Rania dan Surya Wijaya melangkah cepat menuju ruang ICU, tempat di mana Eddy dirawat. Suasana rumah sakit yang biasanya tenang kini terasa mencekam bagi Rania. Setiap langkah yang diambilnya terasa berat, seolah-olah udara di sekitarnya mengental dengan ketegangan dan kecemasan. Hatinya bergemuruh, sementara pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan terburuk.Sesampainya di depan pintu ICU, mereka disambut oleh Miranti yang tampak lelah dan penuh kesedihan. Mata Miranti yang sembab karena menangis memohon belas kasihan kepada Rania, tanpa kata-kata, hanya dengan tatapan penuh harap. Rania merasa hatinya teriris melihat wanita yang pernah menghancurkan kebahagiaan dalam hidupnya kini begitu rapuh.“Pak Eddy ingin bertemu denganmu, Bu,” bisik Miranti, suaranya nyaris tak terdengar. “Dia ingin meminta maaf ...”Rania terdiam sejenak, menatap dalam ke mata Surya Wijaya, dia membutuhkan izin dari suaminya tersebut. Lalu Surya Wijaya menganggukkan kepala, bukan lagi waktunya untuk cem
Ketika ponsel di tangannya berdering dan memperlihatkan nama Rania, hati Ageng sudah dipenuhi dengan firasat buruk. Baru beberapa saat yang lalu ibu mertuanya itu menghubungi untuk mengabarkan jika kondisi kesehatan Eddy mengalami penurunan, dan kini dia sudah menghubunginya lagi.Suara Rania di seberang terdengar tergesa dan gemetar. “Geng ....” Diam sejenak, dan Ageng menunggu dengan sabar.“Tolong sampaikan kepada Queen kalau … Papa Eddy sudah tiada.” Meski terdengar tenang, tetapi Ageng bisa merasakan kesedihan dalam setiap getar suara ibu mertuanya.Ageng terdiam sesaat, ada rasa tidak percaya tetapi yang lebih terasa berat adalah, bagaimana menyampaikan kabar ini kepada Queen.“Maaf, jika mama membebanimu, tetapi mama tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan kabar ini kepada Queen.”“Saya mengerti, Ma,” sahut Ageng diikuti dengan helaan napas panjang. “Saya akan selalu mendampingi Queen melalui masa sulit ini.”“Terima kasih, Geng!” Mulai terdengar suara isak tangis. “Mama titi
Saat jenazah Eddy tiba dari Singapura, suasana di rumah duka terasa begitu berat dan penuh kesedihan. Angin malam yang dingin seolah menambah beban di hati semua yang hadir. Keluarga besar Wardana, teman-teman dekat, dan kerabat berkumpul di halaman depan.Ketika mobil jenazah berhenti, tangis pecah dari kerumunan. Miranti, dengan wajah pucat dan air mata yang tak terbendung, berdiri terpaku, seakan tidak percaya bahwa suaminya kini hanya tinggal kenangan. Rani, yang terlihat lemah, berusaha tegar di sisi ibunya, tetapi air matanya tak dapat dibendung saat peti jenazah diangkat perlahan dari mobil.Queen, yang baru saja pulih dari pingsan, menangis dalam pelukan Ageng. Dia menggenggam tangan suaminya erat-erat, berusaha menemukan kekuatan di tengah rasa kehilangan yang begitu dalam.Rania merasakan kesedihan yang mendalam melihat putrinya yang terpukul oleh kepergian sang papa. Meskipun hubungannya dengan Eddy telah berakhir bertahun-tahun yang lalu, melihat Queen dalam kondisi sepert
Semua yang hidup pasti akan mati, itu pun disadari oleh mereka yang merasa berduka dengan kepergian Eddy. Mereka sadar hanya menunggu waktu untuk mendapat panggilan, tetapi rasa kehilangan itu tidak bisa pergi begitu saja.Ribuan kata yang menenangkan mereka dengarkan, ribuan dukungan yang harusnya membuat mereka tetap tegak berdiri, seolah raib bersama hembusan angin. Seperti halnya Queen, beberapa hari setelah kepergian Eddy, dia mengurung diri di rumah. Berbicara dan beraktifitas sangat minim, bahkan tidak jarang saat diam, dia meneteskan air mata.Di pagi hari yang cerah, tetapi suadana hati Queen tetap mendung. Sinar matahari pagi seolah tidak mampu menghangatkan dinginnya hati Queen yang masih merasakan duka yang begitu mendalam. Hanya pelukan Ageng membuatnya masih bisa merasakan kenyamanan.“Kamu mau makan sesuatu? Biar dimasakkan bibi.” Ageng mencoba menawarkan sesuatu kepada Queen yang pagi ini masih bergelung di atas ranjang dengan mata yang sembab. “Atau aku yang masak?” A
Rania sudah berdamai dengan masa lalunya. Meskipun tidak bisa melupakan peristiwa masa lalu, tetapi dendam dan rasa sakit hati itu seolah sudah tidak meninggalkan bekas. Sehingga kini dia bisa menerima kedatangan Miranti di rumahnya, sebagai tamu, sebagai teman.“Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu,” ucap Miranti yang berusaha terlihat tegar di hadapan Rania.Rania merasa pembicaraan dengan Miranti saat ini membutuhkan suasana yang lebih akrab dan nyaman. Sehingga dia mengajaknya ke taman belakang, bukan ruang tamu yang tentunya akan terasa sangat formal."Yuk, kita ke taman," ajak Rania dengan ramah, mengisyaratkan agar Miranti mengikutinya. Mereka berjalan beriringan melalui lorong-lorong rumah yang sunyi, menuju ke taman kecil yang ada di belakang rumah.Taman itu adalah tempat favorit Rania untuk menenangkan diri, tempat yang penuh dengan tanaman hijau dan bunga yang mekar, tempat di mana angin sepoi-sepoi membawa aroma segar dan menenangkan.Sesampainya di taman, Ra
“Takut kalau suatu hari dia akan meninggalkanku. Itulah sebabnya aku selalu meminta uang lebih darinya, untuk investasi, untuk berjaga-jaga. Aku takut dia akan menceraikanku dan meninggalkan aku dan Rani tanpa apa-apa. Itulah yang membuat Queen merasa diabaikan dan akhirnya memilih pergi dari rumah. Memiliki ayah seorang pemilik perusahaan tetapi untuk membayar uang sekolahnya saja tidak bisa.”Miranti kembali menyeka air matanya kala mengingat Queen yang baru saja lulus SMP memilih untuk hidup mandiri dan tinggal di tempat kos sederhana. Bahkan saat teman-temannya melanjutkan pendidikan di sekolah internasional, Queen justru sekolah di SMK negeri yang gratis.Rania mendengarkan dengan saksama, hatinya bercampur aduk antara simpati dan keterkejutan. Sungguh Rania tidak pernah menduga, saat hidupnya begitu diratukan dan bergelimang harta, anaknya justru harus berjuang bertahan hidup sendiri.“Kau mendapat yang kau inginkan?”“Untuk uang ya … tapi tidak dengan cinta dan kebahagiaan.” M
Jawaban itu sudah terpampang jelas di depan mata. Victoria merasa tidak perlu lagi bertanya tentang perasaan Bryan kepadanya. Menurut pandangan matanya, Bryan bukan hanya tergila-gila kepada perempuan yang tadi bersamanya, tetapi dia benar-benar gila dalam mencintai perempuan itu.Victoria mundur perlahan, menjauh dari kafe. Dia tahu bahwa langkah yang diambilnya adalah yang terbaik. Victoria menyadari bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk benar-benar meninggalkan perasaan cinta kepada Bryan. Selama ini, dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa Bryan mungkin memiliki perasaan yang sama. Namun, kenyataan di depan matanya tak bisa disangkal.Tiba di mobilnya, Victoria menumpahkan segala rasa pedih dalam tangis. Dia harus bisa menenangkan dirinya terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Jangan sampai kedua orang tuanya curiga, jangan sampai mereka melihatnya bersedih.Setelah beberapa saat, tangisnya mereda, digantikan oleh kesadaran bahwa dia harus mengambil keputusan. Victoria
Menghabiskan waktu bersama istri tercinta setelah beraktifitas seharian seolah menjadi obat mujarab untuk menghilangkan rasa lelah bagi Ageng. Di atas ranjang king size yang empuk, Queen bersandar nyama di dada bidang sang suami.Sementara itu, Ageng seolah tidak ada bosannya untuk terus mengusap lembut perut buncit istrinya. Sentuhan itu bukan hanya bentuk kasih sayang, tetapi juga cara Ageng untuk berkomunikasi dengan bayi mereka yang akan segera lahir.“Aku suka nama Jinan,” ucap Ageng tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh keyakinan.Queen yang masih tenggelam dalam kenyamanan momen tersebut langsung terdiam sejenak, lalu dengan nada yang agak jahil dia menimpali, “Kenapa Jinan? Apa ini nama calon anakmu dengan Davianna?”Rasa kesal segera menyergap hati Ageng, meskipun dia berusaha menahannya. Dengan hembusan napas yang terdengar jelas, dia merasakan percikan emosi dan perasaan tidak nyaman saat mendengar nama mantan kekasihnya itu.“Ini tidak ada hubungannya dengan Davi. Jangan
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l