Adira dan Tedja baru tiga hari menikah. Meski begitu, kehidupan sehari-hari mereka berjalan seperti biasa. Mereka tetap profesional dalam pekerjaan tanpa menunjukkan perubahan berarti. Satu-satunya hal yang berubah hanyalah saat malam tiba.
Kini, mereka berbagi kamar yang sama, bahkan tidur di kasur yang sama. Anehnya, Adira terlihat santai. Tedja yang penasaran akhirnya bertanya, “Kamu nggak grogi tidur bareng saya di sini?”
Adira melirik Tedja sekilas, lalu menjawab santai, “Grogi, dong. Kemarin kan saya protes ke dokter.”
Tentu saja Tedja ingat tentang perdebatan mereka. Adira saja sampai voluntir untuk duduk di sofa, tapi Tedja halangi dengan alasan tidak ada selimut lain.
“Saya anggap lagi tidur sama kak Edwin aja. Lagipula, kasur ini gede banget, dokter Tedja juga udah janji nggak akan macem-macem.”
Tedja tertawa kecil mendengar jawaban itu. “Sama kakak, ya? Kamu yakin banget...”
“Dokter Tedja, walaupun suka jahil, selalu menepati janjinya.” ujar Adira.
“Kamu gak sangsi gitu?” tanya Tedja lagi.
Adira hanya mengangkat bahu, menyembunyikan sedikit senyum di bibirnya. “Lagipula, selama ini saya sering ketiduran di sofa sebelah kursi kerja dokter Tedja. Saat naik pesawat untuk perjalanan bisnis, saya juga tidur di kursi sebelah dokter. Saya anggap saja sama saja.”
Tedja memanfaatkan kesempatan untuk menggoda. Ia mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari Adira. Adira terkejut, tubuhnya menegang. “Eh, eh! Mau ngapain, dokter Tedja?” tanyanya panik.
“Lho? Katanya santai. Kok sekarang kayak mau nangis?” goda Tedja, senyum di bibirnya makin lebar.
Adira berusaha keras menjaga napasnya tetap stabil. Wajahnya memerah, tapi ia mencoba menutupinya dengan memalingkan muka. “Dokter Tedja, jangan bercanda kayak gitu! Saya serius!”
Tedja akhirnya tertawa kecil, suaranya rendah tapi jelas puas. Ia menjauh sedikit, kembali ke posisi awalnya di sisi kasur. “Santai aja, saya cuma bercanda. Kamu lucu banget kalau lagi panik.”
“Lucu? Itu nggak lucu!” protes Adira. Tangannya menggenggam erat selimut, matanya melotot kecil. “Jangan kayak gitu lagi, ya. Saya bisa... saya bisa refleks jambak dokter!”
Tedja terkekeh mendengar ancaman itu. “Baik, baik. Saya minta maaf. Tapi, jujur, saya nggak nyangka kamu bakal sekaget itu. Saya pikir kamu beneran santai tidur di sini.”
Adira mendengus pelan. “Saya memang santai. Tapi, dokter tiba-tiba mendekat kayak gitu... Siapa juga yang nggak kaget?”
Tedja menatapnya sambil sedikit terkekeh. “Tapi, serius, kamu gak tergoda sama saya?”
Adira masih memasang ekspresi kesal. “Dok, pernikahan ini cuma formalitas. Kita bisa cerai kapan saja kalau situasinya nggak cocok. Saya nggak mau ada hubungan lebih dari sekadar profesional.”
Tedja mengangguk pelan, tapi tatapannya menyelidik. “Kalau dr. Giovanni... gimana?”
Adira memutar bola matanya. “Kenapa jadi Kak Gio? Nggak ada hubungan apa-apa, dokter. Dia cuma kakak teman saya. Bisa diketawain sama dokter Gina kalau saya jadian sama dia.”
Tanpa menunggu tanggapan, Adira menarik selimut hingga menutupi tubuhnya dan memunggungi Tedja. “Saya mau tidur. Jangan ganggu,” katanya singkat.
Tedja menghela napas panjang. Ia masih tak habis pikir bagaimana Adira bisa bersikap begitu santai. Padahal, biasanya wanita akan girang atau canggung setiap kali ia mendekat. Namun, karena rasa kantuknya sudah mendominasi, ia memilih untuk tidur.
...
Keesokan paginya, Tedja mendapati tempat tidur di sebelahnya kosong. Pakaian yang sudah disiapkan untuknya terlipat rapi di kursi dekat ranjang. Ia tersenyum, menduga bahwa itu pasti disiapkan Adira.
Setelah bersiap, ia turun ke lantai bawah. Aroma harum dari dapur menyambutnya. Ia segera menuju sumber bau menggoda itu dan menemukan Adira yang sedang sibuk memasak. Pemandangan ini terasa asing, tapi anehnya membuatnya senang.
“Selamat pagi, dokter Tedja,” sapa Adira tanpa menoleh dari kegiatannya.
“Pagi. Kok saya jadi merasa punya istri beneran?” goda Tedja sambil duduk di kursi dapur.
Adira menoleh. “Jangan ge-er. Biasanya juga saya yang masakin untuk dokter Tedja, kan?”
Tedja mengerutkan kening. Dia mencoba masakan yang sudah jadi di meja, lalu menyadari sesuatu, “Lho, ini rasanya sama kayak yang sering kamu bawa buat sarapan saya,”
“Itu saya yang masakin,”
Tedja memandang Adira takjub, “Tapi, saya makannya pilih-pilih, loh. Kok kamu bisa ingat?”
Sambil mengangkat masakan yang ada di wajan, Adira menjawab, “Kebetulan kita sama-sama alergi udang. Gak suka masakan pedas dan masakan yang kebanyakan serai juga. Yang lebih penting lagi, kita lebih suka masakan yang ada kecap manisnya. Jadi, gampang kok ingatnya.”
“Serius? Soulmate banget ya ternyata kita,” tanggap Tedja.
“Hahaha, bisa aja, Dok,” Adira tertawa garing. “Pas pertama kali saya coba bawakan masakan saya, dokter nggak protes. Jadi, saya terusin aja, kecuali pas saya bangun kesiangan kayak kemarin. Tapi, saya usahakan cari makanan yang sesuai.”
Tedja terdiam sebentar, lalu mengangguk pelan. “Nggak nyangka. Tapi, terima kasih.”
Adira hanya mengangkat bahu sambil menyajikan makanan di meja. Mereka mulai sarapan bersama, menikmati suasana pagi yang damai. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba pintu penthouse terbuka, dan masuklah seorang wanita paruh baya dengan langkah mantap. Itu adalah Indah, ibu Tedja.
“Selamat pagi,” sapanya, namun nadanya terdengar formal.
Tedja menatap ibunya dengan datar. “Ibu. Ada apa pagi-pagi ke sini?”
Indah melirik Adira yang duduk di seberang Tedja. “Saya mau konfirmasi sesuatu. Zia kemarin cerita sambil nangis ke saya. Benar kamu sudah menikah?”
Tedja mengangguk tanpa ragu. “Benar. Saya sudah menikah.”
Indah menatap Adira dengan pandangan menilai. “Jadi, ini istri kamu? Sekretaris kamu?”
Adira berdiri dan tersenyum sopan. “Selamat pagi, dokter Indah.”
Wanita paruh baya itu mengangguk kecil, tapi raut wajahnya menyiratkan ketidakpuasan. “Hmm. Pilihan kamu kok makin aneh, Tedja. Sudah saya jodohkan dengan Zia, tapi kamu malah memilih seseorang seperti… ini.”
Tedja memotong tegas. “Ibu, ini pilihan saya. Tolong hormati.”
Indah menghela napas panjang, lalu duduk di kursi kosong. “Kamu... Adira kan?”
Dengan pelan Adira mengangguk, “Benar, Dok.”
“Sejak kapan kamu menjalin hubungan dengan putra saya?” tanyanya, nadanya terdengar seperti interogasi.
Mereka sudah mempersiapkan skenario untuk situasi seperti ini. Adira menjawab tenang, “Sebulan… yang lalu.”
Indah menyipitkan matanya, sorot penuh keraguan terpancar jelas. “Sebulan, ya?” gumamnya, seolah sedang menimbang-nimbang kebenaran jawaban itu. “Diberi apa kamu sama Tedja, sampai berani membohongi saya?”
Adira terkesiap, matanya melirik Tedja seolah meminta bantuan. Tedja langsung menyela. “Cinta, Bu. Apa lagi alasannya?”
Indah mendengus, lalu tertawa pendek yang terdengar mengejek. “Cinta? Kamu? Tedja, kamu nggak perlu berbohong di depan saya.”
Tedja melipat tangannya di dada, wajahnya tetap tenang. “Apa pun yang Ibu pikirkan, itu tidak mengubah fakta bahwa kami sudah menikah. Jadi, saya harap Ibu berhenti membahas soal dokter Zia.”
Indah menggelengkan kepala, ekspresi kecewanya terlihat jelas. “Kita lihat saja sampai kapan kamu bertahan dengan keputusan ini.”
Suasana di ruangan itu menjadi semakin tegang. Adira memilih tetap diam, menyerahkan kendali situasi sepenuhnya pada Tedja. Dalam hatinya, ia hanya bisa berharap interaksi ini tidak berlanjut menjadi lebih buruk.
Setelah Indah keluar dari penthouse, Adira akhirnya bisa menarik napas lega. Tapi sayangnya, itu bukan napas lega yang sepenuhnya menenangkan. Kata-kata terakhir Indah terus terngiang-ngiang di benaknya: "Kita lihat saja sampai kapan kamu bertahan dengan keputusan ini." Adira mengerutkan dahinya sambil memandang pintu yang baru saja ditutup Tedja. Dari semua hal yang ia bayangkan tentang kehidupan setelah menikah—meskipun hanya formalitas—berurusan dengan Indah adalah salah satu yang paling dia takutkan. Wanita itu begitu dingin dan hampir tidak pernah sekalipun Adira melihatnya tersenyum ramah. Dan, yang lebih membingungkan baginya, adalah hubungan antara Tedja dan ibunya yang terasa seperti dua orang asing. “Kamu kenapa, bengong gitu?” suara Tedja memecah lamunannya. Adira mendongak, lalu mengedikkan bahu kecilnya. “Cuma... kepikiran. Ibunya Dokter Tedja dingin banget kayak es batu beku di freezer. Ngeri tahu.” Tedja mendesah pendek sambil menyandarkan punggung ke kursi. “Begit
“Indah, ada angin apa ke sini?” Sofia menyambut dengan senyum yang terlihat manis, tapi nadanya mengandung sindiran yang sulit diabaikan. Sorot matanya menyelidik dari balik kacamata yang bertengger sempurna di hidungnya. Indah, menantu yang sejak lama jarang terlihat di rumah besar keluarga Daryanatha, hanya membalas dengan senyum tipis. Kepergiannya ke rumah itu selalu membawa alasan formal: pekerjaan, atau pembicaraan penting tentang urusan keluarga. Tidak pernah sekadar untuk bersilaturahmi, apalagi sejak kematian suaminya, Haryo. Namun, hari ini berbeda. “Saya hanya ingin berkunjung,” jawab Indah santai, mencoba menutupi kegelisahannya. Di sisi lain ruangan, Daryanatha, kepala keluarga yang sudah jarang berbicara di pertemuan-pertemuan kecil seperti ini, akhirnya membuka suara. “Tumben sekali,” katanya, disertai nada skeptis. Pandangannya beralih ke arah wanita muda yang berdiri di belakang Indah. “Anda dokter Zia, bukan?” Zia yang sejak tadi berdiri dengan gelisah segera mem
Adira terlonjak mendengar suara pintu yang terbuka, jantungnya berdebar. Namun, ia segera menenangkan diri dan melirik ke arah pintu, berusaha mencari tahu kenapa pintu itu, yang tadinya tertutup rapat, kini terbuka. Benar dugaan Tedja. Di balik pintu, terlihat sosok Sofia, neneknya, yang tampak sedikit terkejut karena ketahuan. Sepertinya dia berusaha mengintip diam-diam. “Nenek?” Tedja menyapa dengan suara santai, meski tatapan matanya sedikit menyelidik. Tedja berjalan menuju pintu, membukanya lebih lebar. Sofia, yang sebelumnya berusaha sembunyi-sembunyi, kini hanya bisa tersenyum canggung. Jelas, usahanya untuk menonton “aksi” di dalam kamar gagal total. “Kalian belum tidur?” tanya Sofia basa-basi, menyembunyikan rasa malunya. Tedja dan Adira saling bertukar pandang sebelum Tedja menjawab dengan tenang, “Masih jam sembilan, Nek. Biasanya kami masih banyak aktivitas malam, jadi belum mengantuk.” Adira mengangguk setuju, meski dalam hati ia berharap Sofia segera pergi. Namun,
Adira masih memikirkan senyum Sofia yang tadi pagi terasa begitu penuh arti. Di sisi lain, Tedja yang duduk di sebelahnya hanya cengengesan, tampak menikmati situasi yang membuat istrinya bingung. “Dok, Nenek bisa seneng banget tadi pagi kenapa, ya?” tanya Adira akhirnya, memecah keheningan di dalam mobil. Tedja menoleh sebentar, senyum tipis masih tersungging di bibirnya. “Hmm, ya, yang jelas rencana kita buat meyakinkan mereka sudah berhasil.” “Hah? Kok bisa? Semalam kan kita gak ngapa-ngapain,” Adira mengernyit, semakin bingung. “Sudahlah, nggak usah dipikirin. Kita fokus kerja aja,” sahut Tedja, mencoba mengalihkan pembicaraan sambil menyalakan radio. Dia sebetulnya bisa menebak apa penyebab neneknya bisa sesenang itu. Tapi, akan lebih menyenangkan melihat wajah Adira yang kebingungan. “Ya udah, lah,” ujar Adira menyerah. Meski bingung, ia memutuskan tidak mempermasalahkannya lebih jauh. Setibanya di kantor pusat Alaric Medika, mereka langsung kembali ke rutinitas masing-masi
Cabang pusat Rumah Sakit Alaric Medika tengah diramaikan oleh gosip yang cukup menghebohkan. Dono, seorang office boy senior yang sudah lebih dari satu dekade bekerja di rumah sakit itu, tidak sengaja melihat sesuatu yang membuatnya nyaris tersedak. Ia menyaksikan Dr. Tedja, direktur utama rumah sakit, memeluk dan mencium pipi Adira, sekretaris pribadinya, di dalam ruang kerja. Kejadian itu langsung menjadi cerita panas yang menyebar cepat di kalangan karyawan, terutama karena Dono dikenal sebagai orang yang jujur dan tidak pernah menggembar-gemborkan kabar tanpa dasar. “Saya tuh nggak ngarang, lho!” Dono bersikeras saat mengobrol di pantry bersama salah seorang teknisi. “Saya lihat sendiri! Tangan saya aja sampai gemetaran, itu cangkir langsung meluncur ke lantai!” katanya dramatis. Teknisi itu membelalakkan matanya. “Seriusan, Mas? Bu Adira sama Dr. Tedja? Kayak... nggak mungkin, ya?” “Ya, saya juga nggak percaya awalnya. Tapi kan mata saya nggak minus!” jawab Dono sambil menggel
Ruangan klinik itu tidak terlalu luas, namun bersih dan tertata rapi. Di dinding, tergantung poster-poster edukasi tentang kesehatan, seperti cara mencuci tangan yang benar dan tabel makanan bergizi. Beberapa rak kecil di sudut ruangan dipenuhi dengan obat-obatan umum. Lampu LED putih terang membuat ruangan terasa steril. Tedja berdiri di tengah ruangan dengan postur tubuh tegap, mengenakan jas hitam yang memberi aura wibawa. Matanya tajam, menatap catatan di tangannya dengan ekspresi penuh analisis. Dia berbicara dengan dokter kepala klinik menggunakan nada suara yang tegas dan langsung. Sementara itu, Adira berdiri sedikit di belakangnya, berbincang santai namun tetap profesional dengan salah satu perawat. Namun, sikap santai Adira membuat Tedja, yang sedang bad mood, tak bisa menahan diri. "Jangan lama-lama di sini," gumam Tedja pelan, melirik Adira dengan sorot mata yang mencampur rasa bosan dan kesal. Adira menoleh, sedikit bingung dengan nada Tedja, namun memilih tidak menan
Tedja terlihat sangat puas dengan cincin nikahnya. Di setiap kesempatan, dia sengaja mengangkat tangan kanannya setinggi mungkin, membuat cincinnya terlihat berkilauan di bawah cahaya. Di ruang meeting, dia sengaja mengetuk-ngetukkan jari ke meja sambil berkata, “Maaf, saya pakai cincin baru, jadi belum terbiasa. Perlu penyesuaian.” Saat berjalan di koridor rumah sakit, dia pura-pura membenarkan kemejanya sambil memastikan cincin itu terlihat jelas. Beberapa karyawan rumah sakit mulai saling berbisik, “Dr. Tedja itu beneran nikah kayaknya. Auranya hari ini positif banget.” “Kemarin geger banget juga di sosmed. Kira-kira siapa ya istrinya?” Itu dia masalahnya. ada satu hal yang membuat semua usaha Tedja terasa sia-sia: tidak ada yang tahu siapa istrinya. Tedja tidak menyebutkan tangan siapa yang dia foto. Adira juga tidak pernah terlihat memakai cincin itu. Sebenarnya, Tedja sudah menyadari Adira tidak pernah memakai cincin itu, dan malam itu, di rumah mereka, Tedja akhirnya b
Begitu Adira sudah sedikit jauh dari lift, wajahnya berusaha tampak netral, tapi dalam hatinya, kekacauan sedang berlangsung. Jemarinya masih terasa hangat, seolah sentuhan bibir Tedja tadi tidak bisa hilang begitu saja. "Kenapa dia cium tangan?" pikirnya. "Buat apa? Pamer? Ngetes reaksi? Atau… dia cuma ngelakuin itu tanpa mikir?" Adira menggigit bibirnya pelan, mencoba menghilangkan rasa aneh yang menggelayut di dadanya. Dia tidak tahu harus seperti apa saat bertemu Tedja lagi nanti. Sialnya dia dan Tedja itu bagaikan satu paket. Kemanapun Tedja pergi, Adira yang merupakan sekretaris pribadinya akan mengikuti. Sudah begitu, mereka juga satu rumah. Selama jam kerja, Adira tetap berusaha seprofesional mungkin melakukan pekerjaannya. Namun, begitu sudah lengang, Adira mulai menjauhi Tedja. Dia terlalu malu dengan kejadian sebelumnya. Kini Adira hanya tidur di sofa sambil menonton drama dari ponsel pintarnya. Selimut biru tipis yang baru saja dia beli di toko dekat rumah sakit menjad
Chapter XX: Undangan Makan Malam di Grand Orchid Setelah insiden beberapa waktu lalu, Dewi tampak lebih kalem. Dia tidak lagi terlalu agresif saat menyapa Giovanni, tidak sok akrab dengan staf lainnya, dan yang paling penting bagi Adira, Dewi akhirnya bekerja dengan cukup baik—atau setidaknya berusaha terlihat baik. Namun, bagi sebagian besar staf di front office, perubahan Dewi ini terasa janggal. Baru saja seminggu lalu dia membuat kesalahan fatal, tetapi sekarang dia bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Di area resepsionis, beberapa pegawai sedang membahas perubahan sikap Dewi. "Kamu sadar gak sih? Dewi sekarang beda banget," ujar Rina, salah satu pegawai administrasi, dengan nada berbisik. "Iya, biasanya dia langsung sok akrab tiap lihat dr. Giovanni. Sekarang, malah kalem," timpal Feri, pegawai front office lainnya. "Mungkin dia kapok gara-gara kena teguran dr. Tedja," celetuk Rina lagi. Feri menggeleng. "Ya kapok sih kapok, tapi tetep aja. Dia kan baru kerja beberap
Hari reuni yang dinanti-nanti oleh teman-teman SMA Adira akhirnya tiba. Namun, seperti yang sudah direncanakan, Adira sama sekali tidak berniat untuk menghadirinya. Hari ini dia harus pergi ke luar kota bersama Dokter Tedja untuk survei lokasi klinik baru. Pagi itu, langit masih sedikit mendung ketika Adira dan Dokter Tedja sudah berada di dalam mobil. Perjalanan mereka ke Kota Y memakan waktu beberapa jam, jadi sejak awal mereka sudah bersiap untuk perjalanan panjang. Dokter Tedja yang menyetir tampak santai, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Sementara Adira duduk di kursi penumpang, sibuk dengan tabletnya, mengecek kembali daftar lokasi yang akan mereka survei hari ini. "Jadi, kita langsung ke lokasi pertama begitu sampai?" tanya Dokter Tedja, membelokkan mobil keluar dari parkiran basement rumah sakit. "Iya," jawab Adira tanpa mengalihkan pandangan dari layarnya. "Saya sudah mengatur jadwalnya. Tempat pertama yang kita survei ada di area perumahan eli
Sejak pertama kali Adira menginjakkan kaki di kantor pagi ini, suasana di sekitar berubah drastis. Para staf yang biasanya sibuk mengobrol di dekat pantry atau berkumpul di meja kerja masing-masing langsung membubarkan diri begitu melihat ekspresi Adira yang gelap. Langkahnya cepat, hak sepatunya berdetak tegas di lantai, dan raut wajahnya penuh dengan aura ‘jangan ganggu aku kalau tidak ingin mati’. Bagi yang sudah mengenal Adira cukup lama, mereka tahu ada dua hal yang bisa membuatnya segalak ini: pekerjaan yang berantakan atau sesuatu yang berhubungan dengan Tedja. Dan pagi ini, tampaknya bukan masalah pekerjaan. “Permisi, Mbak Adira...” suara seorang staf bagian keuangan bergetar saat menyerahkan dokumen laporan keuangan mingguan. Biasanya, Adira akan menerima dengan tenang, mungkin menambahkan sedikit candaan atau komentar santai. Tapi kali ini, dia hanya menatap sekilas sebelum mengambil dokumen itu dengan sedikit hentakan. “Ada yang salah dalam laporan ini?” tanya staf itu h
Pagi itu, Gina berdiri di dekat mesin absen pegawai dengan tatapan tajam. Matanya terus mengawasi setiap pegawai yang masuk, tapi fokusnya hanya pada satu orang, yakni Adira. Dia sengaja datang lebih awal demi satu tujuan: menginterogasi Adira soal kejadian semalam. Masih jelas di ingatannya bagaimana suara Tedja terdengar dari telepon. Kenapa malam-malam Tedja bisa ada di tempat Adira? Kenapa Adira terdengar begitu panik ketika ketahuan? Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Adira berjalan lebih cepat beberapa langkah di depan Tedja, wajahnya masam, seperti seseorang yang sedang menahan kekesalan. Gerak-geriknya kaku, bibirnya terkatup rapat, dan ada aura jengkel yang terpancar jelas darinya. Sementara itu, Tedja justru tampak sangat santai di belakangnya. Ada sedikit seringai di bibirnya, seaka
Dewi duduk di meja resepsionis, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Dia berusaha terlihat sibuk membaca berkas di depannya, tetapi pikirannya terus berputar pada satu hal, yaitu pemandangan yang baru saja dia lihat di rumah sakit tadi siang. Adira dan Giovanni. Mereka bercanda dengan akrab, tertawa dengan begitu alami seolah tidak ada orang lain di sekitar mereka. Giovanni bahkan menyentuh kepala Adira, membenarkan helaian rambut yang hampir masuk ke mulutnya saat tertawa. Dewi mengepalkan tangannya di bawah meja untuk menahan rasa kesalnya. Dulu, saat SMA, dia pernah melihat hal yang sama. Dewi sering memperhatikan Adira yang sedang berbicara dengan Giovanni. Mereka berdiri di dekat klinik sekolah, tampak asyik mengobrol. Giovanni saat itu adalah dokter muda yang baru mulai praktik di sekolah mereka, sementara Adira adalah murid beasiswa yang sering mengunjungi klinik karena sering begadang demi nilai sempurna. Dewi menggigit bibir. Dia bisa meliha
Tedja menatap Dewi dengan ekspresi tajam, kedua tangannya bersedekap di depan dada. Suasana di ruangan itu terasa dingin, hampir seperti udara di kamar operasi sebelum tindakan besar dilakukan. “Saya tidak bisa terus menoleransi kesalahan seperti ini, Dewi,” katanya dengan nada dingin dan tegas. Dewi, yang sedari tadi bisa berbicara banyak, kali ini benar-benar panik. Matanya sedikit berkaca-kaca saat dia meremas ujung bajunya dengan gugup. “Saya benar-benar minta maaf, Dok... Saya butuh pekerjaan ini... Saya janji tidak akan mengulangi kesalahan lagi. Mohon jangan pecat saya,” suaranya bergetar, jelas terdengar nada ketakutan. Tedja tidak langsung menjawab. Ia melirik Adira yang berdiri di sampingnya, menatap Dewi dengan ekspresi sulit diartikan. Dia tahu Adira mulai ragu. Dari ekspresinya, dia bisa melihat Adira bergumul dengan pikirannya sendiri. Entah mana yang akan dia pilih antara mengikuti perasaannya yang masih percaya pada Dewi, atau menerima fakta bahwa Dewi memang berm
Adira duduk di kursi kerjanya, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan gelisah. Laporan tentang Dewi mulai menumpuk, dan ini bukan pertama kalinya dia menerima komplain. Masalahnya, setiap kali ada staf yang melapor, mereka selalu menyebut satu hal yang sama: Dewi menggunakan nama Adira untuk menekan orang lain. Adira menghela napas panjang. Dia ingin percaya bahwa Dewi hanya kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru. Namun, nalurinya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Akhirnya, setelah jam makan siang, Adira memutuskan untuk bicara langsung dengan Dewi. Dia menghampiri meja resepsionis di bagian front office, tempat Dewi bekerja. Wanita itu tampak asyik berbincang dengan seorang perawat, seolah tidak ada beban sama sekali. "Dewi, bisa bicara sebentar?" suara Adira terdengar tenang, tapi ada ketegasan di baliknya. Dewi menoleh, tersenyum lebar. "Tentu dong, Ra." Mereka berjalan ke ruangan kosong di dekat front office. Begitu pintu tertutup, Adira langsung menatap
Chapter 29 – Tanda-Tanda Masalah Setelah pesta berakhir tanpa gangguan lebih lanjut, kehidupan kembali berjalan seperti biasa di Alaric Medika. Adira dan Tedja kembali disibukkan dengan urusan pekerjaan, terutama karena banyak evaluasi yang harus dilakukan pasca acara besar peringatan hari jadi rumah sakit. Siang itu, Adira dan Tedja baru saja turun dari lantai atas setelah pertemuan dengan beberapa kepala departemen. Saat mereka berjalan menuju parkiran, mereka dikejutkan oleh pemandangan yang tidak biasa. Di sudut area parkir, Gina dan Dewi tampak tengah berdebat. Gina memegang sebuah amplop coklat besar, sementara Dewi berusaha merebutnya dengan ekspresi kesal. Tedja melirik Adira. "Bukannya itu teman kamu yang di pesta kemarin? Yang minta cariin lowongan?" Adira mengangguk. "Iya." Tedja menyipitkan mata, memperhatikan interaksi keduanya. "Dia kayaknya lagi bertengkar sama Gina." Adira mendesah kecil. "Biasa itu, Dok. Dari SMA mereka memang nggak pernah akur. Tapi mereka tet
Setelah berhasil menghindari kerumunan tamu yang terus bertanya tentang insiden dengan Zia, Adira akhirnya bisa menarik napas sejenak. Namun, sebelum benar-benar bisa beristirahat, suara familiar menyapanya. "Adira, lama nggak ketemu," suara itu terdengar ramah, tapi ada sesuatu dalam nadanya yang membuat Adira menegang seketika. Dia menoleh, dan mendapati Dewi berdiri di hadapannya dengan senyum manis yang sudah sangat ia kenal sejak dulu. “Dewi?” Adira berkedip, sedikit terkejut melihat sosok itu di acara sebesar ini. Dewi mengangguk dengan anggun. “Kaget, ya? Aku nggak diundang langsung, tapi nemenin bosku ke acara ini.” Adira mencoba tetap tenang, meski dalam pikirannya ia bertanya-tanya. “Bosnya? Oh! Maksudnya Bu Nia yang dari asuransi Happy Life kali ya?” Dewi tampaknya menangkap kebingungan Adira, dan tanpa diminta, dia melanjutkan, “Bosku kebetulan kenal sama beberapa petinggi rumah sakit. Aku ikut sebagai pendamping, ya sekalian networking juga.” Adira mengangguk pelan.