Saat aku mengatakan pada Farel kalau aku ada yang melamar, dia hanya tersenyum tidak menanggapi. Mungkin dia berfikir kalau aku tidak mungkin akan menerimanya. Dia sangat yakin kalau aku sangat mencintainya.
Aku sudah mengatakan jika ini serius, namun sekali lagi dia mengabaikannya. Aku sudah kebingungan bagaimana lagi aku harus menjelaskannya. Hingga suatu ketika aku memberinya pilihan mau terus bersamaku atau berpisah saja. Dan lagi-lagi Farel mengabaikannya. Ya Tuhan, aku benar-benar tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap. Memang salah kami juga setiap kami bertemu selalu semuanya dianggap candaan, apakah semua yang aku katakan pada Farel juga menurutnya itu hanya bercanda. Gila, masalah sudah seserius ini masih dianggap lelucon yang selalu kami lakukan saat bertemu. Farel tidak bisa membedakan keseriusanku, dia mengganggap aku pasti tidak akan bisa melakukannya. Tapi bukankah Mamaku sampai mengirimkan pesan pada keluarganya. Apakah pesan Mamaku tidak disampaikan pada Farel. Aku benar-benar pusing, ini menyangkut masa depanku. Farel benar-benar egois, dia mungkin tidak akan percaya jika pada akhirnya memang aku benar-benar melakukannya. Aku berniat memberikan undangan pernikahanku secara langsung. Aku mendatangi kos tempat Farel berada. Aku mengetuk pintunya perlahan, hatiku berdebar kencang. Aku membayangkan reaksi Farel ketika menerima undangan dariku. Saat membuka pintu, muncul seraut wajah yang selalu membuatku berdebar. Senyumnya melebar saat tahu aku yang datang. "Masuk Dyara, ngobrol didalam ya, " Farel menyambut kedatanganku dengan senang, Farel memang terkenal ramah. Saat bersamanyapun aku merasa nyaman karena kami jarang sekali bertengkar selama bertahun-tahun dekat dengannya. Aku mengangguk sambil tersenyum, kemudian masuk dan mengedarkan pandangan. Ternyata Farel sedang ada tamu juga, yang namanya kuketahui Dandy. Tatapan mata Dandy menyelidik padaku, Farel tentu saja melihatnya. Rasa tidak suka terlihat dari wajah Farel saat Dandy terus mengawasiku. Farel secara halus kemudian mengusir Dandy karena dia tahu kalau Dandy terlihat tertarik padaku. Pandangannya masih tidak lepas kepadaku sambil tersenyum dia pamit padaku. Aku hanya tertawa tanpa suara saat melihat sikap Farel pada temannya. Farel menghempaskan dirinya ke kursi setelah dia mengantar Dandy keluar. "Dandy titip salam buat kamu, dia bilang kalau bisa tukar nomor telfon dengan dia. Aku diminta memberi nomor dia buat kamu. " Dari nada bicaranya Farel terlihat kesal sekali. Aku hanya tersenyum saja tidak menanggapi keinginan temannya Farel, tiba-tiba aku menepuk jidatku pelan dan aku baru ingat tujuanku ke tempat Farel untuk mengantar undangan pernikahanku. Perlahan kukeluarkan undangan berwarna salem dan kuserahkan padanya. "Undangan dari siapa Dyara, ini untukku? " Sambil membolak-balik undangan itu dia perhatikan baik-baik nama pengantinnya yang tertera disana. Farel terhenyak setelah sekian detik dia bengong membacanya. Farel kaget saat membaca undangan pernikahan darinya. "Apa ini Dyara? " Kamu mau meninggalkan aku, kamu memilih dia menjadi suamimu! Lalu apa artinya hubungan kita selama ini!! Farel benar-benar marah, urat lehernya sampai terlihat membesar karena tarikan suaranya yang kencang. Dyara hanya terdiam menunduk takut, "Dyara jawab aku, kenapa kamu menerima lamarannya?? Farel terduduk lesu. Aku sayang padamu Dyara.. Suara Farel terdengar bergetar, kesedihannya terbaca diwajahnya yang berkulit terang. Mukanya memerah menahan tangis, hubungannya dengan Dyara sudah cukup lama, namun akhirnya harus kandas. Pandangan Farel menerawang kosong, " "Aku hanya menjaga jodoh orang, keluhnya pilu." Ingin rasanya Farel meneriakkan semua kekesalannya. "Jawab Dyara, apakah kamu mencintai laki-laki itu?? Teriakan Farel membuyarkan lamunan Dyara. Tatapan Farel yang tajam membuat Dyara menggeleng takut. "Aku hanya kenal beberapa bulan saja. " Farel langsung terdiam, beginikah jika Sang Maha Kuasa sudah menentukan maka tidak ada yang dapat menghentikannya ?" Melihat reaksi Farel yang begitu marah, Dyara menghentakkan nafasnya kasar. "Farel, bukankah aku sudah memberikan kesempatan kepadamu untuk menjalani hubungan kita jika kamu memberikan keputusanmu padaku? " Bibirku bergetar saat menanyakan itu pada Farel. "Harusnya aku yang kecewa, kemana saja kamu selama ini. Aku mencarimu, menghubungimu tapi selalu kamu abaikan. Mama sudah memberikan waktu batas akhir agar kamu menemuinya tapi kamu juga abai. Sekarang kamu malah menyalahkan aku, lalu aku harus bagaimana Rel?? " "Orangtuaku sudah menuntut agar aku segera menikah, dan yang mereka lihat selama ini aku dekat denganmu. Apakah salah jika orangtuaku terutama Mama menanyakan tentang keseriusan hubungan kita?? " "Sebenarnya aku malu kepada orangtuaku, saat Mama telfon ke rumahmu juga tidak ada respon. Kalau memang tidak ada ujungnya dari hubungan kita maka Mama minta kita mengakhirinya saja." Aku menangis terisak, aku juga sudah tidak bisa menahan sesak didada. Aku segera menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. "Aku malu Rel, kalau harus datang ke rumahmu. Aku seperti perempuan yang tidak punya harga diri jika sampai mengemis untuk kamu nikahi!! " Lagi-lagi Farel bungkam, tidak menjawab satupun pertanyaanku. Aku sebal lama-lama melihat dia seperti membayangkan sesuatu namun perlahan kemarahannya mereda setelah mendengarku terisak. "Maafkan aku Farel, mungkin ini juga wujud baktiku kepada orangtuaku terutama Mamaku. Kalau saja kamu mau datang menemui Mamaku mungkin tidak akan berakhir seperti ini. Aku sudah lelah Rel, sekarang terserah kamu mau apa. Jangan minta aku untuk membatalkan pernikahan ini yang tinggal seminggu lagi. Aku tidak mau mencoreng muka kedua orangtuaku dan menahan malu karena ulahku!! " Farel terduduk lesu mendengar penjelasanku. Tiba-tiba teman satu kosnya memutar lagu "Tenda Biru" yang dinyanyikan oleh artis penyanyi cantik yang cukup terkenal. Aku melirik ke arah Farel yang masih tidak bergeming sedikitpun. "Ini memang salahku Dyara, aku memang pengecut. Seharusnya aku menyelesaikan masalah ini bukannya lari menghindari. " Farel menjambak rambutnya kesal. "Aku minta maaf Dyara, sebenarnya aku memang tidak bisa menikah secepat itu. Aku ingin jika kita menikah kalau aku sudah punya rumah, kendaraan agar kamu hidup nyaman." Aku mendelik ke arahnya sambil menyeka air mataku, "Kamu pikir aku masih bocah SMA yang harus menunggu kamu memiliki segalanya dulu baru menikah. Kamu tahu Rel usiaku sudah bukan ABG lagi, usiaku sudah matang kalau berumah tangga. Bukankah usia kita sama. Lalu aku harus menunggu berapa lama lagi!! " Kali ini aku sudah malas berdebat dengannya, kuputuskan untuk segera meninggalkan kosannya. Farel hanya menatap kepergianku tanpa berusaha mencegah. Hatiku sakit, kalau tahu begini untuk apa aku bertahan menjalani hubungan dengannya bertahun-tahun. Farel juga tidak berusaha mencari jalan terbaik untuk kami berdua. Terlihat dia hanya membiarkan aku untuk menerima semuanya tanpa memikirkan perasaanku. Aku tiba dikosan selama aku bekerja, aku hanya ingin beristirahat sambil membereskan barang-barang yang akan kubawa pulang. Aku akan mengundurkan diri dari tempatku bekerja dan kembali ke kota kelahiranku. Sebenarnya Arsya memang tidak melarangku bekerja, tapi aku harus tahu diri untuk mengikuti suamiku tinggal dimanapun dia berada. Apalagi aku masih bekerja sebagai tenaga honorer, kadang sedih juga karena perjuanganku untuk bekerja di ibukota ternyata tidak bertahan lama. Padahal dulu aku bertahan karena Farel sudah menyusulku kesini. Aku menata semua barang-barangku, sambil mengenang perjuanganku selama bekerja disini. Air mataku mulai menetes lagi perlahan dan aku menyusutnya sambil terisak. Kini semua harus kutinggalkan bersama kenangan yang manis selama tinggal di ibukota.Dering telfon terdengar dari rumah ibu kos, setelah itu terdengar teriakan memanggil namaku. "Mbak Dyara ada telfooon!! " Aku bergegas menghampirinya, "iya terimakasih mas."Ternyata yang memanggilku Ryan anak kedua ibu kosku. Ryan mengangguk kemudian pergi, aku menghembuskan nafasku lega. "Hallo Dyara, ini aku, " Aku terhenyak, ada apalagi Farel menelfon aku, kenapa juga harus pakai telfon rumah.Eh aku menepuk keningku, hpku dalam kondisi mati dan sedang di cas. Tentu saja Farel tidak bisa menghubungiku. " Ya, ada apa Rel. Bukannya tadi kita sudah bertemu? " Farel tertawa pahit, kita belum selesai bicara tapi kamu sudah pergi.""Memangnya apalagi yang harus dibicarakan, lagipula tidak ada jalan keluar dari kamu. Aku tidak mau nanti malah dicap anak durhaka karena tidak mengikuti keinginan orangtua."Kata-kataku membuat Farel terdiam, kemudian Farel mengatakan kalau dia juga tidak mau jadi anak durhaka. Kini giliran aku yang terdiam. "Maaf karena aku tidak bisa menikah denganm
Akhirnya yang ditunggu tiba juga, calon pengantin laki-laki dengan keluarga dan kerabatnya mengantarkan ke kediaman calon pengantin perempuan.Mereka disambut kedatangannya oleh keluarga calon pengantin perempuan dan segera mempersilahkan mereka masuk sambil menerima seserahan yang dibawa oleh pihak calon pengantin laki-laki.Tibalah saatnya acara inti setelah didahului dengan sambutan-sambutan dan pembacaan ayat suci Al Qur'an. Kami semua mendengarkan dengan khidmat lantunan ayat suci Al Qur'an yang dibacakan oleh Om Ahmad adik ipar Papa.Saat akan dilakukan ijab kabul terjadi bisik-bisik antara Papa dengan Penghulu. Ternyata Papa tidak bersedia menjadi waliku. Aku terhenyak, demikian pula dengan keluarga besar Papaku. Mama hanya terdiam tidak bereaksi apapun.Aku hanya diam menatap Papa, sedemikian tidak setujukah Papa sampai tidak mau menjadi waliku. Papa benar-benar menolak untuk menikahkan aku dengan Arsya. Akhirnya aku menggunakan wali hakim, aku sendiri tidak mengerti kenapa ja
Aku harus mulai membuang semua kenanganku bersama Farel, karena bagaimanapun kini aku sudah menjadi istri Arsya. Aku harus menghormatinya karena aku sudah memutuskan untuk menerima Arsya sebagai suamiku.Diawal pernikahan aku mulai mendapat teror yang kurang enak dari ibu mertuaku. Suamiku diwajibkan setiap hari mengunjungi rumah orangtuanya. Namun aku tidak keberatan karena menurutku anak laki-laki memang hak ibunya. Untuk urusan keuangan aku menerima gaji suamiku yang ternyata sudah mendapat potongan cicilan dari bank.Suamiku bilang itu karena sisa cicilan saat dia kuliah, katanya biaya kuliahnya ditanggung sendiri. Aku sempat mengernyit heran, masalahnya honorku dulu jauh lebih besar dari gaji yang kuterima dari suamiku dan aku hanya bisa pasrah menerimanya.Kemudian semua pendapatan suamiku yang diluar gaji juga diminta oleh ibu mertuaku, sekali lagi aku hanya bisa mengelus dadaku yang sesak. Aku akhirnya bersikap tidak peduli lagi, terserahlah. Namun setelah melihat kondisiku se
Malam itu seperti biasanya, Mama sedang asyik nonton sinetron kesayangannya yang berseri entah ke berapa. Yang aku tahu sinetron itu sudah beberapa ratus episode, sedangkan aku memang tidak menyukai sinetron sama sekali. Papa juga menemani Mama sambil minum kopi buatan Mama.Tiba-tiba aku melihat Papaku memegang dadanya, aku langsung panik membangunkan Mama yang sempat tertidur saat nonton sinetron. Akhirnya kami serumah heboh melihat kondisi Papa. Beruntungnya Mas Arsya masih dirumah dan belum berangkat dinas. Kami segera membawa Papa ke rumah sakit.Sepanjang perjalanan kami semua berdoa untuk kesembuhan Papa. Mama sejak tadi sudah menangis terisak, adikku memeluk Mama dan mengusap punggungnya berkali-kali agar Mama tenang. Sesampainya di rumah sakit, suamiku langsung membawa Papa ke IGD, dan segera menemui temannya yang bertugas malam ini di sana.Setelah diperiksa secara teliti oleh dokter, tiba-tiba dokter itu membisiki sesuatu kepada suamiku. Wajah suamiku langsung berubah pucat
Mataku perlahan mulai terbuka suasana rumah sakit masih tercium aromanya, rasa pusing seketika mendera kepalaku. Perutku rasanya mual luar biasa, aku langsung meminta orang yang ada didekatku untuk menyiapkan tempat agar aku bisa mengeluarkan isi perutku. Setelah selesai aku langsung lemas dan kembali tertidur. Kepalaku rasanya masih melayang, rasanya dunia juga berputar. Mungkin efek obat biusnya masih bekerja sehingga aku masih belum sadar sepenuhnya. Kudengar keluarga yang menjaga disekitarku bernafas lega setelah melihat aku sadar sesaat. Mamaku yang sedari awal mendampingiku dirumah sakit sampai tidak fokus karena melihat aku seperti tersiksa dengan rasa sakit yang cukup lama. Biasanya Mama orang yang paling tenang jika kita mengalami musibah atau kejadian yang membutuhkan tenaga ekstra. Namun kini melihat anaknya sendiri yang berjuang untuk melahirkan cucunya membuatnya tidak bisa melakukan apapun termasuk berdoa. Adik-adikku juga sempat keheranan melihat Mama bolak-balik ke
Arsya tidak menyangka jika istrinya langsung kabur karena marah pada dirinya. Arsya merasa kebingungan, apalagi melihat Alea mulai berjalan tertatih ingin memeluknya.Tidak banyak kata Arsya segera meraih Alea dalam pelukannya. Arsya segera mengambil kunci motornya untuk segera menyusul Dyara. Hatinya kini kacau, tidak dihiraukan perutnya yang sudah keroncongan sejak tadi.Arsya merasa bersalah terhadap Dyara, kata-katanya tadi memang sudah kelewat batas. Namun sebenarnya dia tidak bermaksud seperti itu. Kondisinya saat itu yang sedang lelah dan lapar sehingga memicu emosinya menjadi tinggi.Dalam perjalanan sambil memangku Alea, Arsya menjalankan motornya dengan hati-hati. Arsya yakin istrinya akan pulang ke rumah mertuanya. Arsya hanya bisa berdoa semoga ibu mertuanya tidak salah paham padanya.Sementara itu Dyara masih diam didalam kamar adiknya, dia enggan bicara apapun. Mulutnya terkunci, rasa lelah menderanya hingga netranya perlahan menutup. Dyara tertidur, suara dengkuran halu
Pernikahan Syena telah usai beberapa hari yang lalu. Kami masih cukup lelah, masih banyak barang-barang yang berserakan disana-sini. Kami mulai membereskannya satu persatu.Aku melirik kamar Syena masih tertutup rapat, yang aku tahu dari pagi Syena sudah berangkat kerja. Aku memang sengaja ke rumah Mama untuk membantu Mama membersihkan sampah yang masih terlihat dibeberapa tempat.Sambil membawa Alea aku duduk merapikan beberapa barang yang ada didekatku. Tanpa sengaja aku mendengar Mama menggerutu, "Enak betul jadi suami pengangguran, jam segini masih molor. Nggak punya malu pisan. Istrinya dari pagi sudah berangkat kerja. Kamu salah milih suami Syena! "Aku terdiam beberapa saat sambil kembali melirik kamar Syena. Aku khawatir tiba-tiba Ridwan nongol mendengar omelan Mamaku. Tapi iya juga sih, seorang laki-laki kalau sudah jadi imam atau pemimpin dalam rumah tangga seharusnya sudah paham tanggungjawab yang ada dipundaknya.Ridwan memang keterlaluan, aku juga jadi merasa iba kepada a
Arsya menjemput Dyara dengan Alea dari rumah mertuanya. Kami tiba dirumah dan segera membersihkan diri. Sedangkan Alea terlelap sepanjang perjalanan tadi.Aku masih dalam mode diam, rasanya malas untuk bicara. Dari pada kata-kataku membuat sakit hati, aku lebih baik diam. Arsya berusaha membuka percakapan lebih dulu, dan menganggap kami baik-baik saja.Aku hanya menoleh sekilas sambil membaringkan Alea ke tempat tidur. Arsya menanyakan kabar Mama yang mendapat anggota baru dirumahnya yaitu Ridwan. Aku tidak menjawab banyak, namun kesempatan itu aku gunakan untuk meminta ijin padanya agar aku diperbolehkan bekerja lagi.Arsya terdiam sesaat kemudian menganggukkan kepalanya. Dalam hati aku bersorak, jika aku bekerja maka otomatis frekuensi pertemuanku dengan suamiku lebih sedikit. Entah sampai kini masih belum ada rasa cinta untuknya.Aku melayaninya hanya menggugurkan kewajibanku sebagai istri. Tidak ada unsur pendukung lainnya. Arsya memang bukan laki-laki yang taat beragama, sholatny