Share

Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja
Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja
Penulis: Ovvpie

Lamaran Kok Gini?

Penulis: Ovvpie
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-16 17:02:56

Hampir semua petugas IGD berhenti dari rutinitas mereka saat melihat sosok basah kuyup yang baru saja masuk sebagai pasien.

Adira Ayu Dewi, sekretaris pribadi direktur utama Rumah Sakit Alaric Medika, adalah sosok yang jarang bahkan hampir tidak pernah terlihat lemah. Di mata seluruh staf, ia adalah gambaran manusia paling sehat dan bersemangat di rumah sakit tersebut. Bahkan, ia tetap tegar meski harus menghadapi atasan yang terkenal menyeramkan dan perfeksionis, dr. Teja.

Namun, malam ini, pukul 23.30, sosok Adira yang biasanya energik datang dengan tubuh lunglai. Pakaiannya basah kuyup akibat hujan deras, rambutnya lepek menempel di wajah pucatnya. Setiap langkahnya terlihat berat, membuat siapa pun yang melihat tahu bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.

“Keluhannya apa, Bu?” tanya seorang dokter IGD yang bertugas untuk skrining pasien.

“Menggigil aja, sih. Soalnya teman saya tiba-tiba manggil saya ‘Ibu’. Padahal saya gak nikah sama bapaknya,” jawabnya dengan nada bercanda, meski matanya tidak menyiratkan humor sama sekali.

Dokter itu Gina namanya. Dia menurunkan clipboardnya, lalu menatap Adira dengan jengah.

“Diusir lagi sama kakak ipar?” kini nadanya terdengar lebih santai.

Adira mengangguk.

Gina mencoba memahami situasinya. Ia tahu betul bagaimana hubungan Adira dengan kakak iparnya yang selalu penuh konflik. Kali ini tampaknya pertengkaran mereka mencapai puncaknya. Namun, sebelum Gina sempat bertanya lebih jauh, seorang perawat masuk membawa pakaian kering untuk Adira.

“Tumben ke sini? Biasanya ke tempatnya si Dewi,”

Adira mengangkat bahunya, “Katanya lagi ada ortunya di kontrakannya. Dan lihat sendiri lah, keadanku lagi gimana...” jelasnya.

“Ya udah lah, kamu ganti baju terus istirahat dulu aja. Ntar administrasinya aku yang urus. Kalau udah, nanti kusuruh perawat buat pasang selang infus,” Ujar Gina sebelum pergi.

Dengan perlahan, Adira mengganti pakaiannya di toilet IGD. Setelah itu, ia menyerahkan pakaian basahnya pada perawat. Selang infus pun terpasang dan Adira dibawa ke salah satu ruang VIP dengan kursi roda. Tubuhnya terasa sedikit lebih nyaman, meski pikirannya masih dipenuhi berbagai hal yang membuatnya lelah.

Begitu masuk ke dalam kamar rawatnya, Adira langsung merebahkan badan di atas brangkar. Namun, baru saja ia hendak mencoba tidur, ponselnya berdering. Adira bahkan tidak perlu melihat layar untuk tahu siapa yang menelepon. Ini sudah panggilan yang kesekian kalinya dari kakaknya, Edwin.

Adira menghela napas panjang, akhirnya mengangkat telepon itu. “Ya, Kak,” ucapnya pelan.

Dari ujung yang lain, terdengar sebuah dengusan dari seorang pria. Edwin baru bisa merasa lega setelah akhirnya sang adik mengangkat telfonnya.

“Kamu di mana sekarang?”

“Aku di rumah temen, Kak. Terus, besok baru cari kos-kosan,” Bohong Adira.

“Kamu kenapa, sih? Kalau ada masalah, kan bisa cerita ke Kakak. Gak perlu kan kamu pergi dari rumah segala?”

Adira sejenak terdiam. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa Erna adalah alasannya pergi dari rumah. Rumah tangga mereka cukup harmonis. Adira tidak mau merusak kebahagiaan yang sudah Edwin raih dengan susah payah.

“Gak ada masalah, Kak. Adira Cuma merasa kalau ini udah saatnya Adira hidup mandiri. Masa Adira ngerepotin kakak terus?” 

Harapannya alasan itu bisa Edwin terima. Namun kemudian, Edwin berkata.

“Ngerepotin apa, sih? Kamu itu adik, keluarga kakak satu-satunya. Kakak punya tanggung jawab sama kamu.”

“Tapi, aku kan udah gede, Kak. Masa aku sama kakak terus?” sanggah Adira.

Hening sejenak, lalu dengan nada serius Edwin berkata, “Adira, kamu tahu kan, Kakak cuma ingin yang terbaik buat kamu. Kakak nggak mau kamu keluar dari rumah sebelum kamu menikah. Kakak cuma khawatir.”

Adira menghela napas panjang. “Kak, aku ngerti. Tapi aku juga butuh ruang untuk belajar mandiri. Aku janji, aku akan baik-baik saja. Gak perlu nikah dulu kan, baru ngekos?”

Namun, Edwin tetap kukuh. “Tidak, Adira. Kamu baru boleh keluar dari rumah kalau sudah menikah. Itu keputusan Kakak.”

Adira rasanya ingin segera menyelesaikan perdebatan ini. Dia tahu bahwa berdebat lebih lanjut tidak akan mengubah pendirian Edwin. Dengan suara pelan, dia akhirnya berkata, “Baiklah, Kak. Aku akan menurut. Besok aku pulang habis kerja. Sekarang aku ngantuk mau tidur.”

Dia mematikan ponselnya, mengabaikan rasa bersalah yang menyelinap. Hari ini terlalu berat baginya. Pukul sepuluh malam tadi ia baru tiba di rumah setelah bekerja seharian tanpa henti, hanya untuk disambut pertengkaran hebat dengan kakak iparnya. Akhirnya, Erna mengusirnya.

Hujan deras yang menyambutnya di luar seolah menambah beban hari itu. Namun, di tengah semua kesialan, Adira merasa sedikit bersyukur bekerja di lingkungan medis. Setidaknya, ia bisa mengklaim dirinya sakit dan mendapatkan tempat untuk beristirahat.

“Boro-boro nikah, calon aja nggak punya.” gerutunya.

“Ada kok,” ujar seorang pria yang tengah berdiri di pintu kamar ranap.

Adira yang tidak menyangka akan dijawab terperanjat. Hampir saja selang infusnya terlepas dibuatnya.

“Aaakkk!” pekik Adira menahan rasa sakit di tangannya.

Pria itu segera mendekat dan memperbaiki jarum infus. Untungnya hanya geser sedikit, jadi hanya perlu dikencangkan plesternya.

“Dokter kok bisa di sini? Bukannya jadwal dokter sudah selesai?” tanya Adira kemudian.

Pria di hadapannya itu adalah dr. Tejaswi Arthur Alaric, MARS. Meskipun sebagai dokter usianya masih tergolong muda, yaitu 33 tahun, Teja sudah didaulat sebagai direktur utama grup Rumah Sakit Alaric Medika. Dengan tangan dinginnya, dia bahkan berhasil menjadikan cabang utamanya rumah sakit terakreditasi internasional.

Tidak ada yang tahu isi kepalanya. Karena itu, Adira mulai berpikir keras. “Apa mungkin ada yang lapor soal aku sakit? Masa iya dokter Teja sampai repot-repot menjenguk? Atau... jangan-jangan dia cuma khawatir aku nggak bisa masuk kerja besok dan tugasnya jadi berantakan?”

Teja menarik kursi di sebelah brankar, duduk, lalu melipat tangan di dada. Tatapan matanya menyorot tajam, namun ekspresinya tetap sulit ditebak.

“Dokter?” Adira memanggil lagi, merasa sedikit risih dengan keheningan yang terasa menggantung di udara.

“Dokter?” panggil Adira lagi, risih dengan keheningan itu.

Selama dua tahun bekerja bersama, Adira tahu jika Teja diam terus setelah dipanggil beberapa kali, pasti ada hal gila yang sedang dipikirkannya.

Selang beberapa saat, akhirnya pria itu membuka suara. “Kamu mau nikah kan? Besok aja gimana?”

Adira mengerutkan kening, bingung sekaligus kaget. “Hah? Maksud dokter apa?”

“Saya dengar obrolanmu tadi,” jawab Teja santai, seolah membicarakan hal sepele. “Kamu disuruh nikah kan? Mending sama saya, deh.”

Adira membulatkan matanya. Tadinya dia mengira telinganya salah dengar, tapi ternyata sungguhan.

Sementara itu, Teja mengambil ponsel pintarnya, lalu mulai mengetik sesuatu. Setelah itu, dia kembali menatap Adira.

“Dok, bercanda kan?” Adira memastikan.

“Menurut kamu? Ini saya udah janjian sama petugasnya. Besok kita nikah,” jawab pria itu tegas.

Bab terkait

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Nikah Kilat

    “Jangan ngaco, Dok!” pekik Adira. Teja menaruh jari telunjuknya di depan bibir, memberi isyarat agar Adira memelankan suaranya. “Dilarang berisik di rumah sakit.” hardik Teja. Kalau ada kontes orang paling tidak masuk akal di dunia, Adira yakin sekali kalau Teja akan memenangkannya dengan sangat mudah. Sebagai sekretaris pribadi, Adira seharusnya sudah terbiasa dengan tingkah bosnya ini. Tetapi, diajak menikah tiba-tiba adalah hal terakhir yang bisa dia bayangkan tentang Teja. Adira mendesah panjang. “Dok, ini harus banget kita nikah? Gak ada urgensinya kan? Kenapa gak nyari orang lain aja?” Teja mendongakkan kepala sedikit, menatap Adira dengan dingin seperti detektif yang menginterogasi tersangka. “Ada. Saya punya urgensi.” Ia ingat pernah mendengar dr. Indah—ibunya Teja—memarahi putranya habis-habisan karena belum juga menikah meski sudah menginjak usia 33 tahun. Mendengar amarah dr. Indah, Adira yang waktu itu sedang membawa kopi dengan nampan hampir saja menjatuhkannya. Tap

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Amukan Edwin

    Dari pipinya yang merah padam saja, Teja sudah tahu apa yang sedang Adira pikirkan, dan ia merasa puas dengan itu. Sekretarisnya itu, meski sering tampak kaku, selalu memiliki sisi lucu yang muncul seiring waktu. Hal ini menjadi semacam hiburan bagi Teja di tengah rutinitasnya yang padat sebagai dokter sekaligus direktur utama rumah sakit. “Jangan mikir yang aneh-aneh. Adik perempuan saya tinggal di bawah dan sering ke sini. Kalau dia lapor ke ibu saya, kamu tahu kan bakal seperti apa jadinya?” jelas Teja, menyelipkan nada peringatan. Adira menjatuhkan tubuhnya ke sofa tak jauh dari tempat Teja duduk. “Mikir aneh apa coba? Saya cuma waspada,” jawabnya dengan nada ketus, meskipun semburat merah di pipinya belum juga pudar. “Waspada saya ngapa-ngapain kamu, kan? Ngaku aja, deh. Saya ini kan emang sering jadi bahan fantasi cewek-cewek,” balas Teja, tanpa sedikit pun menyembunyikan rasa percaya dirinya. Adira menatapnya dengan ekspresi setengah jijik, tapi Teja tetap melanjutkan oceh

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Restu Kakak Ipar

    Dari pipinya yang merah padam saja, Teja sudah tahu apa yang sedang Adira pikirkan, dan ia merasa puas dengan itu. Sekretarisnya itu, meski sering tampak kaku, selalu memiliki sisi lucu yang muncul seiring waktu. Hal ini menjadi semacam hiburan bagi Teja di tengah rutinitasnya yang padat sebagai dokter sekaligus direktur utama rumah sakit. “Jangan mikir yang aneh-aneh. Adik perempuan saya tinggal di bawah dan sering ke sini. Kalau dia lapor ke ibu saya, kamu tahu kan bakal seperti apa jadinya?” jelas Teja, menyelipkan nada peringatan. Adira menjatuhkan tubuhnya ke sofa tak jauh dari tempat Teja duduk. “Mikir aneh apa coba? Saya cuma waspada,” jawabnya dengan nada ketus, meskipun semburat merah di pipinya belum juga pudar. “Waspada saya ngapa-ngapain kamu, kan? Ngaku aja, deh. Saya ini kan emang sering jadi bahan fantasi cewek-cewek,” balas Teja, tanpa sedikit pun menyembunyikan rasa percaya dirinya. Adira menatapnya dengan ekspresi setengah jijik, tapi Teja tetap melanjutkan oceh

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Tantangan Sebenarnya

    Dari pipinya yang merah padam saja, Teja sudah tahu apa yang sedang Adira pikirkan, dan ia merasa puas dengan itu. Sekretarisnya itu, meski sering tampak kaku, selalu memiliki sisi lucu yang muncul seiring waktu. Hal ini menjadi semacam hiburan bagi Teja di tengah rutinitasnya yang padat sebagai dokter sekaligus direktur utama rumah sakit. “Jangan mikir yang aneh-aneh. Adik perempuan saya tinggal di bawah dan sering ke sini. Kalau dia lapor ke ibu saya, kamu tahu kan bakal seperti apa jadinya?” jelas Teja, menyelipkan nada peringatan. Adira menjatuhkan tubuhnya ke sofa tak jauh dari tempat Teja duduk. “Mikir aneh apa coba? Saya cuma waspada,” jawabnya dengan nada ketus, meskipun semburat merah di pipinya belum juga pudar. “Waspada saya ngapa-ngapain kamu, kan? Ngaku aja, deh. Saya ini kan emang sering jadi bahan fantasi cewek-cewek,” balas Teja, tanpa sedikit pun menyembunyikan rasa percaya dirinya. Adira menatapnya dengan ekspresi setengah jijik, tapi Teja tetap melanjutkan oceh

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16

Bab terbaru

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Tantangan Sebenarnya

    Dari pipinya yang merah padam saja, Teja sudah tahu apa yang sedang Adira pikirkan, dan ia merasa puas dengan itu. Sekretarisnya itu, meski sering tampak kaku, selalu memiliki sisi lucu yang muncul seiring waktu. Hal ini menjadi semacam hiburan bagi Teja di tengah rutinitasnya yang padat sebagai dokter sekaligus direktur utama rumah sakit. “Jangan mikir yang aneh-aneh. Adik perempuan saya tinggal di bawah dan sering ke sini. Kalau dia lapor ke ibu saya, kamu tahu kan bakal seperti apa jadinya?” jelas Teja, menyelipkan nada peringatan. Adira menjatuhkan tubuhnya ke sofa tak jauh dari tempat Teja duduk. “Mikir aneh apa coba? Saya cuma waspada,” jawabnya dengan nada ketus, meskipun semburat merah di pipinya belum juga pudar. “Waspada saya ngapa-ngapain kamu, kan? Ngaku aja, deh. Saya ini kan emang sering jadi bahan fantasi cewek-cewek,” balas Teja, tanpa sedikit pun menyembunyikan rasa percaya dirinya. Adira menatapnya dengan ekspresi setengah jijik, tapi Teja tetap melanjutkan oceh

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Restu Kakak Ipar

    Dari pipinya yang merah padam saja, Teja sudah tahu apa yang sedang Adira pikirkan, dan ia merasa puas dengan itu. Sekretarisnya itu, meski sering tampak kaku, selalu memiliki sisi lucu yang muncul seiring waktu. Hal ini menjadi semacam hiburan bagi Teja di tengah rutinitasnya yang padat sebagai dokter sekaligus direktur utama rumah sakit. “Jangan mikir yang aneh-aneh. Adik perempuan saya tinggal di bawah dan sering ke sini. Kalau dia lapor ke ibu saya, kamu tahu kan bakal seperti apa jadinya?” jelas Teja, menyelipkan nada peringatan. Adira menjatuhkan tubuhnya ke sofa tak jauh dari tempat Teja duduk. “Mikir aneh apa coba? Saya cuma waspada,” jawabnya dengan nada ketus, meskipun semburat merah di pipinya belum juga pudar. “Waspada saya ngapa-ngapain kamu, kan? Ngaku aja, deh. Saya ini kan emang sering jadi bahan fantasi cewek-cewek,” balas Teja, tanpa sedikit pun menyembunyikan rasa percaya dirinya. Adira menatapnya dengan ekspresi setengah jijik, tapi Teja tetap melanjutkan oceh

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Amukan Edwin

    Dari pipinya yang merah padam saja, Teja sudah tahu apa yang sedang Adira pikirkan, dan ia merasa puas dengan itu. Sekretarisnya itu, meski sering tampak kaku, selalu memiliki sisi lucu yang muncul seiring waktu. Hal ini menjadi semacam hiburan bagi Teja di tengah rutinitasnya yang padat sebagai dokter sekaligus direktur utama rumah sakit. “Jangan mikir yang aneh-aneh. Adik perempuan saya tinggal di bawah dan sering ke sini. Kalau dia lapor ke ibu saya, kamu tahu kan bakal seperti apa jadinya?” jelas Teja, menyelipkan nada peringatan. Adira menjatuhkan tubuhnya ke sofa tak jauh dari tempat Teja duduk. “Mikir aneh apa coba? Saya cuma waspada,” jawabnya dengan nada ketus, meskipun semburat merah di pipinya belum juga pudar. “Waspada saya ngapa-ngapain kamu, kan? Ngaku aja, deh. Saya ini kan emang sering jadi bahan fantasi cewek-cewek,” balas Teja, tanpa sedikit pun menyembunyikan rasa percaya dirinya. Adira menatapnya dengan ekspresi setengah jijik, tapi Teja tetap melanjutkan oceh

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Nikah Kilat

    “Jangan ngaco, Dok!” pekik Adira. Teja menaruh jari telunjuknya di depan bibir, memberi isyarat agar Adira memelankan suaranya. “Dilarang berisik di rumah sakit.” hardik Teja. Kalau ada kontes orang paling tidak masuk akal di dunia, Adira yakin sekali kalau Teja akan memenangkannya dengan sangat mudah. Sebagai sekretaris pribadi, Adira seharusnya sudah terbiasa dengan tingkah bosnya ini. Tetapi, diajak menikah tiba-tiba adalah hal terakhir yang bisa dia bayangkan tentang Teja. Adira mendesah panjang. “Dok, ini harus banget kita nikah? Gak ada urgensinya kan? Kenapa gak nyari orang lain aja?” Teja mendongakkan kepala sedikit, menatap Adira dengan dingin seperti detektif yang menginterogasi tersangka. “Ada. Saya punya urgensi.” Ia ingat pernah mendengar dr. Indah—ibunya Teja—memarahi putranya habis-habisan karena belum juga menikah meski sudah menginjak usia 33 tahun. Mendengar amarah dr. Indah, Adira yang waktu itu sedang membawa kopi dengan nampan hampir saja menjatuhkannya. Tap

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Lamaran Kok Gini?

    Hampir semua petugas IGD berhenti dari rutinitas mereka saat melihat sosok basah kuyup yang baru saja masuk sebagai pasien. Adira Ayu Dewi, sekretaris pribadi direktur utama Rumah Sakit Alaric Medika, adalah sosok yang jarang bahkan hampir tidak pernah terlihat lemah. Di mata seluruh staf, ia adalah gambaran manusia paling sehat dan bersemangat di rumah sakit tersebut. Bahkan, ia tetap tegar meski harus menghadapi atasan yang terkenal menyeramkan dan perfeksionis, dr. Teja. Namun, malam ini, pukul 23.30, sosok Adira yang biasanya energik datang dengan tubuh lunglai. Pakaiannya basah kuyup akibat hujan deras, rambutnya lepek menempel di wajah pucatnya. Setiap langkahnya terlihat berat, membuat siapa pun yang melihat tahu bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. “Keluhannya apa, Bu?” tanya seorang dokter IGD yang bertugas untuk skrining pasien. “Menggigil aja, sih. Soalnya teman saya tiba-tiba manggil saya ‘Ibu’. Padahal saya gak nikah sama bapaknya,” jawabnya dengan nada bercanda, mes

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status