Share

Menegur

Bab 03

"Wah, berani benar menantumu ini Mak Dapot, kalian lihat ini, pakai ngancam segala lagi." Lalu ibu itu mendekati suamiku, "Linggom!, ajarin dong istrimu ini bertutur kata dengan orang tua, jangan diam saja kau."

Mendengar tutur kata yang diucapkan, aku tambah kesal. Apa dia gak sadar kalau dia juga tidak ada tutur katanya, "Iya Maktua, nanti Riska aku nasehati." Bang Linggom menatapku menggeleng kepala, aku tahu maksudnya agar jangan lagi membalas ucapan ibu itu.

"Tuh, dengar suamimu, jangan badanmu saja yang kau gedein, tapi ot*kmu nol, aku ini mertuamu sama dengan Mak Dapot." Ibu itu berlalu pergi melenggang seperti dia saja yang sudah benar.

"Hei Inang, tunggu!"

Karena dia tadi sudah mengatakan dia mertuaku, setaraf dengan ibu mertua akhirnya aku memanggilnya inang biar lebih dihargai, walau bagaimanapun namanya orang tua harus tetap dijaga lisan kita yang lebih muda, jika berhadapan dengan orang yang lebih tua.

"Riska, sudah dong sayang, tidak usah diladeni nanti makin ribut." Bang Linggom menarik tanganku agar tidak mendekati ibu itu. Tapi dengan keras aku menepis tangan bang Linggom, bagiku ini harus diluruskan, sejak kecil papaku selalu bilang, kalau tidak salah tidak usah takut.

"Aku mau bertanya, masalah Inang denganku apa? Kenapa Inang gemar sekali memburukkan aku? badanku besar begini Inang bully, apa aku meminta makan pada Inang? Sejak aku masuk ke rumah mertuaku ini, aku tahu Inang selalu berpikir jelek padaku. Padahal Inang belum mengenal aku sama sekali. Menurut Inang, tutur kata Inang itu sudah sopan? Menegur, tapi Ibu bilang aku tidak punya ot*k, terus tadi Inang bilang, aku mau merayu suami orang-orang di kampung ini, bilang orangtuaku tidak mengajarkanku sopan santun, apa pantas orang tua yang merasa terhormat bicara seperti itu? Seharusnya sebagai orang tua, Inang menasehatiku. Bukan malah menciptakan kata -kata berbisa yang bikin orang marah Bu!"

Emosi yang kutahan sejak acara makan-makan kemarin meluap begitu saja. Memang dia pikir aku takut. Biar saja urusan Bapak dan Ibu mertua marah, nanti saja lah dihadapi. Yang penting keluar dululah unek-unek untuk ibu bermulut tajam ini, biar gak jadi penyakit kalau di pendam saja.

"Lancang kali mulut'mu ya?" Ibu itu mengangkat tangannya hendak menampar muka ku, refleks aku menunduk dan tutup mata.

"Sudah Kak, jangan pernah main tangan pada menantu kami, silahkan Kakak pulang, kalau Kakak tidak terima, besok masalah ini biar kita rapatkan di Balai Desa." Perlahan aku membuka mataku dan melihat Bapak Mertua sudah berdiri dan menahan tangan si ibu itu sehingga tidak jadi menampar aku.

"Jadi sekarang, kalian mau membela menantu mu yang preman ini?" Muka si ibu merah padam, mungkin tidak menyangka, tangannya akan dihalau oleh bapak yang hampir mengenai wajahku.

"Inang, disini tidak ada yang membela siapa, jangan pojokkan bapak. Tapi Inang perlu menjawab pertanyaan aku tadi, ada masalah apa Inang padaku sehingga Inang benci dengan aku?"

"Heh... Kamu diam! Mantu kurang aj*r. Aku tidak sedang bicara denganmu." Wajah ibu itu semakin menandakan kalau dia semakin emosi padaku.

"Aku akan diam, kalau Inang berhenti membicarakan aku dan keluargaku." Aku semakin tegap berdiri dihadapannya, tepatnya berdiri di tengah pintu agar si ibu tidak bisa keluar.

"Mau kamu apa sih? Awas, aku mau pulang." Muka si ibu sewot wajah sudah semakin memerah.

"Inang akan pulang, kalau sudah meminta maaf kepada Amang dan Inang simatuaku." ucapku semakin kesal.

"Meminta Maaf untuk apa ya?" Ibu itu malah bertanya dan menaikkan bahu terlihat angkuh.

"Eriska, sudah Nak, tidak usah diperpanjang lagi ya. Biarkan Kakak itu pulang." ucap Ibu Mertua datang memegang pergelangan tanganku.

"Tidak Inang, aku tidak mau, Inang itu harus minta maaf karena telah mengganggu kenyamanan kita di rumah ini. Aku tidak salah kok, kalau masalah aku pakai kain basahan dari sungai ke rumah, itu karena aku belum tau kebiasaan disini. Dan lagi aku pakai handuk di leher kok, badanku tertutupi semua tapi seenaknya saja Inang itu bilang, aku mau merayu suami orang-orang di desa ini. Itu sama dengan menghina. Sekarang kalau Inang itu tidak minta maaf kepada Amang dan Inang mertua, maka Inang ini tidak bisa keluar dari rumah ini." tegas ku.

"Hallah... Masalah gini saja pun di buat ribet kelihatan sekali tidak berpendidikan, masalah kecil saja dibesar-besarkan," ucapnya, aku melihat ibu itu mulai gusar.

"Mungkin bagi Inang, ini masalah kecil, tapi tidak denganku karena ini sudah menyangkut harga diri. Kalau sekarang aku diam, besok bisa saja Inang memfitnah aku telah merayu suami Inang, biar aku di usir dari kampung ini. Jadi sebelum Inang merajalela lebih baik Inang introspeksi diri dan meminta maaf kepada kami, khususnya Bapak dan Ibu mertua disini."

Mungkin karena ego, ibu itu tidak kunjung minta maaf, walau wajah yang sudah mulai panik, tapi dia tetap berusaha membela diri. "Aku hanya mengingatkanmu, apa salah orang tua mengingatkan yang muda? Kamunya saja yang gampangan tersinggung." Sudah mulai tidak berani menatap ku seperti pertama datang tadi.

Sementara di luar orang-orang sudah pada mulai datang melihat perdebatan kami. Mereka berdiri di halaman rumah Ibu Mertua.

"Apa? Inang bilang aku gampangan tersinggung? sekarang kalau aku bilang, Inang jelek tidak punya ot*k apa tidak tersinggung? suaraku semakin lantang, tidak mikir lagi aku mantu baru. Kadung malu biar sajalah di cap Mantu preman.

"Mampus kau rasain, kali ini kau pasti kena batunya." teriak seseorang ibu-ibu datang mendekat rumah mertua.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status