Tedja menatap Dewi dengan ekspresi tajam, kedua tangannya bersedekap di depan dada. Suasana di ruangan itu terasa dingin, hampir seperti udara di kamar operasi sebelum tindakan besar dilakukan. “Saya tidak bisa terus menoleransi kesalahan seperti ini, Dewi,” katanya dengan nada dingin dan tegas. Dewi, yang sedari tadi bisa berbicara banyak, kali ini benar-benar panik. Matanya sedikit berkaca-kaca saat dia meremas ujung bajunya dengan gugup. “Saya benar-benar minta maaf, Dok... Saya butuh pekerjaan ini... Saya janji tidak akan mengulangi kesalahan lagi. Mohon jangan pecat saya,” suaranya bergetar, jelas terdengar nada ketakutan. Tedja tidak langsung menjawab. Ia melirik Adira yang berdiri di sampingnya, menatap Dewi dengan ekspresi sulit diartikan. Dia tahu Adira mulai ragu. Dari ekspresinya, dia bisa melihat Adira bergumul dengan pikirannya sendiri. Entah mana yang akan dia pilih antara mengikuti perasaannya yang masih percaya pada Dewi, atau menerima fakta bahwa Dewi memang berm
Dewi duduk di meja resepsionis, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Dia berusaha terlihat sibuk membaca berkas di depannya, tetapi pikirannya terus berputar pada satu hal, yaitu pemandangan yang baru saja dia lihat di rumah sakit tadi siang. Adira dan Giovanni. Mereka bercanda dengan akrab, tertawa dengan begitu alami seolah tidak ada orang lain di sekitar mereka. Giovanni bahkan menyentuh kepala Adira, membenarkan helaian rambut yang hampir masuk ke mulutnya saat tertawa. Dewi mengepalkan tangannya di bawah meja untuk menahan rasa kesalnya. Dulu, saat SMA, dia pernah melihat hal yang sama. Dewi sering memperhatikan Adira yang sedang berbicara dengan Giovanni. Mereka berdiri di dekat klinik sekolah, tampak asyik mengobrol. Giovanni saat itu adalah dokter muda yang baru mulai praktik di sekolah mereka, sementara Adira adalah murid beasiswa yang sering mengunjungi klinik karena sering begadang demi nilai sempurna. Dewi menggigit bibir. Dia bisa meliha
Pagi itu, Gina berdiri di dekat mesin absen pegawai dengan tatapan tajam. Matanya terus mengawasi setiap pegawai yang masuk, tapi fokusnya hanya pada satu orang, yakni Adira. Dia sengaja datang lebih awal demi satu tujuan: menginterogasi Adira soal kejadian semalam. Masih jelas di ingatannya bagaimana suara Tedja terdengar dari telepon. Kenapa malam-malam Tedja bisa ada di tempat Adira? Kenapa Adira terdengar begitu panik ketika ketahuan? Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Adira berjalan lebih cepat beberapa langkah di depan Tedja, wajahnya masam, seperti seseorang yang sedang menahan kekesalan. Gerak-geriknya kaku, bibirnya terkatup rapat, dan ada aura jengkel yang terpancar jelas darinya. Sementara itu, Tedja justru tampak sangat santai di belakangnya. Ada sedikit seringai di bibirnya, seaka
Sejak pertama kali Adira menginjakkan kaki di kantor pagi ini, suasana di sekitar berubah drastis. Para staf yang biasanya sibuk mengobrol di dekat pantry atau berkumpul di meja kerja masing-masing langsung membubarkan diri begitu melihat ekspresi Adira yang gelap. Langkahnya cepat, hak sepatunya berdetak tegas di lantai, dan raut wajahnya penuh dengan aura ‘jangan ganggu aku kalau tidak ingin mati’. Bagi yang sudah mengenal Adira cukup lama, mereka tahu ada dua hal yang bisa membuatnya segalak ini: pekerjaan yang berantakan atau sesuatu yang berhubungan dengan Tedja. Dan pagi ini, tampaknya bukan masalah pekerjaan. “Permisi, Mbak Adira...” suara seorang staf bagian keuangan bergetar saat menyerahkan dokumen laporan keuangan mingguan. Biasanya, Adira akan menerima dengan tenang, mungkin menambahkan sedikit candaan atau komentar santai. Tapi kali ini, dia hanya menatap sekilas sebelum mengambil dokumen itu dengan sedikit hentakan. “Ada yang salah dalam laporan ini?” tanya staf itu h
Hari reuni yang dinanti-nanti oleh teman-teman SMA Adira akhirnya tiba. Namun, seperti yang sudah direncanakan, Adira sama sekali tidak berniat untuk menghadirinya. Hari ini dia harus pergi ke luar kota bersama Dokter Tedja untuk survei lokasi klinik baru. Pagi itu, langit masih sedikit mendung ketika Adira dan Dokter Tedja sudah berada di dalam mobil. Perjalanan mereka ke Kota Y memakan waktu beberapa jam, jadi sejak awal mereka sudah bersiap untuk perjalanan panjang. Dokter Tedja yang menyetir tampak santai, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Sementara Adira duduk di kursi penumpang, sibuk dengan tabletnya, mengecek kembali daftar lokasi yang akan mereka survei hari ini. "Jadi, kita langsung ke lokasi pertama begitu sampai?" tanya Dokter Tedja, membelokkan mobil keluar dari parkiran basement rumah sakit. "Iya," jawab Adira tanpa mengalihkan pandangan dari layarnya. "Saya sudah mengatur jadwalnya. Tempat pertama yang kita survei ada di area perumahan eli
Hampir semua petugas IGD berhenti dari rutinitas saat melihat sosok basah kuyup yang baru saja masuk sebagai pasien. Dengan tubuh menggigil dan wajah pucat, gadis itu, Adira Ayu Dewi, duduk di depan dokter jaga dengan senyum tipis, membuat dokter itu memutar mata bosan. “Kali ini keluhannya apa, Bu?” “Menggigil aja, sih. Soalnya teman saya tiba-tiba manggil saya ‘Ibu’. Padahal saya gak nikah sama bapaknya,” jawab Adira dengan nada bercanda, meski matanya tidak menyiratkan humor sama sekali. Dokter itu Dokter Gina namanya. Dia menurunkan clipboard-nya, lalu menatap Adira dengan jengah. “Diusir lagi sama kakak ipar?” kini nadanya terdengar lebih santai. Adira Mengangguk. Dokter Gina menghela napas dan mencoba memahami situasi Adira. Sebab, ia tahu betul bagaimana hubungan Adira dengan kakak iparnya yang selalu penuh konflik. Kali ini tampaknya pertengkaran mereka mencapai puncaknya.Jika tidak, mana mungkin Sekretaris Pribadi Direktur Utama Rumah Sakit Alaric Medika itu tiba-tiba
“Jangan ngaco, Dok!” pekik Adira.Dokter Tedja menaruh jari telunjuknya di depan bibir, memberi isyarat agar Adira memelankan suaranya.“Dilarang berisik di rumah sakit.” hardik pria itu.Kalau ada kontes orang paling tidak masuk akal di dunia, Adira yakin sekali kalau Dokter Tedja akan memenangkannya dengan sangat mudah. Sebagai sekretaris pribadi, Adira seharusnya sudah terbiasa dengan tingkah bosnya ini. Tetapi, diajak menikah tiba-tiba adalah hal terakhir yang bisa dia bayangkan tentang Dokter Tedja.Adira mendesah panjang. “Dok, ini harus banget kita nikah? nggak ada urgensinya kan? Kenapa nggak nyari orang lain aja?”Dokter Tedja mendongakkan kepala sedikit, menatap Adira dengan dingin seperti detektif yang menginterogasi tersangka. “Ada. Saya punya urgensi.”Tiba-tiba saja, Adira ingat pernah mendengar Dokter Indah—Ibu Dokter Tedja—memarahi putranya habis-habisan karena belum juga menikah meski sudah menginjak usia 33 tahun. Mendengar amarah Dokter Indah, Adira yang waktu itu
Dari pipinya yang merah padam saja, Dokter Tedja sudah tahu apa yang sedang Adira pikirkan dan ia merasa puas dengan itu. Sekretarisnya itu, meski sering tampak kaku, tapi selalu memiliki sisi lucu yang muncul seiring waktu. Hal ini menjadi semacam hiburan di tengah rutinitas yang padat sebagai dokter sekaligus direktur utama rumah sakit.“Jangan mikir yang aneh-aneh. Adik perempuan saya tinggal di bawah dan sering ke sini. Kalau dia lapor ke ibu saya, kamu tahu kan bakal seperti apa jadinya?” jelas Dokter Tedja, menyelipkan nada peringatan.Adira menjatuhkan tubuhnya ke sofa tak jauh dari tempat Dokter Tedja duduk.“Siapa yang begitu?” Adira berusaha mengenyahkan pikiran aneh di kepalanya. “Saya hanya waspada,” jawabnya lagi dengan nada ketus.Meskipun berkata demikian, tapi semburat merah di pipi Adira belum juga pudar.“Bohong. Kamu pasti berharap kalau saya akan ngapa-ngapain kamu, kan?” balas Dokter Tedja lagi. Kali ini, pria itu menyeringai menggoda, membuat Adira menatapnya d
Hari reuni yang dinanti-nanti oleh teman-teman SMA Adira akhirnya tiba. Namun, seperti yang sudah direncanakan, Adira sama sekali tidak berniat untuk menghadirinya. Hari ini dia harus pergi ke luar kota bersama Dokter Tedja untuk survei lokasi klinik baru. Pagi itu, langit masih sedikit mendung ketika Adira dan Dokter Tedja sudah berada di dalam mobil. Perjalanan mereka ke Kota Y memakan waktu beberapa jam, jadi sejak awal mereka sudah bersiap untuk perjalanan panjang. Dokter Tedja yang menyetir tampak santai, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Sementara Adira duduk di kursi penumpang, sibuk dengan tabletnya, mengecek kembali daftar lokasi yang akan mereka survei hari ini. "Jadi, kita langsung ke lokasi pertama begitu sampai?" tanya Dokter Tedja, membelokkan mobil keluar dari parkiran basement rumah sakit. "Iya," jawab Adira tanpa mengalihkan pandangan dari layarnya. "Saya sudah mengatur jadwalnya. Tempat pertama yang kita survei ada di area perumahan eli
Sejak pertama kali Adira menginjakkan kaki di kantor pagi ini, suasana di sekitar berubah drastis. Para staf yang biasanya sibuk mengobrol di dekat pantry atau berkumpul di meja kerja masing-masing langsung membubarkan diri begitu melihat ekspresi Adira yang gelap. Langkahnya cepat, hak sepatunya berdetak tegas di lantai, dan raut wajahnya penuh dengan aura ‘jangan ganggu aku kalau tidak ingin mati’. Bagi yang sudah mengenal Adira cukup lama, mereka tahu ada dua hal yang bisa membuatnya segalak ini: pekerjaan yang berantakan atau sesuatu yang berhubungan dengan Tedja. Dan pagi ini, tampaknya bukan masalah pekerjaan. “Permisi, Mbak Adira...” suara seorang staf bagian keuangan bergetar saat menyerahkan dokumen laporan keuangan mingguan. Biasanya, Adira akan menerima dengan tenang, mungkin menambahkan sedikit candaan atau komentar santai. Tapi kali ini, dia hanya menatap sekilas sebelum mengambil dokumen itu dengan sedikit hentakan. “Ada yang salah dalam laporan ini?” tanya staf itu h
Pagi itu, Gina berdiri di dekat mesin absen pegawai dengan tatapan tajam. Matanya terus mengawasi setiap pegawai yang masuk, tapi fokusnya hanya pada satu orang, yakni Adira. Dia sengaja datang lebih awal demi satu tujuan: menginterogasi Adira soal kejadian semalam. Masih jelas di ingatannya bagaimana suara Tedja terdengar dari telepon. Kenapa malam-malam Tedja bisa ada di tempat Adira? Kenapa Adira terdengar begitu panik ketika ketahuan? Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Adira berjalan lebih cepat beberapa langkah di depan Tedja, wajahnya masam, seperti seseorang yang sedang menahan kekesalan. Gerak-geriknya kaku, bibirnya terkatup rapat, dan ada aura jengkel yang terpancar jelas darinya. Sementara itu, Tedja justru tampak sangat santai di belakangnya. Ada sedikit seringai di bibirnya, seaka
Dewi duduk di meja resepsionis, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Dia berusaha terlihat sibuk membaca berkas di depannya, tetapi pikirannya terus berputar pada satu hal, yaitu pemandangan yang baru saja dia lihat di rumah sakit tadi siang. Adira dan Giovanni. Mereka bercanda dengan akrab, tertawa dengan begitu alami seolah tidak ada orang lain di sekitar mereka. Giovanni bahkan menyentuh kepala Adira, membenarkan helaian rambut yang hampir masuk ke mulutnya saat tertawa. Dewi mengepalkan tangannya di bawah meja untuk menahan rasa kesalnya. Dulu, saat SMA, dia pernah melihat hal yang sama. Dewi sering memperhatikan Adira yang sedang berbicara dengan Giovanni. Mereka berdiri di dekat klinik sekolah, tampak asyik mengobrol. Giovanni saat itu adalah dokter muda yang baru mulai praktik di sekolah mereka, sementara Adira adalah murid beasiswa yang sering mengunjungi klinik karena sering begadang demi nilai sempurna. Dewi menggigit bibir. Dia bisa meliha
Tedja menatap Dewi dengan ekspresi tajam, kedua tangannya bersedekap di depan dada. Suasana di ruangan itu terasa dingin, hampir seperti udara di kamar operasi sebelum tindakan besar dilakukan. “Saya tidak bisa terus menoleransi kesalahan seperti ini, Dewi,” katanya dengan nada dingin dan tegas. Dewi, yang sedari tadi bisa berbicara banyak, kali ini benar-benar panik. Matanya sedikit berkaca-kaca saat dia meremas ujung bajunya dengan gugup. “Saya benar-benar minta maaf, Dok... Saya butuh pekerjaan ini... Saya janji tidak akan mengulangi kesalahan lagi. Mohon jangan pecat saya,” suaranya bergetar, jelas terdengar nada ketakutan. Tedja tidak langsung menjawab. Ia melirik Adira yang berdiri di sampingnya, menatap Dewi dengan ekspresi sulit diartikan. Dia tahu Adira mulai ragu. Dari ekspresinya, dia bisa melihat Adira bergumul dengan pikirannya sendiri. Entah mana yang akan dia pilih antara mengikuti perasaannya yang masih percaya pada Dewi, atau menerima fakta bahwa Dewi memang berm
Adira duduk di kursi kerjanya, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan gelisah. Laporan tentang Dewi mulai menumpuk, dan ini bukan pertama kalinya dia menerima komplain. Masalahnya, setiap kali ada staf yang melapor, mereka selalu menyebut satu hal yang sama: Dewi menggunakan nama Adira untuk menekan orang lain. Adira menghela napas panjang. Dia ingin percaya bahwa Dewi hanya kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru. Namun, nalurinya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Akhirnya, setelah jam makan siang, Adira memutuskan untuk bicara langsung dengan Dewi. Dia menghampiri meja resepsionis di bagian front office, tempat Dewi bekerja. Wanita itu tampak asyik berbincang dengan seorang perawat, seolah tidak ada beban sama sekali. "Dewi, bisa bicara sebentar?" suara Adira terdengar tenang, tapi ada ketegasan di baliknya. Dewi menoleh, tersenyum lebar. "Tentu dong, Ra." Mereka berjalan ke ruangan kosong di dekat front office. Begitu pintu tertutup, Adira langsung menatap
Chapter 29 – Tanda-Tanda Masalah Setelah pesta berakhir tanpa gangguan lebih lanjut, kehidupan kembali berjalan seperti biasa di Alaric Medika. Adira dan Tedja kembali disibukkan dengan urusan pekerjaan, terutama karena banyak evaluasi yang harus dilakukan pasca acara besar peringatan hari jadi rumah sakit. Siang itu, Adira dan Tedja baru saja turun dari lantai atas setelah pertemuan dengan beberapa kepala departemen. Saat mereka berjalan menuju parkiran, mereka dikejutkan oleh pemandangan yang tidak biasa. Di sudut area parkir, Gina dan Dewi tampak tengah berdebat. Gina memegang sebuah amplop coklat besar, sementara Dewi berusaha merebutnya dengan ekspresi kesal. Tedja melirik Adira. "Bukannya itu teman kamu yang di pesta kemarin? Yang minta cariin lowongan?" Adira mengangguk. "Iya." Tedja menyipitkan mata, memperhatikan interaksi keduanya. "Dia kayaknya lagi bertengkar sama Gina." Adira mendesah kecil. "Biasa itu, Dok. Dari SMA mereka memang nggak pernah akur. Tapi mereka tet
Setelah berhasil menghindari kerumunan tamu yang terus bertanya tentang insiden dengan Zia, Adira akhirnya bisa menarik napas sejenak. Namun, sebelum benar-benar bisa beristirahat, suara familiar menyapanya. "Adira, lama nggak ketemu," suara itu terdengar ramah, tapi ada sesuatu dalam nadanya yang membuat Adira menegang seketika. Dia menoleh, dan mendapati Dewi berdiri di hadapannya dengan senyum manis yang sudah sangat ia kenal sejak dulu. “Dewi?” Adira berkedip, sedikit terkejut melihat sosok itu di acara sebesar ini. Dewi mengangguk dengan anggun. “Kaget, ya? Aku nggak diundang langsung, tapi nemenin bosku ke acara ini.” Adira mencoba tetap tenang, meski dalam pikirannya ia bertanya-tanya. “Bosnya? Oh! Maksudnya Bu Nia yang dari asuransi Happy Life kali ya?” Dewi tampaknya menangkap kebingungan Adira, dan tanpa diminta, dia melanjutkan, “Bosku kebetulan kenal sama beberapa petinggi rumah sakit. Aku ikut sebagai pendamping, ya sekalian networking juga.” Adira mengangguk pelan.
Setelah insiden yang mengguncang pesta tadi, suasana di ballroom perlahan kembali terkendali. Musik mulai mengalun lembut, memecah keheningan yang sebelumnya terisi bisikan-bisikan penuh spekulasi. Namun, di sudut-sudut ruangan, percakapan tentang Adira, Tedja, dan Zia masih bergaung. Di salah satu sudut, Indah mencoba menenangkan Zia, yang terlihat begitu terpukul. Mata Zia yang biasanya penuh percaya diri kini berkaca-kaca. Dia menggelengkan kepala berulang kali, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. “Tante... aku nggak mendorong dia. Aku nggak akan pernah melakukan hal seperti itu. Adira salah paham... semuanya salah paham,” bisiknya dengan nada penuh kepedihan. Indah, yang memandang Zia dengan mata penuh kasih sayang, meletakkan tangan di pundak wanita muda itu. “Tante percaya sama kamu. Kamu bukan orang yang seperti itu. Tenang, ya.” Namun, di dalam hatinya, Indah merasa goyah. Satu sisi, dia tahu Zia sebagai wanita lembut yang penuh kasih sayang. Tapi, sisi