Share

Pesona Istri Yang Tak Dianggap
Pesona Istri Yang Tak Dianggap
Author: Neysa Karina

1. Persiapan Pernikahan

Dyara tidak bisa membalas kata-kata Mamanya. "Dengar kata-kata Mama, ingat Dyara kamu mau nungguin apalagi, kerja sudah, umur cukup dan mampu tunggu apa lagi. Kalau kamu masih nungguin Farel, Mama yakin sampai kamu perawan tua nggak bakalan nikah!" Kalau Mama sudah mengeluarkan kata-kata seperti itu, hati Dyara pasti menciut.

Dyara takut dengan kata-kata Mama yang cukup menyeramkan baginya. Biasanya kata-kata Mama cukup ampuh membuat anak-anaknya untuk berpikir beberapa kali kalau mau melakukan sesuatu, kecuali adikku Syena. Dia pasti nggak peduli omongan Mama padanya, malah seringnya dijawab lagi oleh Syena.

Aku memiliki 2 orang adik, yang bungsu namanya Nadine. Dia kebalikan dari Syena, Nadine kalem dan penurut. Mama sangat sayang pada Nadine, dan kemana-mana selalu  diajak oleh Mama. Tentu saja hal ini menimbulkan kecemburuan dari Syena. Adikku yang satu ini memang tipe pemberontak, cenderung semaunya sendiri.

***

Aku menghubungi Farel, sekali lagi berusaha agar tidak terjadi pernikahan ini. Namun tetap saja  nihil, hpnya tidak aktif, bagaimana ini sedangkan Mama mendesak harus ada keputusan secepatnya.

Aku sudah putus asa, Farel masih dengan mode diamnya. Lagi-lagi harus Dyara yang berinisiatif, padahal kalau Farel memberikan pilihan padanya untuk menunggu, Dyara dengan senang hati akan menunggu Farel. Kepastian dari Farel sangat diharapkan Dyara, namun sampai batas akhir yang ditentukan Mamanya, Farel malah menghilang.

Akhirnya Dyara pasrah mengikuti kemauan Mamanya. Sudahlah, lagipula mau bagaimana lagi. Keputusan Mamanya sudah final, Dyara hanya menunduk lesu. Rasanya sudah tidak ada lagi semangat untuk hidup lagi, kalaupun menolak juga percuma.

Farel juga tidak memberinya kepastian sama sekali. Kalau memang Farel serius dengan hubungannya yang sudah terjalin cukup lama, harusnya Farel merespon telfon atau pesannya.

Dirumah memang Mama yang dominan mengambil keputusan apapun, Papa hanya ikut menyetujuinya saja. Namun kemarin saat Mama menentukan pernikahanku dengan Arsya, Papa mengernyitkan keningnya. "Mama seharusnya tidak memaksa Dyara untuk menerimanya jika Dyara masih ragu, apakah sudah dipikirkan lagi Ma! "

Mama hanya melengos pergi tidak menanggapi pertanyaan Papa. Aku hanya menatap Papa kebingungan. Papa hanya berkata dengan lembut, "Yah itulah Mamamu, sabar ya nak semoga kamu kuat Dyara. " Lagi-lagi aku hanya mengangguk patuh.

Sudah nasibku menjadi anak yang penurut, hampir semua keinginan Mamaku aku penuhi termasuk menjadi seorang pendidik. Sebenarnya aku tidak minat sama sekali untuk menekuni profesi itu, namun sekali lagi Mama sudah mengultimatum tidak akan mengijinkanku kuliah jika tidak mengambil kampus keguruan.

Mama memang membebaskanku memilih jurusan dan kota yang aku inginkan. Namun aku hanya mengikuti kemauan Mamaku sehingga aku tidak punya pilihan yang sesuai dengan yang aku mau.

Mungkin karena doa orangtua yang makbul sehingga tanpa halangan yang berarti aku diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di ibukota. Aku menjalaninya setengah hati, itu terlihat dari bobot tubuhku yang semakin menyusut.

Aku selalu menerima keputusan Mamaku, karena aku takut dengan kata-kata Mamaku yang terkadang membuatku sakit hati karena itu aku selalu menghindarinya. Sedangkan Syena adikku sering membantah kata-kata Mama. Karakter adikku yang satu ini sangat berlawanan denganku.

Akhirnya Mama langsung turun tangan menanyakan kepastian Farel kepadaku melalui telfon rumahnya. Mama meminta Farel untuk datang dan menemuinya dan sekali lagi Farel tidak memenuhi panggilan Mama.

Mama langsung naik pitam mengetahui tidak ada respon dari pihak Farel dan keluarganya. Hari itu juga Mama langsung memutuskan menerima lamaran Arsya untukku. Aku benar-benar tidak bisa berkutik. Kulihat raut wajah lega dari Arsya mendengar keputusan Mama.

Aku hanya mengelus dada, dan Papa menatapku sedih. Papa memang lebih menyukai Farel, Papa kadang suka bercanda dengan Farel. Mungkin karena Farel adalah teman semasa kami memakai seragam putih merah dan putih biru. Dan Farel sering main ke rumahku bahkan bersenda gurau dengan Papaku sehingga Papa senang jika diajak ngobrol oleh Farel. Papa memang sudah menganggap Farel seperti anaknya sendiri.

Namun kini Mama sudah memutuskan semuanya. Mau tidak mau aku harus menerimanya, aku masih mencintai Farel tapi aku juga takut jika menolak kemauan Mamaku. Dan aku hanya terdiam ketika akhirnya Arsya membawa ibunya datang ke rumahku.

Aku masih setengah hati, dan enggan berkomentar apapun. Semua pertanyaan dari calon mertuaku dijawab semua oleh Mamaku. Aku hanya mendesah pelan, aku mencoba menghirup oksigen sebanyak-banyaknya agar dadaku yang sesak bisa agak longgar.

Saat kami mulai pendekatanpun aku selalu mengatakan sesuatu tentang sikapku yang cenderung negatif. Aku berharap Arsya akan berpikir ulang untuk meminangku. Rupanya ternyata tidak mempengaruhi niatnya sama sekali. Dia tetap pada pendiriannya dari awal melamarku dan tidak goyah.

Aku menepuk jidatku, aku masih mengharapkan Farel menghubungiku, namun ternyata tetap tidak ada kabar sama sekali. Ahh, bagaimana ini, aku tidak ingin menikah dengan Arsya. Tapi aku juga takut membuat Mamaku murka.

Aku semakin lelah, sedang pihak keluarga Arsya sudah mempersiapkan acara lamaran dengan semua seserahannya. Sekali lagi aku hanya bisa pasrah, menerimanya tanpa perlawanan.

Dan hari itupun tiba, Arsya membawa keluarga dan ipar-iparnya datang ke rumahku. Aku bersiap seadanya, kebaya yang sudah disiapkan Mama sudah aku pakai, rasanya entahlah. Menurutku biasa saja dan tidak ada yang istimewa.

Pertemuanku dengan Arsya memang tidak sengaja, kami dikenalkan oleh teman kakak laki-lakiku. Saat pertemuan pertama mungkin Arsya sudah tertarik padaku. Namun aku yang hanya menganggapnya biasa saja seperti halnya teman-temanku yang memiliki perasaan istimewa kepadaku.

Ternyata setelah pertemuan itu Arsya gigih mendekatiku. Pekerjaannya sebagai perawat yang sudah diangkat oleh pemerintah membuatnya percaya diri saat meminangku. Sedangkan aku, entah apa rasanya. Yang ada diotakku hanya penantian untuk Farel agar segera menghubungi keluargaku.

Farel benar-benar pengecut, aku sudah tidak peduli lagi apa yang akan terjadi nanti. Aku tidak punya keberanian untuk menolak semua yang sudah direncanakan oleh Mamaku.

Lamaranku berjalan dengan lancar sampai tiba saat penentuan tanggal pernikahan. Aku masih berharap Farel muncul dihadapan keluargaku. Ternyata harapan tinggal harapan, sampai undangan tercetakpun Farel mesih belum menunjukkan batang hidungnya.

Akhirnya aku mencoba menemui Farel dengan mengantarkan undangan pernikahanku ke tempat kosnya. Setelah kuliah aku memang tidak kembali ke kota tempat kelahiranku. Aku langsung bekerja disana.

Sedangkan Farel menyusulku dengan mengikuti tes di BUMN untuk penempatan dikota dekat dengan kota tempatku bekerja. Semua urusan adminstrasi saat dia tes, aku yang mengurusnya.

Saat mengikuti tes, saat itu Farel masih bekerja disebuah Bank Swasta. Aku masih mengingatnya, saat aku mengambil surat untuk tes kesehatan Farel dengan menggunakan surat kuasa, mereka menebak kalau aku adalah adik Farel. Aku hanya tersenyum saja, Farel memang memiliki kulit yang cerah sama dengan aku. Kami sama-sama memiliki postur tubuh yang ramping. Jadi tidak salah juga kalau kami berjalan berdua terlihat seperti kakak beradik.

Sebelum kami bekerjapun, Farel dan aku sama-sama mencari lowongan pekerjaan dikota kelahiranku setelah kami lulus kuliah. Namun aku akhirnya kembali ke kota besar tempatku kuliah dan bekerja disana.

Hubungan kami berlanjut dengan LDR, namun Farel tidak tahan akhirnya dia juga mencari pekerjaan dikota yang sama denganku. Sampai akhirnya dia melihat peluang bekerja di BUMN. Aku memang selalu mendukungnya, bahkan aku juga yang mengantarnya kemana-mana.

Aku mengambil ijin saat bekerja karena harus mengantar Farel, sampai akhirnya dia berhasil mendapatkan pekerjaannya setelah melalui rangkaian tes yang cukup panjang. Aku juga yang menjemputnya di stasiun kereta saat dia datang untuk mengikuti serangkaian tes tadi.

Kami memang sudah melalui momen bersama selama itu, pertemuan kamipun selalu dipenuhi dengan canda dan tawa. Kami memang selalu menganggap apa yang kami lakukan hanya bercanda, sampai akhirnya candaan ini menjadi bumerang bagi kami.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status