"Apa aku ini terlihat seperti bapak-bapak mesum yang hanya memikirkan tentang hal-hal seperti itu saja di atas ranjang?" Aku bertanya sembari tertawa. Tawa untuk menghilangkan suasana tegang yang tiba-tiba tercipta di dalam ruangan ini.Perlahan aku bangkit dari tempat tidur dan menghampiri Husniah yang masih berdiri tak jauh dari meja riasnya. Diam, tidak ada balasan dari Hunsiah, hanya wajahnya tidak cemberut lagi. "Aku minta maaf kalau membuatmu berpikir seperti itu, itu pasti karena kesalahanku yang memintamu melayaniku tiap kali ada kesempatan," ucapku sembari mengusap rambutnya yang diikat asal.Husniah seperti tidak sempat lagi merawat rambutnya seperti dulu, dia sibuk dengan anak-anaknya. Kubuka ikatan rambut itu dan menggerainya, kuraih sisir yang ada di atas meja rias dan mencoba untuk menyisir rambut Husniah. Wanita itu diam saja, tidak menolaknya. "Rambutku rontok," lirih Husniah. Kudapati beberapa helai rambut tersangkut di sisir saat aku menyisir rambut hitam panjan
"Jangan menyalahkan diri sendiri." Aku berkata sembari menyandarkan daguku pada pundaknya. Pandangan kami sama-sama ke tempat dimana kedua bayi itu tidur pulas. "Tidurlah lagi, pagi masih lama," perintahku pada Husniah. "Kamu besok kerja, Mas?" Bukannya membalas perkataanku, wanita yang ada dalam dekapanku ini malah bertanya hal lain. "Menurutmu?" Aku balik bertanya. "Terserah!" Husniah berseru dengan suara lebih tinggi dari sebelumnya, dia hendak mengurai pelukanku. "Aku tidak akan kerja, Sayang. Maaf jika jawabanku barusan tidak berkenan di hatimu. Pekerjaan memang penting, tapi keluarga jauh lebih penting. Kamu dan anak-anak itu yang akan menghabiskan waktu bersamaku hingga aku tua nanti." Husniah hanya menghela nafas panjang. Akhir-akhir ini, wanita ini memang tidak bisa diajak bercanda sama sekali bawaannya nge-gas terus. "Tidurlah lagi," pintaku pada wanita itu lagi. ***Celoteh dua bayi kembar kembali terdengar nyaring dan bersahutan di rumah kami. Mereka akhirnya seha
"Kamu wangi banget sih, Sayang." Aku berkata sembari menyadarkan kepalaku di pundaknya. "Mas ....""Iya, iya." Aku segera menarik diri dari pundaknya, tak mau membuatnya kehilangan kesenangan yang mungkin baru saja diperolehnya dengan ulahku menempel-nempel padanya. "Ngomong-ngomong, sejak si kembar lahir, aku tak pernah bermanja-manja padamu. Aku kangen, loh." Aku coba membujuknya.Hunsiah langsung memutar kepalanya, menatap padaku. "Kamu lebih tua dari pada aku, Mas. Wajar dong kalau aku yang manja, toh dulu kamu pernah manja-manja juga, kan," balas Hunsiah.Hiss, dia membahas usia sekarang. Iya, aku pernah begitu manja padanya pasca bangun dari koma. Aku bagi bayi besar yang dimanjakan oleh istriku. Husniah yang jauh lebih muda daripada aku itu, begitu bersikap dewasa saat itu dan hal itu membuat semakin jatuh cinta. "Oke, aku yang gantian akan memanjakanmu sekarang." "Janji, ya.""Iya," jawabku dengan mantap. "Udah aku lakukan sejak mulai kamu hamil, kan. Bahkan seingatku se
POV Husniah Aku benci, sangat membencinya. Mas Hanan pulang dengan baju yang berbeda. Tadi dia mengatakan akan ke kantor karena ada pekerjaan, berangkat mengunakan baju kerja, tapi tiba-tiba pulang dengan pakaian olahraga. Air mataku semakin meleleh saat membayangkan hal yang tidak-tidak sudah dilakukan Mas Hanan di luar sana, membuatku semakin mengabaikan Atma yang masih tergeletak dengan tangisannya. Benar kata Mas Hanan, Atma lebih kalem daripada saudara kembarnya. Lagi-lagi anak yang jadi korban karena sakit hati dan kesedihan orang tuanya. Aku tidak peduli dengan apa yang dilakukan Mas Hanan untuk menenangkan anak-anaknya, hatiku sendiri sekarang terasa bergemuruh dan tersiksa. Aku memang tidak bisa menjadi ibu yang baik. Dulu aku merasa menjadi wanita yang begitu kuat, tapi kenapa setelah melahirkan, aku jadi seperti ini.Setelah bayi-bayi itu ditenangkan dan dijaga oleh Bibi, Mas Hanan gantian membujukku. Dia menjelaskan yang sebenarnya terjadi, kenapa dia sering pulang mala
POV Hanan"Ayolah, Sayang. Aku mau putri cantik seperti ini." Aku berkata sembari memperlihatkan foto anak Syifa yang tersimpan di galeri ponselku. Bocah perempuan dengan pipi tembam dan bibir mungil, bahasanya kerennya sekarang, gemoy. Kulitnya putih seperti Wisnu, rambutnya lurus dan hitam seperti Syifa, aku juga ingin memilikinya. Anak perempuan cantik seperti mamanya. "Kamu ini pengen anak seperti pengen makanan saja, Mas. Tinggal pesan terus jadi," sahut Hunsiah tanpa peduli pada foto yang aku perlihatkan. Dia hanya menatap sekilas lalu kembali sibuk bermain dengan anak-anaknya. Dia enak sudah ada dua bocah laki-laki yang terlihat begitu sayang dan cinta padanya. Sedangkan aku, belum ada anak gadis yang mengagumiku sebagai papanya, sosok yang katanya cinta pertama bagi anak perempuan. Aku juga ingin dipuja dan dikagumi wanita lain selain istriku. "Kalau kamu mau, pasti juga langsung jadi. Makanya mau yaa hamil lagi," bujukku lagi. "Pantas saja kamu gak mau anterin aku ke dok
Aku pulang di sambut oleh si kembar, tak biasanya tidak ada Husniah bersama mereka. "Mama mana?" tanyaku pada dua bocah yang bergelayut manja di kedua lenganku. Saat mendengar mobilku datang, mereka akan berlarian ke luar dan menyambut kedatanganku. Lalu sama-sama minta di gendong. Di usianya yang ke empat, cukup berat juga mengendong keduanya sekaligus. "Di kamar," jawab Atma. "Mama tidak keluar sejak tadi pagi," timpal Nata. Mereka berdua memang sudah cukup lihai berkomunikasi, mereka bisa diajak berbicara dua arah meskipun dengan logat yang belum sepenuhnya fasih. Ada beberapa huruf yang belum bisa diucapkan dengan benar. "Kalian sudah pada mandi?" "Sudah," jawabnya berbarengan. "Oke, main dulu sendiri yaa. Papa ganti baju dulu," perintahku pada anak-anak itu. Keduanya segera turun dari gendonganku begitu sampai di dalam pintu kamar. Lalu berlarian kembali ke tempat mereka bermain tadi. Aku penasaran dengan Husniah, apa yang terjadi padanya hingga tak mau keluar dari kama
Putri yang begitu aku inginkan itu akhirnya lahir juga ke dunia. Kulitnya putih seperti salju, bibirnya kecil dan merah seperti darah, bulu matanya yang lentik, rambutnya lurus dan hitam, dia bagikan bidadari. Bukan aku berlebihan hingga mendiskripsikan seperti putri dari negeri dongeng. Tapi bayi itu memang secantik itu, bagiku."Taruh, Mas, jangan digedong terus. Nanti kalau kebiasaan siapa yang repot," ucap Husniah saat melihatku masih saja mengendong bayi yang belum bernama itu. Baru dua kali dua puluh empat jam yang lalu bayi itu terlahir di dunia, dan aku terus saja mengaguminya. Kami masih ada di rumah sakit, di ruang rawat inap. Si kembar ada di rumah dalam pengawasan Ibu dan Bapak. Mereka berdua sengaja datang dari kampung menjelang kelahiran bayi yang dikandung Husniah. "Nanti aku yang bakalan gendong," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari bayi mungil itu."Kalau kamu kerja?""Nanti ada pengasuhnya."Husniah menghela nafas panjang. Mendengar helaan nafasnya, aku segera
Suara ibu-ibu membaca ayat suci Alquran terdengar di ruang depan. Ibu-ibu pengajian komplek yang datang untuk syukuran rumah baru kami. Anak-anak berada di halaman belakang untuk mengadakan acara ulang tahun putri kami sembari menunggu orang tua mereka yang masih mengadakan pengajian. Husniah, Ibu dan Syifa ada di ruang tengah menemani ibu-ibu di sana, sedangkan aku dan Wisnu menemani anak-anak. Hanya acara sederhana saja, mendoakan agar si kecil Hulya sehat selalu dan bahagia. Kami sengaja melakukan di hari yang sama, sekalian reportnya, begitu yang kami pikirkan. Lagipula tanggal dimana kami pindahan memang tidak jauh-jauh dari tanggal Hulya ulang tahun. Acara berjalan dengan lancar, baik pengajian maupun ulang tahun. Semua orang pulang saat acara selesai di jam empat sore. Tadi kami memulainya sekitar jam dua siang. Tinggallah keluarga kami saja yang ada. Ibu dan Bapak serta Syifa sekeluarga, masih akan menginap di sini.***Tawa anak-anak bergema di ruang bermain. Sengaja aku s