Rania sudah berdamai dengan masa lalunya. Meskipun tidak bisa melupakan peristiwa masa lalu, tetapi dendam dan rasa sakit hati itu seolah sudah tidak meninggalkan bekas. Sehingga kini dia bisa menerima kedatangan Miranti di rumahnya, sebagai tamu, sebagai teman.“Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu,” ucap Miranti yang berusaha terlihat tegar di hadapan Rania.Rania merasa pembicaraan dengan Miranti saat ini membutuhkan suasana yang lebih akrab dan nyaman. Sehingga dia mengajaknya ke taman belakang, bukan ruang tamu yang tentunya akan terasa sangat formal."Yuk, kita ke taman," ajak Rania dengan ramah, mengisyaratkan agar Miranti mengikutinya. Mereka berjalan beriringan melalui lorong-lorong rumah yang sunyi, menuju ke taman kecil yang ada di belakang rumah.Taman itu adalah tempat favorit Rania untuk menenangkan diri, tempat yang penuh dengan tanaman hijau dan bunga yang mekar, tempat di mana angin sepoi-sepoi membawa aroma segar dan menenangkan.Sesampainya di taman, Ra
“Takut kalau suatu hari dia akan meninggalkanku. Itulah sebabnya aku selalu meminta uang lebih darinya, untuk investasi, untuk berjaga-jaga. Aku takut dia akan menceraikanku dan meninggalkan aku dan Rani tanpa apa-apa. Itulah yang membuat Queen merasa diabaikan dan akhirnya memilih pergi dari rumah. Memiliki ayah seorang pemilik perusahaan tetapi untuk membayar uang sekolahnya saja tidak bisa.”Miranti kembali menyeka air matanya kala mengingat Queen yang baru saja lulus SMP memilih untuk hidup mandiri dan tinggal di tempat kos sederhana. Bahkan saat teman-temannya melanjutkan pendidikan di sekolah internasional, Queen justru sekolah di SMK negeri yang gratis.Rania mendengarkan dengan saksama, hatinya bercampur aduk antara simpati dan keterkejutan. Sungguh Rania tidak pernah menduga, saat hidupnya begitu diratukan dan bergelimang harta, anaknya justru harus berjuang bertahan hidup sendiri.“Kau mendapat yang kau inginkan?”“Untuk uang ya … tapi tidak dengan cinta dan kebahagiaan.” M
Jawaban itu sudah terpampang jelas di depan mata. Victoria merasa tidak perlu lagi bertanya tentang perasaan Bryan kepadanya. Menurut pandangan matanya, Bryan bukan hanya tergila-gila kepada perempuan yang tadi bersamanya, tetapi dia benar-benar gila dalam mencintai perempuan itu.Victoria mundur perlahan, menjauh dari kafe. Dia tahu bahwa langkah yang diambilnya adalah yang terbaik. Victoria menyadari bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk benar-benar meninggalkan perasaan cinta kepada Bryan. Selama ini, dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa Bryan mungkin memiliki perasaan yang sama. Namun, kenyataan di depan matanya tak bisa disangkal.Tiba di mobilnya, Victoria menumpahkan segala rasa pedih dalam tangis. Dia harus bisa menenangkan dirinya terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Jangan sampai kedua orang tuanya curiga, jangan sampai mereka melihatnya bersedih.Setelah beberapa saat, tangisnya mereda, digantikan oleh kesadaran bahwa dia harus mengambil keputusan. Victoria
Menghabiskan waktu bersama istri tercinta setelah beraktifitas seharian seolah menjadi obat mujarab untuk menghilangkan rasa lelah bagi Ageng. Di atas ranjang king size yang empuk, Queen bersandar nyama di dada bidang sang suami.Sementara itu, Ageng seolah tidak ada bosannya untuk terus mengusap lembut perut buncit istrinya. Sentuhan itu bukan hanya bentuk kasih sayang, tetapi juga cara Ageng untuk berkomunikasi dengan bayi mereka yang akan segera lahir.“Aku suka nama Jinan,” ucap Ageng tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh keyakinan.Queen yang masih tenggelam dalam kenyamanan momen tersebut langsung terdiam sejenak, lalu dengan nada yang agak jahil dia menimpali, “Kenapa Jinan? Apa ini nama calon anakmu dengan Davianna?”Rasa kesal segera menyergap hati Ageng, meskipun dia berusaha menahannya. Dengan hembusan napas yang terdengar jelas, dia merasakan percikan emosi dan perasaan tidak nyaman saat mendengar nama mantan kekasihnya itu.“Ini tidak ada hubungannya dengan Davi. Jangan
Akhir pekan itu, matahari bersinar cerah, seolah menyinari suasana bahagia yang menyelimuti rumah keluarga Wardana. Setelah masa-masa penuh duka yang dialami Queen, Laras sengaja mengundang Arum, Danu, dan kedua anak mereka untuk menghidupkan kembali keceriaan di rumah itu. Tidak hanya sekadar untuk bersilaturahmi, kedatangan mereka membawa angin segar yang sudah dinantikan oleh Queen, terlebih setelah kehilangan sang papa yang begitu dirindukannya.Di ruang tamu, terdengar suara tawa anak-anak yang bermain ceria, sementara di sudut ruangan, Queen duduk dengan wajah yang lebih tenang. Meski masih ada sedikit bayang-bayang duka, kehadiran keluarga besar ini benar-benar membuat suasana hatinya sedikit demi sedikit pulih.Sebenarnya Arum dan Danu sudah berencana untuk datang, bukan hanya sekedar berkunjung karena merasa rindu, tetapi mereka juga membawakan minyak kelapa yang pernah dijanjikan oleh ibu Danu. Minyak kelapa yang katanya bisa membantu mempercepat proses persalinan.“Queen, i
Di ruang keluarga yang hangat, untuk saat ini Ardan, cucu pertama di keluarga Wardana masih menjadi bintangnya. Mungkin setelah Danar tumbuh lucu dan mulai aktif serta disusul dengan kelahiran anak Ageng dan Queen, Ardan harus mulai terbiasa dengan perhatian yang akan terbelah.Di hampir setiap kumpul keluarga seperti ini, Ardan akan menjadi pengisi acara dengan berkaraoke ria menyanyikan lagu-lagu anak yang dia sukai. Sementara para orang dewasa terlihat begitu terhibur dengan suara sumbang yang sering tidak pas nada.Setelah lelah menyanyikan beberapa lagu, Ardan langsung mengambil duduk di antara kedua orang tuanya. Sambil mengatur napasnya, Ardan memukul-mukul lengan Danu, seolah meminta perhatian karena ada hal penting yang ingin dia sampaikan. Wajah bicah itu tampak serius seolah-olah tidak bisa menunda urusannya lagi.“Ya, Nak!” seru Danu yang langsung meraih tubuh putranya dan memangkunya.“Aku kalau adik cantik sudah lahir, biar aku sama oma, sama opa yang jagain Danar sama a
Di ruang tunggu poli kandungan sebuah rumah sakit besar, Ageng duduk di samping Queen, memegang erat tangannya. Mereka tengah menunggu giliran untuk pemeriksaan kandungan rutin. Sudah beberapa kali mereka menjalani momen ini, namun kali ini terasa lebih istimewa karena usia kehamilan Queen sudah memasuki trimester akhir. Tak lama, seorang perawat memanggil nama Queen. Dengan senyum lembut, mereka berdua masuk ke ruangan dokter.Dokter Amira, dokter kandungan yang sudah menangani Queen sejak awal kehamilan, menyambut mereka dengan ramah. “Bagaimana kabarnya hari ini, Bu Queen? Pak Ageng?”“Kami baik, Dok,” jawab Ageng sambil tersenyum, mencoba menutupi sedikit kekhawatiran di hatinya. Dia ingin memastikan semuanya berjalan lancar, terutama terkait proses persalinan yang semakin dekat.Setelah Queen berbaring di ranjang periksa, dokter mulai melakukan pemeriksaan dengan USG. Layar di samping tempat tidur menampilkan gambar bayi mereka yang terlihat semakin jelas. Ageng memperhatikan lay
Melihat Naya sudah keluar, Bryan segera menghampirinya. Tanpa sungkan meski banyak mata yang menyaksikannya, Bryan langsung merengkuh pinggang Naya, hingga mereka berjalan beriringan seperti pasangan kekasih.Layaknya pria sejati yang sering diperlihatkan dalam drama romantic, Bryan membukakan pintu mobil sportnya untuk Naya. Seandainya tidak tahu niat dibalik ini semua, tentu Naya sudah akan melayang di buatnya.Kini Naya dan Bryan sudah duduk berdampingan di dalam mobil. Meski ini bukan yang pertama kalinya, tetapi Naya tetap merasa canggung, atau mungkin lebih tepatnya takut dan tidak nyaman.Selama perjalanan Bryan mencoba untuk membangun komunikasi dengan Naya. Entah, semakin sering bersama dengan sahabat Queen itu membuat Bryan merasa nyaman. Ada tantangan tersendiri yang Bryan rasakan, mengusik jiwanya untuk segera menakhukkannya.Naya tidak jual mahal, bahkan gadis itu jujur mengatakan tertarik dengan segala pesonanya dari segi fisik dan juga finansial tentunya. Namun ada bebe
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l