Aku harus mulai membuang semua kenanganku bersama Farel, karena bagaimanapun kini aku sudah menjadi istri Arsya. Aku harus menghormatinya karena aku sudah memutuskan untuk menerima Arsya sebagai suamiku.
Diawal pernikahan aku mulai mendapat teror yang kurang enak dari ibu mertuaku. Suamiku diwajibkan setiap hari mengunjungi rumah orangtuanya. Namun aku tidak keberatan karena menurutku anak laki-laki memang hak ibunya. Untuk urusan keuangan aku menerima gaji suamiku yang ternyata sudah mendapat potongan cicilan dari bank. Suamiku bilang itu karena sisa cicilan saat dia kuliah, katanya biaya kuliahnya ditanggung sendiri. Aku sempat mengernyit heran, masalahnya honorku dulu jauh lebih besar dari gaji yang kuterima dari suamiku dan aku hanya bisa pasrah menerimanya. Kemudian semua pendapatan suamiku yang diluar gaji juga diminta oleh ibu mertuaku, sekali lagi aku hanya bisa mengelus dadaku yang sesak. Aku akhirnya bersikap tidak peduli lagi, terserahlah. Namun setelah melihat kondisiku seperti ini rasanya aku ingin bekerja kembali. Padahal keinginanku tadinya adalah cukup menjadi ibu rumah tangga yang mengurus semua keperluan di rumah. Ternyata tidak enak, aku yang terbiasa mandiri dan tidak suka meminta. Kini hal itu harus terjadi padaku. Dan yang paling membuat aku murka ketika suamiku menanyakan kemana perginya uang gajinya yang tidak seberapa itu belum satu bulan sudah habis. Suamiku mencurigai aku sudah memberikan sebagian gajiku untuk keluargaku. Padahal untuk makan sehari-hari saja aku masih diberi oleh ibuku. Disitulah kebencianku semakin memuncak, tekadku untuk bekerja semakin besar demi menjaga harga diriku yang tercabik. Jangankan untuk membeli make up dan baju. Untuk kebutuhan dapur saja aku masih dibantu keluargaku. Boro-boro untuk jalan-jalan dan makan diluar. Padahal dulu saat aku bekerja, aku bisa memenuhi kebutuhan orangtuaku bahkan aku sering membelikan barang-barang bagus seperti tas, baju, supatu bahkan cincin emas untuk adik-adikku dan ibuku. Kini untuk diri sendiripun tak mampu. Terkadang memang ada rasa penyesalan karena ternyata menikah tanpa rasa itu tidaklah mudah menjalaninya. *** Aku ternyata langsung diberi kepercayaan oleh Allah diberi momongan dengan cepat, aku tentu saja senang tapi sekaligus sedih. Aku merasa tidak nyaman sama sekali dengan kondisiku kini. Mamaku kini tidak pernah mengomentari apapun setelah melihat sendiri bagaimana kehidupanku setelah menikah. Aku yang biasanya setiap bulan selalu memberi Mama dan adik-adikku kini harus gigit jari karena aku sudah tidak bekerja lagi. Apalagi Papaku yang semakin irit bicara, aku rindu Papaku yang dulu. Kami sering berbagi cerita dan tawa, kadang kami suka pergi menghabiskan waktu bersama. Menikmati liburan dikala senja, menatap matahari yang akan tenggelam dari singgasananya. Momen itu kini tidak ada lagi, hanya memikirkan kesibukan masing-masing. Aku yang terbiasa bekerja jadi sering bingung, sampai aku akhirnya mencoba menerima pesanan kue lebaran saat itu. Alhamdulillah ternyata lumayan bisa untuk menambah pemasukan dapurku. Namun karena kandunganku semakin besar, akhirnya aku berhenti dulu membuat kue. Saat kandunganku masuk di usia 12 minggu, aku baru bisa makan nasi. Selama ini aku hanya makan buah dan sayur karena sering merasa mual. Kondisiku ini membuatku tidak bisa melakukan pekerjaan dengan cepat. Aku juga sering merasa cepat lelah. *** Pulang bekerja, Papa hanya melirikku sekilas karena melihat aku kepayahan saat mual menyerangku. Entah kenapa akhirnya Mamaku meminta kami tinggal kembali dirumahnya. Namun Mama bilang tidak tega meninggalkan ku sendiri disaat suamiku bekerja. "Assalamu'alaikum, terdengar suara Papa mengucapkan salam saat masuk le rumah. " Dyara, kamu masih muntah-muntah ya. Papa tadi beli rujak buah barangkali kamu suka. " Aku melonjak senang saat Papa memberikan rujak itu. "Makasih Pa, aku langsung menerima dan dengan antusias aku lahap memakannya. Papa tersenyum melihat aku begitu menikmatinya. Aku memang pernah meminta rujak buah di malam hari, tapi Arsya tidak pernah menggubris keinginanku sampai akhirnya hari ini Papa yang membelikan untukku. "Mas,..aku pengen rujak buah yang pedes! " pintaku malam itu. Tapi Arsya bilang sudah malam, besok saja karena dia sudah ngantuk. Aku hanya diam, sejak saat itu aku tidak pernah lagi meminta apa-apa pada suamiku. Mungkin Papa tahu hal itu, sampai hari ini Papa membelikannya. Aku menatap kepergian Papa yang meninggalkanku saat sedang makan sambil tersenyum puas. Aku menyusut ujung mataku yang sudah mengeluarkan air mata haru, begini ya rasanya kalau sedang hamil tapi tidak diperhatikan. Apalagi suamiku sering kena shift malam, bahkan kadang sering menggantikan temannya memiliki anak kecil karena sakit, atau ada keperluan lain. Aku lebih sering ditinggal, makanya Mamaku meminta aku untuk tinggal kembali bersamanya. Sedangkan Arsya sebenarnya merasa keberatan dengan permintaan Mamaku. Dan aku lebih mengikuti keinginan Mamaku, daripada aku tinggal dirumah kontrakan yang jauh kemana-mana juga seram karena rumah kontrakanku dikelilingi rumah-rumah yang kosong, sedangkan rumah itu didepannya ada tanah kosong yang ditanami pohon kacang. Siang hari saat ditinggalpun aku sering takut dan kesepian, hingga aku sering meminta adikku untuk menemaniku. Sedangkan mertua juga keluarga suamiku boro-boro datang menengok, bertanya kabarpun tidak. Aku lagi-lagi merasakan suasana yang tidak enak saat suamiku mengajakku untuk mengunjungi orangtuanya. Sebenarnya selama ini suamiku sering kesana setelah pulang kerja. Tapi kali ini dia ingin mengajakku. Sebenarnya aku agak malas, karena kondisiku juga sedang tidak baik-baik saja. Akhirnya aku memaksakan diriku untuk ikut suamiku demi menghormati beliau. Dan seperti yang sudah kuduga sebelumnya aku memang belum bisa membaur dengan mereka, apalagi kakak-kakak perempuan suamiku sering berbisik-bisik antar mereka. Aku hanya terdiam, memutar bola mataku jengah. Tentu saja membuat aku semakin tidak nyaman berada diantara mereka. Perkenalanku dengan suamiku cukup singkat dan belum mengenal satu sama lain dengan baik. Sehingga aku juga merasa belum bisa mengenali karakter mereka satu persatu. Yang pasti aku masih banyak terkaget-kaget dengan tingkah mereka, ada yang hobinya suka mengatur dan memerintah, ada juga yang senangnya bergosip nyinyirin orang-orang disekitarnya, ada juga yang senangnya membanggakan dirinya. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi kelakuan mereka, sedangkan suamiku sedang asyik bermanja-manja pada ibunya. Aku yang melihat pemandangan seperti itu sama sekali tidak tertarik apalagi tersentuh, karena terlalu drama bagiku. Rasanya aku ingin segera menyudahi pertemuan keluarga ini, aku ingin beristirahat dan santai dirumah. Tapi kulihat suamiku malah bergerak ke dapur mencari makanan. Karena postur suamiku tinggi besar, jadi porsi makannya bisa tiga kali lipat dariku yang bertubuh mungil dibandingkan mereka. Keluarga suamiku rata-rata makannya banyak baik yang laki-laki maupun perempuan. Kadang aku makan bersama mereka rasanya sudah kenyang duluan melihat porsi makannya yang rata-rata berukuran jumbo. Ah, tapi sudahlah aku tidak mau memikirkan itu. Kini aku hanya ingin fokus memberi asupan nutrisi yang lebih baik untukku juga calon anakku ini. Aku memang tidak bisa makan dengan porsi besar, namun karena kini ada kehidupan lain juga diperutku. Maka mau tidak mau porsi makanku harus ditambah demi perkembangan jabang bayiku.Malam itu seperti biasanya, Mama sedang asyik nonton sinetron kesayangannya yang berseri entah ke berapa. Yang aku tahu sinetron itu sudah beberapa ratus episode, sedangkan aku memang tidak menyukai sinetron sama sekali. Papa juga menemani Mama sambil minum kopi buatan Mama.Tiba-tiba aku melihat Papaku memegang dadanya, aku langsung panik membangunkan Mama yang sempat tertidur saat nonton sinetron. Akhirnya kami serumah heboh melihat kondisi Papa. Beruntungnya Mas Arsya masih dirumah dan belum berangkat dinas. Kami segera membawa Papa ke rumah sakit.Sepanjang perjalanan kami semua berdoa untuk kesembuhan Papa. Mama sejak tadi sudah menangis terisak, adikku memeluk Mama dan mengusap punggungnya berkali-kali agar Mama tenang. Sesampainya di rumah sakit, suamiku langsung membawa Papa ke IGD, dan segera menemui temannya yang bertugas malam ini di sana.Setelah diperiksa secara teliti oleh dokter, tiba-tiba dokter itu membisiki sesuatu kepada suamiku. Wajah suamiku langsung berubah pucat
Mataku perlahan mulai terbuka suasana rumah sakit masih tercium aromanya, rasa pusing seketika mendera kepalaku. Perutku rasanya mual luar biasa, aku langsung meminta orang yang ada didekatku untuk menyiapkan tempat agar aku bisa mengeluarkan isi perutku. Setelah selesai aku langsung lemas dan kembali tertidur. Kepalaku rasanya masih melayang, rasanya dunia juga berputar. Mungkin efek obat biusnya masih bekerja sehingga aku masih belum sadar sepenuhnya. Kudengar keluarga yang menjaga disekitarku bernafas lega setelah melihat aku sadar sesaat. Mamaku yang sedari awal mendampingiku dirumah sakit sampai tidak fokus karena melihat aku seperti tersiksa dengan rasa sakit yang cukup lama. Biasanya Mama orang yang paling tenang jika kita mengalami musibah atau kejadian yang membutuhkan tenaga ekstra. Namun kini melihat anaknya sendiri yang berjuang untuk melahirkan cucunya membuatnya tidak bisa melakukan apapun termasuk berdoa. Adik-adikku juga sempat keheranan melihat Mama bolak-balik ke
Arsya tidak menyangka jika istrinya langsung kabur karena marah pada dirinya. Arsya merasa kebingungan, apalagi melihat Alea mulai berjalan tertatih ingin memeluknya.Tidak banyak kata Arsya segera meraih Alea dalam pelukannya. Arsya segera mengambil kunci motornya untuk segera menyusul Dyara. Hatinya kini kacau, tidak dihiraukan perutnya yang sudah keroncongan sejak tadi.Arsya merasa bersalah terhadap Dyara, kata-katanya tadi memang sudah kelewat batas. Namun sebenarnya dia tidak bermaksud seperti itu. Kondisinya saat itu yang sedang lelah dan lapar sehingga memicu emosinya menjadi tinggi.Dalam perjalanan sambil memangku Alea, Arsya menjalankan motornya dengan hati-hati. Arsya yakin istrinya akan pulang ke rumah mertuanya. Arsya hanya bisa berdoa semoga ibu mertuanya tidak salah paham padanya.Sementara itu Dyara masih diam didalam kamar adiknya, dia enggan bicara apapun. Mulutnya terkunci, rasa lelah menderanya hingga netranya perlahan menutup. Dyara tertidur, suara dengkuran halu
Pernikahan Syena telah usai beberapa hari yang lalu. Kami masih cukup lelah, masih banyak barang-barang yang berserakan disana-sini. Kami mulai membereskannya satu persatu.Aku melirik kamar Syena masih tertutup rapat, yang aku tahu dari pagi Syena sudah berangkat kerja. Aku memang sengaja ke rumah Mama untuk membantu Mama membersihkan sampah yang masih terlihat dibeberapa tempat.Sambil membawa Alea aku duduk merapikan beberapa barang yang ada didekatku. Tanpa sengaja aku mendengar Mama menggerutu, "Enak betul jadi suami pengangguran, jam segini masih molor. Nggak punya malu pisan. Istrinya dari pagi sudah berangkat kerja. Kamu salah milih suami Syena! "Aku terdiam beberapa saat sambil kembali melirik kamar Syena. Aku khawatir tiba-tiba Ridwan nongol mendengar omelan Mamaku. Tapi iya juga sih, seorang laki-laki kalau sudah jadi imam atau pemimpin dalam rumah tangga seharusnya sudah paham tanggungjawab yang ada dipundaknya.Ridwan memang keterlaluan, aku juga jadi merasa iba kepada a
Arsya menjemput Dyara dengan Alea dari rumah mertuanya. Kami tiba dirumah dan segera membersihkan diri. Sedangkan Alea terlelap sepanjang perjalanan tadi.Aku masih dalam mode diam, rasanya malas untuk bicara. Dari pada kata-kataku membuat sakit hati, aku lebih baik diam. Arsya berusaha membuka percakapan lebih dulu, dan menganggap kami baik-baik saja.Aku hanya menoleh sekilas sambil membaringkan Alea ke tempat tidur. Arsya menanyakan kabar Mama yang mendapat anggota baru dirumahnya yaitu Ridwan. Aku tidak menjawab banyak, namun kesempatan itu aku gunakan untuk meminta ijin padanya agar aku diperbolehkan bekerja lagi.Arsya terdiam sesaat kemudian menganggukkan kepalanya. Dalam hati aku bersorak, jika aku bekerja maka otomatis frekuensi pertemuanku dengan suamiku lebih sedikit. Entah sampai kini masih belum ada rasa cinta untuknya.Aku melayaninya hanya menggugurkan kewajibanku sebagai istri. Tidak ada unsur pendukung lainnya. Arsya memang bukan laki-laki yang taat beragama, sholatny
Setelah menempati rumah baru rasanya lebih plong bisa bernafas dengan lega, karena tidak memikirkan lagi bayar kontrakan rumah. Tidak lama kemudian ditahun ke lima pernikahanku dengan Arsya, aku kembali diberi kepercayaan mendapat momongan kembali.Aku merasa kehamilanku kali ini tidak menyusahkan dibanding dengan yang pertama. Karena memang tidak terasa seperti hamil, aku melakukan aktifitas seperti biasa. Bahkan aku menerima tawaran bekerja di tempat lain.Jam mengajarku sebenarnya sudah banyak namun aku masih bisa membagi waktuku. Aku tidak merasakan gejala apapun, bahkan seperti tidak sedang berbadan dua.Saat kami periksa ke dokter kandungan, beliau sudah bilang kalau janinnya masih belum berkembang, jadi aku pikir kondisi tubuhku masih baik-baik saja. Sehingga tidak ada sedikitpun kekhawatiran dariku.Ternyata menginjak dibulan ke tiga, aku mengalami pendarahan. Namun karena kondisi tersebut dialami saat dirumah, aku masih bisa melakukan aktifitas seperti biasanya. Hanya terasa
Ketika dalam perjalanan pulang ternyata ada seorang perempuan hamil menyebrang tanpa melihat ke kanan dan kiri. Dia nyelonong tanpa dosa, Arsya yang sedang lewat tentu saja langsung ngerem mendadak.Yang menyebrang tetap berjalan melenggang sedangkan motor Arsya langsung terlempar dimana posisi Arsya tertindih oleh motornya. Motor yang dinaiki Arsya memang motor besar sehingga jika menimpa tubuhnya pasti akan sakit.Arsya langsung dibantu warga setempat, sedangkan perempuan yang menyebrang tadi tidak merasa kalau dia yang menyebabkan suamiku terjatuh. Malah setelah itu, perempuan ini meminta ganti rugi.Padahal dia tidak apa-apa, malah tidak ada luka sedikitpun. Tentu saja Arsya merasa geram, sedangkan kakaknya masih menunggu di motor bersama ibunya. Mereka tidak membantu Arsya sama sekali.Aku yang mendengar cerita Arsya saja sudah mulai geregetan. Apalagi setelah mendengar ceritanya seperti itu, dan gilanya lagi ibu Arsya tetap memaksa kakak Arsya untuk mengantarkannya ke rumah mbak
Aku pergi ke rumah Mama bersama Alea, karena rumahku sekarang lebih dekat dengan rumah Mama. Aku ingin berbagi cerita dengan Mamaku. Aku juga ingin Mama tahu kejengkelanku pada keluarga Arsya.Kutinggalkan Arsya bersama ibunya, dari pada aku muak melihat tingkah mereka yang penuh drama. Apalagi ibu mertua berniat menginap dirumahku. Biarlah dia yang mengurus Arsya selama kutinggalkan.Pekerjaanku sudah selesai, aku dan Alea makan dulu baru ke rumah Mama. Sesampainya disana Mama menyambutku dan langsung menggendong Alea. Berbeda sekali dengan perlakuan ibu Arsya, melihat Alea mungkin seperti melihat orang lain bukan seperti perlakuan nenek ke cucunya.Boro-boro mau menggendong, memeluk saja tidak, jadi jangan salahkan Alea jika sampai sekarangpun Alea enggan mendekati ibu mertuaku. Aku merasa miris dengan sikap ibu mertuaku, kasih sayang untuk anaknya saja dia bedakan. Ehh ternyata begitu juga dengan cucu-cucunya.Kini aku sedang menikmati kebersamaanku dengan keluargaku, biarlah Arsya