“Tidak Queen, aku tidak ingin bercerai.” Ageng menggelengkan kepalanya sebagai tanda jika dia menolak ajakan Queen untuk mengakhiri pernikahan mereka. “Aku tahu aku salah, aku minta maaf.” Ageng mengiba memohon kepada Queen. Queen hanya menggelengkan kepalanya, bibirnya masih terasa sakit kala digunakan untuk bicara. “Aku tidak bisa memberimu anak.” Tampak Queen bersusah payah mengucapkan kalimat pendek tersebut. “Kau bisa, aku yakin kau bisa.” Bukan untuk meyakinkan, tetapi Ageng lebih sedang merayu Queen. “Aku yakin kita akan memiliki anak yang lucu-lucu setelah kau melepas IUD,” sambung Ageng terlihat penuh harap kala menatap mata Queen. “Tapi aku tidak mau. Aku tidak mau melepas IUD ini selama menikah denganmu.” “Kenapa?” tanya singkat Ageng terdengar begitu nelangsa. “Ini tubuhku, aku berhak melakukan apa pun pada tubuhku,” jawab Queen sekenanya, dia begitu sulit untuk mengungkapkan alasan yang sebenarnya Queen mendesis menahan sakit di bibirnya karena terlalu banyak bicar
Arya Suta terkejut saat melihat kedatangan Ageng dalam rapat yang memang seharusnya dipimpin oleh Ageng. Sebenarnya Arya Suta memberi keringanan kepada Ageng untuk menunggu Queen di rumah sakit sampai pulih, tetapi sepertinya ada hal penting lain yang membuat Ageng harus datang pada rapat kali ini. “Bagaimana keadaan Queen?” tanya Arya Suta dengan suara lirih karena tidak ingin yang hadir dalam rapat mengetahui apa yang sedang menimpa putranya. Cukup mereka tahu jika istri Ageng sedang dirawat di rumah sakit, itu saja titik. “Sudah lebih baik, itu sebabnya aku di sini,” jawan Ageng dengan terdengar dingin dan tanpa ekspresi. “Baiklah kalau begitu, kau sudah siap?” “Ya, aku yang akan memimpin perwakilan kita dalam pertemuan dengan klien hari ini.” Arya Suta menganggukkan kepala bangga dengan putranya. Dalam situasi dan kondisi yang kurang baik, Ageng tetap berusaha professional dengan segala tugas dan tanggung jawab yang diembannya di perusahaan mereka. “Apa pun hasiknya nanti, p
"Itu tidak mungkin," Ageng menggelengkan kepala, tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya.Ageng merasa sangat terpukul, apa yang menjadi ketakutannya seolah sedang menuju nyata. Queen telah mengambil keputusan, wanita yang satu tahun lalu dia nikahi memutuskan untuk bercerai setelah perlakuan buruk yang dia perbuat.Setelah pembicaraannya dengan Queen di rumah sakit, Cyrus langsung menemui Ageng di ruang kantornya untuk menyampaikan apa yang menjadi keputusan Queen. Cyrus menempatkan diri sebagai sahabat bagi keduanya, sehingga dia berusaha untuk bisa menjadi penengah bagi Ageng dan Queen yang sedang di hadapkan pada masalah yang sangat serius. Masalah yang sangat mungkin akan berakhir pada ketuk palu pengadilan, entah itu perceraian atau mungkin penjara bagi Ageng. "Tapi itulah permintaan Queen. Jika melihat luka-luka di wajahnya dan juga hasil pemeriksaan Dokter Amira, permintaan Queen adalah hukuman ringan untukmu." Seperti bukan sahabat, Cyrus terlihat begitu santai
Eddy tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, wajah cantik putrinya kini terlihat sangat memprihatinkan dengan penuh luka dan lebam kebiruan. Rasa bersalah pun menghinggapi hati pria paruh baya itu. Dahulu demi uang, dia memaksa Queen untuk menikah dengan Ageng.Tidak ada keakraban layaknya seorang anak dengan ayahnya, keduanya justru terjebak dalam situasi canggung dan gugup. Bahkan Eddy hanya bisa menunduk penuh sesal saat berada di jarak yang begitu dekat dengan putrinya.“Pulanglah!”Queen mendekatkan kepalanya ke arah sumber suara dengan mata yang membeliak lebar. Tampaknya Queen ingin memastikan kebenaran dari apa yang baru di dengarnya.“Pulanglah!” ucap Eddy sekali lagi, terdengar mengiba dan sangat nelangsa. “Izinkan papa menjalankan tugas papa sebagai orang tua untukmu.”Terlambat, itulah yang dirasakan oleh Queen. Saat masih kecil dulu, setelah kepergian Rania, Eddy menganggap Queen sebagai sosok yang harus bertanggung jawab atas hancurnya pernikahannya dengan Rania. Eddy
Sudah lama dua sahabat itu tidak bertemu, bukan karena hubungan yang tidak baik, tetapi lebih karena kesibukan masing-masing. Mereka berdua pernah mengalami kehidupan berat bersama kala masih tinggal dalam satu kost, dan sekarang, setelah sekian lama, mereka bertemu lagi dalam keadaan yang sama sekali berbeda.Dengan air mata yang sudah tidak tertahan, Naya memeluk erat tubuh Queen yang terduduk di brankarnya. Perempuan yang bekerja di sebuah bank swasta itu merasa hatinya hancur melihat sahabatnya dalam kondisi seperti itu. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Queen, sahabatnya yang selalu kuat dan berani, sampai mengalami luka separah ini.Naya mengurai pelukannya, lalu memandangi dengan saksama wajah sahabatnya. Luka dan lebam biru di wajah Queen memang sudah tidak separah beberapa hari yang lalu, tetapi sisa-sisanya masih membuat Naya merasa bergidik ngeri. Dia tidak bisa membayangkan betapa sakitnya Queen saat itu, betapa terpukul hati Queen oleh kejadian buruk yang baru saja meni
Ageng merasa gelisah. Berulang kali dia mencoba menghubungi Queen, namun semua upayanya sia-sia. Panggilan demi panggilan jatuh ke dalam keheningan yang menghantui. Bayangan akan kepergian Queen membuat Ageng melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, mengejar bayangan yang semakin kabur.CEO muda itu seolah mengabaikan keselamatan dirinya sendiri, semua pikirannya hanya tertuju pada satu hal, menemukan Queen. Dia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk, dan satu-satunya cara untuk bangun adalah dengan menemukan Queen.Sunyi, sepi, suara detak jantungnya seakan bisa terdengar saat Ageng memasuki unit apartemen yang selama ini dia tempati bersama Queen. Seperti yang sudah menjadi firasatnya, Queen benar-benar tidak dia temukan di sana.Ageng tidak menemukan Queen di kedua kamar yang ada di unit apartemen tersebut. Bahkan tidak ada barang yang dibawa Queen. Hanya ponsel dan laptop yang memang sengaja Ageng bawakan ke rumah sakit atas permintaan Queen.Hampa, itu yang kini
Kembali Rania harus merasakan kehilangan. Belum sempat dia memperbaiki hubungan dan memeluk putrinya, kini dia harus menerima kenyataan jika putrinya menghilang.“Tolong cari dia?” Rania memohon, suaranya terputus oleh derai air mata yang tak terbendung.“Tentu.” Surya Wijaya dengan penuh tekad dan ketulusan menjawab permintaan Rania. Dia merengkuh tubuh sang istri dalam pelukannya, mencoba memberikan sedikit kekuatan dan dukungan.Melihat Kesehatan Rania yang menurun akhir-akhir ini membuat Surya Wijaya merasa bersalah. Selama ini dia telah memisahkan sang istri dari anak-anak kandungnya yang terlahir dari pernikahan sebelumnya. Rasa cemburu yang berlebih membuat Surya Wijaya tidak ingin jika sampai ada sesuatu yang berhubungan dengan Eddy berada di dekat Rania, termasuk kedua anaknya.Kini hanya tinggal penyesalan, keegoisannya selama ini ternyata membuat sang istri menderita, padahal niatnya menikahi Rania untuk membuatnya bahagia.Yang menjadi permasalahan bagi Surya Wijaya saat i
“Aku pernah berpikir jika Queen sangat beruntung menikah denganmu. Aku berpikir jika pernikahan kalian adalah akhir dari penderitaan Queen selama ini. tapi ternyata ….” Naya menjeda kalimatnya sambil menggelengkan kepala. “Aku merasa pernikahan kalian menjadi babak awal dari penderitaan lain Queen.”“Setidaknya kami pernah bahagia bersama.”“Queen tidak bahagia bersamamu.”Ageng terdiam mengingat kebersamaannya dengan Queen. Selam ini dia memang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan Perusahaan, tetapi dia tidak pernah mengabaikan Queen. Untuk nafkah lahir dan batin, Ageng yakin Queen tidak pernah merasa kekurangan. Lalu apa yang membuat Queen tidak bahagia?“Apa yang bisa diharapkan dari pernikahan dengan perjanjian? Yang sebentar lagi harus kalian akhiri?”Ageng merasa tertampar oleh pertanyaan yang baru saja dilontarkan. Sampai saat ini perjanjian itu masih ada, dan Ageng belum pernah sekali pun membicarakan tentang akhir yang dia inginkan kepada Queen.Queen sering mengingatkan diriny