"Kenapa Mas? Cemburu?" cecar Arum dengan nada yang lebih tajam dari biasanya, matanya menyipit penuh kecurigaan. Wajahnya yang biasanya lembut kini mengeras, menunjukkan ekspresi penuh kekesalan.Danu menatap Arum, terkejut dengan reaksi istrinya yang mendadak. “Apa maksudmu, Arum? Aku tidak cemburu,” jawabnya dengan suara yang mencoba tenang, meski ada sedikit kebingungan di dalamnya. “Aku hanya … tidak menyangka saja. Mike dan Rahma? Itu benar-benar di luar dugaanku.”Arum memutar matanya, masih belum puas dengan jawaban Danu. “Kamu tidak menyangka atau kamu tidak rela?” tanyanya, kali ini dengan nada lebih dingin.Danu menghela napas panjang, menyadari bahwa situasi ini bisa menjadi lebih buruk jika ia tidak segera menjelaskan semuanya. “Arum, dengar, aku tidak pernah punya perasaan apa pun dengan Rahma. Seandainya aku punya niat seperti itu, tentu aku sudah melakukannya sejak dulu, secara diam-diam. Justru sekarang aku merasa lega mendengar kabar ini. Pernikahan ini mungkin adalah
“Rahma?” Arum terperangah, tidak menyangka perempuan yang pernah meminta izin untuk menjadi istru kedua Danu akan muncul di depan rumahnya.Rahma tersenyum, senyum yang tampak hangat namun menyiratkan permohonan maaf. “Selamat pagi, Mbak. Bolehkah aku masuk?” tanyanya dengan nada lembut.Arum ragu sejenak, tetapi kemudian mengangguk pelan. “Tentu, silahkan masuk.”Rahma melangkah masuk dengan hati-hati, seolah-olah menyadari bahwa kedatangannya mungkin membawa perasaan yang campur aduk bagi mereka semua. Ibu Danu yang melihat Rahma dari ruang tamu, segera berdiri. Wajahnya menunjukkan kehangatan yang tulus, meski ada sedikit kebingungan di balik senyumnya.“Rahma, apa kabar, Nak?” sapa ibu Danu, mengundang Rahma untuk duduk di sebelahnya.Rahma tersenyum lebih lebar, jelas sekali ia merasa sangat nyaman dengan keberadaan ibu Danu. “Baik, Bu. Saya baik. Maafkan saya jika saya datang tanpa memberi kabar dulu,” jawabnya dengan nada yang sopan.“Maaf jika kedatangan saya mengganggu, Mbak
“Maaf jika pernikahanmu harus sesederhana ini,” ucap Surya Wijaya sambil merapikan jas yang dikenakan oleh Mike.Mike hanya tersenyum, sejak kecil dia memang senang menyendiri dan tidak suka dengan keramaian. Tidak masalah baginya dengan pernikahan yang sangat sederhana.Jika ada yang terasa kurang bagi Mike, pernikahannya hanya dihadiri oleh sang papa saja. Rania dan kedua saudaranya tidak bisa menemaninya di hari bahagianya kali ini. Dia harus menerima ini semua sebagai konsekuensi dari pernikahan dadakannya.“Bagiku, papa saja sudah cukup.”“Kau tidak ada keinginan untuk membuat resepsi pernikahan sesudah ini?”“Tidak Pa, yang penting kami sah sebagai suami istri.”“Bukan karena Rahma janda beranak satu?” Surya Wijaya berusaha menyelidiki.“Rahma juga tidak menginginkan adanya pesta, dia masih merasa tidak percaya diri dengan dirinya sendiri. Jadi … tidak ada yang perlu dipermasalahkan,” jawab Mike terdengar legowo dan bijaksana.Surya Wijaya menganggukkan kepalanya memahami situas
Seluruh rangkaian acara pernikahan telah usai. Untuk pertama kalinya Rahma dan Jelita bersedia untuk makan malam bersama dengan Mike dan Surya Wijaya, sebelumnya mereka lebih memilih untuk makan bersama dengan para asisten rumah tangga.“Kamu suka dengan kamar barumu?” tanya Surya Wijaya memancing pembicaraan dengan Jelita.“Suka, suka sekali Opa,” jawab Jelita dengan polos dan mata penuh binar bahagia.“Jadi mulai malam ini sudah berani tidur sendiri kan?”Rahma dan Mike hanya saling memandang, ada rasa takut tetapi juga terlihat jelas rasa malu tersirat di sana. Sementara itu jelita hanya terdiam sambil menatap sang ibu yang sejak tadi hanya diam saja.“Tapi Om jahat tidak akan datang kan?” Binar bahagia di mata gadis itu kini berubah penuh ketakutan.Surya Wijaya berusaha tersenyum lebar meskipun dia menyadari ketakutan yang dirasakan oleh Jelita. Tetapi dia juga ingin mengajarkan kemandirian kepada cucunya tersebut, selain itu tentunya ingin memberi kesempatan kepada Mike dan Rahm
Jemari Mike tampak meraba-raba nakas mencari kaca matnya. Setelah menemukannya dia langsung memakainya. Senyum merekah di bibirnya saat bisa menyaksikan perempuan yang telah sah menjadi istrinya terlelap dalam pelukannya.Kecupan lembut di dahi membuat Rahma akhirnya terbangun. Kebahagiaan yang membuncah bercampur malu membuat Rahma memalingkan wajah dan mengangkat selimut untuk menutupi dada yang penuh dengan sisa percintaan semalam.“Selamat pagi Nyonya Wijaya,” sapa Mike dengan nada menggoda. “Sepertinya aku harus mempertimbangkan untuk LASIK.”“Lasik?” tanya Rahma yang benar-benar tidak tahu maksud pembicaraan suaminya.“Ya, agar setiap pagi aku bisa langsung menikmati kecantikan wajah istriku.”Meski belum tahu apa itu LASIK, tetapi wajah Rahma semakin merona mendengar gombalan dari Mike. Sungguh Rahma tidak pernah menduga pria yang terlihat dingin dan selalu serius itu bisa segombal ini.“Jam berapa, aku harus segera menyiapkan sarapan untuk ….”Mike segera mencegah Rahma meliha
Beberapa bulan setelah semua konflik yang mengguncang hidup mereka, Ageng dan Queen akhirnya bisa menikmati ketenangan. Rumah mereka yang dulunya dipenuhi oleh kekhawatiran kini terasa hangat dengan cinta dan kebahagiaan. Perut Queen yang semakin hari semakin besar dengan kehamilannya, kini sudah memasuki bulan ketujuh. Hari ini, mereka akan mengadakan acara tujuh bulanan, sebuah tradisi yang akan mereka isi dengan doa-doa.Acara tujuh bulanan itu berlangsung meriah, dipenuhi dengan tawa dan canda dari kerabat dan sahabat yang datang. Ageng dan Queen tak henti-hentinya menerima ucapan selamat dan doa-doa dari para tamu yang hadir. Keduanya tampak sangat bahagia, terutama Queen yang tak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya meski sesekali ia menahan rasa lelah akibat kehamilannya yang sudah memasuki trimester ketiga.Jika ada yang masih terasa kurang bagi Queen, tentu karena kedua orang tuanya yang tidak bisa hadir dalam acara tersebut. Bahkan Rey yang sudah dibebaskan pun tidak juga
“Mama yang mengirimkan semua ini?” tanya Queen entah kepada siapa.Namun, Mike yang sempat mengurus ke datangan barang-barang tersebut menganggukkan kepala untuk menghilangkan rasa was was dan curiga di hati Ageng dan Queen. Meskipun situasi sudah lebih baik, tetapi keluarga Wardana tetap bersikap waspada. Bukan hanya dari orang-orang yang pernah berniat jahat kepada mereka, tetapi juga rekan bisnis yang terlibat dalam kasus pencucian uang.Ya, semua barang-barang tersebut memang kiriman dari Rania. Karena merasa tidak bisa mendampingi Queen selama kehamilannya, Rania memberikan hadiah untuk cucunya.Queen merasa matanya mulai berkaca-kaca saat Mike mengangguk, mengonfirmasi bahwa semua barang-barang tersebut memang kiriman dari Rania. Tiba-tiba, perasaan hangat dan haru membanjiri hatinya. Sejak kehamilannya, Queen merindukan kehadiran sang mama, merindukan dukungan dan nasihat yang biasa diberikan dengan lembut.Mengetahui bahwa Rania telah memikirkan mereka dengan begitu dalam, mes
Bryan yang awalnya berdiri bersandar pada mobil sportnya, melangkah maju dengan penuh percaya diri, menatap para debt collector dengan pandangan yang penuh otoritas. Keempat pria itu, yang tadinya tampak begitu garang, kini terlihat ragu-ragu.Bryan dengan sikap tenang namun tegas, mengeluarkan dompet kulit hitam yang tampak mahal dari sakunya dan menunjukkan beberapa kartu kredit dengan limit yang tentu saja tidak kecil."Kenalkan, saya Bryan Kusuma Atmadja.” Bryan mengenalkan dirinya tanpa perlu penjelasan lebih lanjut. "Naya adalah teman saya, dan saya akan pastikan semua urusannya beres. Kalian tidak perlu khawatir soal pembayaran. Hutangnya akan segera dilunasi. Sekali lagi dilunasi, bukan hanya dicicil. Ini kartu nama saya, catat nomornya dan saya pastikan akan membereskan semua urusan ini secepat mungkin."Para debt collector itu tampak terkejut, tapi dengan cepat menyesuaikan diri. Mereka sudah terbiasa berhadapan dengan orang-orang yang berusaha menghindari pembayaran, tetapi
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l