Share

Sedikit miring

Penulis: Vania Ivana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bab 2

"Eh, baru saja kemarin kau datang ke kampung ini, sudah berlagak sok, lihat dirimu, apa menurutmu pantas seorang menantu berpakaian seperti ini pulang dari sungai? Sementara di kampung ini kebanyakan simatuam-mertuamu. Ngerti sopan santun tidak kau? Apa kau berniat mau merayu para suami-suami kami?" Mendengar cerocos ibu itu membuat darahku semakin mendidih.

"Idih merayu? amit-amit deh, muka-muka kampung, kulit hitam legam, rambut bauk gosong, terpanggang Matahari pula setiap hari, seperti itu mau aku rayu? Mending punya uang, ini hidup pas-pasan pula. Menang jauhlah suamiku. Nyari penyakit saja rayu suami orang. Sepertinya Ibu ini perlu periksa deh, entah otaknya sudah berpindah dari kepala jadi di pantat," batinku berkata pada diriku sendiri.

Sebenarnya sih ingin bicara langsung, tapi namanya orang tua, tidak tega juga aku, berkata kasar seperti itu. Lagipula kasihan ntar mertuaku, dibully orang sekampung, menantu baru Pak Regar itu, Preman woi ... gak enak banget kan dengarnya. Sedangkan aku belum bereaksi saja sudah di cap preman, apalagi kalau ... sudah bereaksi, akan semakin heboh gonjang-ganjing premanisme ku di kampung ini. Hehehe.

"Maaf Maktua, aku yang salah karena tidak memberitahukan kepada kak Riska bagaimana aturan-aturan kita di desa ini," ucap Neli menjelaskan ke ibu tukang bully itu

"Iya, lagian sudah badan besar begitu, kayak gajah, tapi tidak malu pakai kain saja penutup badannya, apa gak mikir? Harusnya punya otak lah, ini kan desa bukan kota yang tidak ada sopan santunnya."

Waduh ibu ini sepertinya tidak bisa didiamen deh. Mau di kampung atau di kota itu bukan ukuran manusia itu mengerti akan sopan santun, bagiku itu tergantung didikan dan keseharian kita. "

"Woi Bu, aku diam bukan karena takut melawan, tapi aku menghargai mertuaku. Parah ini mulut Ibu, kok tidak ada rem'nya ya," ucapku dengan nada kesal karena sudah tidak tahan lagi harus berdiam diri.

"Ayok Kak, nanti Kakak masuk angin, kelamaan pakai kain basahnya, tidak usah disambut Kak apa katanya biar sajalah." Neli memegang pergelangan tangan ku, lalu mengajakku meninggalkan ibu tadi. Mungkin Neli sudah melihat kalau emosiku sudah mulai tak terbendung.

"Sabar Ris, sabar!" Aku mengelus dada sambil berjalan mengikuti Neli.

"Memang begitunya Maktua itu Kak, banyak yang tidak suka padanya karena suka kali membicarakan keburukan orang lain," sela Neli.

"Ya sudahlah, suka-suka dia lah disitu Dek. Mulut mulutnya juga, nanti kalau aku sudah tidak tahan baru kuserobot," ucapku dengan bibir bergetar, soalnya aku sedang menggigil kedinginan.

Kami berjalan beriringan, dari halaman rumah, aku melihat sudah ada kepulan asap di dapur, sepertinya ibu mertua dan yang lainnya sudah pulang dari ladang.

Membayangkan ada perapian di dapur, aku langsung menuju dapur untuk menghangatkan sekujur tubuhku yang kedinginan. Aku lihat ada Bapak, Ibu, Bang Linggom, Bang Dapot saudara tertua Bang Linggom beserta istrinya, semua kompak mengelilingi bara api yang sengaja di nyalakan untuk menghangatkan badan.

Aku datang masih dengan sarung basahan dan handuk di leher, aku langsung jongkok di dekat bang Linggom.

"Dingin Bang, rasanya aku mau beku saja, hu - hu - hu." Aku melebarkan kedua telapak tanganku ke arah perapian yang sedang menyala-nyala.

Setelah aku duduk, aku lihat Bapak Mertua dan Bang Dapot bangkit berdiri dan langsung pergi ke ruang depan tanpa bicara apa-apa. Loh, kok kompakan perginya ya? Apa ada yang salah? Pikirku.

"Bapak dan Bang Dapot kenapa pergi ya Bang?" kuberanikan bertanya kepada suamiku, aku melihat sepintas wajah istri Bang Dapot seperti sinis melihatku.

"Apa kau tidak kedinginan pakai basahan begini, harusnya ganti dulu baru datang ke dapur." ucap Istri Bang Dapot nyeletuk dengan wajah dongkol.

"Oh, itu masalahnya toh, soalnya dingin banget Kak, makanya aku langsung ke api ini biar anget," sahutku tanpa merasa bersalah.

"Sebaiknya ganti baju dulu Dek, baru datang kemari, Bapak dan Bang Dapot merasa sungkan duduk bareng disini, karena melihat kamu masih pakai basahan gini," ucap suamiku bersuara lembut.

"Ini kita di kampung, bukan di kota. Heran aku, masak tidak dipakai akalnya, secara disini itu pada mertua semua, sopanlah. Anak kota, tapi tidak punya sopan santun." Istri Bang Dapot terus menyerang aku.

Sebenarnya aku lebih heran lagi, apa disini tidak bisa ya bicara baik-baik, tidak harus langsung menghakimi, tidak tau sopan santunlah, tidak pakai ot*k lah, akh pusing aku, mungkin menurut mereka sudah santun banget bahasa seperti itu.

"Neli, kenapa kamu gak bilang sama edamu-iparmu, bawa baju ganti ke sungai Nak?" ucap ibunya Bang Linggom menegur putri bungsunya.

"Iya Mak, Neli tadi lupa. Abang Linggom juga harusnya sebelum pulang kampung itu, kasih taulah gimana kebiasaan di kampung ini," keluh Neli dengan suara berat.

"Maaf semuanya." Aku berdiri lalu pergi ke kamar berganti pakaian.

Aku tidak perlu tahu lagi apa yang mereka bahas tentang aku, yang jelas dinginya cuaca ini sangat menyiksaku. Istri abang ipar yang dongkol juga tidak kuhiraukan lagi, selama Bapak dan Ibu Mertua tidak memarahiku, biar sajalah semua berpendapat jelek tentang aku, dalam pikiranku sekarang masuk ke kamar bergulung ke selimut lalu tidur. Seperti yang kulakukan saat ini. Tentunya tidak salah kamar lagi ya. Hehehe.

Enak-enak tidur, aku dengar suara Bang Linggom memanggil namaku. "Riska, bangun sayang, kita makan yok. Bapak, Uma-mama, dan semuanya sudah nunggu tuh, biar makan bareng."

"Dingin Bang, besok sajalah aku makannya," jawabku tanpa mau membuka selimut.

"Nanti kamu malah sakit sayang, yok makan sedikit saja. Kalau kamu tidak betah disini besok biar kita pulang saja ya."

"Apa? Pulang Bang? Benaran?" ucapku sumringah.

Aku langsung semangat mendengar kata pulang yang di ucapkan suami. Aku bangun dari tempat tidur lalu beranjak ke dapur, maklumlah di rumah ini tidak ada ruang makan, kami makan di dapur, duduk di tikar yang selalu di bentangkan. Sedang asyk makan kami mendengar suara seorang ibu masuk ke rumah.

"Mak Dapot!, diajari dong mantu kita biar tau sopan santun, ini tadi di kasih tahu malah menantang."

Suara itu tidak asing bagiku, setelah kulihat oh ternyata ibu tadi yang ketemu di jalan.

"Maaf Kak, Riska belum tahu kebiasaan kita disini, nanti akan kami ingatkan menantu kita untuk bersikap sopan." Mendengar ibu mertua minta maaf, emosi ku tersulut.

"Bu, aku tadi menantang apa? Jangan memburukkan orang dong. Lagipula terus sudah seberapa hebat rupanya Ibu di kampung ini, kok mertuaku harus sampai minta maaf segala ke Ibu tanpa ada salah," ucapku kesal, ibu macam ini perlu dikasih pelajaran.

"Tuh, lihat tuh Pak Regar, Mak Dapot, menantu mu ini lebih galak dari orang tua kan?" ucap ibu itu nyerocos.

Ku selesaikan makanan ku, ku cuci tanganku, lalu bangkit berdiri mendekati ibu itu.

"Aku mau bertanya pada Ibu, memangnya tadi aku nantangin apa? Ya jelas dong aku marah, Ibu ngatain orangtuaku tidak mengajarkanku sopan santun. Apa menurut Ibu, cara Ibu ini sudah santun? Sebagai yang dituakan harusnya Ibu menasehati aku, bukan malah menghakimi, bilang aku gak punya otak lah, bilang orang tuaku tidak mengajariku sopan santun lah, hebat kali Ibu, belum kenal samaku dan orang tuaku tapi sudah menilai kami buruk," ucapku penuh emosi.

"Mak Dapot, sepertinya mantu mu ini sedikit miring, aku pergi dulu ya." Ibu itu membuat tangannya bentuk miring di jidat lalu hendak beranjak pergi. Tapi saat dia melangkah, "tunggu bu," aku menarik tangan ibu itu, "mungkin selama ini tidak ada yang berani melawan Ibu, tapi mulai sekarang ku ingatkan ya Bu, jangan pernah kudengar lagi Ibu bicara yang tidak benar tentang aku di kampung ini, jangan salahkan kalau aku akan mempermalukan Ibu."

Bab terkait

  • Pesona Istri dari Kota   Menegur

    Bab 03"Wah, berani benar menantumu ini Mak Dapot, kalian lihat ini, pakai ngancam segala lagi." Lalu ibu itu mendekati suamiku, "Linggom!, ajarin dong istrimu ini bertutur kata dengan orang tua, jangan diam saja kau." Mendengar tutur kata yang diucapkan, aku tambah kesal. Apa dia gak sadar kalau dia juga tidak ada tutur katanya, "Iya Maktua, nanti Riska aku nasehati." Bang Linggom menatapku menggeleng kepala, aku tahu maksudnya agar jangan lagi membalas ucapan ibu itu. "Tuh, dengar suamimu, jangan badanmu saja yang kau gedein, tapi ot*kmu nol, aku ini mertuamu sama dengan Mak Dapot." Ibu itu berlalu pergi melenggang seperti dia saja yang sudah benar."Hei Inang, tunggu!" Karena dia tadi sudah mengatakan dia mertuaku, setaraf dengan ibu mertua akhirnya aku memanggilnya inang biar lebih dihargai, walau bagaimanapun namanya orang tua harus tetap dijaga lisan kita yang lebih muda, jika berhadapan dengan orang yang lebih tua."Riska, sudah dong sayang, tidak usah diladeni nanti makin r

  • Pesona Istri dari Kota   Minta maaf

    Bab 04Aku melihat ibu itu sudah mulai pucat, mungkin dia sudah merasa malu karena tetangga sudah pada rame di halaman rumah Mertua. Maklumlah sudah jam 5 sore, jam pulangnya orang dari ladang masing-masing. "Tolong dijawab Bu, apa Ibu terima seandainya aku bicara seperti yang Ibu bicarakan tentang aku tadi?" sengaja ku ulangi karena kulihat ibu itu lagi tidak konsen, entahlah apa yang buat dia jadi tidak segalak tadi. Aku juga mengabaikan teriakan ibu-ibu tadi, sebab tujuanku hanya ingin membuat ibu ini jera saja, bukan sengaja mempermalukan."Sudahlah, aku mau pulang saja, aku mau pu-pulang saja. Percuma bicara dengan orang yang tidak punya perasaan." ucapnya sudah mulai gagap.Waduh, gawat ibu ini, sama sekali tidak ada rasa bersalahnya, bebal juga ini ibu ya. Dari kemarin dia yang nuduh aku yang gak-gak, eh sekarang malah bilang aku tak punya perasaan. Terbuat dari batu kali hati ibu ini, sama sekali tidak bisa membedakan mana yang pantas dan tidak pantas diucapkan."Tidak bisa B

  • Pesona Istri dari Kota   Cari muka

    Bab 05Aku kaget, mendengar Bapak Mertua menyuruh Bu Restu meminta maaf padaku, sebenarnya bagiku ini sudah cukup, karena ibu itu sudah meminta maaf kepada Bapak dan Ibu di depan para warga. Tapi melihat apa yang barusan dilakukannya padaku sehingga aku diam saja tidak lagi melarang ibu itu meminta maaf padaku. "Apa? Aku minta maaf lagi ke menantu Bapak yang tidak berperasaan ini? Aku tidak mau, aku seorang orangtua, yang setaraf dengan mertuanya, harus meminta maaf kepada anak yang baru datang ke desa ini? Tidak, aku tidak mau." Aku melihat urat leher Bu Restu makin mengeras menahan dongkol dan kesal di hatinya."Iyalah Bu, minta maaf lah kepada mantu Pak Dapot." ucap seorang ibu yang duduk di pojokan."Iya Mak Restu, makanya jangan asal sembarang bicara, Ibu pikir bisa semua orang di perlakukan se'enak hati Ibu?" Ibu di belakang Bu Restupun ikut ambil suara."Sudah tua, tetap perlakuannya selalu bikin malu." Sekarang ibu yang di dekat pintu yang berucap."Iya, Bu Restu! Yang tidak

  • Pesona Istri dari Kota   Berkuasa

    Bab 06Aku kaget melihat reaksi istri Abang Ipar, aku ingin menyusul kakak itu ke kamarnya tapi, Ibu Mertua mempererat genggaman tangannya padaku. "Tidak usah disusul Nak, nanti kalau sudah capek dia akan baik sendiri."Mendengar penuturan Ibu Mertua, hatiku jadi miris, suamiku 6 orang bersaudara, Bang Linggom anak ketiga, diatas Bang Linggom, dua Laki-laki sudah pada menikah juga. Yang paling sulung tinggal bersama Mertua, itulah Bang Dapot dan istrinya. Sedangkan satu lagi tinggal di Kota Medan. Yang keempat juga laki-laki, belum menikah, sementara kelima dan keenam, perempuan dua-duanya dan belum ada yang menikah."Sudah Inang, jangan menangis lagi, aku jadi sedih nih." Aku hapus airmata ku yang tak sengaja menetes di pipi. Kalau sudah masalah orang tua, rasanya tak tega melihat mereka kalau sampai meneteskan airmata. Aku kembali membenamkan wajahku di pelukan ibunya suamiku itu. Rasanya nyaman meski tidak senyaman Ibu Kandung.Setelah puas pelukan dengan Inang Mertua, aku meliha

  • Pesona Istri dari Kota   Pulang

    Bab 07"Pak, Mak, kami berangkat ya! Jaga selalu kesehatan, jangan terlalu capek-capek kerjanya." Bang Linggom pamitan kepada Bapak dan Ibunya sembari merangkul mereka satu persatu dengan haru."Iya Nak, baik-baik kalian disana ya Nak! Ingat kalau sedikit saja kalian berbuat buruk di perantauan, maka akan dengan cepat tersiar kabar sampai ke kampung ini. Dan itu akan membuat Bapak dan Ibu malu. Jaga kalianlah kehormatan serta harga diri keluarga kita dengan baik, karena seperti yang kau tahu, Bapak dan ibumu ini hanyalah orang miskin yang hanya punya sedikit ladang buat menyambung hidup. Jadi kalau sampai lagi kalian berbuat buruk di perantauan, itu sama saja mencoreng muka Bapak dan Ibu di kampung ini," ucap Bapak menasehati kami."Baik Pak." Aku dan Bang Linggom kompak menganggukkan kepala."Ini ada sedikit uang, sekedar buat beli gula dan kopi Inang, diterima ya!" Aku memberikan amplop berisi sedikit uang buat Ibu Mertua."Simpanlah Nak, terus darimana kalian punya uang, sementara

  • Pesona Istri dari Kota   Pinjam uang

    Bab 08"Dek, Bang Tigor tadi telpon, katanya mau pinjam uang buat tambahan modal usaha mereka. Nanti setelah dua bulan baru dikembalikan." Bang Linggom cerita saat kami nyantai nonton TV, film laga kesukaanku. Bang Tigor adalah anak kedua Mertuaku yang tinggalnya di Medan."Terus, Bang Linggom, kasih?" tanyaku masih tetap melihat TV."Belum, tadi aku bilang ke Bang Tigor, aku tanya kamu dulu dek." Iyah syukur deh, aku suka dengan cara Bang Linggom, dia itu tidak pernah mau ngambil keputusan sepihak sebelum diskusi padaku. Komitmen kami dari awal berumah tangga memang itu, apapun keadaannya urusan rumah tangga harus melibatkan suami dan isteri. Jangan mentang-mentang suami berpenghasilan lebih, atau suami yang kerja, sehingga tidak menghargai istri, begitupun sebaliknya. "Maunya Bang Linggom sekarang gimana? kita kasih? berapa rupanya mereka minta Bang?" aku menoleh sesaat suamiku lalu kembali fokus ke layar TV melihat aksi pemain laga idolaku. "Kalau ada 50 juta katanya, tap

  • Pesona Istri dari Kota   Kemana-mana dikawal

    Bab 09Mendengar perkataan kak Desi, terasa perih di ulu hati ini. Bagaimana mungkin aku mau memisah suamiku yang bersaudara. Mataku panas menahan air yang mendesak keluar. Tidak, aku tidak boleh lemah. Akan ku tunjukkan pada mereka bahwa aku tidak bisa ditindas. Papaku selalu bilang, kalau tidak salah tidak boleh takut."Ya jelas Kak, tidak mungkin sama lagi dong ya, seorang lelaki lajang dengan seorang lelaki yang sudah beristri. Harusnya Kakak tau dan sadar akan hal itu," ucapku dengan tegas."Oh, jadi kamu mau menolak permintaan Bang Tigor tentang pinjaman uang itu hah?" suaranya lantang. Aku menjauhkan ponsel dari telingaku karena suaranya yang melengking itu membuat gendang telingaku rasanya sakit."Kalau iya, kenapa rupanya? Yang punya uang kan aku bukan Kakak?" Sengaja aku berkata demikian, aku mau lihat seperti apa istri ipar ku ini kalau sedang marah."Dasar manusia tidak ada hati, sama kakaknya tidak sopan, besok kalau tidak kamu kirimkan uang yang 50 juta itu, akan ku lapor

  • Pesona Istri dari Kota   Harus tunduk aturan

    Bab 10Dua bulan setelah uang 25 juta itu ku kirim ke rekening Bang Tigor, Mitha adek perempuan bang Linggom datang ke rumah. Tumben tidak ada kabar tiba-tiba sudah nongol. Mitha ini kerja masih satu provinsi dengan kami, tapi beda kecamatan, rencana tahun ini akan menikah dengan seorang lelaki yang bekerja sebagai karyawan di PT perkebunan swasta daerah ujung batu. Sedangkan kami tinggal di Bagan Batu Riau.Sebulan lalu, aku sudah melahirkan Putri pertama ku. Dan sudah satu bulan ini juga ibu mertua menemaniku di rumah. Aku merasa beruntung punya mertua yang baik dan perhatian. Dan dari ibu Mertua lah aku tau bahwa Mitha mau menikah di tahun ini."Wih ... Ternyata Mama belum pulang toh?" Mita langsung masuk dan duduk di sofa, tanpa memberi salam kepada kami yang ada di rumah."Iya, kasihan kakakmu sendirian di rumah, sementara abangmu, setiap hari pulang malam," ucap Ibu Mertua meminum susunya yang barusan aku suguhkan sesaat sebelum Mita datang."Mak, minggu depan keluarga Bang Ald

Bab terbaru

  • Pesona Istri dari Kota   Setan

    Bab 66Aku kaget dengan ucapan bang Linggom yang tiba-tiba Sarkar begitu. Si Mitha juga sudah punya mantu tapi tetap saja kelakuannya tak pernah bisa menghargai orang lain."Ck, baru makanan gini saja marahnya kayak orang kerasukan setan."Mitha langsung melempar kresek yang berisi terong tadi ke halaman rumah melalui pintu yang memang sedang terbuka, alhasil terong Belanda buah kesukaanku itu berserak di halaman rumah ada beberapa yang pecah. Dengan gontai aku berjalan keluar memungut terong-terong tersebut. Walau bagaimanapun itu adalah makanan tidak boleh dibuang. Apalagi ini pemberian orang. Aku lihat mata Mitha tajam menatapku mengutip satu persatu buah tersebut."Makan tuh buah,bila perlu masukkan sebagian di telingamu." ucapnya ngos-ngosan, sepertinya emosinya sudah di ujung tanduk."Iya dong, kalau kau tidak menghargai pemberian orang lain, itu masalah mu. Tapi aku setetes pun pemberian orang lain akan ku ingat, begitupun kecurangan, sedikit pun orang lain bersikap curang pa

  • Pesona Istri dari Kota   terong belanda

    Bab 65Pagi ini aku sengaja bangun lama. Aku dengar mertua sudah mulai bergerak di dapur. Tapi karena cuaca yang sangat dingin aku enggan keluar dari selimut. "Mak Thomas, bangunlah kau. Masaklah buat anak-anakmu. Nanti mereka bangun pasti pada lapar semua." Kudengar ibu mertua membangunkan Mitha, yang tidur di kamar. Sementara aku dan Linggom beserta Thomas dan istrinya, dan kelima adiknya tidur di ruang depan bareng-bareng bersama ibu mertua. Mitha dan suaminya tidur di kamar dengan alasan dingin dan tidak biasa tidur tanpa alas Spring bed."Akh, Mamak ini berisik kali. Dingin loh Mak, mana masih gelap juga. Biar nanti istrinya Thomas yang masak Mak, aku masih mau tidur.""Sudah tua, bentar lagi kau sudah memiliki cucu, tapi bawaanmu masih tetap kayak anak-anak. Terserah kaulah. Kalau kau mau anak-anakmu kelaparan ya sudah." sahut mertua sambil berlalu ke dapur.Aku melihat jam di tanganku, masih menunjukkan pukul lima subuh. Pagi ini Ferry dan kedua adiknya akan tiba di rumah kar

  • Pesona Istri dari Kota   Masak sendiri

    Bab 64"Kenapa harus membawa ini dan itu kau Mak Dinda, aku sendiri nya tinggal di rumah ini. Seberapa banyaklah buat aku makan." Ibu mertua protes setelah aku membongkar oleh-oleh yang aku bawa dari kardus."Memang selalu nya begini kan Mak, kalau bukan kami yang membawa kebutuhanmu di rumah ini memang ada yang akan memperhatikan Mamak?" sela bang Linggom dengan suara datar."Maafkanlah saudaramu yang lain ya Nak, mungkin begitulah yang mereka tau." Sahut ibu mertua sungkan."Lagipula ini buat bekal kita selama disini Inang, cucu-cucu mu paling juga nanti menghabiskannya." aku berusaha menetralisir suasana biar ibu mertua tidak merasa sungkan.Kebetulan pas kami nyampai rumah mertua masih sepi. Mitha, suaminya dan anak-anaknya pergi jalan-jalan. Sementara bang Dapot dan kak Susi beserta anak-anaknya masuk sibuk bekerja di ladangnya. Menurut kebiasaan paling nanti pas malam tahun baruan mereka datang berkumpul di rumah mertua. Sementara bang Tigor dan istri keduanya belum juga nyampa

  • Pesona Istri dari Kota   Pindah?

    Bab 63Aku cukup diam saja melihat tingkah Mitha. Barangkali dia tidak sadar betapa dulu aksi suaminya sangat membuat hati Ferry begitu trauma sampai sekarang. "Sudah Mak Thomas, tidak usah dibahas lagi." Saut memegang tangan Mitha."Tidak apa-apa Lae, inangbao. Tidak usah dipikirkan masalah bensin. Besok biar kami saja yang jemput orang Lae dan Inangbao kesini." Saut masih memegang tangan Mitha agar tetap berdiri di tempatnya, sambil menunduk sungkan kepada Bang Linggom dan aku."Tidak usah Amangbao, tidak perlu menjemput kami. Harusnya kita lebih baik tidak usah saling mengunjungi seperti ini. Cukup disaat kalian perlu pesta adat yang mengharuskan kami ada maka datanglah kemari, jika kami juga perlu pesta adat dan acara maka kami pun akan menghubungi kalian. Anggap saja hubungan kita sebatas pesta adat tradisi kita saja sebab biar bagaimanapun, Mak Thomas dan Pak Dinda tetap bersaudara kandung." Rasanya aku sudah muak dengan semua kepura-puraan ini. Datang kemari menawarkan pula

  • Pesona Istri dari Kota   Pelit bin kikir

    Bab 62Pesta pernikahan Thomas yang terkesan buru-buru tak pelak mengundang tanya orang-orang. Aku dan bang Linggom memutuskan untuk hadir setelah diskusi dengan bang Dapot dan bang Tigor.Pesta berjalan sebagaimana mestinya, para undangan pun banyak yang hadir. Baik dari kampung maupun keluarga yang ada disini. Pihak dari saudara Mitha memiliki peran sangat penting di pesta tersebut. Meski tidak begitu antusias tapi aku dan bang Linggom berusaha menempatkan diri agar tidak terlihat dimuka publik betapa peliknya permasalahan yang pernah terjadi diantara kami.Aku genggam tangan suamiku, sabar hasian, kelak anak-anak kita yang mendapat berkat dari Tuhan. Seiring berjalannya waktu, Mitha dan suaminya sudah mulai berani datang bertandang sesekali ke rumah. Walau suamiku tetap cuek dan dingin. Aku selalu mengajarkan anak-anakku untuk bersikap sopan kepada mereka, jika anakku yang nomor tiga dan nomor empat selalu menyambut ramah mereka, beda dengan anakku yang ke satu dan nomor dua yait

  • Pesona Istri dari Kota   Terimakasih

    Bab 61"Apa maksudmu Bere?" ucap bang Linggom merenggangkan pelukan mereka"Ya Tulang, lebih baik aku tidak usah menikah kalau Tulang dan Nantulang tidak hadir." tegas Thomas masih posisi air mata membasahi pipinya."Thomas! Kau sudah besar. Dan kau pasti bisa mengingat bagaimana dulu jahatnya kedua orangtuamu ini kepada kami. Jadi sudahlah, tidak usah berdrama pakai nangis segala disini karena memang kami tidak akan iba pada kalian. Pergilah temui tulangmu yang dua lagi." ucapku dengan tenang."Apa salahku Nantulang, kesalahan orang tua kenapa dilimpahkan padaku. Aku minta maaf, tolong maafkan kami." Kembali Thomas memohon dengan penuh harap. Beralih mengambil tanganku dan menciumnya dengan hormat. Aku segera menarik tanganku dari kegemarannya sebelum hatiku luluh. Sesungguhnya tidak tega juga melihat keponakan kami ini menangis dan memohon, tapi jika mengingat perlakuan kedua orangtuanya membuat hati ini seperti membeku."Thomas, bagaimana mungkin kau tidak akan menikah, sementara

  • Pesona Istri dari Kota   Minta maaf

    Bab 60"Ini padi-padi kita kenapa bisa begini Bang?"Aku berdiri memperhatikan padi yang susah payah kami tanam sekarang malah hangus menghitam."Sepertinya padi mu ini di semprot racun oleh seseorang Mak Dinda. Aku lihat dari kemarin daunnya pada kuning semua, sekarang jadi menghitam kering." Kak Lis, yang ladangnya bersebelahan dengan ladangku memberi penjelasan. Kak Lis juga lah yang telah mengirimkan SMS kepadaku tadi malam."Apa yang ada ya kak, kakak lihat jejak orang mencurigakan yang sengaja merusak ini?" Bang Linggom bertanya kepada kak Lis."Tidak ada Pak Dinda, kemarin lusa memang kami tidak ada disini, kalian pergi kami juga pergi. Ada pesta adik ipar ku di kampung."Bang Linggom tetap mengambil padi-padi kami itu. Meski menghitam tapi karena sudah berisi, setidaknya bisa di tumbuk pelan-pelan untuk mengeluarkan gabahnya dari berasnya.Miris memang, sedihnya tak terucapkan. Pengen cerita ke Papi dan saudara-saudara ku juga, rasanya aku enggan jadi beban buat mereka. Sedan

  • Pesona Istri dari Kota   Cobaan apa lagi

    Bab 59“Helmi, aku memilih keluargaku! Aku akan segera mengurus perceraian kita.”Bang Roni menatap Kak Helmi, lalu mengusap air matanya dengan kedua telapak tangannya.Mendengar pernyataan Bang Roni. Membuat mata Kak Helmi membulat seakan tidak percaya apa yang barusan diucapkan oleh suaminya. Bukan hanya kak Helmi, aku yakin kami semua kaget atas ucapan Bang Roni terlihat dari wajah kami masing-masing yang kelihatan tegang.“Maksud Abang apa?” ucap Kak Helmi mendekat ke sisi Bang Roni.“Aku memilih keluargaku! Aku ingin kita bercerai.”“Papi, tolong maafkan aku Pi! Beri aku waktu untuk merubah segala sifat jelekku selama ini. Aku akan memberikan uang lima juta rupiah itu secara cuma-cuma kepada Riska, yang penting kami tidak bercerai.” “Jangan Anda pikir karena uang lima juta bisa membeli keharmonisan keluarga ini. Simpan uangmu, Eriska tidak akan menerima apapun yang akan Anda berikan!" tegas Papi kesal.Aku perhatikan, Papi tetap bersuara datar meskipun emosinya sedang meningkat,

  • Pesona Istri dari Kota   Memilih

    Bab 58Padahal kalau dipikir-pikir, uang Bang Roni ini melebihi uang Bang Anton. Sawit Abangku ini lebih dari seratus hektar saat ini. Semua sudah berhasil. Sementara mereka belum memiliki anak. Sedih jadinya melihat Abangku yang satu ini.“Kalau Kau Bungaran bagaimana?” tanya Papi menoleh ke Abangku nomor tiga.“Lima puluh juta. Urus Lah ladang kalian itu dengan baik. Berdoa kepada Tuhan, biar apa yang kalian kerjakan diberkati Tuhan. Kalau sudah ada tempat yang cocok segera bangun rumah kalian disana, nanti Abang bantu biaya pembangunannya. Apa yang dilakukan iparmu itu Lae Linggom, jadikan cambuk menuju sukses. Keponakanku ini berempat harus bisa sekolah tinggi kalian buat, kalian harus buktikan meskipun dicurangi tapi mampu berdiri kokoh,” ucap Bang Bungaran tegas."Iya Riska, Kau jangan sungkan-sungkan. Selama ini begitu banyak masalah yang terjadi padamu, Kau pendam sendiri. Apa Kau tidak menganggap kami ini saudaramu? Papi sudah tua, bagaimanapun kitalah yang harus saling bahu

DMCA.com Protection Status