POV HananPekerjaan di kantor akhir-akhir ini begitu banyak menguras energi. Sejak pulang dari kampung, banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan di kantor. Keuangan kantor yang mengalami masalah, di mana terjadi keterlambatan pembayaran tagihan yang menyebabkan para mitra bisnis marah-marah dan bahkan ada yang memutuskan hubungan kerja. Perusahaan cabang yang di mana aku bekerja memang belum lama berdiri, semua pembayarannya tagihan masih dengan manual. Tidak seperti di pusat yang menggunakan software untuk membantu membayarkan tagihan secara otomatis ke berbagai rekening perusahaan. Entah apa yang terjadi, ada beberapa mitra bisnis yang terlambat menerima pembayaran yang sudah jatuh tempo ditambah lagi terbentur dengan libur lebaran menyebabkan bank-bank tutup. Giro pun tidak bisa di proses kliring dengan cepat. Akhirnya semua masalah bertumpuk dan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Sebagai orang yang dipercaya, mau tak mau aku harus melobi dan meyakinkan mitra bisnis ka
Ponselku bergetar, segera kutepikan mobil yang aku kendarai. Sebuah pesan berupa video masuk ke dalam smartphone itu. Ini nomor ponsel yang tadi kuminta dari Bibi. Kubuka video tersebut, terlihat bayi kembar kami sedang asyik bermain berdua. Padahal belum lama tertidur tapi sekarang sudah bangun saja. Namun mereka tampak anteng dan bahagia. Berguling dan merangkak bersama seakan berlomba. Apalagi saat Bibi memperlihatkan mainan full warna dan mengeluarkan bunyi kerincing. "Lihat, mereka sudah tenang dan tampak senang." Aku berkata sambil memperlihatkan layar smartphone pada Hunsiah. "Ayo pulang." Akhirnya Husniah buka suara. "Mereka aman sama Bibi, sekarang kamu makan dulu ya." Aku berkata sambil meraih kantong plastik berisi makanan ringan dan minuman. Kuberikan susu rasa kedelai padanya, lalu setelah minuman itu berpindah ke perut Husniah semua, kusodorkan roti isi coklat padanya. Tanpa banyak protes, Husniah juga memakannya, kemudian ditutup dengan minum air mineral. "Mau jala
"Apa aku ini terlihat seperti bapak-bapak mesum yang hanya memikirkan tentang hal-hal seperti itu saja di atas ranjang?" Aku bertanya sembari tertawa. Tawa untuk menghilangkan suasana tegang yang tiba-tiba tercipta di dalam ruangan ini.Perlahan aku bangkit dari tempat tidur dan menghampiri Husniah yang masih berdiri tak jauh dari meja riasnya. Diam, tidak ada balasan dari Hunsiah, hanya wajahnya tidak cemberut lagi. "Aku minta maaf kalau membuatmu berpikir seperti itu, itu pasti karena kesalahanku yang memintamu melayaniku tiap kali ada kesempatan," ucapku sembari mengusap rambutnya yang diikat asal.Husniah seperti tidak sempat lagi merawat rambutnya seperti dulu, dia sibuk dengan anak-anaknya. Kubuka ikatan rambut itu dan menggerainya, kuraih sisir yang ada di atas meja rias dan mencoba untuk menyisir rambut Husniah. Wanita itu diam saja, tidak menolaknya. "Rambutku rontok," lirih Husniah. Kudapati beberapa helai rambut tersangkut di sisir saat aku menyisir rambut hitam panjan
"Jangan menyalahkan diri sendiri." Aku berkata sembari menyandarkan daguku pada pundaknya. Pandangan kami sama-sama ke tempat dimana kedua bayi itu tidur pulas. "Tidurlah lagi, pagi masih lama," perintahku pada Husniah. "Kamu besok kerja, Mas?" Bukannya membalas perkataanku, wanita yang ada dalam dekapanku ini malah bertanya hal lain. "Menurutmu?" Aku balik bertanya. "Terserah!" Husniah berseru dengan suara lebih tinggi dari sebelumnya, dia hendak mengurai pelukanku. "Aku tidak akan kerja, Sayang. Maaf jika jawabanku barusan tidak berkenan di hatimu. Pekerjaan memang penting, tapi keluarga jauh lebih penting. Kamu dan anak-anak itu yang akan menghabiskan waktu bersamaku hingga aku tua nanti." Husniah hanya menghela nafas panjang. Akhir-akhir ini, wanita ini memang tidak bisa diajak bercanda sama sekali bawaannya nge-gas terus. "Tidurlah lagi," pintaku pada wanita itu lagi. ***Celoteh dua bayi kembar kembali terdengar nyaring dan bersahutan di rumah kami. Mereka akhirnya seha
"Kamu wangi banget sih, Sayang." Aku berkata sembari menyadarkan kepalaku di pundaknya. "Mas ....""Iya, iya." Aku segera menarik diri dari pundaknya, tak mau membuatnya kehilangan kesenangan yang mungkin baru saja diperolehnya dengan ulahku menempel-nempel padanya. "Ngomong-ngomong, sejak si kembar lahir, aku tak pernah bermanja-manja padamu. Aku kangen, loh." Aku coba membujuknya.Hunsiah langsung memutar kepalanya, menatap padaku. "Kamu lebih tua dari pada aku, Mas. Wajar dong kalau aku yang manja, toh dulu kamu pernah manja-manja juga, kan," balas Hunsiah.Hiss, dia membahas usia sekarang. Iya, aku pernah begitu manja padanya pasca bangun dari koma. Aku bagi bayi besar yang dimanjakan oleh istriku. Husniah yang jauh lebih muda daripada aku itu, begitu bersikap dewasa saat itu dan hal itu membuat semakin jatuh cinta. "Oke, aku yang gantian akan memanjakanmu sekarang." "Janji, ya.""Iya," jawabku dengan mantap. "Udah aku lakukan sejak mulai kamu hamil, kan. Bahkan seingatku se
POV Husniah Aku benci, sangat membencinya. Mas Hanan pulang dengan baju yang berbeda. Tadi dia mengatakan akan ke kantor karena ada pekerjaan, berangkat mengunakan baju kerja, tapi tiba-tiba pulang dengan pakaian olahraga. Air mataku semakin meleleh saat membayangkan hal yang tidak-tidak sudah dilakukan Mas Hanan di luar sana, membuatku semakin mengabaikan Atma yang masih tergeletak dengan tangisannya. Benar kata Mas Hanan, Atma lebih kalem daripada saudara kembarnya. Lagi-lagi anak yang jadi korban karena sakit hati dan kesedihan orang tuanya. Aku tidak peduli dengan apa yang dilakukan Mas Hanan untuk menenangkan anak-anaknya, hatiku sendiri sekarang terasa bergemuruh dan tersiksa. Aku memang tidak bisa menjadi ibu yang baik. Dulu aku merasa menjadi wanita yang begitu kuat, tapi kenapa setelah melahirkan, aku jadi seperti ini.Setelah bayi-bayi itu ditenangkan dan dijaga oleh Bibi, Mas Hanan gantian membujukku. Dia menjelaskan yang sebenarnya terjadi, kenapa dia sering pulang mala
POV Hanan"Ayolah, Sayang. Aku mau putri cantik seperti ini." Aku berkata sembari memperlihatkan foto anak Syifa yang tersimpan di galeri ponselku. Bocah perempuan dengan pipi tembam dan bibir mungil, bahasanya kerennya sekarang, gemoy. Kulitnya putih seperti Wisnu, rambutnya lurus dan hitam seperti Syifa, aku juga ingin memilikinya. Anak perempuan cantik seperti mamanya. "Kamu ini pengen anak seperti pengen makanan saja, Mas. Tinggal pesan terus jadi," sahut Hunsiah tanpa peduli pada foto yang aku perlihatkan. Dia hanya menatap sekilas lalu kembali sibuk bermain dengan anak-anaknya. Dia enak sudah ada dua bocah laki-laki yang terlihat begitu sayang dan cinta padanya. Sedangkan aku, belum ada anak gadis yang mengagumiku sebagai papanya, sosok yang katanya cinta pertama bagi anak perempuan. Aku juga ingin dipuja dan dikagumi wanita lain selain istriku. "Kalau kamu mau, pasti juga langsung jadi. Makanya mau yaa hamil lagi," bujukku lagi. "Pantas saja kamu gak mau anterin aku ke dok
Aku pulang di sambut oleh si kembar, tak biasanya tidak ada Husniah bersama mereka. "Mama mana?" tanyaku pada dua bocah yang bergelayut manja di kedua lenganku. Saat mendengar mobilku datang, mereka akan berlarian ke luar dan menyambut kedatanganku. Lalu sama-sama minta di gendong. Di usianya yang ke empat, cukup berat juga mengendong keduanya sekaligus. "Di kamar," jawab Atma. "Mama tidak keluar sejak tadi pagi," timpal Nata. Mereka berdua memang sudah cukup lihai berkomunikasi, mereka bisa diajak berbicara dua arah meskipun dengan logat yang belum sepenuhnya fasih. Ada beberapa huruf yang belum bisa diucapkan dengan benar. "Kalian sudah pada mandi?" "Sudah," jawabnya berbarengan. "Oke, main dulu sendiri yaa. Papa ganti baju dulu," perintahku pada anak-anak itu. Keduanya segera turun dari gendonganku begitu sampai di dalam pintu kamar. Lalu berlarian kembali ke tempat mereka bermain tadi. Aku penasaran dengan Husniah, apa yang terjadi padanya hingga tak mau keluar dari kama