Bryan yang awalnya berdiri bersandar pada mobil sportnya, melangkah maju dengan penuh percaya diri, menatap para debt collector dengan pandangan yang penuh otoritas. Keempat pria itu, yang tadinya tampak begitu garang, kini terlihat ragu-ragu.Bryan dengan sikap tenang namun tegas, mengeluarkan dompet kulit hitam yang tampak mahal dari sakunya dan menunjukkan beberapa kartu kredit dengan limit yang tentu saja tidak kecil."Kenalkan, saya Bryan Kusuma Atmadja.” Bryan mengenalkan dirinya tanpa perlu penjelasan lebih lanjut. "Naya adalah teman saya, dan saya akan pastikan semua urusannya beres. Kalian tidak perlu khawatir soal pembayaran. Hutangnya akan segera dilunasi. Sekali lagi dilunasi, bukan hanya dicicil. Ini kartu nama saya, catat nomornya dan saya pastikan akan membereskan semua urusan ini secepat mungkin."Para debt collector itu tampak terkejut, tapi dengan cepat menyesuaikan diri. Mereka sudah terbiasa berhadapan dengan orang-orang yang berusaha menghindari pembayaran, tetapi
Setelah dari acara tujuh bulan kehamilan Queen, Bryan dan Naya melanjutkan pertemuan di sebuah kafe yang tidak jauh dari dari komplek perumahan keluarga Wardana.Di dalam kafe yang sepi, Bryan memilih meja di sudut yang memberikan mereka privasi. Naya duduk dengan perasaan cemas yang semakin tak tertahankan. Dia tahu bahwa percakapan ini akan menentukan nasibnya ke depan, tapi dia tidak siap untuk apa yang akan datang.“Jadi, aku langsung saja.” Tanpa bas abasi Bryan memulai pembicaraan setelah memesan minuman. “Aku tahu situasimu, dan aku bisa melihat betapa sulitnya hidup yang kau jalani saat ini. Semua utang itu, beban keluarga, pekerjaan yang tak cukup untuk menutup semua kebutuhanmu.”Naya menggigit bibirnya, menahan emosi yang berkecamuk. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Bryan, tapi kata-kata itu benar-benar menghantamnya.“Aku bisa membantumu,” lanjut Bryan dengan suara yang tenang namun penuh arti. “Aku bisa melunasi semua utangmu, bahkan memastikan keluargamu
“Hallo, Mama! Apa kabar?” sapa Queen dengan antusias. Di layar, wajah Rania muncul, terlihat jauh lebih segar dan ceria dibandingkan beberapa bulan lalu. Rambutnya yang dulu sempat menipis karena perawatan medis kini tampak mulai tumbuh kembali, memberikan kesan sehat.Melihat Queen yang sedang berbincang dengan Rania, Laras dan Arya Suta pun menyingkir, memberi waktu seluas-luasnya bagi Queen untuk bisa berbincang dan melepas rindu dengan sang mama. Hanya Ageng yang masih setia menemani Queen. Calon ayah itu terlihat sangat bahagia menyaksikan senyum yang dari tadi menghiasi bibir istrinya.“Kabar Mama baik sekali, Queen,” jawab Rania dengan senyuman penuh kebahagiaan. “Mama semakin sehat setiap harinya. Di sini suasananya sangat mendukung untuk penyembuhan.”Queen bisa melihat kebahagiaan terpancar dari wajah Rania, dan itu membuatnya merasa lega. Di belakang Rania, sosok Surya Wijaya tampak berdiri dengan santai, mengangguk ramah kepada Queen ketika mereka saling bertukar pandang.
Victoria dan Rani pertama kali bertemu di Singapura, sebuah pertemuan yang tanpa diduga akan berkembang menjadi persahabatan yang begitu erat. Mereka belajar di kampus yang sama, di jurusan Seni Kreatif dan Desain. Perjumpaan mereka di kampus terasa alami, seperti bertemu seseorang yang sudah dikenal lama, meskipun kenyataannya mereka baru saja saling mengenal.Setiap kali ada tugas kelompok atau proyek kreatif, Victoria dan Rani sering kali memilih untuk bekerja bersama. Mereka memiliki cara pandang yang serupa dalam banyak hal, termasuk dalam memahami seni dan desain. Keduanya saling melengkapi, Rani dengan ide-ide segarnya dan Victoria dengan pendekatan yang lebih analitis. Persahabatan mereka tumbuh dengan cepat, dan tak lama kemudian, mereka menjadi sahabat dekat.Namun, kehidupan di luar kampus tidak selalu seindah dan secerah proyek-proyek seni yang mereka kerjakan bersama. Dua gadis belia itu sebenarnya tidak ada niat atau keinginan untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri,
Hasil pemeriksaan yang cukup memuaskan membuatkan Rania dan Surya Wijaya sangat bahagia. Meskipun mereka tetap harus menjaga pola hidup sehat untuk mencegah sel kanker aktif kembali.Pasangan paruh baya yang sedang bahagia itu menyusuri lorong rumah sakit dengan tangan yang saling bertautan. Rania dan Surya Wijaya berbincang ringan membicarakan masa depan bersama, dari menyambut kelahiran cucu-cucu mereka, hingga keinginan untuk bisa mendampingi pernikahan Victoria suatu hari nanti.“Pa, tolong ingatkan mama untuk membelikan perlengkapan bayi untuk Rahma nanti!” Mata Rania memancarkan binar bahagia, seolah penuh rencana untuk masa depan.“Masih lama, Ma! Sekarang juga belum ketahuan jenis kelaminnya.”“Maksud mama, nanti kalau acara tujuh bulanan. Mama nggak mau dibilang pilih kasih. Mama sayang semua anak mama.”“Mike tidak akan sampai berpikir seperti itu, dia sudah dewasa.”“Bukan Mike, tapi Rahma. Mama takut kalau sampai dia merasa tidak dianggap. Mama tidak bermaksud merendahkan
Rania, yang menyaksikan kejadian itu, segera mendekati Miranti. Meskipun dahulu Miranti pernah menorehkan luka yang begitu mendalam, tetapi nurainya tidak bisa mengabaikan perempuan yang kini terlihat sangat terpuruk dan rapuh."Miranti, ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Rania dengan nada suara yang penuh perhatian, meskipun ia tak sepenuhnya mengerti situasi yang sebenarnya.Miranti tak mampu memberi jawaban seketika itu juga, tangannya masih bergetar setelah mendengar ucapan dari putrinya yang mengatakan jika kesehatan Eddy semakin menurun. Bahkan saat ini sang suami sedang dalam penangan intensif para dokter yang menanganinya selama ini.Surya Wijaya, yang telah menyaksikan semuanya dari kejauhan, dengan cepat mendekat. “Apa yang terjadi?” tannya Surya Wijaya yang langsung mendapat balasan gelengan kepala oleh Rania.Sementara itu Miranti terlihat kebingungan untuk mengambil tindakan.“Mira!” panggil Rania dengan lembut. Dia melupakan dan mengabaikan luka yang pernah ada berusaha u
Rania menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Iya, aku juga tidak menyangka.” Rania terdiam sejenak seolah ada hal penting yang ingin dia sampaikan kepada sang suami.“Pa … aku ingin kamu tahu bahwa aku sudah tidak lagi merasa terluka oleh pengkhianatan Eddy dan Miranti. Semua itu telah lama berlalu, kehadiranmu dalam hidupku telah mengobati semua luka itu. Aku bahagia hidup bersamamu, bersama anak-anak kita," sambung Rania menatap Surya Wijaya dengan tatap mata penuh cinta.Surya meraih tangan Rania dan menggenggamnya erat. "Aku tahu, dan aku juga bahagia bersamamu. Masa lalu adalah bagian dari siapa kita, tetapi itu tidak selamanya mendefinisikan masa depan kita."Rania tersenyum, merasa beban di hatinya sedikit terangkat. "Mungkin, kita harus mempertimbangkan untuk memberi tahu Queen tentang keadaan Eddy. Bagaimanapun, dia adalah papanya, dan dia berhak tahu jika kondisinya sedang kritis."Surya terdiam sejenak, merenungkan saran Rania. "Aku setuju. Queen harus tahu. Tapi kita
Rania dan Surya Wijaya melangkah cepat menuju ruang ICU, tempat di mana Eddy dirawat. Suasana rumah sakit yang biasanya tenang kini terasa mencekam bagi Rania. Setiap langkah yang diambilnya terasa berat, seolah-olah udara di sekitarnya mengental dengan ketegangan dan kecemasan. Hatinya bergemuruh, sementara pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan terburuk.Sesampainya di depan pintu ICU, mereka disambut oleh Miranti yang tampak lelah dan penuh kesedihan. Mata Miranti yang sembab karena menangis memohon belas kasihan kepada Rania, tanpa kata-kata, hanya dengan tatapan penuh harap. Rania merasa hatinya teriris melihat wanita yang pernah menghancurkan kebahagiaan dalam hidupnya kini begitu rapuh.“Pak Eddy ingin bertemu denganmu, Bu,” bisik Miranti, suaranya nyaris tak terdengar. “Dia ingin meminta maaf ...”Rania terdiam sejenak, menatap dalam ke mata Surya Wijaya, dia membutuhkan izin dari suaminya tersebut. Lalu Surya Wijaya menganggukkan kepala, bukan lagi waktunya untuk cem