“Jangan ngaco, Dok!” pekik Adira.
Dokter Tedja menaruh jari telunjuknya di depan bibir, memberi isyarat agar Adira memelankan suaranya.
“Dilarang berisik di rumah sakit.” hardik pria itu.
Kalau ada kontes orang paling tidak masuk akal di dunia, Adira yakin sekali kalau Dokter Tedja akan memenangkannya dengan sangat mudah.
Sebagai sekretaris pribadi, Adira seharusnya sudah terbiasa dengan tingkah bosnya ini. Tetapi, diajak menikah tiba-tiba adalah hal terakhir yang bisa dia bayangkan tentang Dokter Tedja.
Adira mendesah panjang. “Dok, ini harus banget kita nikah? nggak ada urgensinya kan? Kenapa nggak nyari orang lain aja?”
Dokter Tedja mendongakkan kepala sedikit, menatap Adira dengan dingin seperti detektif yang menginterogasi tersangka. “Ada. Saya punya urgensi.”
Tiba-tiba saja, Adira ingat pernah mendengar Dokter Indah—Ibu Dokter Tedja—memarahi putranya habis-habisan karena belum juga menikah meski sudah menginjak usia 33 tahun.
Mendengar amarah Dokter Indah, Adira yang waktu itu sedang membawa kopi dengan nampan hampir saja menjatuhkannya dan buru-buru pergi ke ruangan lain untuk sementara.
Namun, itu kan urusan Dokter Tedja, kenapa dia yang harus terseret ke dalamnya?
“Y-ya kalau begitu, kenapa dokter nggak mencari cewek lain aja?” Adira mencoba berargumen. “Saya nggak ada urgensi.”
“Ohya? Bukannya tadi kakak kamu nyuruh kamu nikah?” Dokter Tedja bertanya dengan nada datar, seolah menyatakan fakta yang tidak terbantahkan.
Adira tercengang dan mulai menerka berapa banyak yang pria itu dengar dalam obrolannya dengan Edwin.
“Itu kan karena saya kabur dari rumah, Dok. Saya yakin kalau saya balik, saya nggak akan disuruh lagi.”
Dokter Tedja tersenyum mengejek. “Kalau begitu saya juga yakin kalau kamu akan berantem lagi sama kakak ipar kamu dan kembali kabur.”
Kalimat itu seperti pukulan telak ke ulu hati Adira. Semua yang Dokter Tedja katakan tepat sasaran, seperti anak panah yang mengenai titik tengah target.
Adira menunduk. Dalam hati, dia tahu Dokter Tedja benar.
Hidupnya hanya berisi siklus kabur dari rumah, menumpang di tempat teman, lalu kembali lagi ke titik yang sama.
Kakaknya juga pasti sudah cukup kerepotan karena ulahnya. Tapi menikah? Haruskah sejauh itu?
“Sekarang kamu sakit, makanya bisa nginap di RS.” lanjut Dokter Tedja tanpa memberi jeda. “Tapi besok gimana? Mau jadi gelandangan?”
Adira tetap bungkam. Ucapan Dokter Tedja terlalu tepat untuk dibantah.
“Ck. Kelamaan mikir kamu,”
Dokter Tedja yang tampaknya sudah cukup sabar akhirnya melontarkan serangan pamungkas.
“Saya lupa kasih tahu,” ujar Dokter Tedja lagi. Kali ini, kedua tangan pria itu bertumpu di pundak Adira. “Ada bayarannya"
Adira menatap Dokter Tedja dengan mata membelalak. “Berapa, Bos?"
“Dua,” jawab Dokter Tedja.
“Dua juta? Hilih!” Adira kembali memalingkan badannya. Menurutnya dua juta masih terlalu murah untuk jasanya.
“Dua ratus juta per bulan, tambah uang makan, dan bonus-bonus lain,”
Setelah Dokter Tedja mengatakan itu, barulah Adira menunjukkan ketertarikannya.
“Bener loh, ya!” seru Adira.
Dokter Tedja tidak langsung menjawab. Dia mengutak-atik ponselnya beberapa saat hingga kemudian sebuah notifikasi dari bank muncul di ponsel Adira.
“Cek sendiri!” perintah Dokter Tedja sambil memberikan isyarat dengan dagunya.
Adira yang penasaran segera mengecek dan matanya semakin terbelalak.
Sebab, tiba-tiba saldonya yang tadinya cuma ratusan ribu kini menjadi lebih dari lima puluh juta. Sekarang Adira jadi ingat kalau bosnya ini tidak pernah bermain-main.
Keesokan harinya, perjalanan Adira dan Dokter Tedja menuju Disdukcapil hanya diisi dengan musik-musik Ghibli dari speaker mobil.
Keduanya hanya fokus dengan pikirannya masing-masing. Apalagi Adira yang sebenarnya masih ragu-ragu untuk menerima ajakan menikah dadakan ini.
Setibanya di Disdukcapil, mereka disambut petugas, dan anehnya semua proses berlangsung sangat cepat. Adira merasa ada yang janggal.
Biasanya, proses pencatatan seperti ini memakan waktu beberapa hari. Tapi tadi? Hanya butuh satu jam, dan sekarang di tangannya sudah ada selembar akta nikah.
Semua dokumen bahkan sudah disiapkan dengan baik oleh Dokter Tedja, seakan hal ini sudah lama direncanakan.
“Kita... beneran sudah nikah, Dok?” tanyanya setengah tidak percaya sambil menatap akta itu seperti benda asing.
Dokter Tedja melirik sekilas. “Kamu amnesia? Atau mulai demensia dini?” ucapnya santai. “Ngomong-ngomong, hari ini Dokter Ridwan jadwal di RS lain. Kita langsung ke sana sekarang.”
“Hah? Untuk apa kita ke dokter syaraf?” sergah Adira, menahan langkahnya. “Saya cuma shock, Dok. Bukan sakit!”
Melihat wajah Adira yang panik, Dokter Tedja terkekeh pelan.
“Ya, saya tahu,” gumamnya sambil menyeringai kecil. Dengan gerakan santai, dia menggenggam tangan Adira dan menariknya keluar gedung.
“Dokter mengejek saya, ya?”
Adira mendengus kesal, menyadari bahwa dirinya sedang jadi bahan candaan. Dokter Tedja tidak menjawab, tapi genggamannya sedikit mengerat. Sikapnya tetap tenang, seperti tidak ada yang perlu dijelaskan.
Mereka berjalan ke parkiran tanpa sepatah kata lagi.
Setelah masuk ke mobil, Dokter Tedja segera melajukan kendaraan. Awalnya, Adira mengira mereka akan kembali ke rumah sakit. Namun, dia mulai curiga ketika mobil mengambil arah yang berbeda.
“Dok, kok kita nggak kembali ke RS?” tanya Adira bingung.
“Kita ke rumah saya dulu. Naruh barang kamu.” jawab Dokter Tedja singkat, tanpa menoleh.
Adira terkesiap. “Tapi, Dok. Saya belum siap! Baju saya juga kan masih...”
Ucapan Adira terhenti, begitu ingat kalau kopernya sudah ada di bagasi.
“Nggak mungkin kamu nginep di rumah sakit terus kan, Adira? RS kita selalu penuh dan banyak yang membutuhkan ruangan.” jelas Dokter Tedja. “Kalau masih mau menginap di sana, ambil ruang president suite. Sanggup?”
Mendengar itu, Adira berdecak.
Walaupun saldo rekeningnya sekarang lebih dari cukup untuk bertahan beberapa bulan tanpa kerja, tapi memikirkan biaya inap di ruang president suite rumah sakit membuatnya bergidik.
Ruangan itu bukan hanya termewah di Jakarta, tetapi juga salah satu yang paling mahal di Asia Tenggara. Bahkan pejabat dan konglomerat jarang memilihnya kecuali benar-benar butuh privasi tinggi.
Dengan berbagai pertimbangan yang melintas cepat di kepalanya, Adira akhirnya pasrah. Dia bersandar di kursi, menatap lurus ke depan tanpa berkata apa-apa lagi.
Ketika akhirnya tiba di gedung tujuan, Adira kembali mendengus.
Dia sudah sering ke sini, karena sering diminta untuk lembur. Bahkan dia tahu sandi pintu masuknya. Sungguh tidak disangka kalau mulai hari ini dia akan tinggal di sana.
Begitu masuk ke dalam penthouse, berbagai furniture mewah langsung menyambut Adira.
Ditambah dengan pemandangan dari dinding kaca yang mengelilingi sebagian besar ruangan dan lantai marmer, suasana terasa seperti dunia lain.
Adira sempat terpana, tapi segera menghela napas, mencoba menenangkan diri.
Tanpa pikir panjang, dia langsung menuju arah yang biasa ia tempuh saat lembur di sini. Namun, langkahnya terhenti ketika Dokter Tedja dengan cepat menarik kerah bajunya dari belakang.
“Mau ke mana?” tanya Dokter Tedja seraya memasukkan satu tangannya yang lain ke dalam saku.
“Ke kamar tamu, Dok,” jawab Adira singkat.
Biasanya dia memang tidur di kamar tamu kalau lembur sampai pagi. Jadi, itu otomatis menjadi tujuannya sekarang.
Dokter Tedja menyipitkan mata sebelum senyum liciknya yang khas tersungging di bibirnya.
“Kamar tamunya sudah nggak ada,” jawab Dokter Tedja sambil berjalan santai menuju sofa, lalu menjatuhkan dirinya di sana dengan angkuh.
Adira membeku. “Apa? Kok bisa nggak ada?” tanyanya dengan nada tidak percaya.
“Saya renovasi. Sekarang ada gym kecil di sana,” balas Dokter Tedja santai sambil meraih remote untuk menyalakan TV.
“Lalu, kalau begitu saya tidur di mana, Dok?”
Dokter Tedja mengangkat satu ujung bibirnya, kemudian menjawab “Di kamar saya, lah.”
Sejak itu Adira menyesal sudah bertanya.
Dari pipinya yang merah padam saja, Dokter Tedja sudah tahu apa yang sedang Adira pikirkan dan ia merasa puas dengan itu. Sekretarisnya itu, meski sering tampak kaku, tapi selalu memiliki sisi lucu yang muncul seiring waktu. Hal ini menjadi semacam hiburan di tengah rutinitas yang padat sebagai dokter sekaligus direktur utama rumah sakit.“Jangan mikir yang aneh-aneh. Adik perempuan saya tinggal di bawah dan sering ke sini. Kalau dia lapor ke ibu saya, kamu tahu kan bakal seperti apa jadinya?” jelas Dokter Tedja, menyelipkan nada peringatan.Adira menjatuhkan tubuhnya ke sofa tak jauh dari tempat Dokter Tedja duduk.“Siapa yang begitu?” Adira berusaha mengenyahkan pikiran aneh di kepalanya. “Saya hanya waspada,” jawabnya lagi dengan nada ketus.Meskipun berkata demikian, tapi semburat merah di pipi Adira belum juga pudar.“Bohong. Kamu pasti berharap kalau saya akan ngapa-ngapain kamu, kan?” balas Dokter Tedja lagi. Kali ini, pria itu menyeringai menggoda, membuat Adira menatapnya d
Edwin, Dokter Tedja, dan Adira duduk dalam formasi yang memancarkan ketegangan. Dokter Tedja dan Adira berdampingan di satu sisi meja, sementara Edwin duduk di seberang, memandang keduanya dengan tatapan yang sulit dibaca. Mata Edwin tajam, menusuk seperti elang yang siap menyergap mangsanya. Dadanya bergejolak hebat, terutama setelah mendengar kabar yang tak pernah ia bayangkan—Adira, adik kecilnya yang paling dia sayangi, tahu-tahu sudah menikah. Ditambah lagi pasangannya adalah dr. Dokter Tedja, atasan Adira yang selalu dikeluhkan oleh Adira sebagai pribadi yang kejam dan perfectionist.Mana bisa Edwin menerima kabar pernikahan itu?!Edwin menghela napas sebelum bersandar sedikit ke kursinya, melipat tangan di dada. “Sekarang jelaskan.” katanya dengan datar dan penuh tekanan.Adira menunduk dalam diam, bibirnya bergetar seperti mencari kata-kata yang tak kunjung keluar. Sebaliknya, Dokter Tedja dengan tenang membuka percakapan.“Kami sudah menikah,” ucapnya tenang dan penuh keya
Dari kalimat pertama saja, tawa Teja sudah hampir meledak. Istri barunya ini benar-benar tidak ada tandingannya dalam membuatnya tertawa. Ia menutup mulutnya rapat-rapat, berusaha keras menahan suara cekikikan yang bisa mengganggu Adira. “Hah... istri? Ini bukan nomornya Mas Teja, ya?” sahut wanita dari seberang telepon dengan nada yang terdengar tidak percaya. “Betul kok, ini nomor Mas Teja. Tapi, suami saya lagi sibuk,” ujar Adira sejudes mungkin. Ia menekankan kata “suami saya” dengan nada yang nyaris menyayat. Hening. Zia, wanita di seberang, tidak segera membalas. Namun, napas panjang terdengar dari speaker, cukup jelas untuk mengisyaratkan bahwa emosinya sedang mendidih. Adira tersenyum tipis, meskipun nadanya semakin menusuk. “Lagian ya, Mbak. Dari tadi suami saya nggak angkat telepon. Harusnya sadar dong. Dia nggak mau bicara sama kamu. Itu namanya... males.” Teja melirik Adira sambil memarkirkan mobil di area parkir minimarket. Rasanya mustahil baginya untuk terus menyeti
Adira dan Tedja meninggalkan rumah sakit dalam suasana yang sedikit tegang. Tedja tampak diam, matanya menatap lurus ke jalan. Pikirannya seolah masih tertinggal di ruang pertemuannya dengan Zia. Sementara itu, Adira memilih memandang keluar jendela, berusaha menikmati perjalanan menuju kafe tempat mereka janjian dengan dokter Giovanni. Hawa dingin dari AC mobil terasa menenangkan, meski atmosfer di dalam mobil tetap terasa berat. “Kamu nggak mau nanya apa-apa? Nggak penasaran?” Tedja tiba-tiba membuka pembicaraan. Suaranya terdengar datar, namun nadanya seperti menantang. “Hm... penasaran, sih. Tapi, sepertinya lebih baik saya tidak bertanya,” jawab Adira dengan tenang, meski nada bicaranya mengisyaratkan kehati-hatian. “Walaupun saya bersedia menjawab?” Tedja menoleh sedikit, menatapnya dengan alis terangkat. “Saya pikir itu urusan pribadi dokter yang tidak perlu saya pusingkan. Lagi pula, tugas saya kan cuma menjalankan keinginan dokter yang sudah membayar saya,” ucap Adira deng
Adira dan Tedja baru tiga hari menikah. Meski begitu, kehidupan sehari-hari mereka berjalan seperti biasa. Mereka tetap profesional dalam pekerjaan tanpa menunjukkan perubahan berarti. Satu-satunya hal yang berubah hanyalah saat malam tiba. Kini, mereka berbagi kamar yang sama, bahkan tidur di kasur yang sama. Anehnya, Adira terlihat santai. Tedja yang penasaran akhirnya bertanya, “Kamu nggak grogi tidur bareng saya di sini?” Adira melirik Tedja sekilas, lalu menjawab santai, “Grogi, dong. Kemarin kan saya protes ke dokter.” Tentu saja Tedja ingat tentang perdebatan mereka. Adira saja sampai voluntir untuk duduk di sofa, tapi Tedja halangi dengan alasan tidak ada selimut lain. “Saya anggap lagi tidur sama kak Edwin aja. Lagipula, kasur ini gede banget, dokter Tedja juga udah janji nggak akan macem-macem.” Tedja tertawa kecil mendengar jawaban itu. “Sama kakak, ya? Kamu yakin banget...” “Dokter Tedja, walaupun suka jahil, selalu menepati janjinya.” ujar Adira. “Kamu gak sangsi g
Setelah Indah keluar dari penthouse, Adira akhirnya bisa menarik napas lega. Tapi sayangnya, itu bukan napas lega yang sepenuhnya menenangkan. Kata-kata terakhir Indah terus terngiang-ngiang di benaknya: "Kita lihat saja sampai kapan kamu bertahan dengan keputusan ini." Adira mengerutkan dahinya sambil memandang pintu yang baru saja ditutup Tedja. Dari semua hal yang ia bayangkan tentang kehidupan setelah menikah—meskipun hanya formalitas—berurusan dengan Indah adalah salah satu yang paling dia takutkan. Wanita itu begitu dingin dan hampir tidak pernah sekalipun Adira melihatnya tersenyum ramah. Dan, yang lebih membingungkan baginya, adalah hubungan antara Tedja dan ibunya yang terasa seperti dua orang asing. “Kamu kenapa, bengong gitu?” suara Tedja memecah lamunannya. Adira mendongak, lalu mengedikkan bahu kecilnya. “Cuma... kepikiran. Ibunya Dokter Tedja dingin banget kayak es batu beku di freezer. Ngeri tahu.” Tedja mendesah pendek sambil menyandarkan punggung ke kursi. “Begit
“Indah, ada angin apa ke sini?” Sofia menyambut dengan senyum yang terlihat manis, tapi nadanya mengandung sindiran yang sulit diabaikan. Sorot matanya menyelidik dari balik kacamata yang bertengger sempurna di hidungnya. Indah, menantu yang sejak lama jarang terlihat di rumah besar keluarga Daryanatha, hanya membalas dengan senyum tipis. Kepergiannya ke rumah itu selalu membawa alasan formal: pekerjaan, atau pembicaraan penting tentang urusan keluarga. Tidak pernah sekadar untuk bersilaturahmi, apalagi sejak kematian suaminya, Haryo. Namun, hari ini berbeda. “Saya hanya ingin berkunjung,” jawab Indah santai, mencoba menutupi kegelisahannya. Di sisi lain ruangan, Daryanatha, kepala keluarga yang sudah jarang berbicara di pertemuan-pertemuan kecil seperti ini, akhirnya membuka suara. “Tumben sekali,” katanya, disertai nada skeptis. Pandangannya beralih ke arah wanita muda yang berdiri di belakang Indah. “Anda dokter Zia, bukan?” Zia yang sejak tadi berdiri dengan gelisah segera mem
Adira terlonjak mendengar suara pintu yang terbuka, jantungnya berdebar. Namun, ia segera menenangkan diri dan melirik ke arah pintu, berusaha mencari tahu kenapa pintu itu, yang tadinya tertutup rapat, kini terbuka. Benar dugaan Tedja. Di balik pintu, terlihat sosok Sofia, neneknya, yang tampak sedikit terkejut karena ketahuan. Sepertinya dia berusaha mengintip diam-diam. “Nenek?” Tedja menyapa dengan suara santai, meski tatapan matanya sedikit menyelidik. Tedja berjalan menuju pintu, membukanya lebih lebar. Sofia, yang sebelumnya berusaha sembunyi-sembunyi, kini hanya bisa tersenyum canggung. Jelas, usahanya untuk menonton “aksi” di dalam kamar gagal total. “Kalian belum tidur?” tanya Sofia basa-basi, menyembunyikan rasa malunya. Tedja dan Adira saling bertukar pandang sebelum Tedja menjawab dengan tenang, “Masih jam sembilan, Nek. Biasanya kami masih banyak aktivitas malam, jadi belum mengantuk.” Adira mengangguk setuju, meski dalam hati ia berharap Sofia segera pergi. Namun,
Langkah Adira hampir mencapai pintu keluar ketika suara lembut namun penuh otoritas menghentikannya. "Adira?" Adira menoleh, mendapati seorang wanita paruh baya dengan senyum khasnya berdiri di dekatnya. Bu Dyah. Dari sekian banyak orang yang hadir di reuni ini, Bu Dyah adalah satu-satunya yang seharusnya bisa membuatnya merasa nyaman. Mantan wali kelasnya itu selalu terlihat lembut dan perhatian. Tapi, entah kenapa, tatapan hangatnya kini terasa mengikat, seperti jaring halus yang siap menahannya tetap di tempat. "Apa kamu sudah mau pulang?" tanya Bu Dyah dengan nada lembut, tapi ada sedikit nada keberatan di sana. Adira tetap menjaga ekspresi tenangnya. "Iya, Bu. Saya tidak bisa berlama-lama. Karena, niatnya cuma ikut makan saja." "Sayang sekali. Padahal saya ingin berbicara denganmu sebentar," ujar Bu Dyah. Dia melirik ke meja reuni di mana beberapa teman lama mereka masih sibuk mengobrol, tapi jelas memperhatikan mereka. "Kamu benar-benar tidak mau duduk sebentar lagi? Momen
Restoran Grand Orchid Hotel terasa semakin sesak bagi Adira. Bukan karena udara atau jumlah tamu yang banyak, melainkan karena atmosfer di meja reuni yang semakin lama semakin tidak nyaman. Dari tadi, obrolan terus mengalir tanpa melibatkan dirinya. Mereka membahas kisah sukses masing-masing, mulai dari bisnis yang berkembang pesat, perjalanan ke luar negeri, hingga pernikahan dengan pasangan kaya raya. Semua terdengar seperti ajang pamer terselubung. Adira memilih tetap diam. Tidak ada yang ingin dia ceritakan. Kenangan SMA baginya tidak lebih dari fase hidup yang ingin dia tinggalkan—fase di mana dia harus berjuang sendiri, menghadapi bully-an, dan bertahan dari tatapan merendahkan. Satu-satunya hal baik dari masa itu adalah Gina, Dewi, dan Giovanni. Namun, kini Adira bahkan mulai ragu apakah Dewi benar-benar teman yang bisa dia percayai. Dia menarik napas panjang, berusaha mengabaikan percakapan di sekelilingnya. Rasa bosan mulai menjalar, membuatnya tanpa sadar membuka ponsel
Chapter XX: Undangan Makan Malam di Grand Orchid Setelah insiden beberapa waktu lalu, Dewi tampak lebih kalem. Dia tidak lagi terlalu agresif saat menyapa Giovanni, tidak sok akrab dengan staf lainnya, dan yang paling penting bagi Adira, Dewi akhirnya bekerja dengan cukup baik—atau setidaknya berusaha terlihat baik. Namun, bagi sebagian besar staf di front office, perubahan Dewi ini terasa janggal. Baru saja seminggu lalu dia membuat kesalahan fatal, tetapi sekarang dia bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Di area resepsionis, beberapa pegawai sedang membahas perubahan sikap Dewi. "Kamu sadar gak sih? Dewi sekarang beda banget," ujar Rina, salah satu pegawai administrasi, dengan nada berbisik. "Iya, biasanya dia langsung sok akrab tiap lihat dr. Giovanni. Sekarang, malah kalem," timpal Feri, pegawai front office lainnya. "Mungkin dia kapok gara-gara kena teguran dr. Tedja," celetuk Rina lagi. Feri menggeleng. "Ya kapok sih kapok, tapi tetep aja. Dia kan baru kerja beberap
Hari reuni yang dinanti-nanti oleh teman-teman SMA Adira akhirnya tiba. Namun, seperti yang sudah direncanakan, Adira sama sekali tidak berniat untuk menghadirinya. Hari ini dia harus pergi ke luar kota bersama Dokter Tedja untuk survei lokasi klinik baru. Pagi itu, langit masih sedikit mendung ketika Adira dan Dokter Tedja sudah berada di dalam mobil. Perjalanan mereka ke Kota Y memakan waktu beberapa jam, jadi sejak awal mereka sudah bersiap untuk perjalanan panjang. Dokter Tedja yang menyetir tampak santai, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Sementara Adira duduk di kursi penumpang, sibuk dengan tabletnya, mengecek kembali daftar lokasi yang akan mereka survei hari ini. "Jadi, kita langsung ke lokasi pertama begitu sampai?" tanya Dokter Tedja, membelokkan mobil keluar dari parkiran basement rumah sakit. "Iya," jawab Adira tanpa mengalihkan pandangan dari layarnya. "Saya sudah mengatur jadwalnya. Tempat pertama yang kita survei ada di area perumahan eli
Sejak pertama kali Adira menginjakkan kaki di kantor pagi ini, suasana di sekitar berubah drastis. Para staf yang biasanya sibuk mengobrol di dekat pantry atau berkumpul di meja kerja masing-masing langsung membubarkan diri begitu melihat ekspresi Adira yang gelap. Langkahnya cepat, hak sepatunya berdetak tegas di lantai, dan raut wajahnya penuh dengan aura ‘jangan ganggu aku kalau tidak ingin mati’. Bagi yang sudah mengenal Adira cukup lama, mereka tahu ada dua hal yang bisa membuatnya segalak ini: pekerjaan yang berantakan atau sesuatu yang berhubungan dengan Tedja. Dan pagi ini, tampaknya bukan masalah pekerjaan. “Permisi, Mbak Adira...” suara seorang staf bagian keuangan bergetar saat menyerahkan dokumen laporan keuangan mingguan. Biasanya, Adira akan menerima dengan tenang, mungkin menambahkan sedikit candaan atau komentar santai. Tapi kali ini, dia hanya menatap sekilas sebelum mengambil dokumen itu dengan sedikit hentakan. “Ada yang salah dalam laporan ini?” tanya staf itu h
Pagi itu, Gina berdiri di dekat mesin absen pegawai dengan tatapan tajam. Matanya terus mengawasi setiap pegawai yang masuk, tapi fokusnya hanya pada satu orang, yakni Adira. Dia sengaja datang lebih awal demi satu tujuan: menginterogasi Adira soal kejadian semalam. Masih jelas di ingatannya bagaimana suara Tedja terdengar dari telepon. Kenapa malam-malam Tedja bisa ada di tempat Adira? Kenapa Adira terdengar begitu panik ketika ketahuan? Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Adira berjalan lebih cepat beberapa langkah di depan Tedja, wajahnya masam, seperti seseorang yang sedang menahan kekesalan. Gerak-geriknya kaku, bibirnya terkatup rapat, dan ada aura jengkel yang terpancar jelas darinya. Sementara itu, Tedja justru tampak sangat santai di belakangnya. Ada sedikit seringai di bibirnya, seaka
Dewi duduk di meja resepsionis, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Dia berusaha terlihat sibuk membaca berkas di depannya, tetapi pikirannya terus berputar pada satu hal, yaitu pemandangan yang baru saja dia lihat di rumah sakit tadi siang. Adira dan Giovanni. Mereka bercanda dengan akrab, tertawa dengan begitu alami seolah tidak ada orang lain di sekitar mereka. Giovanni bahkan menyentuh kepala Adira, membenarkan helaian rambut yang hampir masuk ke mulutnya saat tertawa. Dewi mengepalkan tangannya di bawah meja untuk menahan rasa kesalnya. Dulu, saat SMA, dia pernah melihat hal yang sama. Dewi sering memperhatikan Adira yang sedang berbicara dengan Giovanni. Mereka berdiri di dekat klinik sekolah, tampak asyik mengobrol. Giovanni saat itu adalah dokter muda yang baru mulai praktik di sekolah mereka, sementara Adira adalah murid beasiswa yang sering mengunjungi klinik karena sering begadang demi nilai sempurna. Dewi menggigit bibir. Dia bisa meliha
Tedja menatap Dewi dengan ekspresi tajam, kedua tangannya bersedekap di depan dada. Suasana di ruangan itu terasa dingin, hampir seperti udara di kamar operasi sebelum tindakan besar dilakukan. “Saya tidak bisa terus menoleransi kesalahan seperti ini, Dewi,” katanya dengan nada dingin dan tegas. Dewi, yang sedari tadi bisa berbicara banyak, kali ini benar-benar panik. Matanya sedikit berkaca-kaca saat dia meremas ujung bajunya dengan gugup. “Saya benar-benar minta maaf, Dok... Saya butuh pekerjaan ini... Saya janji tidak akan mengulangi kesalahan lagi. Mohon jangan pecat saya,” suaranya bergetar, jelas terdengar nada ketakutan. Tedja tidak langsung menjawab. Ia melirik Adira yang berdiri di sampingnya, menatap Dewi dengan ekspresi sulit diartikan. Dia tahu Adira mulai ragu. Dari ekspresinya, dia bisa melihat Adira bergumul dengan pikirannya sendiri. Entah mana yang akan dia pilih antara mengikuti perasaannya yang masih percaya pada Dewi, atau menerima fakta bahwa Dewi memang berm
Adira duduk di kursi kerjanya, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan gelisah. Laporan tentang Dewi mulai menumpuk, dan ini bukan pertama kalinya dia menerima komplain. Masalahnya, setiap kali ada staf yang melapor, mereka selalu menyebut satu hal yang sama: Dewi menggunakan nama Adira untuk menekan orang lain. Adira menghela napas panjang. Dia ingin percaya bahwa Dewi hanya kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru. Namun, nalurinya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Akhirnya, setelah jam makan siang, Adira memutuskan untuk bicara langsung dengan Dewi. Dia menghampiri meja resepsionis di bagian front office, tempat Dewi bekerja. Wanita itu tampak asyik berbincang dengan seorang perawat, seolah tidak ada beban sama sekali. "Dewi, bisa bicara sebentar?" suara Adira terdengar tenang, tapi ada ketegasan di baliknya. Dewi menoleh, tersenyum lebar. "Tentu dong, Ra." Mereka berjalan ke ruangan kosong di dekat front office. Begitu pintu tertutup, Adira langsung menatap