Bab 03"Wah, berani benar menantumu ini Mak Dapot, kalian lihat ini, pakai ngancam segala lagi." Lalu ibu itu mendekati suamiku, "Linggom!, ajarin dong istrimu ini bertutur kata dengan orang tua, jangan diam saja kau." Mendengar tutur kata yang diucapkan, aku tambah kesal. Apa dia gak sadar kalau dia juga tidak ada tutur katanya, "Iya Maktua, nanti Riska aku nasehati." Bang Linggom menatapku menggeleng kepala, aku tahu maksudnya agar jangan lagi membalas ucapan ibu itu. "Tuh, dengar suamimu, jangan badanmu saja yang kau gedein, tapi ot*kmu nol, aku ini mertuamu sama dengan Mak Dapot." Ibu itu berlalu pergi melenggang seperti dia saja yang sudah benar."Hei Inang, tunggu!" Karena dia tadi sudah mengatakan dia mertuaku, setaraf dengan ibu mertua akhirnya aku memanggilnya inang biar lebih dihargai, walau bagaimanapun namanya orang tua harus tetap dijaga lisan kita yang lebih muda, jika berhadapan dengan orang yang lebih tua."Riska, sudah dong sayang, tidak usah diladeni nanti makin r
Bab 04Aku melihat ibu itu sudah mulai pucat, mungkin dia sudah merasa malu karena tetangga sudah pada rame di halaman rumah Mertua. Maklumlah sudah jam 5 sore, jam pulangnya orang dari ladang masing-masing. "Tolong dijawab Bu, apa Ibu terima seandainya aku bicara seperti yang Ibu bicarakan tentang aku tadi?" sengaja ku ulangi karena kulihat ibu itu lagi tidak konsen, entahlah apa yang buat dia jadi tidak segalak tadi. Aku juga mengabaikan teriakan ibu-ibu tadi, sebab tujuanku hanya ingin membuat ibu ini jera saja, bukan sengaja mempermalukan."Sudahlah, aku mau pulang saja, aku mau pu-pulang saja. Percuma bicara dengan orang yang tidak punya perasaan." ucapnya sudah mulai gagap.Waduh, gawat ibu ini, sama sekali tidak ada rasa bersalahnya, bebal juga ini ibu ya. Dari kemarin dia yang nuduh aku yang gak-gak, eh sekarang malah bilang aku tak punya perasaan. Terbuat dari batu kali hati ibu ini, sama sekali tidak bisa membedakan mana yang pantas dan tidak pantas diucapkan."Tidak bisa B
Bab 05Aku kaget, mendengar Bapak Mertua menyuruh Bu Restu meminta maaf padaku, sebenarnya bagiku ini sudah cukup, karena ibu itu sudah meminta maaf kepada Bapak dan Ibu di depan para warga. Tapi melihat apa yang barusan dilakukannya padaku sehingga aku diam saja tidak lagi melarang ibu itu meminta maaf padaku. "Apa? Aku minta maaf lagi ke menantu Bapak yang tidak berperasaan ini? Aku tidak mau, aku seorang orangtua, yang setaraf dengan mertuanya, harus meminta maaf kepada anak yang baru datang ke desa ini? Tidak, aku tidak mau." Aku melihat urat leher Bu Restu makin mengeras menahan dongkol dan kesal di hatinya."Iyalah Bu, minta maaf lah kepada mantu Pak Dapot." ucap seorang ibu yang duduk di pojokan."Iya Mak Restu, makanya jangan asal sembarang bicara, Ibu pikir bisa semua orang di perlakukan se'enak hati Ibu?" Ibu di belakang Bu Restupun ikut ambil suara."Sudah tua, tetap perlakuannya selalu bikin malu." Sekarang ibu yang di dekat pintu yang berucap."Iya, Bu Restu! Yang tidak
Bab 06Aku kaget melihat reaksi istri Abang Ipar, aku ingin menyusul kakak itu ke kamarnya tapi, Ibu Mertua mempererat genggaman tangannya padaku. "Tidak usah disusul Nak, nanti kalau sudah capek dia akan baik sendiri."Mendengar penuturan Ibu Mertua, hatiku jadi miris, suamiku 6 orang bersaudara, Bang Linggom anak ketiga, diatas Bang Linggom, dua Laki-laki sudah pada menikah juga. Yang paling sulung tinggal bersama Mertua, itulah Bang Dapot dan istrinya. Sedangkan satu lagi tinggal di Kota Medan. Yang keempat juga laki-laki, belum menikah, sementara kelima dan keenam, perempuan dua-duanya dan belum ada yang menikah."Sudah Inang, jangan menangis lagi, aku jadi sedih nih." Aku hapus airmata ku yang tak sengaja menetes di pipi. Kalau sudah masalah orang tua, rasanya tak tega melihat mereka kalau sampai meneteskan airmata. Aku kembali membenamkan wajahku di pelukan ibunya suamiku itu. Rasanya nyaman meski tidak senyaman Ibu Kandung.Setelah puas pelukan dengan Inang Mertua, aku meliha
Bab 07"Pak, Mak, kami berangkat ya! Jaga selalu kesehatan, jangan terlalu capek-capek kerjanya." Bang Linggom pamitan kepada Bapak dan Ibunya sembari merangkul mereka satu persatu dengan haru."Iya Nak, baik-baik kalian disana ya Nak! Ingat kalau sedikit saja kalian berbuat buruk di perantauan, maka akan dengan cepat tersiar kabar sampai ke kampung ini. Dan itu akan membuat Bapak dan Ibu malu. Jaga kalianlah kehormatan serta harga diri keluarga kita dengan baik, karena seperti yang kau tahu, Bapak dan ibumu ini hanyalah orang miskin yang hanya punya sedikit ladang buat menyambung hidup. Jadi kalau sampai lagi kalian berbuat buruk di perantauan, itu sama saja mencoreng muka Bapak dan Ibu di kampung ini," ucap Bapak menasehati kami."Baik Pak." Aku dan Bang Linggom kompak menganggukkan kepala."Ini ada sedikit uang, sekedar buat beli gula dan kopi Inang, diterima ya!" Aku memberikan amplop berisi sedikit uang buat Ibu Mertua."Simpanlah Nak, terus darimana kalian punya uang, sementara
Bab 08"Dek, Bang Tigor tadi telpon, katanya mau pinjam uang buat tambahan modal usaha mereka. Nanti setelah dua bulan baru dikembalikan." Bang Linggom cerita saat kami nyantai nonton TV, film laga kesukaanku. Bang Tigor adalah anak kedua Mertuaku yang tinggalnya di Medan."Terus, Bang Linggom, kasih?" tanyaku masih tetap melihat TV."Belum, tadi aku bilang ke Bang Tigor, aku tanya kamu dulu dek." Iyah syukur deh, aku suka dengan cara Bang Linggom, dia itu tidak pernah mau ngambil keputusan sepihak sebelum diskusi padaku. Komitmen kami dari awal berumah tangga memang itu, apapun keadaannya urusan rumah tangga harus melibatkan suami dan isteri. Jangan mentang-mentang suami berpenghasilan lebih, atau suami yang kerja, sehingga tidak menghargai istri, begitupun sebaliknya. "Maunya Bang Linggom sekarang gimana? kita kasih? berapa rupanya mereka minta Bang?" aku menoleh sesaat suamiku lalu kembali fokus ke layar TV melihat aksi pemain laga idolaku. "Kalau ada 50 juta katanya, tap
Bab 09Mendengar perkataan kak Desi, terasa perih di ulu hati ini. Bagaimana mungkin aku mau memisah suamiku yang bersaudara. Mataku panas menahan air yang mendesak keluar. Tidak, aku tidak boleh lemah. Akan ku tunjukkan pada mereka bahwa aku tidak bisa ditindas. Papaku selalu bilang, kalau tidak salah tidak boleh takut."Ya jelas Kak, tidak mungkin sama lagi dong ya, seorang lelaki lajang dengan seorang lelaki yang sudah beristri. Harusnya Kakak tau dan sadar akan hal itu," ucapku dengan tegas."Oh, jadi kamu mau menolak permintaan Bang Tigor tentang pinjaman uang itu hah?" suaranya lantang. Aku menjauhkan ponsel dari telingaku karena suaranya yang melengking itu membuat gendang telingaku rasanya sakit."Kalau iya, kenapa rupanya? Yang punya uang kan aku bukan Kakak?" Sengaja aku berkata demikian, aku mau lihat seperti apa istri ipar ku ini kalau sedang marah."Dasar manusia tidak ada hati, sama kakaknya tidak sopan, besok kalau tidak kamu kirimkan uang yang 50 juta itu, akan ku lapor
Bab 10Dua bulan setelah uang 25 juta itu ku kirim ke rekening Bang Tigor, Mitha adek perempuan bang Linggom datang ke rumah. Tumben tidak ada kabar tiba-tiba sudah nongol. Mitha ini kerja masih satu provinsi dengan kami, tapi beda kecamatan, rencana tahun ini akan menikah dengan seorang lelaki yang bekerja sebagai karyawan di PT perkebunan swasta daerah ujung batu. Sedangkan kami tinggal di Bagan Batu Riau.Sebulan lalu, aku sudah melahirkan Putri pertama ku. Dan sudah satu bulan ini juga ibu mertua menemaniku di rumah. Aku merasa beruntung punya mertua yang baik dan perhatian. Dan dari ibu Mertua lah aku tau bahwa Mitha mau menikah di tahun ini."Wih ... Ternyata Mama belum pulang toh?" Mita langsung masuk dan duduk di sofa, tanpa memberi salam kepada kami yang ada di rumah."Iya, kasihan kakakmu sendirian di rumah, sementara abangmu, setiap hari pulang malam," ucap Ibu Mertua meminum susunya yang barusan aku suguhkan sesaat sebelum Mita datang."Mak, minggu depan keluarga Bang Ald