Bryan melangkah keluar dari mobil sportnya, menatap rumah megah di depannya. Sudah cukup lama sejak terakhir kali dia pulang ke sini, ke rumah kedua orang tuanya. Mamanya mengundangnya untuk makan malam, dan meskipun biasanya dia akan pulang ke apartemennya, kali ini dia memutuskan untuk datang. Namun, ada sesuatu yang tidak biasa di panggilan mamanya kali ini, tapi dia tidak terlalu memikirkannya.Begitu dia masuk ke dalam rumah, aroma makanan lezat segera menyambutnya. Suara tawa dan percakapan ringan terdengar dari ruang tamu. Bryan melongokkan kepalanya dan mendapati ibunya sedang duduk di sofa, berbicara dengan seorang wanita muda yang cantik. Rambut gadis itu tergerai indah, dan tubuhnya sempurna, seperti model yang sering dia lihat di majalah. Bryan mengerutkan dahi. Ada firasat tidak enak yang muncul di benaknya."Bryan, sayang! Ayo, kemari!" suara mamanya memanggil dengan ceria. "Aku ingin memperkenalkanmu pada Naomi, anak teman mama. Dia baru saja kembali dari luar negeri. P
Di kafe milik Derrian, Bryan duduk bersama tiga sahabat karibnya, Ageng, Cyrus, dan Derrian sendiri. Cyrus dan Derrian yang lebih dahulu menikah dan memiliki anak, sedang menggoda Ageng yang istrinya sedang hamil tua.“Ya maaf, aku nggak bisa kumpul-kumpul seperti dulu lagi. Mendekati HPL, jadinya aku harus selalu siaga.” Ageng berkilah karena sekang semakin jarang bisa berkumpul lagi.“Ngakunya bantu istri untuk proses persalinan, biar oksitosin keluar dan kontraksi lancar ….”“Padahal doyan,” seru Derrian memotong kalimat Cyrus.“Terus mau bagaimana lagi? Anjuran dokter juga seperti itu.” Ageng pun turut tertawa.Hubungan suami istri saat mendekati hari persalinan mampu meningkatkan keluarnya hormon oksitosin pada ibu hamil. Hormon tersebut akan merangsang kontraksi otot rahim saat proses persalinan. Sebagai suami siaga yang sangat mencintai istrinya, tentu dengan senang hati untuk membantu sang istri.“Kalian lagi ngomongin apa?” tanya Bryan yang pada pertemuan kali ini lebih banya
Setelah pulang dari pertemuan dengan teman-temannya di kafe milik Derrian, Ageng merasa hatinya ringan. Ada sesuatu yang menyenangkan dalam percakapan tadi. Ia tersenyum sendiri saat mengingat Bryan, pria yang dulu menyimpan perasaan pada Queen, kini tampak terpikat oleh wanita lain. Meski Bryan belum mengatakan siapa perempuan itu, Ageng sudah bisa merasakan bahwa sahabatnya sedang jatuh cinta.Sesampainya di rumah, Ageng disambut oleh Queen yang sedang duduk di ruang keluarga. Kehamilan Queen yang semakin besar membuatnya lebih sering di rumah, beristirahat dan menjaga kesehatan. Queen melihat suaminya masuk dengan wajah yang ceria dan penuh semangat.“Kamu terlihat senang sekali, ada apa?” tanya Queen, matanya menyipit, penuh rasa penasaran.Ageng hanya tersenyum lebar tanpa menjawab langsung. Dia segera menghampiri istri, duduk tepat di sampingnya lalu melabuhkan kecupan di perut buncit istrinya. Hatinya benar-benar berbunga, semua orang yang menjadi masa lalu dalam hubungan denga
Bryan segera menghampiri Naya dengan langkah cepat. Wajah Naya masih terlihat tegang, dengan napasnya tersengal-sengal seperti orang yang baru saja menerima kabar buruk."Ada apa, Naya? Kamu kenapa?" tanya Bryan dengan nada khawatir.Naya menunduk sejenak sebelum menjawab, suaranya pelan namun terdengar putus asa. "Ayahku... Ayahku sedang kritis di rumah sakit. Aku harus segera pulang ke kampung sekarang juga."Bryan terdiam sejenak, memproses kata-kata Naya. Pikirannya segera beralih dari rencana impulsif menikah ke kekhawatiran yang lebih mendesak. Tanpa berpikir panjang, ia segera menawarkan bantuan."Kalau begitu, biar aku yang antar kamu," ucap Bryan tegas.Naya menggeleng, ragu-ragu. "Nggak usah, Bryan. Aku bisa bawa mobil sendiri.""Tidak. Aku akan antar kamu," Bryan bersikeras. "Kamu terlalu cemas sekarang. Aku nggak akan biarkan kamu menyetir dalam keadaan seperti ini."Melihat kekhawatiran di wajah Bryan, Naya akhirnya menyerah. Ia mengangguk pelan, lalu menyerahkan kunci mo
Pagi hari menyelinap pelan, sinar matahari menerobos masuk ke ruang tunggu rumah sakit yang sepi. Setelah semalaman menemani keluarganya, Naya akhirnya menemukan sedikit waktu untuk istirahat dan mengajak Bryan ke kantin rumah sakit untuk sarapan. Keduanya duduk di meja kecil, berusaha menikmati makanan sederhana yang tersedia, namun suasana tetap terasa berat.Bryan menatap Naya yang tampak lelah, namun masih tegar. Di dalam kepalanya, berbagai pikiran berkecamuk. Dia tahu kondisi keuangan bisa menjadi masalah dalam situasi seperti ini. Setelah beberapa saat, Bryan memutuskan untuk membuka pembicaraan.“Kalau kamu butuh bantuan untuk biaya rumah sakit ayahmu, aku bisa bantu,” tawarnya sambil menyuapkan nasi ke mulutnya. “Tidak perlu takut, untuk masalah ini aku tulus. Aku tidak main-main dengan kemanusiaan.”Naya tersenyum lelah, tetapi dia menggeleng. “Terima kasih, Bryan. Sebenarnya semua biaya perawatan ayah sudah dicover oleh BPJS, jadi aku nggak perlu khawatir soal itu.”Bryan m
Bryan merasa tekadnya semakin kuat begitu mendengar kabar bahwa ayah Naya telah sadar. Meskipun kondisinya masih perlu pemantauan, ini adalah kesempatan yang tidak ingin dia lewatkan. Dia tidak mau lagi menunda apa yang sudah menjadi tujuannya, menikahi Naya.Dalam benak Bryan, semakin cepat mereka menikah, semakin tenang perasaannya. Dia sadar, kondisi ayah Naya yang membaik ini bisa saja bersifat sementara, seperti yang pernah dia dengar tentang terminal lucidity, di mana orang yang kritis tampak membaik hanya sesaat sebelum kondisinya kembali memburuk.Setelah ayah Naya dipindahkan ke ruang perawatan, mereka sempat berbasa basi sejenak saling berkenalan. Tidak lama kemudian dia memutuskan keluar, untuk memberi waktu istirahat kepada ayah Naya, dan juga memberi ruang privasi untuk keluarga itu berkumpul.Bryan keluar tidak sekedar mencari angin atau mencari suasana baru. Baginya kesadaran ayah Naya adalah kesempatan untuk bergerak cepat. Tanpa memberi tahu Naya atau keluarganya, dia
“Menikah?”Bryan menganggukkan kepala dengan tatap mata memohon kepada Naya. Naya melihat ketulusan, kesungguhan, tetapi dia ragu jika menemukan cinta di sana.Masih lekat dalam ingatan Naya, dahulu Bryan pernah begitu mengabaikan dirinya saat dia bersama dengan Queen. Lelaki yang saat ini ingin menikahinya, pernah begitu tergila-gila dengan sahabatnya, dan Naya tidak ingin jika Queen menjadi bayang-bayang dalam pernikahannya kelak. Dia ingin menjaga hubungan baik dengan sahabatnya itu.Ruangan itu seketika dipenuhi keheningan yang tegang. Ibu dan adik-adik Naya saling berpandangan, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Dua adik Naya terlihat patah hati, ternyata sosok yang dikenalkan sebagai teman kerja ternyata ingin menjadi teman hidup.Sementara itu sang ayah, meskipun masih lemah, tersenyum cerah dari tempat tidurnya. Seolah-olah mendengar niat Bryan membuatnya merasa lebih tenang. Putri sulung yang selama ini membantunya menjalankan kewajiban memberi nafkah keluarga akan membangu
Beberapa perawat yang turut datang membantu mempersiapkan ruang perawatan yang sempit itu bisa digunakan untuk prosesi pernikahan Bryan dan Naya. Dokter yang menangani ayah Naya selama ini, dengan setelan putihnya ditemani seorang perawat senior siap menjadi saksi.Bryan tidak ingin membuat Naya merasa dipermainkan, dan saat ini dia juga harus mampu untuk menunjukkan kesungguhan hatinya dengan pernikahan ini. Meskipun terjadi begitu mendadak, meskipun hanya pernikahan siri, tetapi Bryan ingin menunjukkan jika tidak main-main dengan pernikahan ini.Bryan melepas jam tangan mewah yang melingkar di lengan kirinya dan meletakkan di hadapan ustaz yang akan menikahkan mereka. Ya, jam tangan yang berharga ratusan juta itu akan menjadi mas kawin pernikahan mereka.“Bry … itu ….” Meski tidak tahu pasti berapa harga jam tangan milik Bryan, tetapi Naya cukup tahu jika itu adalah jam mahal, bahkan lebih mahal bila dibanding mobil yang selama ini dia banggakan.“Untukmu, kau pantas mendapat ini,”