Arya Suta terkejut saat melihat kedatangan Ageng dalam rapat yang memang seharusnya dipimpin oleh Ageng. Sebenarnya Arya Suta memberi keringanan kepada Ageng untuk menunggu Queen di rumah sakit sampai pulih, tetapi sepertinya ada hal penting lain yang membuat Ageng harus datang pada rapat kali ini. “Bagaimana keadaan Queen?” tanya Arya Suta dengan suara lirih karena tidak ingin yang hadir dalam rapat mengetahui apa yang sedang menimpa putranya. Cukup mereka tahu jika istri Ageng sedang dirawat di rumah sakit, itu saja titik. “Sudah lebih baik, itu sebabnya aku di sini,” jawan Ageng dengan terdengar dingin dan tanpa ekspresi. “Baiklah kalau begitu, kau sudah siap?” “Ya, aku yang akan memimpin perwakilan kita dalam pertemuan dengan klien hari ini.” Arya Suta menganggukkan kepala bangga dengan putranya. Dalam situasi dan kondisi yang kurang baik, Ageng tetap berusaha professional dengan segala tugas dan tanggung jawab yang diembannya di perusahaan mereka. “Apa pun hasiknya nanti, p
"Itu tidak mungkin," Ageng menggelengkan kepala, tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya.Ageng merasa sangat terpukul, apa yang menjadi ketakutannya seolah sedang menuju nyata. Queen telah mengambil keputusan, wanita yang satu tahun lalu dia nikahi memutuskan untuk bercerai setelah perlakuan buruk yang dia perbuat.Setelah pembicaraannya dengan Queen di rumah sakit, Cyrus langsung menemui Ageng di ruang kantornya untuk menyampaikan apa yang menjadi keputusan Queen. Cyrus menempatkan diri sebagai sahabat bagi keduanya, sehingga dia berusaha untuk bisa menjadi penengah bagi Ageng dan Queen yang sedang di hadapkan pada masalah yang sangat serius. Masalah yang sangat mungkin akan berakhir pada ketuk palu pengadilan, entah itu perceraian atau mungkin penjara bagi Ageng. "Tapi itulah permintaan Queen. Jika melihat luka-luka di wajahnya dan juga hasil pemeriksaan Dokter Amira, permintaan Queen adalah hukuman ringan untukmu." Seperti bukan sahabat, Cyrus terlihat begitu santai
Eddy tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, wajah cantik putrinya kini terlihat sangat memprihatinkan dengan penuh luka dan lebam kebiruan. Rasa bersalah pun menghinggapi hati pria paruh baya itu. Dahulu demi uang, dia memaksa Queen untuk menikah dengan Ageng.Tidak ada keakraban layaknya seorang anak dengan ayahnya, keduanya justru terjebak dalam situasi canggung dan gugup. Bahkan Eddy hanya bisa menunduk penuh sesal saat berada di jarak yang begitu dekat dengan putrinya.“Pulanglah!”Queen mendekatkan kepalanya ke arah sumber suara dengan mata yang membeliak lebar. Tampaknya Queen ingin memastikan kebenaran dari apa yang baru di dengarnya.“Pulanglah!” ucap Eddy sekali lagi, terdengar mengiba dan sangat nelangsa. “Izinkan papa menjalankan tugas papa sebagai orang tua untukmu.”Terlambat, itulah yang dirasakan oleh Queen. Saat masih kecil dulu, setelah kepergian Rania, Eddy menganggap Queen sebagai sosok yang harus bertanggung jawab atas hancurnya pernikahannya dengan Rania. Eddy
Sudah lama dua sahabat itu tidak bertemu, bukan karena hubungan yang tidak baik, tetapi lebih karena kesibukan masing-masing. Mereka berdua pernah mengalami kehidupan berat bersama kala masih tinggal dalam satu kost, dan sekarang, setelah sekian lama, mereka bertemu lagi dalam keadaan yang sama sekali berbeda.Dengan air mata yang sudah tidak tertahan, Naya memeluk erat tubuh Queen yang terduduk di brankarnya. Perempuan yang bekerja di sebuah bank swasta itu merasa hatinya hancur melihat sahabatnya dalam kondisi seperti itu. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Queen, sahabatnya yang selalu kuat dan berani, sampai mengalami luka separah ini.Naya mengurai pelukannya, lalu memandangi dengan saksama wajah sahabatnya. Luka dan lebam biru di wajah Queen memang sudah tidak separah beberapa hari yang lalu, tetapi sisa-sisanya masih membuat Naya merasa bergidik ngeri. Dia tidak bisa membayangkan betapa sakitnya Queen saat itu, betapa terpukul hati Queen oleh kejadian buruk yang baru saja meni
Ageng merasa gelisah. Berulang kali dia mencoba menghubungi Queen, namun semua upayanya sia-sia. Panggilan demi panggilan jatuh ke dalam keheningan yang menghantui. Bayangan akan kepergian Queen membuat Ageng melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, mengejar bayangan yang semakin kabur.CEO muda itu seolah mengabaikan keselamatan dirinya sendiri, semua pikirannya hanya tertuju pada satu hal, menemukan Queen. Dia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk, dan satu-satunya cara untuk bangun adalah dengan menemukan Queen.Sunyi, sepi, suara detak jantungnya seakan bisa terdengar saat Ageng memasuki unit apartemen yang selama ini dia tempati bersama Queen. Seperti yang sudah menjadi firasatnya, Queen benar-benar tidak dia temukan di sana.Ageng tidak menemukan Queen di kedua kamar yang ada di unit apartemen tersebut. Bahkan tidak ada barang yang dibawa Queen. Hanya ponsel dan laptop yang memang sengaja Ageng bawakan ke rumah sakit atas permintaan Queen.Hampa, itu yang kini
Kembali Rania harus merasakan kehilangan. Belum sempat dia memperbaiki hubungan dan memeluk putrinya, kini dia harus menerima kenyataan jika putrinya menghilang.“Tolong cari dia?” Rania memohon, suaranya terputus oleh derai air mata yang tak terbendung.“Tentu.” Surya Wijaya dengan penuh tekad dan ketulusan menjawab permintaan Rania. Dia merengkuh tubuh sang istri dalam pelukannya, mencoba memberikan sedikit kekuatan dan dukungan.Melihat Kesehatan Rania yang menurun akhir-akhir ini membuat Surya Wijaya merasa bersalah. Selama ini dia telah memisahkan sang istri dari anak-anak kandungnya yang terlahir dari pernikahan sebelumnya. Rasa cemburu yang berlebih membuat Surya Wijaya tidak ingin jika sampai ada sesuatu yang berhubungan dengan Eddy berada di dekat Rania, termasuk kedua anaknya.Kini hanya tinggal penyesalan, keegoisannya selama ini ternyata membuat sang istri menderita, padahal niatnya menikahi Rania untuk membuatnya bahagia.Yang menjadi permasalahan bagi Surya Wijaya saat i
“Aku pernah berpikir jika Queen sangat beruntung menikah denganmu. Aku berpikir jika pernikahan kalian adalah akhir dari penderitaan Queen selama ini. tapi ternyata ….” Naya menjeda kalimatnya sambil menggelengkan kepala. “Aku merasa pernikahan kalian menjadi babak awal dari penderitaan lain Queen.”“Setidaknya kami pernah bahagia bersama.”“Queen tidak bahagia bersamamu.”Ageng terdiam mengingat kebersamaannya dengan Queen. Selam ini dia memang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan Perusahaan, tetapi dia tidak pernah mengabaikan Queen. Untuk nafkah lahir dan batin, Ageng yakin Queen tidak pernah merasa kekurangan. Lalu apa yang membuat Queen tidak bahagia?“Apa yang bisa diharapkan dari pernikahan dengan perjanjian? Yang sebentar lagi harus kalian akhiri?”Ageng merasa tertampar oleh pertanyaan yang baru saja dilontarkan. Sampai saat ini perjanjian itu masih ada, dan Ageng belum pernah sekali pun membicarakan tentang akhir yang dia inginkan kepada Queen.Queen sering mengingatkan diriny
“Sekarang mama tanya sama kamu, apakah Selama ini Mama pernah ikut campur dalam urusan rumah tanggamu?”Laras menatap putranya dengan tatapan tajam yang menunjukkan rasa kecewa dan amarah yang mendalam di hatinya. Seiring berjalannya waktu, pengertian dan pemakluman yang selama ini Laras berikan berganti rasa kecewa yang semakin besar. Impiannya tentang kehadiran seorang cucu dari putranya telah hancur oleh tindakan Queen yang begitu licik.“Jujur, mama sangat ingin segera punya cucu dari kamu, tapi saat kamu dan Queen memutuskan untuk menunda memiliki momongan pada akhirnya mama sendiri yang nyerah. Mama berusaha memahami pilihan kalian.” Laras mengungkapkan segala unegk-unek yang selama ini dia pendam kepada Ageng.Hal itu membuat Ageng semakin merasara terpojok dan putus asa. Dia tidak ingin kehilangan Queen, tapi selama ini dia telah membuat kecewa sang mama. Sebenarnya saat ini sedang Ageng membutuhkan dukungan dari sang mama, tetapi tampaknya Laras sudah berada pada titik puncak
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l