Akhirnya yang ditunggu tiba juga, calon pengantin laki-laki dengan keluarga dan kerabatnya mengantarkan ke kediaman calon pengantin perempuan.
Mereka disambut kedatangannya oleh keluarga calon pengantin perempuan dan segera mempersilahkan mereka masuk sambil menerima seserahan yang dibawa oleh pihak calon pengantin laki-laki. Tibalah saatnya acara inti setelah didahului dengan sambutan-sambutan dan pembacaan ayat suci Al Qur'an. Kami semua mendengarkan dengan khidmat lantunan ayat suci Al Qur'an yang dibacakan oleh Om Ahmad adik ipar Papa. Saat akan dilakukan ijab kabul terjadi bisik-bisik antara Papa dengan Penghulu. Ternyata Papa tidak bersedia menjadi waliku. Aku terhenyak, demikian pula dengan keluarga besar Papaku. Mama hanya terdiam tidak bereaksi apapun. Aku hanya diam menatap Papa, sedemikian tidak setujukah Papa sampai tidak mau menjadi waliku. Papa benar-benar menolak untuk menikahkan aku dengan Arsya. Akhirnya aku menggunakan wali hakim, aku sendiri tidak mengerti kenapa jadi begini. Papa langsung mundur dan mempersilakan pihak penghulu untuk melanjutkan pekerjaannya. Mama hanya melirik Papa tanpa mengatakan apapun. Sekejap kemudian keheningan ini berakhir setelah akhirnya dilafalkan ijab kabul sampai selesai. Seketika terdengar suara " SAH!! ", Arsya menyelesaikan tugasnya dengan baik tanpa protes kepada Papa. Tatapan mata Papa yang tajam padanya membuat Arsya menunduk. Aku yang melihat pemandangan itu hanya bisa memejamkan mata sesaat. Entah apa yang ada dalam pikiran Papa saat itu. Aku benar-benar merasakan kekecewaan Papa sangat dalam. Namun tidak kurasakan tanggapan apapun dari pihak keluarga Arsya, mereka benar-benar tidak peka dengan apa yang baru saja terjadi. Bahkan terkesan sangat tidak peduli. Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya, aku takut akan ada yang terjadi lagi setelah ini. Ya Allah apakah ini pertanda tidak baik? Lagi-lagi aku merasa takut dengan semuanya ini. Flash back Seminggu sebelum kami menikah dan setelah aku menemui Farel, Arsya juga menemuiku saat aku baru tiba dari ibukota. Kami terlibat pembicaraan yang menurutku cukup menguras emosinya. Aku ingat ketika Arsya menceritakan tentang mantan kekasihnya yang seharusnya dia nikahi. Sebenarnya aku malas meresponnya karena menurutku memang tidak penting. Yang bisa kulakukan saat itu hanya menjadi pendengar yang baik saja. Mungkin Arsya sedang membutuhkan orang yang siap mendengar keluh kesahnya. Aku hanya diam tidak bereaksi apapun, namun Arsya tidak peduli. Kemudian mengalirlah cerita dari bibirnya. Bagaimana mantan kekasihnya Lyana yang seharusnya kini bersanding dengannya malah mengkhianatinya. Aku terkejut saat melihat air mata yang menetes dipipinya, kelihatannya Arsya terlalu berharap pada mantannya untuk setia padanya. Namun ternyata selingkuhan mantannya yang bernama Deni adalah pesuruh dirumah keluarga Lyana, jelas ini sangat melukai harga dirinya. Awalnya Lyana tidak mau mengakui, namun akhirnya setelah dipaksa mengaku setelah bertemu dengan pihak keluarga Arsya barulah Lyana mau terbuka. Tadinya pihak keluarga Lyana ingin Arsya yang bertanggungjawab menikahi Lyana. Keluarga Lyana menginginkan Arsya menjadi ayah dari janin yang sedang dikandung Lyana. Tentu saja Arsya menolak mentah-mentah karena merasa tidak pernah menyentuh Lyana. Keluarga Lyana merasa terhina dengan penolakan Arsya. Aku yang mendengar ceritanya hanya termangu, apakah Arsya berharap simpati darinya dan berharap aku tersentuh mendengar ceritanya. Ternyata aku menanggapinya dengan diam dan tidak berkomentar apapun. Keluarga Lyana yang sudah merasa malu akhirnya segera meninggalkannya. Lyana hanya bisa menangis menyesali kebodohannya. Dia sama sekali tidak menyangka akan mengalami hal memalukan seperti ini. Kini keluarganya sudah tidak mempedulikannya lagi. Tidak lama kemudian Arsya melanjutkan kembali ceritanya. Akhirnya Lyana menikah dengan Deni dan dikaruniai seorang anak laki-laki. Setelah selesai menceritakan semuanya Arsya menghapus air matanya, aku hanya diam tidak bereaksi apapun. Sampai akhirnya dia mengatakan ingin serius membina rumah tangga denganku. Kembali aku menatap netranya yang masih ada sisa air mata, aku hanya menarik nafas panjang. Kalaupun aku menolaknya aku harus berpikir ulang, karena yang akan aku terima pasti kemarahan dari Mamaku. Aku hanya mengangguk perlahan, saat ini yang terbayang hanya reaksi Mamaku jika aku membatalkan pernikahan ini. Begitulah yang terjadi dan berakhir di acara ijab kabul hari ini. Semua menunjukkan rasa puas karena ijab kabul berjalan dengan lancar. Kekhawatiran yang tadi sempat terpancar di wajah-wajah mereka sirna sudah. Resepsi berjalan dengan baik tidak ada hambatan apapun. Aku hanya tersenyum sekedarnya, rasanya sudah malas mengikuti acara ini. Lelah dan ingin segera beristirahat, tiba-tiba datang rombongan teman-teman dari ibukota. Tentu saja senyuman langsung menghias bibirku. Aku memeluk mereka satu persatu, rasa bahagia menyeruak didadaku. Kami larut dalam rasa haru karena sejak saat ini aku sudah berhenti bekerja. Aku akan menjadi istri yang baik dan mengikuti imamku. Saat aku sedang fokus menatap teman-temanku, datanglah sesosok laki-laki yang selalu membuatku tersenyum. Aku reflek melirik laki-laki disampingku yang kini berstatus suami. Namun yang kulirik rupanya tidak menyadari jika akan kedatangan tamu istimewa yang telah membuat hatiku hancur berkeping. Dia hadir membawa keluarganya, maminya juga adik-adiknya. Mereka menyalamiku, saat Farel menyalamiku dia berbisik "Maaf." Aku hanya membuang muka. Ternyata dia juga mengatakan permohonan maafnya kepada Mamaku. Mendapat kata-kata itu Mamaku hanya melengos dan tidak meresponnya sama sekali. Mungkin Mamaku masih sakit hati karena tidak ada tanggapan saat beliau meminta kejelasan hubungan kami. Lebih baik aku memang pura-pura tidak tahu. Merekapun membawa kado yang cukup besar untuk kami, kemudian menikmati makanan yang kami sediakan. Secara fisik tidak terlihat sama sekali kesedihan dan lukanya, atau jangan-jangan dia tidak merasa terluka sama sekali dan aku saja yang ke ge-er an. Ya sudahlah, aku juga harus menunjukkan kalau aku baik-baik saja jangan sampai kehancuranku terlihat oleh mereka. Aku harus menegakkan kepalaku, terlihat bahagia agar mereka tahu kalau aku tidak terluka sama sekali. Hari ini aku memang harus memakai topeng sampai acara ini selesai. Pernikahan sudah usai, tapi apa yang kurasa hanya kehampaan. Aku tidak berani menampakkan wajah tidak sukaku saat memasuki kamar pengantin kami. Pernikahan kami memang sederhana, tidak menggunakan fasilitas hotel. Kami menikah disebuah gedung pertemuan setelah sebelumnya melakukan akad nikah dikediaman mempelai perempuan yaitu dirumahku. Lelah mendera tubuhku, karena saat menikah kondisiku sedang kedatangan tamu bulanan maka tidak ada malam pertama. Kami tidur cepat karena sudah merasa sangat lelah setelah menjadi raja dan ratu sehari. Menurutku memang tidak ada yang istimewa, semuanya biasa saja. Setelah menikah kami masih tinggal dirumah kedua orangtuaku selama kami belum memiliki rumah ataupun menyewa rumah. Setelah pernikahan usai, aku melihat Papa jadi semakin pendiam. Kami yang biasanya berkumpul dan bercengkerama di sore hari kini sudah tidak lagi. Jika Papa pulang kerja, langsung masuk kamar atau nonton tv sebentar setelah sebelumnya mengisi perutnya terlebih dahulu. Sampai akhirnya setelah seminggu kami tinggal dirumah Mamaku kini kami keluar untuk menempati rumah yang disewa suamiku. Pemilihan rumah tinggalku juga yang mencarikan mertuaku. Ternyata rumah yang disewa suamiku jauh dari kediaman Mamaku. Aku hanya diam menatap rumah yang baru saja kami sewa. Aku pasti takut jika suamiku berangkat mendapat shift malam, maka aku pastikan aku akan menunggu dirumah Mamaku sampai suamiku pulang.Aku harus mulai membuang semua kenanganku bersama Farel, karena bagaimanapun kini aku sudah menjadi istri Arsya. Aku harus menghormatinya karena aku sudah memutuskan untuk menerima Arsya sebagai suamiku.Diawal pernikahan aku mulai mendapat teror yang kurang enak dari ibu mertuaku. Suamiku diwajibkan setiap hari mengunjungi rumah orangtuanya. Namun aku tidak keberatan karena menurutku anak laki-laki memang hak ibunya. Untuk urusan keuangan aku menerima gaji suamiku yang ternyata sudah mendapat potongan cicilan dari bank.Suamiku bilang itu karena sisa cicilan saat dia kuliah, katanya biaya kuliahnya ditanggung sendiri. Aku sempat mengernyit heran, masalahnya honorku dulu jauh lebih besar dari gaji yang kuterima dari suamiku dan aku hanya bisa pasrah menerimanya.Kemudian semua pendapatan suamiku yang diluar gaji juga diminta oleh ibu mertuaku, sekali lagi aku hanya bisa mengelus dadaku yang sesak. Aku akhirnya bersikap tidak peduli lagi, terserahlah. Namun setelah melihat kondisiku se
Malam itu seperti biasanya, Mama sedang asyik nonton sinetron kesayangannya yang berseri entah ke berapa. Yang aku tahu sinetron itu sudah beberapa ratus episode, sedangkan aku memang tidak menyukai sinetron sama sekali. Papa juga menemani Mama sambil minum kopi buatan Mama.Tiba-tiba aku melihat Papaku memegang dadanya, aku langsung panik membangunkan Mama yang sempat tertidur saat nonton sinetron. Akhirnya kami serumah heboh melihat kondisi Papa. Beruntungnya Mas Arsya masih dirumah dan belum berangkat dinas. Kami segera membawa Papa ke rumah sakit.Sepanjang perjalanan kami semua berdoa untuk kesembuhan Papa. Mama sejak tadi sudah menangis terisak, adikku memeluk Mama dan mengusap punggungnya berkali-kali agar Mama tenang. Sesampainya di rumah sakit, suamiku langsung membawa Papa ke IGD, dan segera menemui temannya yang bertugas malam ini di sana.Setelah diperiksa secara teliti oleh dokter, tiba-tiba dokter itu membisiki sesuatu kepada suamiku. Wajah suamiku langsung berubah pucat
Mataku perlahan mulai terbuka suasana rumah sakit masih tercium aromanya, rasa pusing seketika mendera kepalaku. Perutku rasanya mual luar biasa, aku langsung meminta orang yang ada didekatku untuk menyiapkan tempat agar aku bisa mengeluarkan isi perutku. Setelah selesai aku langsung lemas dan kembali tertidur. Kepalaku rasanya masih melayang, rasanya dunia juga berputar. Mungkin efek obat biusnya masih bekerja sehingga aku masih belum sadar sepenuhnya. Kudengar keluarga yang menjaga disekitarku bernafas lega setelah melihat aku sadar sesaat. Mamaku yang sedari awal mendampingiku dirumah sakit sampai tidak fokus karena melihat aku seperti tersiksa dengan rasa sakit yang cukup lama. Biasanya Mama orang yang paling tenang jika kita mengalami musibah atau kejadian yang membutuhkan tenaga ekstra. Namun kini melihat anaknya sendiri yang berjuang untuk melahirkan cucunya membuatnya tidak bisa melakukan apapun termasuk berdoa. Adik-adikku juga sempat keheranan melihat Mama bolak-balik ke
Arsya tidak menyangka jika istrinya langsung kabur karena marah pada dirinya. Arsya merasa kebingungan, apalagi melihat Alea mulai berjalan tertatih ingin memeluknya.Tidak banyak kata Arsya segera meraih Alea dalam pelukannya. Arsya segera mengambil kunci motornya untuk segera menyusul Dyara. Hatinya kini kacau, tidak dihiraukan perutnya yang sudah keroncongan sejak tadi.Arsya merasa bersalah terhadap Dyara, kata-katanya tadi memang sudah kelewat batas. Namun sebenarnya dia tidak bermaksud seperti itu. Kondisinya saat itu yang sedang lelah dan lapar sehingga memicu emosinya menjadi tinggi.Dalam perjalanan sambil memangku Alea, Arsya menjalankan motornya dengan hati-hati. Arsya yakin istrinya akan pulang ke rumah mertuanya. Arsya hanya bisa berdoa semoga ibu mertuanya tidak salah paham padanya.Sementara itu Dyara masih diam didalam kamar adiknya, dia enggan bicara apapun. Mulutnya terkunci, rasa lelah menderanya hingga netranya perlahan menutup. Dyara tertidur, suara dengkuran halu
Pernikahan Syena telah usai beberapa hari yang lalu. Kami masih cukup lelah, masih banyak barang-barang yang berserakan disana-sini. Kami mulai membereskannya satu persatu.Aku melirik kamar Syena masih tertutup rapat, yang aku tahu dari pagi Syena sudah berangkat kerja. Aku memang sengaja ke rumah Mama untuk membantu Mama membersihkan sampah yang masih terlihat dibeberapa tempat.Sambil membawa Alea aku duduk merapikan beberapa barang yang ada didekatku. Tanpa sengaja aku mendengar Mama menggerutu, "Enak betul jadi suami pengangguran, jam segini masih molor. Nggak punya malu pisan. Istrinya dari pagi sudah berangkat kerja. Kamu salah milih suami Syena! "Aku terdiam beberapa saat sambil kembali melirik kamar Syena. Aku khawatir tiba-tiba Ridwan nongol mendengar omelan Mamaku. Tapi iya juga sih, seorang laki-laki kalau sudah jadi imam atau pemimpin dalam rumah tangga seharusnya sudah paham tanggungjawab yang ada dipundaknya.Ridwan memang keterlaluan, aku juga jadi merasa iba kepada a
Arsya menjemput Dyara dengan Alea dari rumah mertuanya. Kami tiba dirumah dan segera membersihkan diri. Sedangkan Alea terlelap sepanjang perjalanan tadi.Aku masih dalam mode diam, rasanya malas untuk bicara. Dari pada kata-kataku membuat sakit hati, aku lebih baik diam. Arsya berusaha membuka percakapan lebih dulu, dan menganggap kami baik-baik saja.Aku hanya menoleh sekilas sambil membaringkan Alea ke tempat tidur. Arsya menanyakan kabar Mama yang mendapat anggota baru dirumahnya yaitu Ridwan. Aku tidak menjawab banyak, namun kesempatan itu aku gunakan untuk meminta ijin padanya agar aku diperbolehkan bekerja lagi.Arsya terdiam sesaat kemudian menganggukkan kepalanya. Dalam hati aku bersorak, jika aku bekerja maka otomatis frekuensi pertemuanku dengan suamiku lebih sedikit. Entah sampai kini masih belum ada rasa cinta untuknya.Aku melayaninya hanya menggugurkan kewajibanku sebagai istri. Tidak ada unsur pendukung lainnya. Arsya memang bukan laki-laki yang taat beragama, sholatny
Setelah menempati rumah baru rasanya lebih plong bisa bernafas dengan lega, karena tidak memikirkan lagi bayar kontrakan rumah. Tidak lama kemudian ditahun ke lima pernikahanku dengan Arsya, aku kembali diberi kepercayaan mendapat momongan kembali.Aku merasa kehamilanku kali ini tidak menyusahkan dibanding dengan yang pertama. Karena memang tidak terasa seperti hamil, aku melakukan aktifitas seperti biasa. Bahkan aku menerima tawaran bekerja di tempat lain.Jam mengajarku sebenarnya sudah banyak namun aku masih bisa membagi waktuku. Aku tidak merasakan gejala apapun, bahkan seperti tidak sedang berbadan dua.Saat kami periksa ke dokter kandungan, beliau sudah bilang kalau janinnya masih belum berkembang, jadi aku pikir kondisi tubuhku masih baik-baik saja. Sehingga tidak ada sedikitpun kekhawatiran dariku.Ternyata menginjak dibulan ke tiga, aku mengalami pendarahan. Namun karena kondisi tersebut dialami saat dirumah, aku masih bisa melakukan aktifitas seperti biasanya. Hanya terasa
Ketika dalam perjalanan pulang ternyata ada seorang perempuan hamil menyebrang tanpa melihat ke kanan dan kiri. Dia nyelonong tanpa dosa, Arsya yang sedang lewat tentu saja langsung ngerem mendadak.Yang menyebrang tetap berjalan melenggang sedangkan motor Arsya langsung terlempar dimana posisi Arsya tertindih oleh motornya. Motor yang dinaiki Arsya memang motor besar sehingga jika menimpa tubuhnya pasti akan sakit.Arsya langsung dibantu warga setempat, sedangkan perempuan yang menyebrang tadi tidak merasa kalau dia yang menyebabkan suamiku terjatuh. Malah setelah itu, perempuan ini meminta ganti rugi.Padahal dia tidak apa-apa, malah tidak ada luka sedikitpun. Tentu saja Arsya merasa geram, sedangkan kakaknya masih menunggu di motor bersama ibunya. Mereka tidak membantu Arsya sama sekali.Aku yang mendengar cerita Arsya saja sudah mulai geregetan. Apalagi setelah mendengar ceritanya seperti itu, dan gilanya lagi ibu Arsya tetap memaksa kakak Arsya untuk mengantarkannya ke rumah mbak