Malam itu seperti biasanya, Mama sedang asyik nonton sinetron kesayangannya yang berseri entah ke berapa. Yang aku tahu sinetron itu sudah beberapa ratus episode, sedangkan aku memang tidak menyukai sinetron sama sekali. Papa juga menemani Mama sambil minum kopi buatan Mama.
Tiba-tiba aku melihat Papaku memegang dadanya, aku langsung panik membangunkan Mama yang sempat tertidur saat nonton sinetron. Akhirnya kami serumah heboh melihat kondisi Papa. Beruntungnya Mas Arsya masih dirumah dan belum berangkat dinas. Kami segera membawa Papa ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan kami semua berdoa untuk kesembuhan Papa. Mama sejak tadi sudah menangis terisak, adikku memeluk Mama dan mengusap punggungnya berkali-kali agar Mama tenang. Sesampainya di rumah sakit, suamiku langsung membawa Papa ke IGD, dan segera menemui temannya yang bertugas malam ini di sana. Setelah diperiksa secara teliti oleh dokter, tiba-tiba dokter itu membisiki sesuatu kepada suamiku. Wajah suamiku langsung berubah pucat dan berkata "Innalillahi wa inna illaihi roji'uun..sambil menoleh padaku. Aku yang baru mengerti jika Papaku sudah tiada, melirik Mama disampingku yang sudah mematung tidak percaya. Aku segera memeluk Mamaku bersama Nadine adikku, Syena langsung sigap meminta mengurus jenazah Papa agar tidak terlalu lama dirumah sakit. Kami disarankan untuk segera membawa pulang jenazah Papa ke rumah. Kini aku berada dalam pelukan suamiku, dia khawatir karena aku sedang berbadan dua. Aku menangis pilu, mengingat sosok Papa yang begitu menyayangiku. Aku sadar kalau kasih sayang Papa padaku berbeda dengan adik-adikku. Papa terlalu bangga dengan semua keberhasilanku dalam pendidikanku. Namun Papa kecewa dengan pernikahanku yang tidak sesuai dengan harapannya. Aku tahu Papa terlalu terluka dan belum bisa menerima pernikahanku dengan Arsya,namun Papa tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya pasrah. Kami segera pulang menyiapkan semua kebutuhan untuk pemakaman Papa. Tetanggapun mulai berdatangan mengucapkan bela sungkawa untuk keluarga kami. Aku tidak ikut ke pemakaman Papa karena kandunganku sudah membesar, keluarga menyarankan aku untuk tetap tinggal untuk menyambut tamu yang datang. Papa tidak meninggalkan wasiat apapun kepada kami, kepergian Papa secara mendadak benar-benar mengejutkan kami. Setelah tiga bulan kepergian Papa, aku mendapatkan telfon dari Farel. "Dyara, apa kabar. Kini aku merasakan ingin sekali menikah. " Aku hanya terdiam mendengar kata-kata Farel. "Maafkan aku Dyara, kini teman-temanku banyak yang sudah menikah. " Aku hanya menjawab, "Menikahlah jika memang kamu sudah siap. " Dalam hati aku menggerutu, ngapain juga ngasih tahu kalau dia ingin menikah. Tidak ada urusannya lagi denganku. Farel terdiam, kemudian dia mengatakan ingin menikah dengan orang yang seperti aku. Heh, lelucon macam apa lagi ini. Aku sedang tidak berselera untuk bercanda. Aku memegang perutku yang semakin membesar, kurasakan tendangan anakku yang cukup keras hingga membuatku mengeluarkan suara mengaduh. Farel yang mendengarnya mengernyitkan keningnya, "Kamu tidak apa-apa kan Dyara, atau kamu sedang tidak sehat? " Nada suara Farel terdengar sangat khawatir. Aku berdehem sambil mengelus-elus perutku. "Aku sedang hamil Rel, maaf kalau suaraku tadi membuatmu terganggu. " Farel terpana diseberang sana, ternyata Dyara sudah hamil. Farel benar-benar kehabisan kata-kata. Tidak disangka sama sekali Dyara diberi momongan secepat itu. Setelah tidak mendapat jawaban dari Farel, Dyara berkata ditelfon, "Carilah pendamping yang baik semoga kamu berbahagia menikah dengan pilihanmu." Dyara langsung menutup telfonnya sepihak. Dyara sudah tidak dapat lagi menahan tangisnya, hatinya sedih bukan main. Dyara menyesali ketidaktegasan Farel. Padahal dulu dia sudah bilang bersedia menunggu, kini hanya dalam kurun waktu beberapa bulan Farel ingin menikahinya. Isakan Dyara tertahan sesaat ketika bunyi dering telfon kembali menggema ditelinganya. Dyara pikir Farel yang kembali menghubunginya, ternyata setelah dilirik gawainya nama pengirimnya Tari, kerabatnya dari yang tinggal di ibukota. Dyara mengambil kembali hpnya dan menjawabnya. "Dyaraaa, lama banget sih ngangkat telfonnya. Kamu lagi sibuk ya, aku sampai dibiarkan meleleh nih!! " Tari dengan tawanya yang renyah menggodaku, aku hanya tersenyum malu. "Iya Tari, maaf yaaa.. Ada kabar apa nih tumben telfon akuu.. " Aku mencoba seceria mungkin agar suara sengauku tertutup akibat menangis tadi. "Ini loh, tadi Farel telfon aku. Oh iya sampai lupa nanyain kabar penganten baru nih. Sudah berbadan dua beluum? " Aku kaget mengetahui Farel juga ternyata menghubungi Tari. Farel tahu aku dekat dengan Tari dan sering berbagi cerita dengannya. Tari juga memberikan hadiah untukku sebelum pernikahan dilaksanakan. Kata Tari untuk menambah barang seserahanku. Sajadah yang berukuran besar dan tebal dan didapat langsung dari Mekkah saat suaminya melakukan umroh dengan jama'ahnya. Suami Tari memang bekerja di Travel Umroh dan Haji, tepatnya sih dia ownernya. Begitu juga dengan Tari, dia juga bekerja ditravel yang berbeda dengan suaminya namun sama-sama berkecimpung di Umroh dan Haji. Tari akhirnya menceritakan obrolannya dengan Farel, sebelum Farel menelfonku. Aku lagi-lagi terdiam tidak berdaya. Tari bilang Farel hanya ingin menikah denganku, kalaupun ada yang sama seperti aku maka dia bersedia melamarnya. Pertahananku akhirnya jebol juga, aku kembali terisak ditelfon. Tari mencoba memotivasi aku agar tidak terlalu memikirkan kata-kata Farel. Aku meraung terluka, aku tidak terima diperlakukan Farel seperti ini. Tari juga mengatakan kalau dia akhirnya sempat memaki Farel karena kebodohannya. Farel juga menerima kekesalannya, Tari benar-benar marah melihat Farel yang plin-plan tidak punya ketegasan dalam pendirian. Tari memohon maaf padaku karena tidak bisa membantuku, apalagi setelah mendengar aku sudah hamil. Tari hanya bisa mensupport aku agar kuat menghadapi cobaanNya. Ternyata aku semakin sakit setelah menerima kabar dari Tari. Aku juga tidak habis fikir, bagaimana mungkin Farel tidak menyadari perbuatannya yang membuat aku semakin geram. Tiba-tiba perutku terasa kram, mungkin karena emosiku sudah memuncak sejak menerima telfon dari Farel dan dilanjutkan oleh Tari. Aku sangat berterimakasih karena Tari mau menyampaikan perasaan Farel yang sebenarnya kepadanya. Namun semuanya sia-sia, aku tentu saja tidak mau melihat Mamaku mati berdiri menahan malu kalau sampai anak perempuannya melarikan diri dengan mantan pacarnya dalam kondisi hamil. Kondisi Mamaku saja masih belum pulih pasca ditinggalkan oleh Papa. Aku tidak mau beban pikiran Mama semakin bertambah gara-gara memikirkan aku. Aku bukan tipe anak yang suka memberontak pada orangtuanya, terbukti aku menikah dengan Arsya juga karena keinginan Mamaku. *** Kudengar dari Tari, Farel kini sudah pindah lokasi kerjanya, tidak lagi di ibukota tapi sudah pindah tugas ke Manado. Aku tidak tahu alasan Farel pindah ke Manado, karena aku juga tidak mau terluka lagi. Lebih baik aku konsentrasi dengan kelahiran anakku yang tinggal satu bulan lagi. Aku sudah mulai mencoba menerima takdirku dan menghapus semua kenanganku bersama Farel. Saat tiba kelahiran anakku, aku merasakan kontraksi dalam perutku. Namun aku masih bisa menahan rasa sakitnya. Tiba-tiba aku melihat flek, ada darah dikewanitaanku sehingga suamiku langsung membawaku ke rumah sakit tempat dia bertugas. Sampai dirumah sakit ternyata masih belum lengkap pembukaan untuk melahirkannya, aku menunggu dan menginap dirumah sakit. Sampai dengan pembukaan 8, tidak ada lagi kemajuan, tidak ada kontraksi lagi. Sampai akhirnya dicoba dengan didorong disuntik agar terasa mulas. Mungkin anakku masih betah dalam kandungan ibunya. Dia bertahan didalam kandunganku sedangkan setelah habis 4 labu untuk mendorong bayi agar bisa keluar menyebabkan aku harus menahan sakit yang luar biasa. Kondisi ini berlangsung satu hari penuh, hingga dokter akhirnya memutuskan untuk melakukan operasi Caesar agar aku segera bisa melahirkan. Melihat kondisiku yang sudah lemah dengan bibir membiru tentu saja membuat cemas semua anggota keluargaku. Hingga tindakan operasi segera dilaksanakan, aku sudah pasrah tidak mau memikirkan apa-apa lagi. Yang aku utamakan kini adalah keselamatan anakku. Aku khawatir terjadi sesuatu pada anakku. Awalnya dokter mau melakukan induksi yaitu proses untuk merangsang kontraksi rahim sebelum kontraksi alami terjadi. Proses ini bertujuan untuk mempercepat proses persalinan. Namun suamiku menolak, karena melihat kondisiku sudah semakin melemah dan ketuban diperutku juga sudah pecah sehingga dikhawatirkan dapat menyebabkan komplikasi yang bisa membahayakan nyawa ibu dan janinnya. Akhirnya pihak rumah sakit setuju dan segera menyiapkan ruang operasi. Aku juga siap-siap diantarkan ke ruang operasi. Hatiku jelas berdebar tidak karuan, yang kutakutkan bukan kematianku tapi keselamatan anakku. Aku berdoa agar bayi dalam kandunganku selamat dan sempurna tidak kurang apapun. Sambil menunggu kemudian perawat memberikan suntikan bius kepadaku. Aku terpejam karena lelah dan ngantuk akhirnya aku terlelap sampai tersadar setelah didalam perutku sudah tidak ada lagi kehidupan.Mataku perlahan mulai terbuka suasana rumah sakit masih tercium aromanya, rasa pusing seketika mendera kepalaku. Perutku rasanya mual luar biasa, aku langsung meminta orang yang ada didekatku untuk menyiapkan tempat agar aku bisa mengeluarkan isi perutku. Setelah selesai aku langsung lemas dan kembali tertidur. Kepalaku rasanya masih melayang, rasanya dunia juga berputar. Mungkin efek obat biusnya masih bekerja sehingga aku masih belum sadar sepenuhnya. Kudengar keluarga yang menjaga disekitarku bernafas lega setelah melihat aku sadar sesaat. Mamaku yang sedari awal mendampingiku dirumah sakit sampai tidak fokus karena melihat aku seperti tersiksa dengan rasa sakit yang cukup lama. Biasanya Mama orang yang paling tenang jika kita mengalami musibah atau kejadian yang membutuhkan tenaga ekstra. Namun kini melihat anaknya sendiri yang berjuang untuk melahirkan cucunya membuatnya tidak bisa melakukan apapun termasuk berdoa. Adik-adikku juga sempat keheranan melihat Mama bolak-balik ke
Arsya tidak menyangka jika istrinya langsung kabur karena marah pada dirinya. Arsya merasa kebingungan, apalagi melihat Alea mulai berjalan tertatih ingin memeluknya.Tidak banyak kata Arsya segera meraih Alea dalam pelukannya. Arsya segera mengambil kunci motornya untuk segera menyusul Dyara. Hatinya kini kacau, tidak dihiraukan perutnya yang sudah keroncongan sejak tadi.Arsya merasa bersalah terhadap Dyara, kata-katanya tadi memang sudah kelewat batas. Namun sebenarnya dia tidak bermaksud seperti itu. Kondisinya saat itu yang sedang lelah dan lapar sehingga memicu emosinya menjadi tinggi.Dalam perjalanan sambil memangku Alea, Arsya menjalankan motornya dengan hati-hati. Arsya yakin istrinya akan pulang ke rumah mertuanya. Arsya hanya bisa berdoa semoga ibu mertuanya tidak salah paham padanya.Sementara itu Dyara masih diam didalam kamar adiknya, dia enggan bicara apapun. Mulutnya terkunci, rasa lelah menderanya hingga netranya perlahan menutup. Dyara tertidur, suara dengkuran halu
Pernikahan Syena telah usai beberapa hari yang lalu. Kami masih cukup lelah, masih banyak barang-barang yang berserakan disana-sini. Kami mulai membereskannya satu persatu.Aku melirik kamar Syena masih tertutup rapat, yang aku tahu dari pagi Syena sudah berangkat kerja. Aku memang sengaja ke rumah Mama untuk membantu Mama membersihkan sampah yang masih terlihat dibeberapa tempat.Sambil membawa Alea aku duduk merapikan beberapa barang yang ada didekatku. Tanpa sengaja aku mendengar Mama menggerutu, "Enak betul jadi suami pengangguran, jam segini masih molor. Nggak punya malu pisan. Istrinya dari pagi sudah berangkat kerja. Kamu salah milih suami Syena! "Aku terdiam beberapa saat sambil kembali melirik kamar Syena. Aku khawatir tiba-tiba Ridwan nongol mendengar omelan Mamaku. Tapi iya juga sih, seorang laki-laki kalau sudah jadi imam atau pemimpin dalam rumah tangga seharusnya sudah paham tanggungjawab yang ada dipundaknya.Ridwan memang keterlaluan, aku juga jadi merasa iba kepada a
Arsya menjemput Dyara dengan Alea dari rumah mertuanya. Kami tiba dirumah dan segera membersihkan diri. Sedangkan Alea terlelap sepanjang perjalanan tadi.Aku masih dalam mode diam, rasanya malas untuk bicara. Dari pada kata-kataku membuat sakit hati, aku lebih baik diam. Arsya berusaha membuka percakapan lebih dulu, dan menganggap kami baik-baik saja.Aku hanya menoleh sekilas sambil membaringkan Alea ke tempat tidur. Arsya menanyakan kabar Mama yang mendapat anggota baru dirumahnya yaitu Ridwan. Aku tidak menjawab banyak, namun kesempatan itu aku gunakan untuk meminta ijin padanya agar aku diperbolehkan bekerja lagi.Arsya terdiam sesaat kemudian menganggukkan kepalanya. Dalam hati aku bersorak, jika aku bekerja maka otomatis frekuensi pertemuanku dengan suamiku lebih sedikit. Entah sampai kini masih belum ada rasa cinta untuknya.Aku melayaninya hanya menggugurkan kewajibanku sebagai istri. Tidak ada unsur pendukung lainnya. Arsya memang bukan laki-laki yang taat beragama, sholatny
Setelah menempati rumah baru rasanya lebih plong bisa bernafas dengan lega, karena tidak memikirkan lagi bayar kontrakan rumah. Tidak lama kemudian ditahun ke lima pernikahanku dengan Arsya, aku kembali diberi kepercayaan mendapat momongan kembali.Aku merasa kehamilanku kali ini tidak menyusahkan dibanding dengan yang pertama. Karena memang tidak terasa seperti hamil, aku melakukan aktifitas seperti biasa. Bahkan aku menerima tawaran bekerja di tempat lain.Jam mengajarku sebenarnya sudah banyak namun aku masih bisa membagi waktuku. Aku tidak merasakan gejala apapun, bahkan seperti tidak sedang berbadan dua.Saat kami periksa ke dokter kandungan, beliau sudah bilang kalau janinnya masih belum berkembang, jadi aku pikir kondisi tubuhku masih baik-baik saja. Sehingga tidak ada sedikitpun kekhawatiran dariku.Ternyata menginjak dibulan ke tiga, aku mengalami pendarahan. Namun karena kondisi tersebut dialami saat dirumah, aku masih bisa melakukan aktifitas seperti biasanya. Hanya terasa
Ketika dalam perjalanan pulang ternyata ada seorang perempuan hamil menyebrang tanpa melihat ke kanan dan kiri. Dia nyelonong tanpa dosa, Arsya yang sedang lewat tentu saja langsung ngerem mendadak.Yang menyebrang tetap berjalan melenggang sedangkan motor Arsya langsung terlempar dimana posisi Arsya tertindih oleh motornya. Motor yang dinaiki Arsya memang motor besar sehingga jika menimpa tubuhnya pasti akan sakit.Arsya langsung dibantu warga setempat, sedangkan perempuan yang menyebrang tadi tidak merasa kalau dia yang menyebabkan suamiku terjatuh. Malah setelah itu, perempuan ini meminta ganti rugi.Padahal dia tidak apa-apa, malah tidak ada luka sedikitpun. Tentu saja Arsya merasa geram, sedangkan kakaknya masih menunggu di motor bersama ibunya. Mereka tidak membantu Arsya sama sekali.Aku yang mendengar cerita Arsya saja sudah mulai geregetan. Apalagi setelah mendengar ceritanya seperti itu, dan gilanya lagi ibu Arsya tetap memaksa kakak Arsya untuk mengantarkannya ke rumah mbak
Aku pergi ke rumah Mama bersama Alea, karena rumahku sekarang lebih dekat dengan rumah Mama. Aku ingin berbagi cerita dengan Mamaku. Aku juga ingin Mama tahu kejengkelanku pada keluarga Arsya.Kutinggalkan Arsya bersama ibunya, dari pada aku muak melihat tingkah mereka yang penuh drama. Apalagi ibu mertua berniat menginap dirumahku. Biarlah dia yang mengurus Arsya selama kutinggalkan.Pekerjaanku sudah selesai, aku dan Alea makan dulu baru ke rumah Mama. Sesampainya disana Mama menyambutku dan langsung menggendong Alea. Berbeda sekali dengan perlakuan ibu Arsya, melihat Alea mungkin seperti melihat orang lain bukan seperti perlakuan nenek ke cucunya.Boro-boro mau menggendong, memeluk saja tidak, jadi jangan salahkan Alea jika sampai sekarangpun Alea enggan mendekati ibu mertuaku. Aku merasa miris dengan sikap ibu mertuaku, kasih sayang untuk anaknya saja dia bedakan. Ehh ternyata begitu juga dengan cucu-cucunya.Kini aku sedang menikmati kebersamaanku dengan keluargaku, biarlah Arsya
Ternyata Winda diam-diam mengetahui pernikahan Yuna dan Darel di KUA kemarin. Namun dia terlambat mendapatkan informasi tersebut. Winda merasa kesal karena tidak bisa menggagalkan pernikahan mereka lagi.Winda benar- benar tidak suka melihat Yuna sudah bahagia bersama Darel. Usahanya kini sia-sia saja, namun Winda masih berusaha meracuni pikiran istrinya Darel. Winda yakin kali ini Sarah pasti tidak akan tinggal diam setelah mengetahui suaminya sudah resmi menikahi keponakannya.Wina merasa terluka dengan perbuatan adiknya, padahal dirinya selalu sayang dan memperhatikannya. Apalagi setelah bapak mereka tiada, Wina selalu ingat dan berbagi dengan adiknya.Mendapat balasan seperti ini hatinya seperti tercabik, Wina tidak terima putrinya diperlakukan seperti itu oleh tantenya sendiri. Namun memang seperti itu karakter adiknya selalu tidak mau tersaingi meskipun dengan keponakannya sendiri.Yuna termenung dikamar pengantinnya, kini Darel suaminya dan juga suami orang lain telah dia milik