Dering telfon terdengar dari rumah ibu kos, setelah itu terdengar teriakan memanggil namaku. "Mbak Dyara ada telfooon!! " Aku bergegas menghampirinya, "iya terimakasih mas."
Ternyata yang memanggilku Ryan anak kedua ibu kosku. Ryan mengangguk kemudian pergi, aku menghembuskan nafasku lega. "Hallo Dyara, ini aku, " Aku terhenyak, ada apalagi Farel menelfon aku, kenapa juga harus pakai telfon rumah. Eh aku menepuk keningku, hpku dalam kondisi mati dan sedang di cas. Tentu saja Farel tidak bisa menghubungiku. " Ya, ada apa Rel. Bukannya tadi kita sudah bertemu? " Farel tertawa pahit, kita belum selesai bicara tapi kamu sudah pergi." "Memangnya apalagi yang harus dibicarakan, lagipula tidak ada jalan keluar dari kamu. Aku tidak mau nanti malah dicap anak durhaka karena tidak mengikuti keinginan orangtua." Kata-kataku membuat Farel terdiam, kemudian Farel mengatakan kalau dia juga tidak mau jadi anak durhaka. Kini giliran aku yang terdiam. "Maaf karena aku tidak bisa menikah denganmu sekarang, sebenarnya aku ingin sekali. Seperti katamu tadi, aku juga tidak mau dicap anak durhaka oleh Mamiku." Aku mulai menduga-duga kemana arah pembicaraannya. Menurutku menjelaskan sekarangpun sudah tidak ada gunanya lagi, apalagi undangan pernikahanku pasti sudah mulai disebar. "Aku sudah diamanati oleh Mamiku Dyara, aku adalah tulang punggung keluarga. Kakakku semuanya perempuan yang memiliki masalah dengan suami-suaminya. Adikku 2 orang masih membutuhkan biaya untuk kuliah, dan kamu sendiri tahu kalau Papiku sudah meninggal. " Sampai disini penjelasan Farel aku tidak berani menyela, aku hanya mendengarkan semua keluh kesahnya. "Dyara, aku tidak akan tega membiarkan Mamiku yang membiayai mereka semua. Aku anak laki-laki pertama yang menjadi harapan Mamiku satu-satunya, karena beliau tidak memiliki penghasilan kecuali dari pensiunan Papiku." Aku membuang nafasku kasar, menurutku kalau dia serius mencintaiku seharusnya dia menikahiku. Dia tidak perlu ketakutan akan kekurangan jika menikah denganku. Allah tentu saja sudah mengatur rejeki setiap manusia. Tapi aku bisa apa, toh tetap saja yang bisa mengambil keputusan Farel bukan aku. Jadi jangan salahkan aku juga kalau aku akhirnya menerima lamaran Arsya. Aku tidak lagi menanggapi omongan Farel, aku hanya diam mendengarkan dia bicara. "Hallooo, Dyara..kamu masih mendengarkan aku kan?? " Aku lagi-lagi menghela nafas, kali ini agak panjang. Aku mencoba mengatur emosiku yang mungkin bisa saja meledak. Tapi aku tetap berusaha menahannya. "Ya aku masih disini, " Jawabanku terasa getir, namun entah Farel merasakan atau tidak. Jadi disini aku yang harus mengerti dan memahami Farel, sedangkan dia dengan lancarnya mengungkapkan alasannya tanpa beban. Baiklah aku rasa memang sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. "Dyara, aku ingin kamu dengar nyanyianku sebentar saja. " Aku mengernyit heran, sejak kapan Farel suka bernyanyi. Selama ini aku jalan dengan dia, belum pernah sekalipun dia menyanyikan lagu untukku. Lalu diapun bernyanyi lagu Tenda Biru. Aku menutup mulutku agar suara tawaku tidak terdengar olehnya. Terus terang aku ingin tertawa terbahak-bahak. Namun aku tak sampai hati, beginilah kalau kita bertemu pasti akan ada sesuatu yang lucu dan dijadikan bahan candaan. Dan disaat seperti ini Farel masih bisa melakukan itu. Aku mendengar nyanyiannya sampai selesai sambil tersenyum, karena aku yakin Farel tidak tahu jika aku sedang tersenyum saat ini. Tidak terasa kami ngobrol hampir 2 jam lamanya. Telingaku sudah terasa panas, aku sudah bolak-balik memindahkan gagang telfon berkali-kali ke kiri dan ke kanan. Sampai akhirnya Farel menyudahi obrolannya dan memintaku untuk berfikir lagi. Aku hanya bisa menelan ludah, ide gila apalagi yang ada dibenak Farel sehingga memintaku untuk memikirkan lagi langkah yang sudah ku ambil. Akhirnya aku kembali ke kamar dan sudah tidak mood lagi melanjutkan membereskan barang-barang yang akan dibawa ke kampungku. Aku sudah tidak mau lagi memikirkan apapun, semua persiapan pernikahanku sudah hampir selesai seratus persen. Jangan sampai aku goyah gara-gara Farel memintaku untuk berfikir ulang tentang langkahku untuk menikah. *** Farel menghembuskan nafasnya lega, bagaimanapun aku harus menjelaskan semuanya pada Dyara. Aku tahu kalau aku pengecut karena tidak berani menghadapi keluarga Dyara. Biarlah mereka berfikir negatif tentang aku. Farel membaringkan badannya lelah. Aku memang tidak bisa membiarkan Mamiku bekerja keras untuk keluarga. Kali ini aku harus mengorbankan diriku untuk keluarga dulu. Aku hanya bisa mendoakan Dyara semoga bahagia dengan suaminya. Hati Farel berdenyut nyeri, namun dia harus bisa menahannya. Ini sudah menjadi resikonya karena sudah mengambil keputusan membiarkan Dyara menikah dengan orang lain meskipun sesungguhnya dia tidak rela. Tanpa terasa Farel terisak menangisi nasib cintanya yang tidak bisa lagi dia gapai. "Maafkan aku Dyara, maaf... " Akhirnya Farel terlelap bersama kesedihannya. Dia benar-benar terluka, namun tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menghentikan pernikahan Dyara. *** Di sebuah rumah terlihat kesibukan mereka yang sedang mempersiapkan acara siraman ditempat mempelai wanita. Sore itu Dyara sudah menggunakan kemben untuk acara siraman dengan untaian melati dikepalanya. Prosesi siraman akan segera dilakukan, sanak keluarga sudah berdatangan. Diawali dengan acara pengajian ibu-ibu dikomplek perumahan Dyara. Lalu dilanjutkan dengan acara sungkeman kepada kedua orangtua Dyara dan dilanjutkan dengan acara siraman oleh beberapa orangtua dari pihak keluarga Mama Dyara. Papa menggendongku setelah selesai acara siraman ke kamar pengantinku. Sambil berbisik," semoga kamu kuat nak. Papa hanya bisa mendoakanmu." Aku hanya bisa mengangguk terharu, aku tahu Papa masih tidak rela melepas anak gadisnya dengan laki-laki yang menurutnya bukan pilihan terbaiknya. Mama tidak memperhatikan kami, Mama masih sibuk dengan teman-teman pengajiannya. Papa sekali lagi menciumku penuh haru, netranya sudah berkaca-kaca kemudian pergi meninggalkanku menyerahkan pada perias yang akan memberikan treatmen perawatan pada tubuhku. Aku hanya menatap punggung Papa yang mungkin sedang menahan air matanya dan hampir jatuh dihadapanku. Aku hanya menunduk pilu, semuanya sudah terjadi dan aku terus melangkah melewati semua ritual yang harus aku ikuti sampai besok acara ijab kabul dilaksanakan. Saat acara sudah selesai, menjelang maghrib tiba- tiba hujan mengguyur tempat kami sangat deras, seperti ada badai yang menerjang. Langit yang tadinya cerah langsung gelap, kami panik segera menyingkirkan barang-barang agar tidak basah. Aku juga heran saat menghubungi keluarga calon suamiku untuk mengantarkan air siraman yang terjebak hujan, ternyata ditempat mereka sama sekali tidak hujan. Kami tentu saja bertanya-tanya, apa yang sudah terjadi. Kami tinggal dalam satu kota yang sama hanya berbeda kurang lebih 8 km. Namun saat itu kami tidak memikirkan apapun, sampai akhirnya tiba malam hari kami harus beristirahat. Papa meminta kami anak- anak perempuan tidur dikamar pengantin bersama. Papa tidur ditengah diapit oleh kami anak-anak perempuannya termasuk aku. Kami sempat heran mendengar permintaan Papa pada awalnya, namun kami tidak bertanya apapun. Kami semuanya mengikuti keinginan Papa tanpa protes.Terus terang kami semua tidak bisa tidur dengan nyenyak apalagi Papa terus memandangi kami. Sampai tiba keesokan hari acara ijab kabul yang akan dilaksanakan dikediamanku. Semua terlihat sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Perias sudah datang sejak dini hari, calon pengantinpun sudah dirias sejak pagi. Keluarga calon pengantin juga sudah antri dirias sejak tadi, kesibukan juga terlihat didapur, ada yang menyiapkan makanan dan minuman untuk para perias. Hingga akhirnya tibalah saat yang ditunggu-tunggu acara ijab kabul pengantin. Sambil menunggu pengantin laki-laki datang segera disiapkan juga meja dan bunga untuk dikalungkan pada calon pengantin laki-laki.Akhirnya yang ditunggu tiba juga, calon pengantin laki-laki dengan keluarga dan kerabatnya mengantarkan ke kediaman calon pengantin perempuan.Mereka disambut kedatangannya oleh keluarga calon pengantin perempuan dan segera mempersilahkan mereka masuk sambil menerima seserahan yang dibawa oleh pihak calon pengantin laki-laki.Tibalah saatnya acara inti setelah didahului dengan sambutan-sambutan dan pembacaan ayat suci Al Qur'an. Kami semua mendengarkan dengan khidmat lantunan ayat suci Al Qur'an yang dibacakan oleh Om Ahmad adik ipar Papa.Saat akan dilakukan ijab kabul terjadi bisik-bisik antara Papa dengan Penghulu. Ternyata Papa tidak bersedia menjadi waliku. Aku terhenyak, demikian pula dengan keluarga besar Papaku. Mama hanya terdiam tidak bereaksi apapun.Aku hanya diam menatap Papa, sedemikian tidak setujukah Papa sampai tidak mau menjadi waliku. Papa benar-benar menolak untuk menikahkan aku dengan Arsya. Akhirnya aku menggunakan wali hakim, aku sendiri tidak mengerti kenapa ja
Aku harus mulai membuang semua kenanganku bersama Farel, karena bagaimanapun kini aku sudah menjadi istri Arsya. Aku harus menghormatinya karena aku sudah memutuskan untuk menerima Arsya sebagai suamiku.Diawal pernikahan aku mulai mendapat teror yang kurang enak dari ibu mertuaku. Suamiku diwajibkan setiap hari mengunjungi rumah orangtuanya. Namun aku tidak keberatan karena menurutku anak laki-laki memang hak ibunya. Untuk urusan keuangan aku menerima gaji suamiku yang ternyata sudah mendapat potongan cicilan dari bank.Suamiku bilang itu karena sisa cicilan saat dia kuliah, katanya biaya kuliahnya ditanggung sendiri. Aku sempat mengernyit heran, masalahnya honorku dulu jauh lebih besar dari gaji yang kuterima dari suamiku dan aku hanya bisa pasrah menerimanya.Kemudian semua pendapatan suamiku yang diluar gaji juga diminta oleh ibu mertuaku, sekali lagi aku hanya bisa mengelus dadaku yang sesak. Aku akhirnya bersikap tidak peduli lagi, terserahlah. Namun setelah melihat kondisiku se
Malam itu seperti biasanya, Mama sedang asyik nonton sinetron kesayangannya yang berseri entah ke berapa. Yang aku tahu sinetron itu sudah beberapa ratus episode, sedangkan aku memang tidak menyukai sinetron sama sekali. Papa juga menemani Mama sambil minum kopi buatan Mama.Tiba-tiba aku melihat Papaku memegang dadanya, aku langsung panik membangunkan Mama yang sempat tertidur saat nonton sinetron. Akhirnya kami serumah heboh melihat kondisi Papa. Beruntungnya Mas Arsya masih dirumah dan belum berangkat dinas. Kami segera membawa Papa ke rumah sakit.Sepanjang perjalanan kami semua berdoa untuk kesembuhan Papa. Mama sejak tadi sudah menangis terisak, adikku memeluk Mama dan mengusap punggungnya berkali-kali agar Mama tenang. Sesampainya di rumah sakit, suamiku langsung membawa Papa ke IGD, dan segera menemui temannya yang bertugas malam ini di sana.Setelah diperiksa secara teliti oleh dokter, tiba-tiba dokter itu membisiki sesuatu kepada suamiku. Wajah suamiku langsung berubah pucat
Mataku perlahan mulai terbuka suasana rumah sakit masih tercium aromanya, rasa pusing seketika mendera kepalaku. Perutku rasanya mual luar biasa, aku langsung meminta orang yang ada didekatku untuk menyiapkan tempat agar aku bisa mengeluarkan isi perutku. Setelah selesai aku langsung lemas dan kembali tertidur. Kepalaku rasanya masih melayang, rasanya dunia juga berputar. Mungkin efek obat biusnya masih bekerja sehingga aku masih belum sadar sepenuhnya. Kudengar keluarga yang menjaga disekitarku bernafas lega setelah melihat aku sadar sesaat. Mamaku yang sedari awal mendampingiku dirumah sakit sampai tidak fokus karena melihat aku seperti tersiksa dengan rasa sakit yang cukup lama. Biasanya Mama orang yang paling tenang jika kita mengalami musibah atau kejadian yang membutuhkan tenaga ekstra. Namun kini melihat anaknya sendiri yang berjuang untuk melahirkan cucunya membuatnya tidak bisa melakukan apapun termasuk berdoa. Adik-adikku juga sempat keheranan melihat Mama bolak-balik ke
Arsya tidak menyangka jika istrinya langsung kabur karena marah pada dirinya. Arsya merasa kebingungan, apalagi melihat Alea mulai berjalan tertatih ingin memeluknya.Tidak banyak kata Arsya segera meraih Alea dalam pelukannya. Arsya segera mengambil kunci motornya untuk segera menyusul Dyara. Hatinya kini kacau, tidak dihiraukan perutnya yang sudah keroncongan sejak tadi.Arsya merasa bersalah terhadap Dyara, kata-katanya tadi memang sudah kelewat batas. Namun sebenarnya dia tidak bermaksud seperti itu. Kondisinya saat itu yang sedang lelah dan lapar sehingga memicu emosinya menjadi tinggi.Dalam perjalanan sambil memangku Alea, Arsya menjalankan motornya dengan hati-hati. Arsya yakin istrinya akan pulang ke rumah mertuanya. Arsya hanya bisa berdoa semoga ibu mertuanya tidak salah paham padanya.Sementara itu Dyara masih diam didalam kamar adiknya, dia enggan bicara apapun. Mulutnya terkunci, rasa lelah menderanya hingga netranya perlahan menutup. Dyara tertidur, suara dengkuran halu
Pernikahan Syena telah usai beberapa hari yang lalu. Kami masih cukup lelah, masih banyak barang-barang yang berserakan disana-sini. Kami mulai membereskannya satu persatu.Aku melirik kamar Syena masih tertutup rapat, yang aku tahu dari pagi Syena sudah berangkat kerja. Aku memang sengaja ke rumah Mama untuk membantu Mama membersihkan sampah yang masih terlihat dibeberapa tempat.Sambil membawa Alea aku duduk merapikan beberapa barang yang ada didekatku. Tanpa sengaja aku mendengar Mama menggerutu, "Enak betul jadi suami pengangguran, jam segini masih molor. Nggak punya malu pisan. Istrinya dari pagi sudah berangkat kerja. Kamu salah milih suami Syena! "Aku terdiam beberapa saat sambil kembali melirik kamar Syena. Aku khawatir tiba-tiba Ridwan nongol mendengar omelan Mamaku. Tapi iya juga sih, seorang laki-laki kalau sudah jadi imam atau pemimpin dalam rumah tangga seharusnya sudah paham tanggungjawab yang ada dipundaknya.Ridwan memang keterlaluan, aku juga jadi merasa iba kepada a
Arsya menjemput Dyara dengan Alea dari rumah mertuanya. Kami tiba dirumah dan segera membersihkan diri. Sedangkan Alea terlelap sepanjang perjalanan tadi.Aku masih dalam mode diam, rasanya malas untuk bicara. Dari pada kata-kataku membuat sakit hati, aku lebih baik diam. Arsya berusaha membuka percakapan lebih dulu, dan menganggap kami baik-baik saja.Aku hanya menoleh sekilas sambil membaringkan Alea ke tempat tidur. Arsya menanyakan kabar Mama yang mendapat anggota baru dirumahnya yaitu Ridwan. Aku tidak menjawab banyak, namun kesempatan itu aku gunakan untuk meminta ijin padanya agar aku diperbolehkan bekerja lagi.Arsya terdiam sesaat kemudian menganggukkan kepalanya. Dalam hati aku bersorak, jika aku bekerja maka otomatis frekuensi pertemuanku dengan suamiku lebih sedikit. Entah sampai kini masih belum ada rasa cinta untuknya.Aku melayaninya hanya menggugurkan kewajibanku sebagai istri. Tidak ada unsur pendukung lainnya. Arsya memang bukan laki-laki yang taat beragama, sholatny
Setelah menempati rumah baru rasanya lebih plong bisa bernafas dengan lega, karena tidak memikirkan lagi bayar kontrakan rumah. Tidak lama kemudian ditahun ke lima pernikahanku dengan Arsya, aku kembali diberi kepercayaan mendapat momongan kembali.Aku merasa kehamilanku kali ini tidak menyusahkan dibanding dengan yang pertama. Karena memang tidak terasa seperti hamil, aku melakukan aktifitas seperti biasa. Bahkan aku menerima tawaran bekerja di tempat lain.Jam mengajarku sebenarnya sudah banyak namun aku masih bisa membagi waktuku. Aku tidak merasakan gejala apapun, bahkan seperti tidak sedang berbadan dua.Saat kami periksa ke dokter kandungan, beliau sudah bilang kalau janinnya masih belum berkembang, jadi aku pikir kondisi tubuhku masih baik-baik saja. Sehingga tidak ada sedikitpun kekhawatiran dariku.Ternyata menginjak dibulan ke tiga, aku mengalami pendarahan. Namun karena kondisi tersebut dialami saat dirumah, aku masih bisa melakukan aktifitas seperti biasanya. Hanya terasa