Dyara tidak bisa membalas kata-kata Mamanya. "Dengar kata-kata Mama, ingat Dyara kamu mau nungguin apalagi, kerja sudah, umur cukup dan mampu tunggu apa lagi. Kalau kamu masih nungguin Farel, Mama yakin sampai kamu perawan tua nggak bakalan nikah!" Kalau Mama sudah mengeluarkan kata-kata seperti itu, hati Dyara pasti menciut.
Dyara takut dengan kata-kata Mama yang cukup menyeramkan baginya. Biasanya kata-kata Mama cukup ampuh membuat anak-anaknya untuk berpikir beberapa kali kalau mau melakukan sesuatu, kecuali adikku Syena. Dia pasti nggak peduli omongan Mama padanya, malah seringnya dijawab lagi oleh Syena. Aku memiliki 2 orang adik, yang bungsu namanya Nadine. Dia kebalikan dari Syena, Nadine kalem dan penurut. Mama sangat sayang pada Nadine, dan kemana-mana selalu diajak oleh Mama. Tentu saja hal ini menimbulkan kecemburuan dari Syena. Adikku yang satu ini memang tipe pemberontak, cenderung semaunya sendiri. *** Aku menghubungi Farel, sekali lagi berusaha agar tidak terjadi pernikahan ini. Namun tetap saja nihil, hpnya tidak aktif, bagaimana ini sedangkan Mama mendesak harus ada keputusan secepatnya. Aku sudah putus asa, Farel masih dengan mode diamnya. Lagi-lagi harus Dyara yang berinisiatif, padahal kalau Farel memberikan pilihan padanya untuk menunggu, Dyara dengan senang hati akan menunggu Farel. Kepastian dari Farel sangat diharapkan Dyara, namun sampai batas akhir yang ditentukan Mamanya, Farel malah menghilang. Akhirnya Dyara pasrah mengikuti kemauan Mamanya. Sudahlah, lagipula mau bagaimana lagi. Keputusan Mamanya sudah final, Dyara hanya menunduk lesu. Rasanya sudah tidak ada lagi semangat untuk hidup lagi, kalaupun menolak juga percuma. Farel juga tidak memberinya kepastian sama sekali. Kalau memang Farel serius dengan hubungannya yang sudah terjalin cukup lama, harusnya Farel merespon telfon atau pesannya. Dirumah memang Mama yang dominan mengambil keputusan apapun, Papa hanya ikut menyetujuinya saja. Namun kemarin saat Mama menentukan pernikahanku dengan Arsya, Papa mengernyitkan keningnya. "Mama seharusnya tidak memaksa Dyara untuk menerimanya jika Dyara masih ragu, apakah sudah dipikirkan lagi Ma! " Mama hanya melengos pergi tidak menanggapi pertanyaan Papa. Aku hanya menatap Papa kebingungan. Papa hanya berkata dengan lembut, "Yah itulah Mamamu, sabar ya nak semoga kamu kuat Dyara. " Lagi-lagi aku hanya mengangguk patuh. Sudah nasibku menjadi anak yang penurut, hampir semua keinginan Mamaku aku penuhi termasuk menjadi seorang pendidik. Sebenarnya aku tidak minat sama sekali untuk menekuni profesi itu, namun sekali lagi Mama sudah mengultimatum tidak akan mengijinkanku kuliah jika tidak mengambil kampus keguruan. Mama memang membebaskanku memilih jurusan dan kota yang aku inginkan. Namun aku hanya mengikuti kemauan Mamaku sehingga aku tidak punya pilihan yang sesuai dengan yang aku mau. Mungkin karena doa orangtua yang makbul sehingga tanpa halangan yang berarti aku diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di ibukota. Aku menjalaninya setengah hati, itu terlihat dari bobot tubuhku yang semakin menyusut. Aku selalu menerima keputusan Mamaku, karena aku takut dengan kata-kata Mamaku yang terkadang membuatku sakit hati karena itu aku selalu menghindarinya. Sedangkan Syena adikku sering membantah kata-kata Mama. Karakter adikku yang satu ini sangat berlawanan denganku. Akhirnya Mama langsung turun tangan menanyakan kepastian Farel kepadaku melalui telfon rumahnya. Mama meminta Farel untuk datang dan menemuinya dan sekali lagi Farel tidak memenuhi panggilan Mama. Mama langsung naik pitam mengetahui tidak ada respon dari pihak Farel dan keluarganya. Hari itu juga Mama langsung memutuskan menerima lamaran Arsya untukku. Aku benar-benar tidak bisa berkutik. Kulihat raut wajah lega dari Arsya mendengar keputusan Mama. Aku hanya mengelus dada, dan Papa menatapku sedih. Papa memang lebih menyukai Farel, Papa kadang suka bercanda dengan Farel. Mungkin karena Farel adalah teman semasa kami memakai seragam putih merah dan putih biru. Dan Farel sering main ke rumahku bahkan bersenda gurau dengan Papaku sehingga Papa senang jika diajak ngobrol oleh Farel. Papa memang sudah menganggap Farel seperti anaknya sendiri. Namun kini Mama sudah memutuskan semuanya. Mau tidak mau aku harus menerimanya, aku masih mencintai Farel tapi aku juga takut jika menolak kemauan Mamaku. Dan aku hanya terdiam ketika akhirnya Arsya membawa ibunya datang ke rumahku. Aku masih setengah hati, dan enggan berkomentar apapun. Semua pertanyaan dari calon mertuaku dijawab semua oleh Mamaku. Aku hanya mendesah pelan, aku mencoba menghirup oksigen sebanyak-banyaknya agar dadaku yang sesak bisa agak longgar. Saat kami mulai pendekatanpun aku selalu mengatakan sesuatu tentang sikapku yang cenderung negatif. Aku berharap Arsya akan berpikir ulang untuk meminangku. Rupanya ternyata tidak mempengaruhi niatnya sama sekali. Dia tetap pada pendiriannya dari awal melamarku dan tidak goyah. Aku menepuk jidatku, aku masih mengharapkan Farel menghubungiku, namun ternyata tetap tidak ada kabar sama sekali. Ahh, bagaimana ini, aku tidak ingin menikah dengan Arsya. Tapi aku juga takut membuat Mamaku murka. Aku semakin lelah, sedang pihak keluarga Arsya sudah mempersiapkan acara lamaran dengan semua seserahannya. Sekali lagi aku hanya bisa pasrah, menerimanya tanpa perlawanan. Dan hari itupun tiba, Arsya membawa keluarga dan ipar-iparnya datang ke rumahku. Aku bersiap seadanya, kebaya yang sudah disiapkan Mama sudah aku pakai, rasanya entahlah. Menurutku biasa saja dan tidak ada yang istimewa. Pertemuanku dengan Arsya memang tidak sengaja, kami dikenalkan oleh teman kakak laki-lakiku. Saat pertemuan pertama mungkin Arsya sudah tertarik padaku. Namun aku yang hanya menganggapnya biasa saja seperti halnya teman-temanku yang memiliki perasaan istimewa kepadaku. Ternyata setelah pertemuan itu Arsya gigih mendekatiku. Pekerjaannya sebagai perawat yang sudah diangkat oleh pemerintah membuatnya percaya diri saat meminangku. Sedangkan aku, entah apa rasanya. Yang ada diotakku hanya penantian untuk Farel agar segera menghubungi keluargaku. Farel benar-benar pengecut, aku sudah tidak peduli lagi apa yang akan terjadi nanti. Aku tidak punya keberanian untuk menolak semua yang sudah direncanakan oleh Mamaku. Lamaranku berjalan dengan lancar sampai tiba saat penentuan tanggal pernikahan. Aku masih berharap Farel muncul dihadapan keluargaku. Ternyata harapan tinggal harapan, sampai undangan tercetakpun Farel mesih belum menunjukkan batang hidungnya. Akhirnya aku mencoba menemui Farel dengan mengantarkan undangan pernikahanku ke tempat kosnya. Setelah kuliah aku memang tidak kembali ke kota tempat kelahiranku. Aku langsung bekerja disana. Sedangkan Farel menyusulku dengan mengikuti tes di BUMN untuk penempatan dikota dekat dengan kota tempatku bekerja. Semua urusan adminstrasi saat dia tes, aku yang mengurusnya. Saat mengikuti tes, saat itu Farel masih bekerja disebuah Bank Swasta. Aku masih mengingatnya, saat aku mengambil surat untuk tes kesehatan Farel dengan menggunakan surat kuasa, mereka menebak kalau aku adalah adik Farel. Aku hanya tersenyum saja, Farel memang memiliki kulit yang cerah sama dengan aku. Kami sama-sama memiliki postur tubuh yang ramping. Jadi tidak salah juga kalau kami berjalan berdua terlihat seperti kakak beradik. Sebelum kami bekerjapun, Farel dan aku sama-sama mencari lowongan pekerjaan dikota kelahiranku setelah kami lulus kuliah. Namun aku akhirnya kembali ke kota besar tempatku kuliah dan bekerja disana. Hubungan kami berlanjut dengan LDR, namun Farel tidak tahan akhirnya dia juga mencari pekerjaan dikota yang sama denganku. Sampai akhirnya dia melihat peluang bekerja di BUMN. Aku memang selalu mendukungnya, bahkan aku juga yang mengantarnya kemana-mana. Aku mengambil ijin saat bekerja karena harus mengantar Farel, sampai akhirnya dia berhasil mendapatkan pekerjaannya setelah melalui rangkaian tes yang cukup panjang. Aku juga yang menjemputnya di stasiun kereta saat dia datang untuk mengikuti serangkaian tes tadi. Kami memang sudah melalui momen bersama selama itu, pertemuan kamipun selalu dipenuhi dengan canda dan tawa. Kami memang selalu menganggap apa yang kami lakukan hanya bercanda, sampai akhirnya candaan ini menjadi bumerang bagi kami.Saat aku mengatakan pada Farel kalau aku ada yang melamar, dia hanya tersenyum tidak menanggapi. Mungkin dia berfikir kalau aku tidak mungkin akan menerimanya. Dia sangat yakin kalau aku sangat mencintainya.Aku sudah mengatakan jika ini serius, namun sekali lagi dia mengabaikannya. Aku sudah kebingungan bagaimana lagi aku harus menjelaskannya. Hingga suatu ketika aku memberinya pilihan mau terus bersamaku atau berpisah saja. Dan lagi-lagi Farel mengabaikannya.Ya Tuhan, aku benar-benar tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap. Memang salah kami juga setiap kami bertemu selalu semuanya dianggap candaan, apakah semua yang aku katakan pada Farel juga menurutnya itu hanya bercanda.Gila, masalah sudah seserius ini masih dianggap lelucon yang selalu kami lakukan saat bertemu. Farel tidak bisa membedakan keseriusanku, dia mengganggap aku pasti tidak akan bisa melakukannya. Tapi bukankah Mamaku sampai mengirimkan pesan pada keluarganya. Apakah pesan Mamaku tidak disampaikan pada Farel.Aku
Dering telfon terdengar dari rumah ibu kos, setelah itu terdengar teriakan memanggil namaku. "Mbak Dyara ada telfooon!! " Aku bergegas menghampirinya, "iya terimakasih mas."Ternyata yang memanggilku Ryan anak kedua ibu kosku. Ryan mengangguk kemudian pergi, aku menghembuskan nafasku lega. "Hallo Dyara, ini aku, " Aku terhenyak, ada apalagi Farel menelfon aku, kenapa juga harus pakai telfon rumah.Eh aku menepuk keningku, hpku dalam kondisi mati dan sedang di cas. Tentu saja Farel tidak bisa menghubungiku. " Ya, ada apa Rel. Bukannya tadi kita sudah bertemu? " Farel tertawa pahit, kita belum selesai bicara tapi kamu sudah pergi.""Memangnya apalagi yang harus dibicarakan, lagipula tidak ada jalan keluar dari kamu. Aku tidak mau nanti malah dicap anak durhaka karena tidak mengikuti keinginan orangtua."Kata-kataku membuat Farel terdiam, kemudian Farel mengatakan kalau dia juga tidak mau jadi anak durhaka. Kini giliran aku yang terdiam. "Maaf karena aku tidak bisa menikah denganm
Akhirnya yang ditunggu tiba juga, calon pengantin laki-laki dengan keluarga dan kerabatnya mengantarkan ke kediaman calon pengantin perempuan.Mereka disambut kedatangannya oleh keluarga calon pengantin perempuan dan segera mempersilahkan mereka masuk sambil menerima seserahan yang dibawa oleh pihak calon pengantin laki-laki.Tibalah saatnya acara inti setelah didahului dengan sambutan-sambutan dan pembacaan ayat suci Al Qur'an. Kami semua mendengarkan dengan khidmat lantunan ayat suci Al Qur'an yang dibacakan oleh Om Ahmad adik ipar Papa.Saat akan dilakukan ijab kabul terjadi bisik-bisik antara Papa dengan Penghulu. Ternyata Papa tidak bersedia menjadi waliku. Aku terhenyak, demikian pula dengan keluarga besar Papaku. Mama hanya terdiam tidak bereaksi apapun.Aku hanya diam menatap Papa, sedemikian tidak setujukah Papa sampai tidak mau menjadi waliku. Papa benar-benar menolak untuk menikahkan aku dengan Arsya. Akhirnya aku menggunakan wali hakim, aku sendiri tidak mengerti kenapa ja
Aku harus mulai membuang semua kenanganku bersama Farel, karena bagaimanapun kini aku sudah menjadi istri Arsya. Aku harus menghormatinya karena aku sudah memutuskan untuk menerima Arsya sebagai suamiku.Diawal pernikahan aku mulai mendapat teror yang kurang enak dari ibu mertuaku. Suamiku diwajibkan setiap hari mengunjungi rumah orangtuanya. Namun aku tidak keberatan karena menurutku anak laki-laki memang hak ibunya. Untuk urusan keuangan aku menerima gaji suamiku yang ternyata sudah mendapat potongan cicilan dari bank.Suamiku bilang itu karena sisa cicilan saat dia kuliah, katanya biaya kuliahnya ditanggung sendiri. Aku sempat mengernyit heran, masalahnya honorku dulu jauh lebih besar dari gaji yang kuterima dari suamiku dan aku hanya bisa pasrah menerimanya.Kemudian semua pendapatan suamiku yang diluar gaji juga diminta oleh ibu mertuaku, sekali lagi aku hanya bisa mengelus dadaku yang sesak. Aku akhirnya bersikap tidak peduli lagi, terserahlah. Namun setelah melihat kondisiku se
Malam itu seperti biasanya, Mama sedang asyik nonton sinetron kesayangannya yang berseri entah ke berapa. Yang aku tahu sinetron itu sudah beberapa ratus episode, sedangkan aku memang tidak menyukai sinetron sama sekali. Papa juga menemani Mama sambil minum kopi buatan Mama.Tiba-tiba aku melihat Papaku memegang dadanya, aku langsung panik membangunkan Mama yang sempat tertidur saat nonton sinetron. Akhirnya kami serumah heboh melihat kondisi Papa. Beruntungnya Mas Arsya masih dirumah dan belum berangkat dinas. Kami segera membawa Papa ke rumah sakit.Sepanjang perjalanan kami semua berdoa untuk kesembuhan Papa. Mama sejak tadi sudah menangis terisak, adikku memeluk Mama dan mengusap punggungnya berkali-kali agar Mama tenang. Sesampainya di rumah sakit, suamiku langsung membawa Papa ke IGD, dan segera menemui temannya yang bertugas malam ini di sana.Setelah diperiksa secara teliti oleh dokter, tiba-tiba dokter itu membisiki sesuatu kepada suamiku. Wajah suamiku langsung berubah pucat
Mataku perlahan mulai terbuka suasana rumah sakit masih tercium aromanya, rasa pusing seketika mendera kepalaku. Perutku rasanya mual luar biasa, aku langsung meminta orang yang ada didekatku untuk menyiapkan tempat agar aku bisa mengeluarkan isi perutku. Setelah selesai aku langsung lemas dan kembali tertidur. Kepalaku rasanya masih melayang, rasanya dunia juga berputar. Mungkin efek obat biusnya masih bekerja sehingga aku masih belum sadar sepenuhnya. Kudengar keluarga yang menjaga disekitarku bernafas lega setelah melihat aku sadar sesaat. Mamaku yang sedari awal mendampingiku dirumah sakit sampai tidak fokus karena melihat aku seperti tersiksa dengan rasa sakit yang cukup lama. Biasanya Mama orang yang paling tenang jika kita mengalami musibah atau kejadian yang membutuhkan tenaga ekstra. Namun kini melihat anaknya sendiri yang berjuang untuk melahirkan cucunya membuatnya tidak bisa melakukan apapun termasuk berdoa. Adik-adikku juga sempat keheranan melihat Mama bolak-balik ke
Arsya tidak menyangka jika istrinya langsung kabur karena marah pada dirinya. Arsya merasa kebingungan, apalagi melihat Alea mulai berjalan tertatih ingin memeluknya.Tidak banyak kata Arsya segera meraih Alea dalam pelukannya. Arsya segera mengambil kunci motornya untuk segera menyusul Dyara. Hatinya kini kacau, tidak dihiraukan perutnya yang sudah keroncongan sejak tadi.Arsya merasa bersalah terhadap Dyara, kata-katanya tadi memang sudah kelewat batas. Namun sebenarnya dia tidak bermaksud seperti itu. Kondisinya saat itu yang sedang lelah dan lapar sehingga memicu emosinya menjadi tinggi.Dalam perjalanan sambil memangku Alea, Arsya menjalankan motornya dengan hati-hati. Arsya yakin istrinya akan pulang ke rumah mertuanya. Arsya hanya bisa berdoa semoga ibu mertuanya tidak salah paham padanya.Sementara itu Dyara masih diam didalam kamar adiknya, dia enggan bicara apapun. Mulutnya terkunci, rasa lelah menderanya hingga netranya perlahan menutup. Dyara tertidur, suara dengkuran halu
Pernikahan Syena telah usai beberapa hari yang lalu. Kami masih cukup lelah, masih banyak barang-barang yang berserakan disana-sini. Kami mulai membereskannya satu persatu.Aku melirik kamar Syena masih tertutup rapat, yang aku tahu dari pagi Syena sudah berangkat kerja. Aku memang sengaja ke rumah Mama untuk membantu Mama membersihkan sampah yang masih terlihat dibeberapa tempat.Sambil membawa Alea aku duduk merapikan beberapa barang yang ada didekatku. Tanpa sengaja aku mendengar Mama menggerutu, "Enak betul jadi suami pengangguran, jam segini masih molor. Nggak punya malu pisan. Istrinya dari pagi sudah berangkat kerja. Kamu salah milih suami Syena! "Aku terdiam beberapa saat sambil kembali melirik kamar Syena. Aku khawatir tiba-tiba Ridwan nongol mendengar omelan Mamaku. Tapi iya juga sih, seorang laki-laki kalau sudah jadi imam atau pemimpin dalam rumah tangga seharusnya sudah paham tanggungjawab yang ada dipundaknya.Ridwan memang keterlaluan, aku juga jadi merasa iba kepada a