Share

2. Dianggap Lelucon

Saat aku mengatakan pada Farel kalau aku ada yang melamar, dia hanya tersenyum tidak menanggapi. Mungkin dia berfikir kalau aku tidak mungkin akan menerimanya. Dia sangat yakin kalau aku sangat mencintainya.

Aku sudah mengatakan jika ini serius, namun sekali lagi dia mengabaikannya. Aku sudah kebingungan bagaimana lagi aku harus menjelaskannya. Hingga suatu ketika aku memberinya pilihan mau terus bersamaku atau berpisah saja. Dan lagi-lagi Farel mengabaikannya.

Ya Tuhan, aku benar-benar tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap. Memang salah kami juga setiap kami bertemu selalu semuanya dianggap candaan, apakah semua yang aku katakan pada Farel juga menurutnya itu hanya bercanda.

Gila, masalah sudah seserius ini masih dianggap lelucon yang selalu kami lakukan saat bertemu. Farel tidak bisa membedakan keseriusanku, dia mengganggap aku pasti tidak akan bisa melakukannya. Tapi bukankah Mamaku sampai mengirimkan pesan pada keluarganya. Apakah pesan Mamaku tidak disampaikan pada Farel.

Aku benar-benar pusing, ini menyangkut masa depanku. Farel benar-benar egois, dia mungkin tidak akan percaya jika pada akhirnya memang aku benar-benar melakukannya.

Aku berniat memberikan undangan pernikahanku secara langsung. Aku mendatangi kos tempat Farel berada.

Aku mengetuk pintunya perlahan, hatiku berdebar kencang. Aku membayangkan reaksi Farel ketika menerima undangan dariku.

Saat membuka pintu, muncul seraut wajah yang selalu membuatku berdebar. Senyumnya melebar saat tahu aku yang datang. "Masuk Dyara, ngobrol didalam ya, " Farel menyambut kedatanganku dengan senang, Farel memang terkenal ramah. Saat bersamanyapun aku merasa nyaman karena kami jarang sekali bertengkar selama bertahun-tahun dekat dengannya.

Aku mengangguk sambil tersenyum, kemudian masuk dan mengedarkan pandangan. Ternyata Farel sedang ada tamu juga, yang namanya kuketahui Dandy. Tatapan mata Dandy menyelidik padaku, Farel tentu saja melihatnya. Rasa tidak suka terlihat dari wajah Farel saat Dandy terus mengawasiku.

Farel secara halus kemudian mengusir Dandy karena dia tahu kalau Dandy terlihat tertarik padaku. Pandangannya masih tidak lepas kepadaku sambil tersenyum dia pamit padaku. Aku hanya tertawa tanpa suara saat melihat sikap Farel pada temannya.

Farel menghempaskan dirinya ke kursi setelah dia mengantar Dandy keluar. "Dandy titip salam buat kamu, dia bilang kalau bisa tukar nomor telfon dengan dia. Aku diminta memberi nomor dia buat kamu. " Dari nada bicaranya Farel terlihat kesal sekali.

Aku hanya tersenyum saja tidak menanggapi keinginan temannya Farel, tiba-tiba aku menepuk jidatku pelan dan aku baru ingat tujuanku ke tempat Farel untuk mengantar undangan pernikahanku.

Perlahan kukeluarkan undangan berwarna salem dan kuserahkan padanya. "Undangan dari siapa Dyara, ini untukku? " Sambil membolak-balik undangan itu dia perhatikan baik-baik nama pengantinnya yang tertera disana.

Farel terhenyak setelah sekian detik dia bengong membacanya. Farel kaget saat membaca undangan pernikahan darinya. "Apa ini Dyara? " Kamu mau meninggalkan aku, kamu memilih dia menjadi suamimu! Lalu apa artinya hubungan kita selama ini!! Farel benar-benar marah, urat lehernya sampai terlihat membesar karena tarikan suaranya yang kencang.

Dyara hanya terdiam menunduk takut, "Dyara jawab aku, kenapa kamu menerima lamarannya?? Farel terduduk lesu. Aku sayang padamu Dyara.. Suara Farel terdengar bergetar, kesedihannya terbaca diwajahnya yang berkulit terang.

Mukanya memerah menahan tangis, hubungannya dengan Dyara sudah cukup lama, namun akhirnya harus kandas. Pandangan Farel menerawang kosong, " "Aku hanya menjaga jodoh orang, keluhnya pilu." Ingin rasanya Farel meneriakkan semua kekesalannya.

"Jawab Dyara, apakah kamu mencintai laki-laki itu?? Teriakan Farel membuyarkan lamunan Dyara. Tatapan Farel yang tajam membuat Dyara menggeleng takut. "Aku hanya kenal beberapa bulan saja. " Farel langsung terdiam, beginikah jika Sang Maha Kuasa sudah menentukan maka tidak ada yang dapat menghentikannya ?"

Melihat reaksi Farel yang begitu marah, Dyara menghentakkan nafasnya kasar. "Farel, bukankah aku sudah memberikan kesempatan kepadamu untuk menjalani hubungan kita jika kamu memberikan keputusanmu padaku? " Bibirku bergetar saat menanyakan itu pada Farel.

"Harusnya aku yang kecewa, kemana saja kamu selama ini. Aku mencarimu, menghubungimu tapi selalu kamu abaikan. Mama sudah memberikan waktu batas akhir agar kamu menemuinya tapi kamu juga abai. Sekarang kamu malah menyalahkan aku, lalu aku harus bagaimana Rel?? "

"Orangtuaku sudah menuntut agar aku segera menikah, dan yang mereka lihat selama ini aku dekat denganmu. Apakah salah jika orangtuaku terutama Mama menanyakan tentang keseriusan hubungan kita?? "

"Sebenarnya aku malu kepada orangtuaku, saat Mama telfon ke rumahmu juga tidak ada respon. Kalau memang tidak ada ujungnya dari hubungan kita maka Mama minta kita mengakhirinya saja."

Aku menangis terisak, aku juga sudah tidak bisa menahan sesak didada. Aku segera menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. "Aku malu Rel, kalau harus datang ke rumahmu. Aku seperti perempuan yang tidak punya harga diri jika sampai mengemis untuk kamu nikahi!! "

Lagi-lagi Farel bungkam, tidak menjawab satupun pertanyaanku. Aku sebal lama-lama melihat dia seperti membayangkan sesuatu namun perlahan kemarahannya mereda setelah mendengarku terisak.

"Maafkan aku Farel, mungkin ini juga wujud baktiku kepada orangtuaku terutama Mamaku. Kalau saja kamu mau datang menemui Mamaku mungkin tidak akan berakhir seperti ini. Aku sudah lelah Rel, sekarang terserah kamu mau apa. Jangan minta aku untuk membatalkan pernikahan ini yang tinggal seminggu lagi. Aku tidak mau mencoreng muka kedua orangtuaku dan menahan malu karena ulahku!! "

Farel terduduk lesu mendengar penjelasanku. Tiba-tiba teman satu kosnya memutar lagu "Tenda Biru" yang dinyanyikan oleh  artis penyanyi cantik yang cukup terkenal. Aku melirik ke arah Farel yang masih tidak bergeming sedikitpun.

"Ini memang salahku Dyara, aku memang pengecut. Seharusnya aku menyelesaikan masalah ini bukannya lari

menghindari. " Farel menjambak rambutnya kesal. "Aku minta maaf Dyara, sebenarnya aku memang tidak bisa menikah secepat itu. Aku ingin jika kita menikah kalau aku sudah punya rumah, kendaraan agar kamu hidup nyaman."

Aku mendelik ke arahnya sambil menyeka air mataku, "Kamu pikir aku masih bocah SMA yang harus menunggu kamu memiliki segalanya dulu baru menikah. Kamu tahu Rel usiaku sudah bukan ABG lagi, usiaku sudah matang kalau berumah tangga. Bukankah usia kita sama. Lalu aku harus menunggu berapa lama lagi!! "

Kali ini aku sudah malas berdebat dengannya, kuputuskan untuk segera meninggalkan kosannya. Farel hanya menatap kepergianku tanpa berusaha mencegah. Hatiku sakit, kalau tahu begini untuk apa aku bertahan menjalani hubungan dengannya bertahun-tahun.

Farel juga tidak berusaha mencari jalan terbaik untuk kami berdua. Terlihat dia hanya membiarkan aku untuk menerima semuanya tanpa memikirkan perasaanku.

Aku tiba dikosan selama aku bekerja, aku hanya ingin beristirahat sambil membereskan barang-barang yang akan kubawa pulang. Aku akan mengundurkan diri dari tempatku bekerja dan kembali ke kota kelahiranku.

Sebenarnya Arsya memang tidak melarangku bekerja, tapi aku harus tahu diri untuk mengikuti suamiku tinggal dimanapun dia berada. Apalagi aku masih bekerja sebagai tenaga honorer, kadang sedih juga karena perjuanganku untuk bekerja di ibukota ternyata tidak bertahan lama.

Padahal dulu aku bertahan karena Farel sudah menyusulku kesini. Aku menata semua barang-barangku, sambil mengenang perjuanganku selama bekerja disini. Air mataku mulai menetes lagi perlahan dan aku menyusutnya sambil terisak. Kini semua harus kutinggalkan bersama kenangan yang manis selama tinggal di ibukota.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status