Hampir semua petugas IGD berhenti dari rutinitas saat melihat sosok basah kuyup yang baru saja masuk sebagai pasien.
Dengan tubuh menggigil dan wajah pucat, gadis itu, Adira Ayu Dewi, duduk di depan dokter jaga dengan senyum tipis, membuat dokter itu memutar mata bosan.
“Kali ini keluhannya apa, Bu?”
“Menggigil aja, sih. Soalnya teman saya tiba-tiba manggil saya ‘Ibu’. Padahal saya gak nikah sama bapaknya,” jawab Adira dengan nada bercanda, meski matanya tidak menyiratkan humor sama sekali.
Dokter itu Dokter Gina namanya. Dia menurunkan clipboard-nya, lalu menatap Adira dengan jengah.
“Diusir lagi sama kakak ipar?” kini nadanya terdengar lebih santai.
Adira Mengangguk.
Dokter Gina menghela napas dan mencoba memahami situasi Adira. Sebab, ia tahu betul bagaimana hubungan Adira dengan kakak iparnya yang selalu penuh konflik. Kali ini tampaknya pertengkaran mereka mencapai puncaknya.
Jika tidak, mana mungkin Sekretaris Pribadi Direktur Utama Rumah Sakit Alaric Medika itu tiba-tiba datang dengan lunglai begini? Siapa pun bisa melihat kalau Adira sedang tidak baik-baik saja.
Di mata seluruh staf, Adira adalah gambaran manusia paling sehat dan bersemangat di rumah sakit tersebut. Bahkan, dia tetap tegar meski harus menghadapi atasan yang terkenal menyeramkan dan perfeksionis, dr. Tedja, setiap hari.
Namun, sebelum Dokter Gina sempat bertanya lebih jauh, seorang perawat masuk membawa pakaian kering untuk Adira. “Tumben ke sini? Biasanya ke tempat Dewi,”
Adira mengangkat bahu, “Nggak bisa. Dewi lagi kedatangan ortunya di kontrakan. Mana mungkin aku ke sana kalau…lihat sendiri keadaanku gimana...” jelasnya.
“Ya udah lah, kamu ganti baju terus istirahat dulu aja. Ntar administrasinya aku yang urus. Kalau udah, nanti kusuruh perawat buat pasang selang infus,” Ujar Dokter Gina sebelum pergi.
Dengan perlahan, Adira mengganti pakaiannya di toilet IGD. Setelah itu, ia menyerahkan pakaian basahnya pada perawat. Selang infus pun terpasang dan Adira dibawa ke salah satu ruang VIP dengan kursi roda. Tubuhnya terasa sedikit lebih nyaman, meski pikirannya masih dipenuhi berbagai hal yang membuatnya lelah.
Begitu masuk ke dalam kamar rawatnya, Adira langsung merebahkan badan di atas brankar. Namun, baru saja ia hendak mencoba tidur, ponselnya berdering dan dia langsung tahu siapa yang menelepon.
Sebab, ini sudah menjadi panggilan yang kesekian kalinya dari kakaknya, Edwin. Adira menghela napas panjang, tapi akhirnya tetap mengangkat telepon itu.
“Halo, Kak?”
“Kamu di mana sekarang?”
Dari ujung yang lain, begitu panggilan terhubung, Edwin langsung berkata dengan nada datar. Membuat Adira menelan ludah dan membalik badannya ke arah tembok.
“Aku di rumah temen, Kak. Rencananya, besok aku akan cari kos-kosan.” Bohong Adira.
“Kamu kenapa? Kalau ada masalah kan bisa cerita ke Kakak. Gak perlu kan kamu pergi dari rumah segala?”
Adira terdiam sebelum menjawab lagi dengan suara yang berusaha dibuat ceria. “Gak ada masalah kok, Kak. Aku cuma merasa kalau ini sudah saatnya aku hidup mandiri. Aku nggak mau ngerepotin kakak dan kak Erna terus.”
Kali ini Adira harap alasan itu bisa Edwin terima, karena sebelumnya berbagai alasan sudah digunakan untuk keluar dari rumah dan hasilnya gagal.
Namun, seperti dugaan, harapannya sirna karena tiba-tiba saja Edwin meninggikan suara setelah sebelumnya menghela napas kesal.
“Ngerepotin apa sih, Adira?!” kata Edwin. “Kamu itu adik kakak, keluarga kakak satu-satunya. Kakak punya tanggung jawab sama kamu setelah orang tua kita meninggal!!”
Perkataan Edwin membuat Adira terdiam sejenak sembari menatap ke arah dinding tak tahu lagi harus berkelit seperti apa kepada kakaknya.
Sebab, mana mungkin dia memberitahu Edwin kalau Erna sama sekali tak menyukainya dan terus berusaha untuk mengusirnya pergi dari rumah semenjak mereka menikah?
Rumah tangga kedua orang itu cukup harmonis dan diperjuangkan begitu lama oleh Edwin. Adira tidak mau merusak kebahagiaan yang sudah Edwin raih dengan susah payah hanya karena dirinya yang nggak begitu penting.
“Adira?”
Suara Edwin membuat Adira tersentak dari lamunan. “Sama sekali nggak ada masalah, Kak. Aku hanya nggak mau bergantung dengan kakak terus.” sanggah Adira.
Mendengar itu, dengan nada serius Edwin berkata, “Adira, kamu tahu kan kakak selalu ingin yang terbaik buat kamu? Kakak nggak mau kamu keluar dari rumah sebelum kamu menikah. Kakak cuma khawatir.”
Adira menghela napas panjang. “Kak, aku ngerti, tapi aku juga butuh ruang untuk belajar mandiri. Aku janji, aku akan baik-baik saja. Gak perlu nikah dulu kan, baru ngekos?”
Namun, Edwin tetap kukuh. “Tidak, Adira. Kamu baru boleh keluar dari rumah kalau sudah menikah. Itu keputusan Kakak.”
Adira rasanya ingin segera menyelesaikan perdebatan ini. Dia tahu bahwa berdebat lebih lanjut tidak akan mengubah pendirian Edwin.
Dengan suara pelan, dia akhirnya berkata, “Baiklah. Aku akan menurut. Besok aku pulang habis kerja. Sekarang aku ngantuk mau tidur.”
Adira buru-buru mematikan ponselnya tanpa memberi Edwin kesempatan untuk membalas. Mengabaikan rasa bersalah yang menyelinap, Adira membalik badan sambil menggerutu pelan.
“Menikah apanya? Calon aja nggak punya.”
“Ada kok.”
Suara itu membuat Adira yang hendak turun dari kasur terperanjat dan menghentakkan tangannya keras, “AH!!”“Hati-hati! Kamu ini masih diinfus!” pria berjas dokter itu buru-buru mendekat sebelum mengencangkan plester di tangan Adira. “Untungnya hanya geser sedikit. Kamu mau diinfus ulang ya?!”
“Itu karena dokter yang tiba-tiba muncul!” Adira tak mau disalahkan. “Untuk apa dokter di sini? Bukannya jadwal dokter sudah selesai?” tanya Adira lagi.
Pria itu, dr. Tedjaswi Arthur Alaric, MARS mendengus dingin. “Melihat kamu. Apa lagi?”
Perkataan Dokter Tedja membuat Adira berpikir keras, berusaha menebak isi pikiran atasan langsungnya itu, tapi gagal. Karena alih-alih berekspresi, pria itu malah menatapnya dengan tatapan tanpa ekspresi berarti.
Dokter sekaligus Direktur Alaric Medika itu lalu menarik kursi di sebelah brankar dan duduk sebelum melipat tangan di dada.
Tatapan matanya menyorot tajam, tapi ekspresinya tetap sulit ditebak.
“Dokter?” Adira memanggil lagi, merasa sedikit risih dengan keheningan yang terasa menggantung di udara.
Namun, Adira tak berani memanggil terlalu sering karena selama dua tahun bekerja sebagai sekretaris pria itu, dia sangat tahu.
Jika pria itu diam terus setelah dipanggil beberapa kali, maka itu pasti sedang ada hal gila yang mengganggu pikirannya.
Selang beberapa saat, akhirnya pria itu membuka suara. “Kamu mau nikah kan? Besok aja gimana?”
Adira merasakan jantungnya pindah ke perut. “Hah?!”
“Iya. Ini saya udah janjian sama petugasnya. Besok kita nikah.”
“Jangan ngaco, Dok!” pekik Adira.Dokter Tedja menaruh jari telunjuknya di depan bibir, memberi isyarat agar Adira memelankan suaranya.“Dilarang berisik di rumah sakit.” hardik pria itu.Kalau ada kontes orang paling tidak masuk akal di dunia, Adira yakin sekali kalau Dokter Tedja akan memenangkannya dengan sangat mudah. Sebagai sekretaris pribadi, Adira seharusnya sudah terbiasa dengan tingkah bosnya ini. Tetapi, diajak menikah tiba-tiba adalah hal terakhir yang bisa dia bayangkan tentang Dokter Tedja.Adira mendesah panjang. “Dok, ini harus banget kita nikah? nggak ada urgensinya kan? Kenapa nggak nyari orang lain aja?”Dokter Tedja mendongakkan kepala sedikit, menatap Adira dengan dingin seperti detektif yang menginterogasi tersangka. “Ada. Saya punya urgensi.”Tiba-tiba saja, Adira ingat pernah mendengar Dokter Indah—Ibu Dokter Tedja—memarahi putranya habis-habisan karena belum juga menikah meski sudah menginjak usia 33 tahun. Mendengar amarah Dokter Indah, Adira yang waktu itu
Dari pipinya yang merah padam saja, Dokter Tedja sudah tahu apa yang sedang Adira pikirkan dan ia merasa puas dengan itu. Sekretarisnya itu, meski sering tampak kaku, tapi selalu memiliki sisi lucu yang muncul seiring waktu. Hal ini menjadi semacam hiburan di tengah rutinitas yang padat sebagai dokter sekaligus direktur utama rumah sakit.“Jangan mikir yang aneh-aneh. Adik perempuan saya tinggal di bawah dan sering ke sini. Kalau dia lapor ke ibu saya, kamu tahu kan bakal seperti apa jadinya?” jelas Dokter Tedja, menyelipkan nada peringatan.Adira menjatuhkan tubuhnya ke sofa tak jauh dari tempat Dokter Tedja duduk.“Siapa yang begitu?” Adira berusaha mengenyahkan pikiran aneh di kepalanya. “Saya hanya waspada,” jawabnya lagi dengan nada ketus.Meskipun berkata demikian, tapi semburat merah di pipi Adira belum juga pudar.“Bohong. Kamu pasti berharap kalau saya akan ngapa-ngapain kamu, kan?” balas Dokter Tedja lagi. Kali ini, pria itu menyeringai menggoda, membuat Adira menatapnya d
Edwin, Dokter Tedja, dan Adira duduk dalam formasi yang memancarkan ketegangan. Dokter Tedja dan Adira berdampingan di satu sisi meja, sementara Edwin duduk di seberang, memandang keduanya dengan tatapan yang sulit dibaca. Mata Edwin tajam, menusuk seperti elang yang siap menyergap mangsanya. Dadanya bergejolak hebat, terutama setelah mendengar kabar yang tak pernah ia bayangkan—Adira, adik kecilnya yang paling dia sayangi, tahu-tahu sudah menikah. Ditambah lagi pasangannya adalah dr. Dokter Tedja, atasan Adira yang selalu dikeluhkan oleh Adira sebagai pribadi yang kejam dan perfectionist.Mana bisa Edwin menerima kabar pernikahan itu?!Edwin menghela napas sebelum bersandar sedikit ke kursinya, melipat tangan di dada. “Sekarang jelaskan.” katanya dengan datar dan penuh tekanan.Adira menunduk dalam diam, bibirnya bergetar seperti mencari kata-kata yang tak kunjung keluar. Sebaliknya, Dokter Tedja dengan tenang membuka percakapan.“Kami sudah menikah,” ucapnya tenang dan penuh keya
Dari kalimat pertama saja, tawa Teja sudah hampir meledak. Istri barunya ini benar-benar tidak ada tandingannya dalam membuatnya tertawa. Ia menutup mulutnya rapat-rapat, berusaha keras menahan suara cekikikan yang bisa mengganggu Adira. “Hah... istri? Ini bukan nomornya Mas Teja, ya?” sahut wanita dari seberang telepon dengan nada yang terdengar tidak percaya. “Betul kok, ini nomor Mas Teja. Tapi, suami saya lagi sibuk,” ujar Adira sejudes mungkin. Ia menekankan kata “suami saya” dengan nada yang nyaris menyayat. Hening. Zia, wanita di seberang, tidak segera membalas. Namun, napas panjang terdengar dari speaker, cukup jelas untuk mengisyaratkan bahwa emosinya sedang mendidih. Adira tersenyum tipis, meskipun nadanya semakin menusuk. “Lagian ya, Mbak. Dari tadi suami saya nggak angkat telepon. Harusnya sadar dong. Dia nggak mau bicara sama kamu. Itu namanya... males.” Teja melirik Adira sambil memarkirkan mobil di area parkir minimarket. Rasanya mustahil baginya untuk terus menyeti
Adira dan Tedja meninggalkan rumah sakit dalam suasana yang sedikit tegang. Tedja tampak diam, matanya menatap lurus ke jalan. Pikirannya seolah masih tertinggal di ruang pertemuannya dengan Zia. Sementara itu, Adira memilih memandang keluar jendela, berusaha menikmati perjalanan menuju kafe tempat mereka janjian dengan dokter Giovanni. Hawa dingin dari AC mobil terasa menenangkan, meski atmosfer di dalam mobil tetap terasa berat. “Kamu nggak mau nanya apa-apa? Nggak penasaran?” Tedja tiba-tiba membuka pembicaraan. Suaranya terdengar datar, namun nadanya seperti menantang. “Hm... penasaran, sih. Tapi, sepertinya lebih baik saya tidak bertanya,” jawab Adira dengan tenang, meski nada bicaranya mengisyaratkan kehati-hatian. “Walaupun saya bersedia menjawab?” Tedja menoleh sedikit, menatapnya dengan alis terangkat. “Saya pikir itu urusan pribadi dokter yang tidak perlu saya pusingkan. Lagi pula, tugas saya kan cuma menjalankan keinginan dokter yang sudah membayar saya,” ucap Adira deng
Adira dan Tedja baru tiga hari menikah. Meski begitu, kehidupan sehari-hari mereka berjalan seperti biasa. Mereka tetap profesional dalam pekerjaan tanpa menunjukkan perubahan berarti. Satu-satunya hal yang berubah hanyalah saat malam tiba. Kini, mereka berbagi kamar yang sama, bahkan tidur di kasur yang sama. Anehnya, Adira terlihat santai. Tedja yang penasaran akhirnya bertanya, “Kamu nggak grogi tidur bareng saya di sini?” Adira melirik Tedja sekilas, lalu menjawab santai, “Grogi, dong. Kemarin kan saya protes ke dokter.” Tentu saja Tedja ingat tentang perdebatan mereka. Adira saja sampai voluntir untuk duduk di sofa, tapi Tedja halangi dengan alasan tidak ada selimut lain. “Saya anggap lagi tidur sama kak Edwin aja. Lagipula, kasur ini gede banget, dokter Tedja juga udah janji nggak akan macem-macem.” Tedja tertawa kecil mendengar jawaban itu. “Sama kakak, ya? Kamu yakin banget...” “Dokter Tedja, walaupun suka jahil, selalu menepati janjinya.” ujar Adira. “Kamu gak sangsi g
Setelah Indah keluar dari penthouse, Adira akhirnya bisa menarik napas lega. Tapi sayangnya, itu bukan napas lega yang sepenuhnya menenangkan. Kata-kata terakhir Indah terus terngiang-ngiang di benaknya: "Kita lihat saja sampai kapan kamu bertahan dengan keputusan ini." Adira mengerutkan dahinya sambil memandang pintu yang baru saja ditutup Tedja. Dari semua hal yang ia bayangkan tentang kehidupan setelah menikah—meskipun hanya formalitas—berurusan dengan Indah adalah salah satu yang paling dia takutkan. Wanita itu begitu dingin dan hampir tidak pernah sekalipun Adira melihatnya tersenyum ramah. Dan, yang lebih membingungkan baginya, adalah hubungan antara Tedja dan ibunya yang terasa seperti dua orang asing. “Kamu kenapa, bengong gitu?” suara Tedja memecah lamunannya. Adira mendongak, lalu mengedikkan bahu kecilnya. “Cuma... kepikiran. Ibunya Dokter Tedja dingin banget kayak es batu beku di freezer. Ngeri tahu.” Tedja mendesah pendek sambil menyandarkan punggung ke kursi. “Begit
“Indah, ada angin apa ke sini?” Sofia menyambut dengan senyum yang terlihat manis, tapi nadanya mengandung sindiran yang sulit diabaikan. Sorot matanya menyelidik dari balik kacamata yang bertengger sempurna di hidungnya. Indah, menantu yang sejak lama jarang terlihat di rumah besar keluarga Daryanatha, hanya membalas dengan senyum tipis. Kepergiannya ke rumah itu selalu membawa alasan formal: pekerjaan, atau pembicaraan penting tentang urusan keluarga. Tidak pernah sekadar untuk bersilaturahmi, apalagi sejak kematian suaminya, Haryo. Namun, hari ini berbeda. “Saya hanya ingin berkunjung,” jawab Indah santai, mencoba menutupi kegelisahannya. Di sisi lain ruangan, Daryanatha, kepala keluarga yang sudah jarang berbicara di pertemuan-pertemuan kecil seperti ini, akhirnya membuka suara. “Tumben sekali,” katanya, disertai nada skeptis. Pandangannya beralih ke arah wanita muda yang berdiri di belakang Indah. “Anda dokter Zia, bukan?” Zia yang sejak tadi berdiri dengan gelisah segera mem
Langkah Adira hampir mencapai pintu keluar ketika suara lembut namun penuh otoritas menghentikannya. "Adira?" Adira menoleh, mendapati seorang wanita paruh baya dengan senyum khasnya berdiri di dekatnya. Bu Dyah. Dari sekian banyak orang yang hadir di reuni ini, Bu Dyah adalah satu-satunya yang seharusnya bisa membuatnya merasa nyaman. Mantan wali kelasnya itu selalu terlihat lembut dan perhatian. Tapi, entah kenapa, tatapan hangatnya kini terasa mengikat, seperti jaring halus yang siap menahannya tetap di tempat. "Apa kamu sudah mau pulang?" tanya Bu Dyah dengan nada lembut, tapi ada sedikit nada keberatan di sana. Adira tetap menjaga ekspresi tenangnya. "Iya, Bu. Saya tidak bisa berlama-lama. Karena, niatnya cuma ikut makan saja." "Sayang sekali. Padahal saya ingin berbicara denganmu sebentar," ujar Bu Dyah. Dia melirik ke meja reuni di mana beberapa teman lama mereka masih sibuk mengobrol, tapi jelas memperhatikan mereka. "Kamu benar-benar tidak mau duduk sebentar lagi? Momen
Restoran Grand Orchid Hotel terasa semakin sesak bagi Adira. Bukan karena udara atau jumlah tamu yang banyak, melainkan karena atmosfer di meja reuni yang semakin lama semakin tidak nyaman. Dari tadi, obrolan terus mengalir tanpa melibatkan dirinya. Mereka membahas kisah sukses masing-masing, mulai dari bisnis yang berkembang pesat, perjalanan ke luar negeri, hingga pernikahan dengan pasangan kaya raya. Semua terdengar seperti ajang pamer terselubung. Adira memilih tetap diam. Tidak ada yang ingin dia ceritakan. Kenangan SMA baginya tidak lebih dari fase hidup yang ingin dia tinggalkan—fase di mana dia harus berjuang sendiri, menghadapi bully-an, dan bertahan dari tatapan merendahkan. Satu-satunya hal baik dari masa itu adalah Gina, Dewi, dan Giovanni. Namun, kini Adira bahkan mulai ragu apakah Dewi benar-benar teman yang bisa dia percayai. Dia menarik napas panjang, berusaha mengabaikan percakapan di sekelilingnya. Rasa bosan mulai menjalar, membuatnya tanpa sadar membuka ponsel
Chapter XX: Undangan Makan Malam di Grand Orchid Setelah insiden beberapa waktu lalu, Dewi tampak lebih kalem. Dia tidak lagi terlalu agresif saat menyapa Giovanni, tidak sok akrab dengan staf lainnya, dan yang paling penting bagi Adira, Dewi akhirnya bekerja dengan cukup baik—atau setidaknya berusaha terlihat baik. Namun, bagi sebagian besar staf di front office, perubahan Dewi ini terasa janggal. Baru saja seminggu lalu dia membuat kesalahan fatal, tetapi sekarang dia bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Di area resepsionis, beberapa pegawai sedang membahas perubahan sikap Dewi. "Kamu sadar gak sih? Dewi sekarang beda banget," ujar Rina, salah satu pegawai administrasi, dengan nada berbisik. "Iya, biasanya dia langsung sok akrab tiap lihat dr. Giovanni. Sekarang, malah kalem," timpal Feri, pegawai front office lainnya. "Mungkin dia kapok gara-gara kena teguran dr. Tedja," celetuk Rina lagi. Feri menggeleng. "Ya kapok sih kapok, tapi tetep aja. Dia kan baru kerja beberap
Hari reuni yang dinanti-nanti oleh teman-teman SMA Adira akhirnya tiba. Namun, seperti yang sudah direncanakan, Adira sama sekali tidak berniat untuk menghadirinya. Hari ini dia harus pergi ke luar kota bersama Dokter Tedja untuk survei lokasi klinik baru. Pagi itu, langit masih sedikit mendung ketika Adira dan Dokter Tedja sudah berada di dalam mobil. Perjalanan mereka ke Kota Y memakan waktu beberapa jam, jadi sejak awal mereka sudah bersiap untuk perjalanan panjang. Dokter Tedja yang menyetir tampak santai, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Sementara Adira duduk di kursi penumpang, sibuk dengan tabletnya, mengecek kembali daftar lokasi yang akan mereka survei hari ini. "Jadi, kita langsung ke lokasi pertama begitu sampai?" tanya Dokter Tedja, membelokkan mobil keluar dari parkiran basement rumah sakit. "Iya," jawab Adira tanpa mengalihkan pandangan dari layarnya. "Saya sudah mengatur jadwalnya. Tempat pertama yang kita survei ada di area perumahan eli
Sejak pertama kali Adira menginjakkan kaki di kantor pagi ini, suasana di sekitar berubah drastis. Para staf yang biasanya sibuk mengobrol di dekat pantry atau berkumpul di meja kerja masing-masing langsung membubarkan diri begitu melihat ekspresi Adira yang gelap. Langkahnya cepat, hak sepatunya berdetak tegas di lantai, dan raut wajahnya penuh dengan aura ‘jangan ganggu aku kalau tidak ingin mati’. Bagi yang sudah mengenal Adira cukup lama, mereka tahu ada dua hal yang bisa membuatnya segalak ini: pekerjaan yang berantakan atau sesuatu yang berhubungan dengan Tedja. Dan pagi ini, tampaknya bukan masalah pekerjaan. “Permisi, Mbak Adira...” suara seorang staf bagian keuangan bergetar saat menyerahkan dokumen laporan keuangan mingguan. Biasanya, Adira akan menerima dengan tenang, mungkin menambahkan sedikit candaan atau komentar santai. Tapi kali ini, dia hanya menatap sekilas sebelum mengambil dokumen itu dengan sedikit hentakan. “Ada yang salah dalam laporan ini?” tanya staf itu h
Pagi itu, Gina berdiri di dekat mesin absen pegawai dengan tatapan tajam. Matanya terus mengawasi setiap pegawai yang masuk, tapi fokusnya hanya pada satu orang, yakni Adira. Dia sengaja datang lebih awal demi satu tujuan: menginterogasi Adira soal kejadian semalam. Masih jelas di ingatannya bagaimana suara Tedja terdengar dari telepon. Kenapa malam-malam Tedja bisa ada di tempat Adira? Kenapa Adira terdengar begitu panik ketika ketahuan? Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Adira berjalan lebih cepat beberapa langkah di depan Tedja, wajahnya masam, seperti seseorang yang sedang menahan kekesalan. Gerak-geriknya kaku, bibirnya terkatup rapat, dan ada aura jengkel yang terpancar jelas darinya. Sementara itu, Tedja justru tampak sangat santai di belakangnya. Ada sedikit seringai di bibirnya, seaka
Dewi duduk di meja resepsionis, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Dia berusaha terlihat sibuk membaca berkas di depannya, tetapi pikirannya terus berputar pada satu hal, yaitu pemandangan yang baru saja dia lihat di rumah sakit tadi siang. Adira dan Giovanni. Mereka bercanda dengan akrab, tertawa dengan begitu alami seolah tidak ada orang lain di sekitar mereka. Giovanni bahkan menyentuh kepala Adira, membenarkan helaian rambut yang hampir masuk ke mulutnya saat tertawa. Dewi mengepalkan tangannya di bawah meja untuk menahan rasa kesalnya. Dulu, saat SMA, dia pernah melihat hal yang sama. Dewi sering memperhatikan Adira yang sedang berbicara dengan Giovanni. Mereka berdiri di dekat klinik sekolah, tampak asyik mengobrol. Giovanni saat itu adalah dokter muda yang baru mulai praktik di sekolah mereka, sementara Adira adalah murid beasiswa yang sering mengunjungi klinik karena sering begadang demi nilai sempurna. Dewi menggigit bibir. Dia bisa meliha
Tedja menatap Dewi dengan ekspresi tajam, kedua tangannya bersedekap di depan dada. Suasana di ruangan itu terasa dingin, hampir seperti udara di kamar operasi sebelum tindakan besar dilakukan. “Saya tidak bisa terus menoleransi kesalahan seperti ini, Dewi,” katanya dengan nada dingin dan tegas. Dewi, yang sedari tadi bisa berbicara banyak, kali ini benar-benar panik. Matanya sedikit berkaca-kaca saat dia meremas ujung bajunya dengan gugup. “Saya benar-benar minta maaf, Dok... Saya butuh pekerjaan ini... Saya janji tidak akan mengulangi kesalahan lagi. Mohon jangan pecat saya,” suaranya bergetar, jelas terdengar nada ketakutan. Tedja tidak langsung menjawab. Ia melirik Adira yang berdiri di sampingnya, menatap Dewi dengan ekspresi sulit diartikan. Dia tahu Adira mulai ragu. Dari ekspresinya, dia bisa melihat Adira bergumul dengan pikirannya sendiri. Entah mana yang akan dia pilih antara mengikuti perasaannya yang masih percaya pada Dewi, atau menerima fakta bahwa Dewi memang berm
Adira duduk di kursi kerjanya, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan gelisah. Laporan tentang Dewi mulai menumpuk, dan ini bukan pertama kalinya dia menerima komplain. Masalahnya, setiap kali ada staf yang melapor, mereka selalu menyebut satu hal yang sama: Dewi menggunakan nama Adira untuk menekan orang lain. Adira menghela napas panjang. Dia ingin percaya bahwa Dewi hanya kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru. Namun, nalurinya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Akhirnya, setelah jam makan siang, Adira memutuskan untuk bicara langsung dengan Dewi. Dia menghampiri meja resepsionis di bagian front office, tempat Dewi bekerja. Wanita itu tampak asyik berbincang dengan seorang perawat, seolah tidak ada beban sama sekali. "Dewi, bisa bicara sebentar?" suara Adira terdengar tenang, tapi ada ketegasan di baliknya. Dewi menoleh, tersenyum lebar. "Tentu dong, Ra." Mereka berjalan ke ruangan kosong di dekat front office. Begitu pintu tertutup, Adira langsung menatap