Hasil pemeriksaan yang cukup memuaskan membuatkan Rania dan Surya Wijaya sangat bahagia. Meskipun mereka tetap harus menjaga pola hidup sehat untuk mencegah sel kanker aktif kembali.Pasangan paruh baya yang sedang bahagia itu menyusuri lorong rumah sakit dengan tangan yang saling bertautan. Rania dan Surya Wijaya berbincang ringan membicarakan masa depan bersama, dari menyambut kelahiran cucu-cucu mereka, hingga keinginan untuk bisa mendampingi pernikahan Victoria suatu hari nanti.“Pa, tolong ingatkan mama untuk membelikan perlengkapan bayi untuk Rahma nanti!” Mata Rania memancarkan binar bahagia, seolah penuh rencana untuk masa depan.“Masih lama, Ma! Sekarang juga belum ketahuan jenis kelaminnya.”“Maksud mama, nanti kalau acara tujuh bulanan. Mama nggak mau dibilang pilih kasih. Mama sayang semua anak mama.”“Mike tidak akan sampai berpikir seperti itu, dia sudah dewasa.”“Bukan Mike, tapi Rahma. Mama takut kalau sampai dia merasa tidak dianggap. Mama tidak bermaksud merendahkan
Rania, yang menyaksikan kejadian itu, segera mendekati Miranti. Meskipun dahulu Miranti pernah menorehkan luka yang begitu mendalam, tetapi nurainya tidak bisa mengabaikan perempuan yang kini terlihat sangat terpuruk dan rapuh."Miranti, ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Rania dengan nada suara yang penuh perhatian, meskipun ia tak sepenuhnya mengerti situasi yang sebenarnya.Miranti tak mampu memberi jawaban seketika itu juga, tangannya masih bergetar setelah mendengar ucapan dari putrinya yang mengatakan jika kesehatan Eddy semakin menurun. Bahkan saat ini sang suami sedang dalam penangan intensif para dokter yang menanganinya selama ini.Surya Wijaya, yang telah menyaksikan semuanya dari kejauhan, dengan cepat mendekat. “Apa yang terjadi?” tannya Surya Wijaya yang langsung mendapat balasan gelengan kepala oleh Rania.Sementara itu Miranti terlihat kebingungan untuk mengambil tindakan.“Mira!” panggil Rania dengan lembut. Dia melupakan dan mengabaikan luka yang pernah ada berusaha u
Rania menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Iya, aku juga tidak menyangka.” Rania terdiam sejenak seolah ada hal penting yang ingin dia sampaikan kepada sang suami.“Pa … aku ingin kamu tahu bahwa aku sudah tidak lagi merasa terluka oleh pengkhianatan Eddy dan Miranti. Semua itu telah lama berlalu, kehadiranmu dalam hidupku telah mengobati semua luka itu. Aku bahagia hidup bersamamu, bersama anak-anak kita," sambung Rania menatap Surya Wijaya dengan tatap mata penuh cinta.Surya meraih tangan Rania dan menggenggamnya erat. "Aku tahu, dan aku juga bahagia bersamamu. Masa lalu adalah bagian dari siapa kita, tetapi itu tidak selamanya mendefinisikan masa depan kita."Rania tersenyum, merasa beban di hatinya sedikit terangkat. "Mungkin, kita harus mempertimbangkan untuk memberi tahu Queen tentang keadaan Eddy. Bagaimanapun, dia adalah papanya, dan dia berhak tahu jika kondisinya sedang kritis."Surya terdiam sejenak, merenungkan saran Rania. "Aku setuju. Queen harus tahu. Tapi kita
Rania dan Surya Wijaya melangkah cepat menuju ruang ICU, tempat di mana Eddy dirawat. Suasana rumah sakit yang biasanya tenang kini terasa mencekam bagi Rania. Setiap langkah yang diambilnya terasa berat, seolah-olah udara di sekitarnya mengental dengan ketegangan dan kecemasan. Hatinya bergemuruh, sementara pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan terburuk.Sesampainya di depan pintu ICU, mereka disambut oleh Miranti yang tampak lelah dan penuh kesedihan. Mata Miranti yang sembab karena menangis memohon belas kasihan kepada Rania, tanpa kata-kata, hanya dengan tatapan penuh harap. Rania merasa hatinya teriris melihat wanita yang pernah menghancurkan kebahagiaan dalam hidupnya kini begitu rapuh.“Pak Eddy ingin bertemu denganmu, Bu,” bisik Miranti, suaranya nyaris tak terdengar. “Dia ingin meminta maaf ...”Rania terdiam sejenak, menatap dalam ke mata Surya Wijaya, dia membutuhkan izin dari suaminya tersebut. Lalu Surya Wijaya menganggukkan kepala, bukan lagi waktunya untuk cem
Ketika ponsel di tangannya berdering dan memperlihatkan nama Rania, hati Ageng sudah dipenuhi dengan firasat buruk. Baru beberapa saat yang lalu ibu mertuanya itu menghubungi untuk mengabarkan jika kondisi kesehatan Eddy mengalami penurunan, dan kini dia sudah menghubunginya lagi.Suara Rania di seberang terdengar tergesa dan gemetar. “Geng ....” Diam sejenak, dan Ageng menunggu dengan sabar.“Tolong sampaikan kepada Queen kalau … Papa Eddy sudah tiada.” Meski terdengar tenang, tetapi Ageng bisa merasakan kesedihan dalam setiap getar suara ibu mertuanya.Ageng terdiam sesaat, ada rasa tidak percaya tetapi yang lebih terasa berat adalah, bagaimana menyampaikan kabar ini kepada Queen.“Maaf, jika mama membebanimu, tetapi mama tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan kabar ini kepada Queen.”“Saya mengerti, Ma,” sahut Ageng diikuti dengan helaan napas panjang. “Saya akan selalu mendampingi Queen melalui masa sulit ini.”“Terima kasih, Geng!” Mulai terdengar suara isak tangis. “Mama titi
Saat jenazah Eddy tiba dari Singapura, suasana di rumah duka terasa begitu berat dan penuh kesedihan. Angin malam yang dingin seolah menambah beban di hati semua yang hadir. Keluarga besar Wardana, teman-teman dekat, dan kerabat berkumpul di halaman depan.Ketika mobil jenazah berhenti, tangis pecah dari kerumunan. Miranti, dengan wajah pucat dan air mata yang tak terbendung, berdiri terpaku, seakan tidak percaya bahwa suaminya kini hanya tinggal kenangan. Rani, yang terlihat lemah, berusaha tegar di sisi ibunya, tetapi air matanya tak dapat dibendung saat peti jenazah diangkat perlahan dari mobil.Queen, yang baru saja pulih dari pingsan, menangis dalam pelukan Ageng. Dia menggenggam tangan suaminya erat-erat, berusaha menemukan kekuatan di tengah rasa kehilangan yang begitu dalam.Rania merasakan kesedihan yang mendalam melihat putrinya yang terpukul oleh kepergian sang papa. Meskipun hubungannya dengan Eddy telah berakhir bertahun-tahun yang lalu, melihat Queen dalam kondisi sepert
Semua yang hidup pasti akan mati, itu pun disadari oleh mereka yang merasa berduka dengan kepergian Eddy. Mereka sadar hanya menunggu waktu untuk mendapat panggilan, tetapi rasa kehilangan itu tidak bisa pergi begitu saja.Ribuan kata yang menenangkan mereka dengarkan, ribuan dukungan yang harusnya membuat mereka tetap tegak berdiri, seolah raib bersama hembusan angin. Seperti halnya Queen, beberapa hari setelah kepergian Eddy, dia mengurung diri di rumah. Berbicara dan beraktifitas sangat minim, bahkan tidak jarang saat diam, dia meneteskan air mata.Di pagi hari yang cerah, tetapi suadana hati Queen tetap mendung. Sinar matahari pagi seolah tidak mampu menghangatkan dinginnya hati Queen yang masih merasakan duka yang begitu mendalam. Hanya pelukan Ageng membuatnya masih bisa merasakan kenyamanan.“Kamu mau makan sesuatu? Biar dimasakkan bibi.” Ageng mencoba menawarkan sesuatu kepada Queen yang pagi ini masih bergelung di atas ranjang dengan mata yang sembab. “Atau aku yang masak?” A
Rania sudah berdamai dengan masa lalunya. Meskipun tidak bisa melupakan peristiwa masa lalu, tetapi dendam dan rasa sakit hati itu seolah sudah tidak meninggalkan bekas. Sehingga kini dia bisa menerima kedatangan Miranti di rumahnya, sebagai tamu, sebagai teman.“Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu,” ucap Miranti yang berusaha terlihat tegar di hadapan Rania.Rania merasa pembicaraan dengan Miranti saat ini membutuhkan suasana yang lebih akrab dan nyaman. Sehingga dia mengajaknya ke taman belakang, bukan ruang tamu yang tentunya akan terasa sangat formal."Yuk, kita ke taman," ajak Rania dengan ramah, mengisyaratkan agar Miranti mengikutinya. Mereka berjalan beriringan melalui lorong-lorong rumah yang sunyi, menuju ke taman kecil yang ada di belakang rumah.Taman itu adalah tempat favorit Rania untuk menenangkan diri, tempat yang penuh dengan tanaman hijau dan bunga yang mekar, tempat di mana angin sepoi-sepoi membawa aroma segar dan menenangkan.Sesampainya di taman, Ra