Mataku perlahan mulai terbuka suasana rumah sakit masih tercium aromanya, rasa pusing seketika mendera kepalaku. Perutku rasanya mual luar biasa, aku langsung meminta orang yang ada didekatku untuk menyiapkan tempat agar aku bisa mengeluarkan isi perutku.
Setelah selesai aku langsung lemas dan kembali tertidur. Kepalaku rasanya masih melayang, rasanya dunia juga berputar. Mungkin efek obat biusnya masih bekerja sehingga aku masih belum sadar sepenuhnya. Kudengar keluarga yang menjaga disekitarku bernafas lega setelah melihat aku sadar sesaat. Mamaku yang sedari awal mendampingiku dirumah sakit sampai tidak fokus karena melihat aku seperti tersiksa dengan rasa sakit yang cukup lama. Biasanya Mama orang yang paling tenang jika kita mengalami musibah atau kejadian yang membutuhkan tenaga ekstra. Namun kini melihat anaknya sendiri yang berjuang untuk melahirkan cucunya membuatnya tidak bisa melakukan apapun termasuk berdoa. Adik-adikku juga sempat keheranan melihat Mama bolak-balik ke kamar kecil, sebentar kemudian keluar ruangan. Padahal biasanya kalau sedang begini biasanya Mama berdoa dengan khusyu meminta bantuan kepada Allah. Kini setelah kondisi aman terkendali, Mamapun bisa bernafas dengan lega. Senyuman mulai muncul dibibirnya dan kembali bisa beraktifitas kembali dengan langkah yang ringan. Tiba-tiba datang seorang perawat menggendong bayi mungilku bersama suamiku disampingnya. Karena Mas Arsya memang bekerja sebagai perawat dirumah sakit ini tentu saja dia tetap bertugas sekaligus menjagaku dan bayinya. Setelah perawat itu menyerahkan anakku agar mencoba Asi yang pertama untuk kekebalan tubuhnya, aku menerima dengan takjub bayi mungilku, kulitnya bersih putih bersinar. Mukanya bulat dan pipinya tembem benar-benar menggemaskan. Bayi cantikku sangat memukau orang-orang yang melihatnya. Tiba-tiba dia menggeliat dan menangis kencang. Semua yang sedang berada diruanganku terkejut dan berebut ingin mencoba menggendongnya. Karena perutku masih sakit pasca operasi yang baru kemarin dilakukan, maka kuserahkan kembali pada perawat dan suamiku. Rupanya bayi kecilku buang air sehingga dia tidak merasa nyaman. Aku masih berada di rumah sakit sampai pemulihan hampir satu minggu, namun bayiku diperbolehkan pulang karena dinyatakan sehat. Mama dan adikku Nadine yang menjaga anakku di rumah sampai aku diperbolehkan pulang. Mereka benar-benar bahagia menjaga bayi kecilku. Ketika aku dinyatakan sehat dan boleh pulang tentu saja aku sangat senang karena akan bertemu kembali dengan malaikat kecilku. Selama aku memiliki Azalea Mahirah, nama putri kecilku yang cantik dengan panggilan Alea, pasti aku akan menjadi lebih kuat karena penyemangat hidupku kini akan menjadi partnerku selamanya. *** Farel sudah berada jauh dari hiruk pikuk ibukota, juga jauh dari kenangan indah yang pernah dilaluinya disana. Meskipun begitu hanya satu nama yang bertahta dihatinya sampai kini. Beberapa kali Farel didekati perempuan, mereka cantik bahkan menarik. Namun masih belum ada yang bisa menggetarkan hatinya. Hingga suatu saat dia mencoba membuka hatinya untuk seseorang. Maira namanya, dia bekerja di tempat yang sama dengan Farel hanya berbeda bagian. Posisi Farel memang lebih tinggi jabatannya dari Maira. Dia perempuan cantik dan sederhana, Farel masih mencari sisi kemiripan Maira dengan Dyara. Farel selalu seperti itu kalau mulai dekat dengan seseorang. Hal yang jelas tidak mungkin terjadi didunia ini, meskipun ada kemiripan tentu tidak akan semuanya sama. Itulah yang terjadi sampai sekarang, Farel belum bisa move on dari Dyara. *** Sedangkan Dyara kini hidupnya disibukkan dengan mengurus bayi cantiknya Alea. Cintanya dia curahkan sepenuhnya untuk Alea, Dyara selalu ingin memberikan yang terbaik untuk. Alea. Dyara kini kembali tinggal dirumah Mamanya sementara menunggu Alea cukup besar agar bisa pindah ke rumah sendiri meskipun ngontrak. Begitulah kata-kata Arsya yang sering dilontarkan jika mereka ngobrol berdua. Dyara tidak begitu peduli, yang penting dia bisa selalu bersama dengan putri cantiknya Alea. Pertumbuhan Alea sangat pesat bobot berat badannya selalu bertambah. Tingkahnyapun sering membuat kami tertawa, terutama Mama dan Nadine yang sering terhibur. Syukurlah kesedihan Mama tidak berlarut-larut karena kehilangan Papa. Alea selalu membuat Mama sibuk, kemana-mana Alea pasti dibawanya. Kadang aku takut Mama kelelahan karena selalu bersama Alea. Nadine tentu saja tidak akan membiarkan Mama sendiri. Karena Nadine memang belum menikah, jadi selalu menemani Mama kemanapun. Aku kini bisa tersenyum melihat Mama bahagia dan bisa mengangkat beban kesedihannya ini membuat aku ingin segera bekerja kembali seperti dulu. Setelah usia Alea berjalan 6 bulan, kami diminta menempati perumahan milik mertua. Kondisi rumah yang masih asli tentu saja membuat kami harus merenovasi rumah tersebut. Cukup lama juga rumah itu tidak ditempati, katanya sih semenjak akad membeli sampai saat ini. Posisi rumah itu cukup jauh, kalau tidak punya kendaraan pasti repot. Namun karena aku kini menjadi istri mas Arsya tentu saja aku harus mengikutinya kemanapun suamiku pergi. Aku hanya mengiyakan ajakan suamiku, sebenarnya Mama dan Nadine merasa keberatan jika kami meninggalkan mereka. Tapi Mama juga tidak bisa memaksa karena Arsya kini lebih berhak dibandingkan dirinya. Sebelum pindah, mas Arsya harus mengeluarkan tabungannya untuk merenovasi rumah mertuaku. Aku diam saja terserah suamiku, ternyata uang yang dikeluarkan suamiku cukup banyak hingga tabungan kami habis. Mertua tidak mau tahu, katanya hitung-hitung ngontrak dan uang kontraknya buat merenovasi. Menurutku kalau perhitungannya begitu seharusnya kami bisa tinggal disana minimal 5 tahun. Sepadan dengan uang yang dikeluarkan oleh suamiku. Memang dikeluarga suamiku tidak ada yang namanya gratisan, semua harus dibayar. Makanya aku sering hati-hati memakai barang-barang milik mertua, atau jika mereka mengirim sesuatu. Aku pasti akan menanyakan berapa yang harus dibayar. Berbeda dengan dikeluargaku, mereka tidak pernah perhitungan. Kalau niat mereka memberi pasti tidak akan minta dibalas. Aku yang baru mengalami berumah tangga seperti ini sebenarnya di awal aku selalu terkaget-kaget. Namun lama kelamaan hal itu kuanggap menjadi biasa. Kali ini mas Arsya pulang dengan muka kusut, katanya capek. Ya sudah aku tidak banyak bertanya, aku melanjutkan kegiatanku menyuapi Alea. Setelah kami pindah semua pekerjaan rumah aku yang mengerjakannya. Menurut suamiku, lebih baik dikerjakan sendiri. Kalau sudah lelah yang ditinggalkan saja pekerjaannya tidak usah memaksakan diri. Katanya dari pada menggaji asisten rumah tangga lebih baik uangnya ditabung untuk membeli rumah. Aku tersenyum miris, yang aku rasakan sebenarnya bukan sayang buat ditabung. Melainkan pelit untuk orang lain dan membiarkan istrinya kelelahan diperas tenaganya. Satu poin lagi disini yang kutemui dalam berumah tangga dengan Arsya. Rupanya selama ini dia tidak puas dengan pengelolaan uang gajinya yang selama ini aku pegang. Kini dia sedang kebingungan menatap meja makan yang kosong, sedangkan dikulkaspun tidak ada mie ataupun telor. Mas Arsya menatapku lelah, "Kenapa tidak ada makanan bun? " Aku hanya menggeleng lemah, "Uangnya habis mas,tadi terakhir Alea minta dibelikan jajanan. Mas Arsya mendelik padaku, " Masa uangnya habis, ini kan belum sebulan. Memangnya kamu belanjakan apa saja. Atau kamu juga memberikan sebagian untuk Mamamu!! " Aku melotot tidak percaya mendengar kata-kata seperti itu meluncur tanpa perasaan dari mulut suamiku. "Ya Allah mas, memangnya kamu ngasih aku sebulan berapa mas. Apa perlu aku rinci pengeluaranku setiap hari!! " "Kamu pikir setiap hari aku masak nggak pake duit, anakmu jajan juga nggak pake duit?? " Aku balas pertanyaan mas Arsya yang terkesan menuduhku menggunakan uang gajinya tanpa perhitungan. "Asal kamu tahu ya Mas, setiap Mamaku berkunjung ke sini justru Mama yang sering memberiku uang untuk jajan Alea! "Kamu pikir keluargaku sama seperti keluargamu kalau datang kesini baliknya minta diongkosin !!" Aku benar-benar murka kali itu, aku sudah tidak memikirkan lagi yang namanya sopan santun terhadap suami. Mas Arsya langsung terdiam, aku tahu dia lelah pulang kerja. Tapi aku juga lebih lelah seharian mengerjakan pekerjaan rumah dan mengasuh Alea. Apakah aku juga harus menuntut bayaran untuk itu! Dia bilang sendiri untuk membayar asisten rumah tangga itu mahal, lalu aku apa. Nafkah yang kuterima pun hanya setengah dari penghasilanku saat aku bekerja di ibukota. Dia pikir enak mendapat tenaga gratisan untuk mengurus semua keperluannya. Dengan sigap aku langsung berdiri, kutinggalkan Alea yang sudah mulai bisa berjalan. Aku berlari keluar berjalan menyusuri gang untuk mencari angkot didepan jalan raya. Aku menangis terisak sepanjang jalan, aku mau pulang. Aku sudah lelah menahannya. Aku tiba dirumah Mama menjelang maghrib, aku langsung menuju kamar mandi dan segera berwudhu menunaikan ibadah sholat maghrib. Syena dan Nadine hanya menatapku dengan pertanyaan dibenak mereka. Mama yang sudah selesai melaksanakan sholat kemudian menengokku ke kamar. Mama menatap Syena dan Nadine, mereka hanya mengangkat bahunya tanda tidak tahu apa yang terjadi pada kakaknya. Usai sholat Dyara tidur terlentang dikamar Nadine. Dyara memejamkan matanya sesaat, dia merasa khawatir telah meninggalkan Alea disana. Namun emosinya yang sudah memuncak membuatnya tidak bisa lagi berpikir dengan jernih.Arsya tidak menyangka jika istrinya langsung kabur karena marah pada dirinya. Arsya merasa kebingungan, apalagi melihat Alea mulai berjalan tertatih ingin memeluknya.Tidak banyak kata Arsya segera meraih Alea dalam pelukannya. Arsya segera mengambil kunci motornya untuk segera menyusul Dyara. Hatinya kini kacau, tidak dihiraukan perutnya yang sudah keroncongan sejak tadi.Arsya merasa bersalah terhadap Dyara, kata-katanya tadi memang sudah kelewat batas. Namun sebenarnya dia tidak bermaksud seperti itu. Kondisinya saat itu yang sedang lelah dan lapar sehingga memicu emosinya menjadi tinggi.Dalam perjalanan sambil memangku Alea, Arsya menjalankan motornya dengan hati-hati. Arsya yakin istrinya akan pulang ke rumah mertuanya. Arsya hanya bisa berdoa semoga ibu mertuanya tidak salah paham padanya.Sementara itu Dyara masih diam didalam kamar adiknya, dia enggan bicara apapun. Mulutnya terkunci, rasa lelah menderanya hingga netranya perlahan menutup. Dyara tertidur, suara dengkuran halu
Pernikahan Syena telah usai beberapa hari yang lalu. Kami masih cukup lelah, masih banyak barang-barang yang berserakan disana-sini. Kami mulai membereskannya satu persatu.Aku melirik kamar Syena masih tertutup rapat, yang aku tahu dari pagi Syena sudah berangkat kerja. Aku memang sengaja ke rumah Mama untuk membantu Mama membersihkan sampah yang masih terlihat dibeberapa tempat.Sambil membawa Alea aku duduk merapikan beberapa barang yang ada didekatku. Tanpa sengaja aku mendengar Mama menggerutu, "Enak betul jadi suami pengangguran, jam segini masih molor. Nggak punya malu pisan. Istrinya dari pagi sudah berangkat kerja. Kamu salah milih suami Syena! "Aku terdiam beberapa saat sambil kembali melirik kamar Syena. Aku khawatir tiba-tiba Ridwan nongol mendengar omelan Mamaku. Tapi iya juga sih, seorang laki-laki kalau sudah jadi imam atau pemimpin dalam rumah tangga seharusnya sudah paham tanggungjawab yang ada dipundaknya.Ridwan memang keterlaluan, aku juga jadi merasa iba kepada a
Arsya menjemput Dyara dengan Alea dari rumah mertuanya. Kami tiba dirumah dan segera membersihkan diri. Sedangkan Alea terlelap sepanjang perjalanan tadi.Aku masih dalam mode diam, rasanya malas untuk bicara. Dari pada kata-kataku membuat sakit hati, aku lebih baik diam. Arsya berusaha membuka percakapan lebih dulu, dan menganggap kami baik-baik saja.Aku hanya menoleh sekilas sambil membaringkan Alea ke tempat tidur. Arsya menanyakan kabar Mama yang mendapat anggota baru dirumahnya yaitu Ridwan. Aku tidak menjawab banyak, namun kesempatan itu aku gunakan untuk meminta ijin padanya agar aku diperbolehkan bekerja lagi.Arsya terdiam sesaat kemudian menganggukkan kepalanya. Dalam hati aku bersorak, jika aku bekerja maka otomatis frekuensi pertemuanku dengan suamiku lebih sedikit. Entah sampai kini masih belum ada rasa cinta untuknya.Aku melayaninya hanya menggugurkan kewajibanku sebagai istri. Tidak ada unsur pendukung lainnya. Arsya memang bukan laki-laki yang taat beragama, sholatny
Setelah menempati rumah baru rasanya lebih plong bisa bernafas dengan lega, karena tidak memikirkan lagi bayar kontrakan rumah. Tidak lama kemudian ditahun ke lima pernikahanku dengan Arsya, aku kembali diberi kepercayaan mendapat momongan kembali.Aku merasa kehamilanku kali ini tidak menyusahkan dibanding dengan yang pertama. Karena memang tidak terasa seperti hamil, aku melakukan aktifitas seperti biasa. Bahkan aku menerima tawaran bekerja di tempat lain.Jam mengajarku sebenarnya sudah banyak namun aku masih bisa membagi waktuku. Aku tidak merasakan gejala apapun, bahkan seperti tidak sedang berbadan dua.Saat kami periksa ke dokter kandungan, beliau sudah bilang kalau janinnya masih belum berkembang, jadi aku pikir kondisi tubuhku masih baik-baik saja. Sehingga tidak ada sedikitpun kekhawatiran dariku.Ternyata menginjak dibulan ke tiga, aku mengalami pendarahan. Namun karena kondisi tersebut dialami saat dirumah, aku masih bisa melakukan aktifitas seperti biasanya. Hanya terasa
Ketika dalam perjalanan pulang ternyata ada seorang perempuan hamil menyebrang tanpa melihat ke kanan dan kiri. Dia nyelonong tanpa dosa, Arsya yang sedang lewat tentu saja langsung ngerem mendadak.Yang menyebrang tetap berjalan melenggang sedangkan motor Arsya langsung terlempar dimana posisi Arsya tertindih oleh motornya. Motor yang dinaiki Arsya memang motor besar sehingga jika menimpa tubuhnya pasti akan sakit.Arsya langsung dibantu warga setempat, sedangkan perempuan yang menyebrang tadi tidak merasa kalau dia yang menyebabkan suamiku terjatuh. Malah setelah itu, perempuan ini meminta ganti rugi.Padahal dia tidak apa-apa, malah tidak ada luka sedikitpun. Tentu saja Arsya merasa geram, sedangkan kakaknya masih menunggu di motor bersama ibunya. Mereka tidak membantu Arsya sama sekali.Aku yang mendengar cerita Arsya saja sudah mulai geregetan. Apalagi setelah mendengar ceritanya seperti itu, dan gilanya lagi ibu Arsya tetap memaksa kakak Arsya untuk mengantarkannya ke rumah mbak
Aku pergi ke rumah Mama bersama Alea, karena rumahku sekarang lebih dekat dengan rumah Mama. Aku ingin berbagi cerita dengan Mamaku. Aku juga ingin Mama tahu kejengkelanku pada keluarga Arsya.Kutinggalkan Arsya bersama ibunya, dari pada aku muak melihat tingkah mereka yang penuh drama. Apalagi ibu mertua berniat menginap dirumahku. Biarlah dia yang mengurus Arsya selama kutinggalkan.Pekerjaanku sudah selesai, aku dan Alea makan dulu baru ke rumah Mama. Sesampainya disana Mama menyambutku dan langsung menggendong Alea. Berbeda sekali dengan perlakuan ibu Arsya, melihat Alea mungkin seperti melihat orang lain bukan seperti perlakuan nenek ke cucunya.Boro-boro mau menggendong, memeluk saja tidak, jadi jangan salahkan Alea jika sampai sekarangpun Alea enggan mendekati ibu mertuaku. Aku merasa miris dengan sikap ibu mertuaku, kasih sayang untuk anaknya saja dia bedakan. Ehh ternyata begitu juga dengan cucu-cucunya.Kini aku sedang menikmati kebersamaanku dengan keluargaku, biarlah Arsya
Ternyata Winda diam-diam mengetahui pernikahan Yuna dan Darel di KUA kemarin. Namun dia terlambat mendapatkan informasi tersebut. Winda merasa kesal karena tidak bisa menggagalkan pernikahan mereka lagi.Winda benar- benar tidak suka melihat Yuna sudah bahagia bersama Darel. Usahanya kini sia-sia saja, namun Winda masih berusaha meracuni pikiran istrinya Darel. Winda yakin kali ini Sarah pasti tidak akan tinggal diam setelah mengetahui suaminya sudah resmi menikahi keponakannya.Wina merasa terluka dengan perbuatan adiknya, padahal dirinya selalu sayang dan memperhatikannya. Apalagi setelah bapak mereka tiada, Wina selalu ingat dan berbagi dengan adiknya.Mendapat balasan seperti ini hatinya seperti tercabik, Wina tidak terima putrinya diperlakukan seperti itu oleh tantenya sendiri. Namun memang seperti itu karakter adiknya selalu tidak mau tersaingi meskipun dengan keponakannya sendiri.Yuna termenung dikamar pengantinnya, kini Darel suaminya dan juga suami orang lain telah dia milik
Wina menatap miris kelakuan anak perempuannya. Terlihat tanpa merasa bersalah Yuna malah memperlihatkan kemesraannya bersama Darel. Hati perempuan mana yang rela suaminya diambil oleh perempuan lain.Wina tidak pernah bermimpi memiliki anak yang punya kemampuan merusak rumah tangga orang lain. Ayahnya Yuna sebenarnya dari dulu sudah berusaha mati-matian memisahkan Yuna dari Darel.Namun usahanya menjadi sia-sia saat Om Tris melihat sendiri bagaimana Yuna sangat bergantung pada Darel. Yuna yang selalu menempel pada Darel, bahkan Wina sebagai ibunya sudah sering menasehati anak perempuannya agar tidak salah dalam melangkah.Tidak ada yang menyangka sama sekali keputusan mereka sebagai orangtua menyekolahkan anaknya keluar kota dengan harapan bisa menjauhkan Yuna dari Darel malah mempermudah pertemuan mereka.Justru dengan Yuna hidup sendiri di Bandung maka pengawasan dari orangtuanya semakin melemah. Mereka jadi bisa lebih sering bertemu dan memadu kasih setiap saat tanpa ada yang bisa