Bab 14Mitha diam menunduk dan mulai terisak. Sesekali dia batuk dan mengusap air mata di pipinya dengan tisu yang ada di meja. "Kalau Kau tidak mau meminta maaf, sekarang pergi Kau dari rumah ini! Terserah mau kemana. Tapi, jangan harap Mamak akan menerima baik lamaran calon suamimu. Biarlah Bapak dan Abangmu serta Kakak iparmu yang di kampung menerima kedatangan mereka. Karena aku masih lebih baik disini untuk menghindari acara lamaranmu itu, daripada pulang mengurusi manusia yang tidak punya akhlak seperti mu. Carilah Mamak yang pantas buatmu, yang bisa memberikan apa yang kau inginkan. Kalau memang selama ini, sebagai Mamak, Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu, maafkan Aku, karena hanya begitulah kemampuan yang bisa kulakukan untuk memperjuangkan kalian, hingga Kau tamat Diploma."Ibu semakin terisak, Bang Linggom juga kembali memeluk Ibu Mertua, aku duduk dekat Ibu dengan air mata mengalir, sedangkan Mitha masih terus terisak, dan kali ini tangisannya semakin pecah. Mitha terdu
Bab 15"Seperti kata Abangmu tadinya Mit, berucap itu mah gampang, tapi kami mau lihat bagaimana sikapmu kedepan itu yang utama. sebagai saudara, sebelum kamu minta maaf juga tentu kami sudah lebih dulu memaafkan mu, tapi kalau tetap sikapmu masih begitu-begitu saja, maka kata maafmu ini tidak ada artinya. Silahkan merenung malam ini, pikirkan, seandainya Aku ada diposisi mu bagaimana kamu akan bersikap.Sudahlah Mit, abangmu belum makan sepulang kerja, Aku mau melayani suamiku dulu, kalaupun kalian bilang aku tukang pelet terserah kalianlah, bagiku kedua mertua sudah aku anggap sebagai orang tuaku kandung, begitupun hubunganku dengan suamiku semoga baik selalu. Itu sudah lebih dari cukup buatku, kalau masalah saudara, kalian peduli pada kami yah kami peduli pada kalian, kalau kalian bisanya memfitnah, cukup tahu sajalah bahwa sampai begitulah kelas kalian." ucapku setelah menepis halus tangan Mitha."Tapi kak ..."Belum selesai Mitha bicara, Bang Linggom langsung memotong pembicaraan
Bab 16Aku beranjak ke kamar, sementara Bang Linggom masih di ruang depan bersama Ibu Mertua. Sengaja kuberikan waktu untuk mereka berdua siapa tahu ada yang mau mereka bicarakan, bisa saja ibu sungkan karena ada aku di sana.10 menit berikutnya, Bang Linggom sudah masuk ke kamar kami, aku yang melipat popok bayi kaget melihat reaksi Bang Linggom yang tiba-tiba memeluk ku dari belakang."Terimakasih ya Dek, karena sudah menjadi bagian keluarga ini. Terimakasih sudah menjadi istri yang baik untukku dan menantu yang peduli kepada Bapak dan Mamak Ku. Maafkan kalau Aku masih banyak kekurangan, belum mampu membahagiakan kamu seperti yang kamu inginkan." lirihnya dekat telingaku."Abang ngomong apa sih. Abang itu adalah suami terbaik buatku. Saat saudara yang lain berusaha memfitnahku, Abang selalu ada untuk membelaku. Itu sudah lebih dari cukup buatku Bang, tetaplah seperti itu, mari saling percaya dan saling menghargai di antara kita berdua, agar rumah tangga kita ini tetap damai." Aku b
Bab 17Pagi ini, aku lebih dulu bangun, aku lihat Ibu Mertua masih tidur di dekat cucunya. Aku membenarkan selimut yang sudah tidak lagi menutup badan Ibu tua tersebut. Sepintas aku teringat akan chating Kak Susi dan Kak Desi tadi malam, rasanya tidak mungkin Ibu ini akan bersekongkol dengan Mitha hanya untuk mendapatkan uang dariku. Sementara selama ini aku tidak pernah pelit kepada kedua Mertuaku.Daripada pusing mikirin yang tidak jelas, akh mending masak saja dulu, nanti bisa dibicarakan kalau sudah pada ngumpul dan suasana hati sudah pada senang.Dengan sukacita bernyanyi kecil, aku ke dapur memasak kesukaan Ibu, yaitu ikan mas arsik, masakan khas suku Batak, lengkap dengan andaliman yang kebetulan dibawa oleh beliau dari kampung. Sengaja ikannya aku lebihkan, biar bisa dibawa sebagian ke kampung. Jadi nanti setiba di kampung ibu mertua tidak perlu lagi masak, biar tidak capek. Soalnya Ikan Arsik ini kalau sampai kering kita masak, bisa tahan hingga 3 hari tidak akan basi.Semua
Bab 18"Nanti, biar Abang saja yang mengambil tiket Mamak ya Dek, sekalian aku nanti mau keluar beli oleh-oleh itu buat Mak bawa ke kampung." ucap Bang Linggom setelah rapi hendak berangkat kerja."Iya Bang, kalau bisa pagi inilah , takutnya nanti kehabisan tiket busnya. Karena dari sini ke kampung kita kan hanya satu bus aja, kasian nanti Inang klo harus nyambung bus lagi." sahutku memberi tanggapan akan ucapan suamiku itu."Ya Dek""Nanti Abang ijin setengah hari aja kerja, biar kita bisa bareng-bareng antar Mak ke loket.""Oh ya Dek, masalah uang yang pakai Bang Tigor dan Kak Desi, tolong kamu ingatin ya. Tadi malam sudah Abang telpon, katanya pagi ini dibayar, Klo sampai siang tidak ada kabar, telpon saja mereka, biar tidak terlalu lalai." lanjutnya lagi."Iya Bang, nanti Aku telfon." sahutku masih dalam hati kesal kepada istri-istrinya Abang ipar tapi karena ini masih pagi, aku menahan diri dalam diam, agar suasana hati tetap damai, dan suami berangkat kerja tidak kepikiran.Sele
Bab 19"Maksud Kakak apa? Kalau memang Kakak tidak mampu mengembalikan uang kami itu sekaligus, bilang dong baik-baik, tidak usah pakai bilang kalau Bang Tigor dulu membantu bayar kuliahku. Kapan suamimu bayar uang kuliahku? Terus uang Aku yang kalian pinjam waktu masih lajang apa kabarnya? Kapan Kakak kembalikan? Gak usah Kak berlagak sok, kalau memang tidak mampu. Kalau Kakak baik-baik mintanya, Aku tidak akan kecewa begini, dan ingat! Sampai kapanpun kalau Kakak minta tolong, Aku dan Istriku tidak akan mau lagi membantu kalian." ucap Bang Linggom dengan wajah yang memerah saking marahnya."Baru uang segitu sudah kayak kehilangan uang miliaran saja marahnya, Tenang saja Kau Gom! Sampai kapanpun, ku pastikan aku tidak bakal minta tolong lagi kepadamu dan kepada istrimu yang Preman itu." Kak Desi langsung memutuskan telepon sepihak dari seberang.Bang Linggom geleng-geleng kepala, menerima perlakuan Kakak iparnya tersebut. Sudahlah salah tapi seakan tidak merasa bersalah. Aku tarik n
Bab 20Aku dan suamiku saling pandang, masing-masing kami mengerutkan kening, mungkin pikiran kami sama, berarti kak Desi lah yang telah menahan uang 15 juta tanpa sepengetahuan Bang TigorKalau sudah begini, bakal perang dunia nih, ups salah, perang dalam rumah tangga maksudnya. Hehehe."Iya Bang, 10 juta saja yang dikirimkan Kak Desi, kalau Abang tidak percaya, aku bisa kirim foto bukti resi nya ke Abang,," ucap suamiku datar."Bukan Abang tidak percaya Gom, tapi, Kakakmu itu loh, bilang padaku sudah di transfer semua. Bodoh aku juga sih, gak minta resi transfer ke dia, pantesan dia selalu beli barang-barang baru." ucap Bang Tigor kesal."Bang, bijaklah sebagai suami, peka terhadap perubahan istri, Abang lihat gak, gaya Kak Desi waktu pesta Mitha, mulai dari atas sampai bawah semua serba baru. Harusnya Abang tanya dapat uang darimana belanja sebanyak itu." usul Bang Linggom masih dalam suara datar."Abang sudah tanya Dek, tapi katanya Kak Susi yang beli sebagian, karena hasil cabain
Bab 21 Aku pura-pura tidak mendengar apa yang diucapkan Kak Susi. Lagi pula badanku rasanya capek banget, aku tidak ada tenaga buat berdebat. Biarlah disitu mau berbusa mulut mereka menceritakan aku, masa bodoh lah, lebih baik aku lanjut tidur, entar kalau sudah capek mulutnya paling diam, pikirku. "Gak usah deh Kau pura-pura tidur. Bagi-bagilah resep pelet mu biar aku bisa tidur nyenyak sepertimu walaupun punya anak bayi." sindirnya lagi sambil menggoncang badanku pakai kakinya.Kami bertiga para menantu memang tidur di ruang tengah, sedangkan para suami-suami kami tidur di ruang depan. Sementara Bapak dan Ibu Mertua tidur di kamar."Tolong ya Kak, kalau mau berantem besok pagi saja deh. Sumpah! Aku capek bangat tadi yang jalan kaki itu. Selain itu aku sudah ngantuk. Udah ya Kak, aku duluan tidur," pamit ku dengan penuh penguasaan diri agar tidak terpancing akan sindirannya.Anak Kak Susi semakin menangis keras, mungkin saja karena kecapekan. "Tuh, dengar tuh putri kita. Urus dulu
Bab 66Aku kaget dengan ucapan bang Linggom yang tiba-tiba Sarkar begitu. Si Mitha juga sudah punya mantu tapi tetap saja kelakuannya tak pernah bisa menghargai orang lain."Ck, baru makanan gini saja marahnya kayak orang kerasukan setan."Mitha langsung melempar kresek yang berisi terong tadi ke halaman rumah melalui pintu yang memang sedang terbuka, alhasil terong Belanda buah kesukaanku itu berserak di halaman rumah ada beberapa yang pecah. Dengan gontai aku berjalan keluar memungut terong-terong tersebut. Walau bagaimanapun itu adalah makanan tidak boleh dibuang. Apalagi ini pemberian orang. Aku lihat mata Mitha tajam menatapku mengutip satu persatu buah tersebut."Makan tuh buah,bila perlu masukkan sebagian di telingamu." ucapnya ngos-ngosan, sepertinya emosinya sudah di ujung tanduk."Iya dong, kalau kau tidak menghargai pemberian orang lain, itu masalah mu. Tapi aku setetes pun pemberian orang lain akan ku ingat, begitupun kecurangan, sedikit pun orang lain bersikap curang pa
Bab 65Pagi ini aku sengaja bangun lama. Aku dengar mertua sudah mulai bergerak di dapur. Tapi karena cuaca yang sangat dingin aku enggan keluar dari selimut. "Mak Thomas, bangunlah kau. Masaklah buat anak-anakmu. Nanti mereka bangun pasti pada lapar semua." Kudengar ibu mertua membangunkan Mitha, yang tidur di kamar. Sementara aku dan Linggom beserta Thomas dan istrinya, dan kelima adiknya tidur di ruang depan bareng-bareng bersama ibu mertua. Mitha dan suaminya tidur di kamar dengan alasan dingin dan tidak biasa tidur tanpa alas Spring bed."Akh, Mamak ini berisik kali. Dingin loh Mak, mana masih gelap juga. Biar nanti istrinya Thomas yang masak Mak, aku masih mau tidur.""Sudah tua, bentar lagi kau sudah memiliki cucu, tapi bawaanmu masih tetap kayak anak-anak. Terserah kaulah. Kalau kau mau anak-anakmu kelaparan ya sudah." sahut mertua sambil berlalu ke dapur.Aku melihat jam di tanganku, masih menunjukkan pukul lima subuh. Pagi ini Ferry dan kedua adiknya akan tiba di rumah kar
Bab 64"Kenapa harus membawa ini dan itu kau Mak Dinda, aku sendiri nya tinggal di rumah ini. Seberapa banyaklah buat aku makan." Ibu mertua protes setelah aku membongkar oleh-oleh yang aku bawa dari kardus."Memang selalu nya begini kan Mak, kalau bukan kami yang membawa kebutuhanmu di rumah ini memang ada yang akan memperhatikan Mamak?" sela bang Linggom dengan suara datar."Maafkanlah saudaramu yang lain ya Nak, mungkin begitulah yang mereka tau." Sahut ibu mertua sungkan."Lagipula ini buat bekal kita selama disini Inang, cucu-cucu mu paling juga nanti menghabiskannya." aku berusaha menetralisir suasana biar ibu mertua tidak merasa sungkan.Kebetulan pas kami nyampai rumah mertua masih sepi. Mitha, suaminya dan anak-anaknya pergi jalan-jalan. Sementara bang Dapot dan kak Susi beserta anak-anaknya masuk sibuk bekerja di ladangnya. Menurut kebiasaan paling nanti pas malam tahun baruan mereka datang berkumpul di rumah mertua. Sementara bang Tigor dan istri keduanya belum juga nyampa
Bab 63Aku cukup diam saja melihat tingkah Mitha. Barangkali dia tidak sadar betapa dulu aksi suaminya sangat membuat hati Ferry begitu trauma sampai sekarang. "Sudah Mak Thomas, tidak usah dibahas lagi." Saut memegang tangan Mitha."Tidak apa-apa Lae, inangbao. Tidak usah dipikirkan masalah bensin. Besok biar kami saja yang jemput orang Lae dan Inangbao kesini." Saut masih memegang tangan Mitha agar tetap berdiri di tempatnya, sambil menunduk sungkan kepada Bang Linggom dan aku."Tidak usah Amangbao, tidak perlu menjemput kami. Harusnya kita lebih baik tidak usah saling mengunjungi seperti ini. Cukup disaat kalian perlu pesta adat yang mengharuskan kami ada maka datanglah kemari, jika kami juga perlu pesta adat dan acara maka kami pun akan menghubungi kalian. Anggap saja hubungan kita sebatas pesta adat tradisi kita saja sebab biar bagaimanapun, Mak Thomas dan Pak Dinda tetap bersaudara kandung." Rasanya aku sudah muak dengan semua kepura-puraan ini. Datang kemari menawarkan pula
Bab 62Pesta pernikahan Thomas yang terkesan buru-buru tak pelak mengundang tanya orang-orang. Aku dan bang Linggom memutuskan untuk hadir setelah diskusi dengan bang Dapot dan bang Tigor.Pesta berjalan sebagaimana mestinya, para undangan pun banyak yang hadir. Baik dari kampung maupun keluarga yang ada disini. Pihak dari saudara Mitha memiliki peran sangat penting di pesta tersebut. Meski tidak begitu antusias tapi aku dan bang Linggom berusaha menempatkan diri agar tidak terlihat dimuka publik betapa peliknya permasalahan yang pernah terjadi diantara kami.Aku genggam tangan suamiku, sabar hasian, kelak anak-anak kita yang mendapat berkat dari Tuhan. Seiring berjalannya waktu, Mitha dan suaminya sudah mulai berani datang bertandang sesekali ke rumah. Walau suamiku tetap cuek dan dingin. Aku selalu mengajarkan anak-anakku untuk bersikap sopan kepada mereka, jika anakku yang nomor tiga dan nomor empat selalu menyambut ramah mereka, beda dengan anakku yang ke satu dan nomor dua yait
Bab 61"Apa maksudmu Bere?" ucap bang Linggom merenggangkan pelukan mereka"Ya Tulang, lebih baik aku tidak usah menikah kalau Tulang dan Nantulang tidak hadir." tegas Thomas masih posisi air mata membasahi pipinya."Thomas! Kau sudah besar. Dan kau pasti bisa mengingat bagaimana dulu jahatnya kedua orangtuamu ini kepada kami. Jadi sudahlah, tidak usah berdrama pakai nangis segala disini karena memang kami tidak akan iba pada kalian. Pergilah temui tulangmu yang dua lagi." ucapku dengan tenang."Apa salahku Nantulang, kesalahan orang tua kenapa dilimpahkan padaku. Aku minta maaf, tolong maafkan kami." Kembali Thomas memohon dengan penuh harap. Beralih mengambil tanganku dan menciumnya dengan hormat. Aku segera menarik tanganku dari kegemarannya sebelum hatiku luluh. Sesungguhnya tidak tega juga melihat keponakan kami ini menangis dan memohon, tapi jika mengingat perlakuan kedua orangtuanya membuat hati ini seperti membeku."Thomas, bagaimana mungkin kau tidak akan menikah, sementara
Bab 60"Ini padi-padi kita kenapa bisa begini Bang?"Aku berdiri memperhatikan padi yang susah payah kami tanam sekarang malah hangus menghitam."Sepertinya padi mu ini di semprot racun oleh seseorang Mak Dinda. Aku lihat dari kemarin daunnya pada kuning semua, sekarang jadi menghitam kering." Kak Lis, yang ladangnya bersebelahan dengan ladangku memberi penjelasan. Kak Lis juga lah yang telah mengirimkan SMS kepadaku tadi malam."Apa yang ada ya kak, kakak lihat jejak orang mencurigakan yang sengaja merusak ini?" Bang Linggom bertanya kepada kak Lis."Tidak ada Pak Dinda, kemarin lusa memang kami tidak ada disini, kalian pergi kami juga pergi. Ada pesta adik ipar ku di kampung."Bang Linggom tetap mengambil padi-padi kami itu. Meski menghitam tapi karena sudah berisi, setidaknya bisa di tumbuk pelan-pelan untuk mengeluarkan gabahnya dari berasnya.Miris memang, sedihnya tak terucapkan. Pengen cerita ke Papi dan saudara-saudara ku juga, rasanya aku enggan jadi beban buat mereka. Sedan
Bab 59“Helmi, aku memilih keluargaku! Aku akan segera mengurus perceraian kita.”Bang Roni menatap Kak Helmi, lalu mengusap air matanya dengan kedua telapak tangannya.Mendengar pernyataan Bang Roni. Membuat mata Kak Helmi membulat seakan tidak percaya apa yang barusan diucapkan oleh suaminya. Bukan hanya kak Helmi, aku yakin kami semua kaget atas ucapan Bang Roni terlihat dari wajah kami masing-masing yang kelihatan tegang.“Maksud Abang apa?” ucap Kak Helmi mendekat ke sisi Bang Roni.“Aku memilih keluargaku! Aku ingin kita bercerai.”“Papi, tolong maafkan aku Pi! Beri aku waktu untuk merubah segala sifat jelekku selama ini. Aku akan memberikan uang lima juta rupiah itu secara cuma-cuma kepada Riska, yang penting kami tidak bercerai.” “Jangan Anda pikir karena uang lima juta bisa membeli keharmonisan keluarga ini. Simpan uangmu, Eriska tidak akan menerima apapun yang akan Anda berikan!" tegas Papi kesal.Aku perhatikan, Papi tetap bersuara datar meskipun emosinya sedang meningkat,
Bab 58Padahal kalau dipikir-pikir, uang Bang Roni ini melebihi uang Bang Anton. Sawit Abangku ini lebih dari seratus hektar saat ini. Semua sudah berhasil. Sementara mereka belum memiliki anak. Sedih jadinya melihat Abangku yang satu ini.“Kalau Kau Bungaran bagaimana?” tanya Papi menoleh ke Abangku nomor tiga.“Lima puluh juta. Urus Lah ladang kalian itu dengan baik. Berdoa kepada Tuhan, biar apa yang kalian kerjakan diberkati Tuhan. Kalau sudah ada tempat yang cocok segera bangun rumah kalian disana, nanti Abang bantu biaya pembangunannya. Apa yang dilakukan iparmu itu Lae Linggom, jadikan cambuk menuju sukses. Keponakanku ini berempat harus bisa sekolah tinggi kalian buat, kalian harus buktikan meskipun dicurangi tapi mampu berdiri kokoh,” ucap Bang Bungaran tegas."Iya Riska, Kau jangan sungkan-sungkan. Selama ini begitu banyak masalah yang terjadi padamu, Kau pendam sendiri. Apa Kau tidak menganggap kami ini saudaramu? Papi sudah tua, bagaimanapun kitalah yang harus saling bahu