Bab 05
Aku kaget, mendengar Bapak Mertua menyuruh Bu Restu meminta maaf padaku, sebenarnya bagiku ini sudah cukup, karena ibu itu sudah meminta maaf kepada Bapak dan Ibu di depan para warga. Tapi melihat apa yang barusan dilakukannya padaku sehingga aku diam saja tidak lagi melarang ibu itu meminta maaf padaku."Apa? Aku minta maaf lagi ke menantu Bapak yang tidak berperasaan ini? Aku tidak mau, aku seorang orangtua, yang setaraf dengan mertuanya, harus meminta maaf kepada anak yang baru datang ke desa ini? Tidak, aku tidak mau." Aku melihat urat leher Bu Restu makin mengeras menahan dongkol dan kesal di hatinya."Iyalah Bu, minta maaf lah kepada mantu Pak Dapot." ucap seorang ibu yang duduk di pojokan."Iya Mak Restu, makanya jangan asal sembarang bicara, Ibu pikir bisa semua orang di perlakukan se'enak hati Ibu?" Ibu di belakang Bu Restupun ikut ambil suara."Sudah tua, tetap perlakuannya selalu bikin malu." Sekarang ibu yang di dekat pintu yang berucap."Iya, Bu Restu! Yang tidak terima ucapan Ibu itu adalah Riska, jadi Ibu harus minta maaf juga kepada dia, biar kita sama-sama mendengar dan nyaman di kampung ini."Mendengar ucapan ibu-ibu dan Kepala Desa, aku mikir, ternyata tidak semua orang di desa ini suka bully, buktinya masih ada beberapa yang mengerti bagaimana bahasa yang pantas untuk di katakan dalam berucap, mudah-mudahan Ibu Mertua tidak salah satu tukang bully di desa ini."Aku heran sama kalian semua, kenapa kalian lebih membela yang baru datang, daripada aku yang sudah lama disini?" Bu Restu berdiri dan hendak pulang.'Hei Bu, selama ini kami selalu diam saat ibu menggosipkan kami kesana kemari, bukan kami tidak tahu perilaku Ibu, hanya saja kami-kami ini malas berantem sama Ibu, karena lebih penting pekerjaan kami dari pada harus berurusan dengan Ibu. Sekarang ya minta maaf lah sama Riska, biar kami lihat setelah ini masih suka ngak ibu bergosip ria yang tidak benar." dengan suara lantang ibu yang di pojokan tadi juga ikut berdiri.Muka Bu Restu merah, ingin keluar malah dihalangi ibu-ibu yang duduk di dekat pintu. "Kali ini Ibu kena batunya, rasakan aja sendiri." ucapnya lagi dengan wajah sinis. Kasihan juga jadinya Bu Restu. "Tidak apa-apa Bapak/Ibu , yang penting Ibu Restu sudah meminta maaf tadi kepada Amang dan Inang Mertua." ucapku dengan tenang."Tuh orangnya saja sudah tidak keberatan aku pulang, kok kalian yang pada heboh." Lagi-lagi Bu Restu tidak menunjukkan wibawanya sebagai orang tua. Sama sekali tidak merasa bersalah, meski sudah meminta maaf kepada Bapak dan Ibu Mertua."Walau Riska sudah setuju, tapi kami tidak setuju Ibu pulang. Sebelum Ibu minta maaf padaku dan orang yang pernah ibu gosipin di kampung ini." Sepertinya ibu yang di pojok itu punya dendam pribadi ke Ibu Restu."Memangnya apa pernah kubilang sehingga aku harus minta maaf padamu?" ketus Bu Restu"Ibu yang gosipin kan kalau aku pernah selingkuh dengan Pak Dapot ini. Coba bilang benar, ga?""Ya Tuhan ..." ucap orang-orang yang kumpul, kompak. Seperti ada yang komandoi mereka."Makanya jadi orang tua itu sadar diri, sudah tua, tempatkan dirimu sebagai orang yang benar-benar bisa mendamaikan, bukan malah membuat masalah Bu!" lanjut ibu itu semakin berang."Aku tidak ada bilang gitu," ucap Bu Restu sedikit gugup.Tiba-tiba ibu yang di pojokan itu mendekat ke Ibu Restu, refleks langsung menarik rambut Bu Restu dan meludahi mukanya."Puih... Sudah bauk tanah saja yang dipikirkan kejelekan orang lain, bukannya intofreksi diri dan berbuat baik ke sesama."Bu Restu sepertinya tidak mau kalah, Bu Restu juga menarik baju ibu yang dipojokan tadi, entah siapa namanya ibu itu akupun belum tahu, anggap sajalah namanya Bu pojok. Kembali rambut Bu Restu semakin kuat di tarik oleh Buk pojok, dan Bu Restu pun tak mau kalah, sengaja menurunkan celana pendek Bu pojok, mungkin Bu Restu berpikir dengan menarik celana pendeknya akan melepaskan tangan dari kepalanya. Tapi apa yang terjadi, Ibu pojok tetap pede dengan korset warna hitam ketat yang dipakainya, meski bagian pantatnya begitu gembul dan memperlihatkan bentuk segitiga yang ada di dalam korsetnya.Kali ini Bu Pojok mulai mencakar muka Bu Restu. "Rasakan ini tukang gosip, tidak akan ku beri ampun untukmu." ucapnya sambil ngos-ngosan.Ternyata kalau ibu-ibu ini berantam, habis dari mulut, main fisik juga, aduh, ampun deh! baru kali ini aku bisa menonton langsung pertandingan seperti ini. Aku dan ibu-ibu yang lain berusaha melerainya tapi tangan Bu pojok kuat bangat sehingga, sungguh sulit untuk dilepaskan."Sudah Mak, sudah! Kalian buat malu saja." ucap Pak Kepala Desa dengan suara membentak. Aku sedikit kaget, perasaan dari tadi bapak itu selalu lembut bersuara kenapa sekarang galak kali ya?.Akhirnya Buk pojok dan Bu Restu saling lepas dibantu oleh ibu-ibu yang lain."Sedikitpun tidak Mama hargai lagi aku sebagai suamimu, aku malu, sekarang cepat minta maaf kepada Riska dan kepada siapa saja orang yang kamu gosipin yang tidak benar di kampung ini." ucap Pak Kepala Desa dengan rasa malu.What? Jadi... Bu Restu ini istrinya Pak Kepala Desa? Ya ampun, kasian Pak Kepdes, Ibu ini tidak menjaga reputasi baik suaminya. Dengan muka monyong dan acak-acakan, akhirnya Bu Restu mau meminta maaf padaku dan kepada Ibu pojok. Bu Restu mengakui bahwa dia juga pernah mengarang cerita kepada teman-teman arisannya, bilang kalau Pak Mertua dan Bu pojok pernah selingkuh, padahal tidak benar.Setelah acara maaf-maafan selesai, Bu Restu, Kepdes dan yang lainnya pulang. Tapi Ibu, yang di pojok tadi datang lagi menemui ku."Terimakasih ya Riska, gara-gara kamu Ibu Restu itu mendapat ganjarannya." Bu Pojok lalu mendekati Ibu Mertua, "Maaf kak, selama ini aku curiga kepada kakak, katanya kakak yang bilang kalau Abang selingkuh denganku, ternyata setelah kucari tahu, Bu Restu yang karang sendiri ceritanya, alasannya agar aku di keluarkan dari grup arisan kami."Ya, Inang tidak apa-apa. Terimakasih kembali ya Inang, sudah membantu aku." ucapku hormat membungkuk kan badanku."Yang sudah berlalu, biarlah sudah berlalu Mak Tiur, yang penting tadi kalian sudah berdamai. Kita semua sudah saling memaafkan, biar hati kita nyaman di kampung ini" ucap ibu mertua dengan bijak."Iya kak, terimakasih." Ibu pojok pergi dengan sumringah, "Linggom! bawa istrimu ke rumah ya, biar Riska tahu rumahku.""Iya Inanguda.""Setelah semua orang pergi, aku langsung memeluk Inang Mertua, aku minta maaf ya Nang, gara-gara aku, rumah kita ini jadi tontonan orang-orang." ucapku haru."Iya Riska, Ibu bahkan tidak menyangka bahwa kamu ternyata keras kepala. Selama kamu menjaga nama baik keluarga kita ini, ibu akan selalu dukung kamu." Inang Mertua memelukku sangat erat. Kurasakan ada tetesan hangat di bajuku, apakah itu keringat atau air mata? Aku melepaskan pelukanku, ternyata Ibu Mertua yang meneteskan air mata."Apakah Inang menangis karena Riska?" Aku menghapus air mata mertuaku dengan lembut."Tidak Nak, aku terharu melihat keras kepalamu, yang memaksa Bu Restu tadi meminta maaf kepada kami. Selama ini tidak ada yang berani melawan itu Nak, bahkan Bapakmu di kabarkan berselingkuh dengan tante mu tadi, kami hanya bisa diam saja, karna apa? Kami tidak mau ribut, karena Bu Restu itu juga pintar bersilat lidah. Bahkan saat pernikahanmu di Kota, karena kami tidak ajak mereka jadi bahan gunjingan dia, katanya kami tidak mampu membiayai pesta kalian disini, katanya mantuku tidak mau mertua miskin dan banyak lagi Nak, gunjingan-gunjingan dia tapi setelah hari ini, aku melihat ketulusan hati seorang anak memperjuangkan harga diri orang tuanya. Tidak seperti kakakmu istrinya Dapot, selalu diam saat kami direndahkan, bahkan juga ikutan merendahkan kami di luaran sana." ucap inang mertua dengan mata berkaca-kaca."Uh, pintar kali cari muka, ternyata datang kesini hanya untuk cari gara-gara." Tiba-tiba Istri Bang Dapot masuk ke kamar dan membanting pintu dengan kasar, membuatku kaget.Bab 06Aku kaget melihat reaksi istri Abang Ipar, aku ingin menyusul kakak itu ke kamarnya tapi, Ibu Mertua mempererat genggaman tangannya padaku. "Tidak usah disusul Nak, nanti kalau sudah capek dia akan baik sendiri."Mendengar penuturan Ibu Mertua, hatiku jadi miris, suamiku 6 orang bersaudara, Bang Linggom anak ketiga, diatas Bang Linggom, dua Laki-laki sudah pada menikah juga. Yang paling sulung tinggal bersama Mertua, itulah Bang Dapot dan istrinya. Sedangkan satu lagi tinggal di Kota Medan. Yang keempat juga laki-laki, belum menikah, sementara kelima dan keenam, perempuan dua-duanya dan belum ada yang menikah."Sudah Inang, jangan menangis lagi, aku jadi sedih nih." Aku hapus airmata ku yang tak sengaja menetes di pipi. Kalau sudah masalah orang tua, rasanya tak tega melihat mereka kalau sampai meneteskan airmata. Aku kembali membenamkan wajahku di pelukan ibunya suamiku itu. Rasanya nyaman meski tidak senyaman Ibu Kandung.Setelah puas pelukan dengan Inang Mertua, aku meliha
Bab 07"Pak, Mak, kami berangkat ya! Jaga selalu kesehatan, jangan terlalu capek-capek kerjanya." Bang Linggom pamitan kepada Bapak dan Ibunya sembari merangkul mereka satu persatu dengan haru."Iya Nak, baik-baik kalian disana ya Nak! Ingat kalau sedikit saja kalian berbuat buruk di perantauan, maka akan dengan cepat tersiar kabar sampai ke kampung ini. Dan itu akan membuat Bapak dan Ibu malu. Jaga kalianlah kehormatan serta harga diri keluarga kita dengan baik, karena seperti yang kau tahu, Bapak dan ibumu ini hanyalah orang miskin yang hanya punya sedikit ladang buat menyambung hidup. Jadi kalau sampai lagi kalian berbuat buruk di perantauan, itu sama saja mencoreng muka Bapak dan Ibu di kampung ini," ucap Bapak menasehati kami."Baik Pak." Aku dan Bang Linggom kompak menganggukkan kepala."Ini ada sedikit uang, sekedar buat beli gula dan kopi Inang, diterima ya!" Aku memberikan amplop berisi sedikit uang buat Ibu Mertua."Simpanlah Nak, terus darimana kalian punya uang, sementara
Bab 08"Dek, Bang Tigor tadi telpon, katanya mau pinjam uang buat tambahan modal usaha mereka. Nanti setelah dua bulan baru dikembalikan." Bang Linggom cerita saat kami nyantai nonton TV, film laga kesukaanku. Bang Tigor adalah anak kedua Mertuaku yang tinggalnya di Medan."Terus, Bang Linggom, kasih?" tanyaku masih tetap melihat TV."Belum, tadi aku bilang ke Bang Tigor, aku tanya kamu dulu dek." Iyah syukur deh, aku suka dengan cara Bang Linggom, dia itu tidak pernah mau ngambil keputusan sepihak sebelum diskusi padaku. Komitmen kami dari awal berumah tangga memang itu, apapun keadaannya urusan rumah tangga harus melibatkan suami dan isteri. Jangan mentang-mentang suami berpenghasilan lebih, atau suami yang kerja, sehingga tidak menghargai istri, begitupun sebaliknya. "Maunya Bang Linggom sekarang gimana? kita kasih? berapa rupanya mereka minta Bang?" aku menoleh sesaat suamiku lalu kembali fokus ke layar TV melihat aksi pemain laga idolaku. "Kalau ada 50 juta katanya, tap
Bab 09Mendengar perkataan kak Desi, terasa perih di ulu hati ini. Bagaimana mungkin aku mau memisah suamiku yang bersaudara. Mataku panas menahan air yang mendesak keluar. Tidak, aku tidak boleh lemah. Akan ku tunjukkan pada mereka bahwa aku tidak bisa ditindas. Papaku selalu bilang, kalau tidak salah tidak boleh takut."Ya jelas Kak, tidak mungkin sama lagi dong ya, seorang lelaki lajang dengan seorang lelaki yang sudah beristri. Harusnya Kakak tau dan sadar akan hal itu," ucapku dengan tegas."Oh, jadi kamu mau menolak permintaan Bang Tigor tentang pinjaman uang itu hah?" suaranya lantang. Aku menjauhkan ponsel dari telingaku karena suaranya yang melengking itu membuat gendang telingaku rasanya sakit."Kalau iya, kenapa rupanya? Yang punya uang kan aku bukan Kakak?" Sengaja aku berkata demikian, aku mau lihat seperti apa istri ipar ku ini kalau sedang marah."Dasar manusia tidak ada hati, sama kakaknya tidak sopan, besok kalau tidak kamu kirimkan uang yang 50 juta itu, akan ku lapor
Bab 10Dua bulan setelah uang 25 juta itu ku kirim ke rekening Bang Tigor, Mitha adek perempuan bang Linggom datang ke rumah. Tumben tidak ada kabar tiba-tiba sudah nongol. Mitha ini kerja masih satu provinsi dengan kami, tapi beda kecamatan, rencana tahun ini akan menikah dengan seorang lelaki yang bekerja sebagai karyawan di PT perkebunan swasta daerah ujung batu. Sedangkan kami tinggal di Bagan Batu Riau.Sebulan lalu, aku sudah melahirkan Putri pertama ku. Dan sudah satu bulan ini juga ibu mertua menemaniku di rumah. Aku merasa beruntung punya mertua yang baik dan perhatian. Dan dari ibu Mertua lah aku tau bahwa Mitha mau menikah di tahun ini."Wih ... Ternyata Mama belum pulang toh?" Mita langsung masuk dan duduk di sofa, tanpa memberi salam kepada kami yang ada di rumah."Iya, kasihan kakakmu sendirian di rumah, sementara abangmu, setiap hari pulang malam," ucap Ibu Mertua meminum susunya yang barusan aku suguhkan sesaat sebelum Mita datang."Mak, minggu depan keluarga Bang Ald
Bab 11"Tunduk aturan ...? Hello ... emang loe siapa gua? sehingga gue harus tunduk? mimpi jangan ketinggian Kak, apa karna Kakak menantu tertua, lantas aku harus tunduk? Kalian salah, kalau mengharap aku akan tunduk pada kalian, demi apapun aku tidak bakal tunduk pada kalian, ingat itu!" ucapku penuh dengan penekanan."Kita lihat saja nanti, apakah kesombongan mu ini akan berlanjut, kalau kamu tidak turut pada aturan ku!" Tutt ...Kak Susi mematikan telpon sepihak. Ya syukurlah, daripada hanya menambah pikiran, bila perlu tidak usah komunikasi, kalau ketemuan baru bertegur sapa. Aku rasa itu lebih baik untuk menjaga silaturahmi tetap baik."Riska, maafkan Susi dan Desi, tidak usah diambil hati omongan mereka, mereka berdua memang seperti itu, selalu kompak kalau mau menindas seseorang. Kadang Mama iri dengan orang lain, punya menantu bisa akur semua, sedangkan menantuku entahlah, Susi dan Desi seperti orang lain jika berhadapan dengan aku, tidak seperti Riska yang sudah seperti anak
Bab 12"Keluar sekarang dari rumah ini!"Wajah bang Linggom merah, capek dari kerjaan disuguhi adik model gini jelas mengundang emosi. Aku gemetaran, seumur-umur sejak kenal suamiku, belum pernah aku melihatnya se marah ini. Mau mendekati dia saja rasanya aku takut."Memang sejak tadi aku sudah mau pulang kok, benar kata kak Desi, istrimu yang preman ini telah mengguna-gunai Abang dan Mamak sehingga Mamak tidak lagi sayang padaku dan Abang juga tidak lagi peduli pada saudara," sahut Mita dengan suara lantang.Mitha menunjuk aku seakan aku biang kerok pertengkaran mereka. Aduh ... Kok gak nyambung gini ya perdebatan nya. Mertua betah bersamaku di kata sudah aku pelet. Suami akur denganku di bilang juga ku pelet. Dasar manusia-manusia aneh."Plak..."Kali ini satu tamparan ibu mendarat di pipi mulus adik ipar, membuat aku semakin melongo melihatnya, kenapa jadi main tangan ya? Ngeri deh yah. Iya juga sih, mulut adik ipar ini terlalu berbisa, kalau tidak ada ibu sekarang disini, mungkin
Bab 13Aku mendekati Mitha, jiwa barbar ku sudah meronta-ronta minta pelampiasan. Ku mulai dari menarik rambut coklat miliknya, kutarik setengah kuat, lalu ku hempaskan membuat dia hampir saja terjatuh."Dengar! sebelum Kamu datang ke rumah ini tidak pernah ada keributan disini. Sekarang kamu datang membawa keributan dan memfitnah aku. Itu pintu keluar, silahkan keluar dari rumah ini sekarang juga, karena aku tidak sudi menerima tamu seperti mu. Makananku kau makan, barangku mau kau pinjam tapi kau terang-terangan fitnah aku. Maksudmu apa?" Aku semakin mendekatkan diri kepada Mitha, aku lihat dia mulai menjauhkan diri bergeser memberi jarak dariku."Maksudku, karena kau Istri dari Abangku, tentu yang Kau punya adalah hasil keringat saudaraku, jadi Aku berhak atas itu, masih mending Aku pinjam, kalau Aku mau barang-barang mu ini pun, bisa aku ambil untukku, bila perlu aku rampas darimu, karena aku lebih dulu saudaranya sejak kecil, daripada kau dikenal setelah Abangku dewasa." jawabnya