Share

6. Kepergian Papa

Malam itu seperti biasanya, Mama sedang asyik nonton sinetron kesayangannya yang berseri entah ke berapa. Yang aku tahu sinetron itu sudah beberapa ratus episode, sedangkan aku memang tidak menyukai sinetron sama sekali. Papa juga menemani Mama sambil minum kopi buatan Mama.

Tiba-tiba aku melihat Papaku memegang dadanya, aku langsung panik membangunkan Mama yang sempat tertidur saat nonton sinetron. Akhirnya kami serumah heboh melihat kondisi Papa. Beruntungnya Mas Arsya masih dirumah dan belum berangkat dinas. Kami segera membawa Papa ke rumah sakit.

Sepanjang perjalanan kami semua berdoa untuk kesembuhan Papa. Mama sejak tadi sudah menangis terisak, adikku memeluk Mama dan mengusap punggungnya berkali-kali agar Mama tenang. Sesampainya di rumah sakit, suamiku langsung membawa Papa ke IGD, dan segera menemui temannya yang bertugas malam ini di sana.

Setelah diperiksa secara teliti oleh dokter, tiba-tiba dokter itu membisiki sesuatu kepada suamiku. Wajah suamiku langsung berubah pucat dan berkata "Innalillahi wa inna illaihi roji'uun..sambil menoleh padaku. Aku yang baru mengerti jika Papaku sudah tiada, melirik Mama disampingku yang sudah mematung tidak percaya.

Aku segera memeluk Mamaku bersama Nadine adikku, Syena langsung sigap meminta mengurus jenazah Papa agar tidak terlalu lama dirumah sakit. Kami disarankan untuk segera membawa pulang jenazah Papa ke rumah. Kini aku berada dalam pelukan suamiku, dia khawatir karena aku sedang berbadan dua. Aku menangis pilu, mengingat sosok Papa yang begitu menyayangiku.

Aku sadar kalau kasih sayang Papa padaku berbeda dengan adik-adikku. Papa terlalu bangga dengan semua keberhasilanku dalam pendidikanku. Namun Papa kecewa dengan pernikahanku yang tidak sesuai dengan harapannya. Aku tahu Papa terlalu terluka dan belum bisa menerima pernikahanku dengan Arsya,namun Papa tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya pasrah.

Kami segera pulang menyiapkan semua kebutuhan untuk pemakaman Papa. Tetanggapun mulai berdatangan mengucapkan bela sungkawa untuk keluarga kami. Aku tidak ikut ke pemakaman Papa karena kandunganku sudah membesar, keluarga menyarankan aku untuk tetap tinggal untuk menyambut tamu yang datang.

Papa tidak meninggalkan wasiat apapun kepada kami, kepergian Papa secara mendadak benar-benar mengejutkan kami. Setelah tiga bulan kepergian Papa, aku mendapatkan telfon dari Farel.

"Dyara, apa kabar. Kini aku merasakan ingin sekali menikah. " Aku hanya terdiam mendengar kata-kata Farel. "Maafkan aku Dyara, kini teman-temanku banyak yang sudah menikah. " Aku hanya menjawab, "Menikahlah jika memang kamu sudah siap. "

Dalam hati aku menggerutu, ngapain juga ngasih tahu kalau dia ingin menikah. Tidak ada urusannya lagi denganku. Farel terdiam, kemudian dia mengatakan ingin menikah dengan orang yang seperti aku.

Heh, lelucon macam apa lagi ini. Aku sedang tidak berselera untuk bercanda. Aku memegang perutku yang semakin membesar, kurasakan tendangan anakku yang cukup keras hingga membuatku mengeluarkan suara mengaduh.

Farel yang mendengarnya mengernyitkan keningnya, "Kamu tidak apa-apa kan Dyara, atau kamu sedang tidak sehat? " Nada suara Farel terdengar sangat khawatir.

Aku berdehem sambil mengelus-elus perutku. "Aku sedang hamil Rel, maaf kalau suaraku tadi membuatmu terganggu. "

Farel terpana diseberang sana, ternyata Dyara sudah hamil. Farel benar-benar kehabisan kata-kata. Tidak disangka sama sekali Dyara diberi momongan secepat itu.

Setelah tidak mendapat jawaban dari Farel, Dyara berkata ditelfon, "Carilah pendamping yang baik semoga kamu berbahagia menikah dengan pilihanmu."

Dyara langsung menutup telfonnya sepihak.

Dyara sudah tidak dapat lagi menahan tangisnya, hatinya sedih bukan main. Dyara menyesali ketidaktegasan Farel. Padahal dulu dia sudah bilang bersedia menunggu, kini hanya dalam kurun waktu beberapa bulan Farel ingin menikahinya.

Isakan Dyara tertahan sesaat ketika bunyi dering telfon kembali menggema ditelinganya. Dyara pikir Farel yang kembali menghubunginya, ternyata setelah dilirik gawainya nama pengirimnya Tari, kerabatnya dari yang tinggal di ibukota.

Dyara mengambil kembali hpnya dan menjawabnya. "Dyaraaa, lama banget sih ngangkat telfonnya. Kamu lagi sibuk ya, aku sampai dibiarkan meleleh nih!! "

Tari dengan tawanya yang renyah menggodaku, aku hanya tersenyum malu.

"Iya Tari, maaf yaaa.. Ada kabar apa nih tumben telfon akuu.. " Aku mencoba seceria mungkin agar suara sengauku tertutup akibat menangis tadi.

"Ini loh, tadi Farel telfon aku. Oh iya sampai lupa nanyain kabar penganten baru nih. Sudah berbadan dua beluum? "

Aku kaget mengetahui Farel juga ternyata menghubungi Tari. Farel tahu aku dekat dengan Tari dan sering berbagi cerita dengannya. Tari juga memberikan hadiah untukku sebelum pernikahan dilaksanakan.

Kata Tari untuk menambah barang seserahanku. Sajadah yang berukuran besar dan tebal dan didapat langsung dari Mekkah saat suaminya melakukan umroh dengan jama'ahnya.

Suami Tari memang bekerja di Travel Umroh dan Haji, tepatnya sih dia ownernya. Begitu juga dengan Tari, dia juga bekerja ditravel yang berbeda dengan suaminya namun sama-sama berkecimpung di Umroh dan Haji.

Tari akhirnya menceritakan obrolannya dengan Farel, sebelum Farel menelfonku. Aku lagi-lagi terdiam tidak berdaya. Tari bilang Farel hanya ingin menikah denganku, kalaupun ada yang sama seperti aku maka dia bersedia melamarnya.

Pertahananku akhirnya jebol juga, aku kembali terisak ditelfon. Tari mencoba memotivasi aku agar tidak terlalu memikirkan kata-kata Farel. Aku meraung terluka, aku tidak terima diperlakukan Farel seperti ini.

Tari juga mengatakan kalau dia akhirnya sempat memaki Farel karena kebodohannya. Farel juga menerima kekesalannya, Tari benar-benar marah melihat Farel yang plin-plan tidak punya ketegasan dalam pendirian.

Tari memohon maaf padaku karena tidak bisa membantuku, apalagi setelah mendengar aku sudah hamil. Tari hanya bisa mensupport aku agar kuat menghadapi cobaanNya.

Ternyata aku semakin sakit setelah menerima kabar dari Tari. Aku juga tidak habis fikir, bagaimana mungkin Farel tidak menyadari perbuatannya yang membuat aku semakin geram.

Tiba-tiba perutku terasa kram, mungkin karena emosiku sudah memuncak sejak menerima telfon dari Farel dan dilanjutkan oleh Tari. Aku sangat berterimakasih karena Tari mau menyampaikan perasaan Farel yang sebenarnya kepadanya.

Namun semuanya sia-sia, aku tentu saja tidak mau melihat Mamaku mati berdiri menahan malu kalau sampai anak perempuannya melarikan diri dengan mantan pacarnya dalam kondisi hamil.

Kondisi Mamaku saja masih belum pulih pasca ditinggalkan oleh Papa. Aku tidak mau beban pikiran Mama semakin bertambah gara-gara memikirkan aku. Aku bukan tipe anak yang suka memberontak pada orangtuanya, terbukti aku menikah dengan Arsya juga karena keinginan Mamaku.

***

Kudengar dari Tari, Farel kini sudah pindah lokasi kerjanya, tidak lagi di ibukota tapi sudah pindah tugas ke Manado. Aku tidak tahu alasan Farel pindah ke Manado, karena aku juga tidak mau terluka lagi.

Lebih baik aku konsentrasi dengan kelahiran anakku yang tinggal satu bulan lagi. Aku sudah mulai mencoba menerima takdirku dan menghapus semua kenanganku bersama Farel.

Saat tiba kelahiran anakku, aku merasakan kontraksi dalam perutku. Namun aku masih bisa menahan rasa sakitnya. Tiba-tiba aku melihat flek, ada darah dikewanitaanku sehingga suamiku langsung membawaku ke rumah sakit tempat dia bertugas.

Sampai dirumah sakit ternyata masih belum lengkap pembukaan untuk melahirkannya, aku menunggu dan menginap dirumah sakit. Sampai dengan pembukaan 8, tidak ada lagi kemajuan, tidak ada kontraksi lagi. Sampai akhirnya dicoba dengan didorong disuntik agar terasa mulas.

Mungkin anakku masih betah dalam kandungan ibunya. Dia bertahan didalam kandunganku sedangkan setelah habis 4 labu untuk mendorong bayi agar bisa keluar menyebabkan aku harus menahan sakit yang luar biasa.

Kondisi ini berlangsung satu hari penuh, hingga dokter akhirnya memutuskan untuk melakukan operasi Caesar agar aku segera bisa melahirkan. Melihat kondisiku yang sudah lemah dengan bibir membiru tentu saja membuat cemas semua anggota keluargaku.

Hingga tindakan operasi segera dilaksanakan, aku sudah pasrah tidak mau memikirkan apa-apa lagi. Yang aku utamakan kini adalah keselamatan anakku. Aku khawatir terjadi sesuatu pada anakku.

Awalnya dokter mau melakukan induksi yaitu proses untuk merangsang kontraksi rahim sebelum kontraksi alami terjadi. Proses ini bertujuan untuk mempercepat proses persalinan.

Namun suamiku menolak, karena melihat kondisiku sudah semakin melemah dan ketuban diperutku juga sudah pecah sehingga dikhawatirkan dapat menyebabkan komplikasi yang bisa membahayakan nyawa ibu dan janinnya.

Akhirnya pihak rumah sakit setuju dan segera menyiapkan ruang operasi. Aku juga siap-siap diantarkan ke ruang operasi. Hatiku jelas berdebar tidak karuan, yang kutakutkan bukan kematianku tapi keselamatan anakku.

Aku berdoa agar bayi dalam kandunganku selamat dan sempurna  tidak kurang apapun. Sambil menunggu kemudian perawat memberikan suntikan bius kepadaku. Aku terpejam karena lelah dan ngantuk akhirnya aku terlelap  sampai tersadar setelah didalam perutku sudah tidak ada lagi kehidupan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status