesai Mitha bicara, Bang Linggom langsung memotong pembicaraan
Bab 16Aku beranjak ke kamar, sementara Bang Linggom masih di ruang depan bersama Ibu Mertua. Sengaja kuberikan waktu untuk mereka berdua siapa tahu ada yang mau mereka bicarakan, bisa saja ibu sungkan karena ada aku di sana.10 menit berikutnya, Bang Linggom sudah masuk ke kamar kami, aku yang melipat popok bayi kaget melihat reaksi Bang Linggom yang tiba-tiba memeluk ku dari belakang."Terimakasih ya Dek, karena sudah menjadi bagian keluarga ini. Terimakasih sudah menjadi istri yang baik untukku dan menantu yang peduli kepada Bapak dan Mamak Ku. Maafkan kalau Aku masih banyak kekurangan, belum mampu membahagiakan kamu seperti yang kamu inginkan." lirihnya dekat telingaku."Abang ngomong apa sih. Abang itu adalah suami terbaik buatku. Saat saudara yang lain berusaha memfitnahku, Abang selalu ada untuk membelaku. Itu sudah lebih dari cukup buatku Bang, tetaplah seperti itu, mari saling percaya dan saling menghargai di antara kita berdua, agar rumah tangga kita ini tetap damai." Aku b
Bab 66Aku kaget dengan ucapan bang Linggom yang tiba-tiba Sarkar begitu. Si Mitha juga sudah punya mantu tapi tetap saja kelakuannya tak pernah bisa menghargai orang lain."Ck, baru makanan gini saja marahnya kayak orang kerasukan setan."Mitha langsung melempar kresek yang berisi terong tadi ke halaman rumah melalui pintu yang memang sedang terbuka, alhasil terong Belanda buah kesukaanku itu berserak di halaman rumah ada beberapa yang pecah. Dengan gontai aku berjalan keluar memungut terong-terong tersebut. Walau bagaimanapun itu adalah makanan tidak boleh dibuang. Apalagi ini pemberian orang. Aku lihat mata Mitha tajam menatapku mengutip satu persatu buah tersebut."Makan tuh buah,bila perlu masukkan sebagian di telingamu." ucapnya ngos-ngosan, sepertinya emosinya sudah di ujung tanduk."Iya dong, kalau kau tidak menghargai pemberian orang lain, itu masalah mu. Tapi aku setetes pun pemberian orang lain akan ku ingat, begitupun kecurangan, sedikit pun orang lain bersikap curang pa
Bab 65Pagi ini aku sengaja bangun lama. Aku dengar mertua sudah mulai bergerak di dapur. Tapi karena cuaca yang sangat dingin aku enggan keluar dari selimut. "Mak Thomas, bangunlah kau. Masaklah buat anak-anakmu. Nanti mereka bangun pasti pada lapar semua." Kudengar ibu mertua membangunkan Mitha, yang tidur di kamar. Sementara aku dan Linggom beserta Thomas dan istrinya, dan kelima adiknya tidur di ruang depan bareng-bareng bersama ibu mertua. Mitha dan suaminya tidur di kamar dengan alasan dingin dan tidak biasa tidur tanpa alas Spring bed."Akh, Mamak ini berisik kali. Dingin loh Mak, mana masih gelap juga. Biar nanti istrinya Thomas yang masak Mak, aku masih mau tidur.""Sudah tua, bentar lagi kau sudah memiliki cucu, tapi bawaanmu masih tetap kayak anak-anak. Terserah kaulah. Kalau kau mau anak-anakmu kelaparan ya sudah." sahut mertua sambil berlalu ke dapur.Aku melihat jam di tanganku, masih menunjukkan pukul lima subuh. Pagi ini Ferry dan kedua adiknya akan tiba di rumah kar
Bab 64"Kenapa harus membawa ini dan itu kau Mak Dinda, aku sendiri nya tinggal di rumah ini. Seberapa banyaklah buat aku makan." Ibu mertua protes setelah aku membongkar oleh-oleh yang aku bawa dari kardus."Memang selalu nya begini kan Mak, kalau bukan kami yang membawa kebutuhanmu di rumah ini memang ada yang akan memperhatikan Mamak?" sela bang Linggom dengan suara datar."Maafkanlah saudaramu yang lain ya Nak, mungkin begitulah yang mereka tau." Sahut ibu mertua sungkan."Lagipula ini buat bekal kita selama disini Inang, cucu-cucu mu paling juga nanti menghabiskannya." aku berusaha menetralisir suasana biar ibu mertua tidak merasa sungkan.Kebetulan pas kami nyampai rumah mertua masih sepi. Mitha, suaminya dan anak-anaknya pergi jalan-jalan. Sementara bang Dapot dan kak Susi beserta anak-anaknya masuk sibuk bekerja di ladangnya. Menurut kebiasaan paling nanti pas malam tahun baruan mereka datang berkumpul di rumah mertua. Sementara bang Tigor dan istri keduanya belum juga nyampa
Bab 63Aku cukup diam saja melihat tingkah Mitha. Barangkali dia tidak sadar betapa dulu aksi suaminya sangat membuat hati Ferry begitu trauma sampai sekarang. "Sudah Mak Thomas, tidak usah dibahas lagi." Saut memegang tangan Mitha."Tidak apa-apa Lae, inangbao. Tidak usah dipikirkan masalah bensin. Besok biar kami saja yang jemput orang Lae dan Inangbao kesini." Saut masih memegang tangan Mitha agar tetap berdiri di tempatnya, sambil menunduk sungkan kepada Bang Linggom dan aku."Tidak usah Amangbao, tidak perlu menjemput kami. Harusnya kita lebih baik tidak usah saling mengunjungi seperti ini. Cukup disaat kalian perlu pesta adat yang mengharuskan kami ada maka datanglah kemari, jika kami juga perlu pesta adat dan acara maka kami pun akan menghubungi kalian. Anggap saja hubungan kita sebatas pesta adat tradisi kita saja sebab biar bagaimanapun, Mak Thomas dan Pak Dinda tetap bersaudara kandung." Rasanya aku sudah muak dengan semua kepura-puraan ini. Datang kemari menawarkan pula
Bab 62Pesta pernikahan Thomas yang terkesan buru-buru tak pelak mengundang tanya orang-orang. Aku dan bang Linggom memutuskan untuk hadir setelah diskusi dengan bang Dapot dan bang Tigor.Pesta berjalan sebagaimana mestinya, para undangan pun banyak yang hadir. Baik dari kampung maupun keluarga yang ada disini. Pihak dari saudara Mitha memiliki peran sangat penting di pesta tersebut. Meski tidak begitu antusias tapi aku dan bang Linggom berusaha menempatkan diri agar tidak terlihat dimuka publik betapa peliknya permasalahan yang pernah terjadi diantara kami.Aku genggam tangan suamiku, sabar hasian, kelak anak-anak kita yang mendapat berkat dari Tuhan. Seiring berjalannya waktu, Mitha dan suaminya sudah mulai berani datang bertandang sesekali ke rumah. Walau suamiku tetap cuek dan dingin. Aku selalu mengajarkan anak-anakku untuk bersikap sopan kepada mereka, jika anakku yang nomor tiga dan nomor empat selalu menyambut ramah mereka, beda dengan anakku yang ke satu dan nomor dua yait
Bab 61"Apa maksudmu Bere?" ucap bang Linggom merenggangkan pelukan mereka"Ya Tulang, lebih baik aku tidak usah menikah kalau Tulang dan Nantulang tidak hadir." tegas Thomas masih posisi air mata membasahi pipinya."Thomas! Kau sudah besar. Dan kau pasti bisa mengingat bagaimana dulu jahatnya kedua orangtuamu ini kepada kami. Jadi sudahlah, tidak usah berdrama pakai nangis segala disini karena memang kami tidak akan iba pada kalian. Pergilah temui tulangmu yang dua lagi." ucapku dengan tenang."Apa salahku Nantulang, kesalahan orang tua kenapa dilimpahkan padaku. Aku minta maaf, tolong maafkan kami." Kembali Thomas memohon dengan penuh harap. Beralih mengambil tanganku dan menciumnya dengan hormat. Aku segera menarik tanganku dari kegemarannya sebelum hatiku luluh. Sesungguhnya tidak tega juga melihat keponakan kami ini menangis dan memohon, tapi jika mengingat perlakuan kedua orangtuanya membuat hati ini seperti membeku."Thomas, bagaimana mungkin kau tidak akan menikah, sementara
Bab 60"Ini padi-padi kita kenapa bisa begini Bang?"Aku berdiri memperhatikan padi yang susah payah kami tanam sekarang malah hangus menghitam."Sepertinya padi mu ini di semprot racun oleh seseorang Mak Dinda. Aku lihat dari kemarin daunnya pada kuning semua, sekarang jadi menghitam kering." Kak Lis, yang ladangnya bersebelahan dengan ladangku memberi penjelasan. Kak Lis juga lah yang telah mengirimkan SMS kepadaku tadi malam."Apa yang ada ya kak, kakak lihat jejak orang mencurigakan yang sengaja merusak ini?" Bang Linggom bertanya kepada kak Lis."Tidak ada Pak Dinda, kemarin lusa memang kami tidak ada disini, kalian pergi kami juga pergi. Ada pesta adik ipar ku di kampung."Bang Linggom tetap mengambil padi-padi kami itu. Meski menghitam tapi karena sudah berisi, setidaknya bisa di tumbuk pelan-pelan untuk mengeluarkan gabahnya dari berasnya.Miris memang, sedihnya tak terucapkan. Pengen cerita ke Papi dan saudara-saudara ku juga, rasanya aku enggan jadi beban buat mereka. Sedan
Bab 59“Helmi, aku memilih keluargaku! Aku akan segera mengurus perceraian kita.”Bang Roni menatap Kak Helmi, lalu mengusap air matanya dengan kedua telapak tangannya.Mendengar pernyataan Bang Roni. Membuat mata Kak Helmi membulat seakan tidak percaya apa yang barusan diucapkan oleh suaminya. Bukan hanya kak Helmi, aku yakin kami semua kaget atas ucapan Bang Roni terlihat dari wajah kami masing-masing yang kelihatan tegang.“Maksud Abang apa?” ucap Kak Helmi mendekat ke sisi Bang Roni.“Aku memilih keluargaku! Aku ingin kita bercerai.”“Papi, tolong maafkan aku Pi! Beri aku waktu untuk merubah segala sifat jelekku selama ini. Aku akan memberikan uang lima juta rupiah itu secara cuma-cuma kepada Riska, yang penting kami tidak bercerai.” “Jangan Anda pikir karena uang lima juta bisa membeli keharmonisan keluarga ini. Simpan uangmu, Eriska tidak akan menerima apapun yang akan Anda berikan!" tegas Papi kesal.Aku perhatikan, Papi tetap bersuara datar meskipun emosinya sedang meningkat,
Bab 58Padahal kalau dipikir-pikir, uang Bang Roni ini melebihi uang Bang Anton. Sawit Abangku ini lebih dari seratus hektar saat ini. Semua sudah berhasil. Sementara mereka belum memiliki anak. Sedih jadinya melihat Abangku yang satu ini.“Kalau Kau Bungaran bagaimana?” tanya Papi menoleh ke Abangku nomor tiga.“Lima puluh juta. Urus Lah ladang kalian itu dengan baik. Berdoa kepada Tuhan, biar apa yang kalian kerjakan diberkati Tuhan. Kalau sudah ada tempat yang cocok segera bangun rumah kalian disana, nanti Abang bantu biaya pembangunannya. Apa yang dilakukan iparmu itu Lae Linggom, jadikan cambuk menuju sukses. Keponakanku ini berempat harus bisa sekolah tinggi kalian buat, kalian harus buktikan meskipun dicurangi tapi mampu berdiri kokoh,” ucap Bang Bungaran tegas."Iya Riska, Kau jangan sungkan-sungkan. Selama ini begitu banyak masalah yang terjadi padamu, Kau pendam sendiri. Apa Kau tidak menganggap kami ini saudaramu? Papi sudah tua, bagaimanapun kitalah yang harus saling bahu