Share

Tantangan Sebenarnya

Author: Ovvpie
last update Last Updated: 2025-01-16 17:07:02

Dari kalimat pertama saja, tawa Teja sudah hampir meledak. Istri barunya ini benar-benar tidak ada tandingannya dalam membuatnya tertawa. Ia menutup mulutnya rapat-rapat, berusaha keras menahan suara cekikikan yang bisa mengganggu Adira.

“Hah... istri? Ini bukan nomornya Mas Teja, ya?” sahut wanita dari seberang telepon dengan nada yang terdengar tidak percaya.

“Betul kok, ini nomor Mas Teja. Tapi, suami saya lagi sibuk,” ujar Adira sejudes mungkin. Ia menekankan kata “suami saya” dengan nada yang nyaris menyayat.

Hening. Zia, wanita di seberang, tidak segera membalas. Namun, napas panjang terdengar dari speaker, cukup jelas untuk mengisyaratkan bahwa emosinya sedang mendidih.

Adira tersenyum tipis, meskipun nadanya semakin menusuk. “Lagian ya, Mbak. Dari tadi suami saya nggak angkat telepon. Harusnya sadar dong. Dia nggak mau bicara sama kamu. Itu namanya... males.”

Teja melirik Adira sambil memarkirkan mobil di area parkir minimarket. Rasanya mustahil baginya untuk terus menyetir sambil menahan gelak tawa. Ia memegangi kemudi erat-erat, bahunya bergetar karena tawa yang ia tahan.

Adira melirik Teja sejenak sebelum melanjutkan, “Mbak Zia, saya tahu kamu hampir dijodohkan sama suami saya, tapi tahu nggak kenapa itu cuma ‘hampir’? Karena dia jelas nggak tertarik sama kamu. Ngerti nggak? Seratus. Persen. Nggak. Tertarik.”

Suara isakan pelan terdengar dari speaker. “Nggak mungkin...” gumam Zia lirih, suaranya hampir tenggelam oleh emosi yang ia coba tahan.

Adira mengeraskan suaranya, memastikan setiap kata sampai dengan jelas. “Dengar baik-baik, Mbak. Suami saya itu sudah memilih saya. Dia bahagia banget sama saya. Jadi, mulai sekarang, stop ganggu dia, ya. Kalau nggak, saya nggak segan-segan lapor polisi. Gangguan seperti ini bisa kena pasal penguntitan, tahu?”

Zia mencoba membalas, tetapi suaranya terdengar lemah. “Kamu pikir kamu...”

“Dan satu lagi,” potong Adira, mengabaikan Zia sepenuhnya, “suami saya itu terlalu lembut buat bilang ini langsung ke kamu. Makanya, saya aja yang kasih tahu. Tapi jangan salah, saya beda. Kalau kamu terus-terusan ganggu, saya nggak akan segan-segan untuk me—”

‘Piiip.’

Telepon itu terputus. Zia menutupnya lebih dulu, mungkin tidak kuat mendengar ancaman Adira yang belum selesai.

Adira mengangkat alis, menatap layar yang kembali menunjukkan daftar panggilan. “Huh. Akhirnya selesai juga,” gumamnya sambil melipat lengannya.

Saat itulah Teja akhirnya tawa Teja meledak. Ia tertawa keras, sampai harus membungkuk memegangi perutnya. Suaranya memenuhi kabin mobil, membuat Adira melirik dengan kesal.

“Lucu banget ya, Dok?” tanya Adira. Pipinya sedikit memerah karena sadar bahwa Teja mendengar semuanya.

“Mantap. Hahaha!”

Teja terus tertawa selama beberapa menit tanpa henti. Bahkan Adira sempat keluar untuk membeli minuman di minimarket sebelum akhirnya mereka melanjutkan perjalanan.

Ketika ia kembali dengan dua botol air mineral di tangan, Teja masih terkikik kecil. Adira meletakkan salah satu botol di dashboard dengan sedikit kasar. “Minum, Dok. Biar nggak ketawa terus,” katanya sambil membuka botolnya sendiri.

Teja mengambil botol itu sambil tersenyum lebar. “Makasih, Dir.”

Adira mendengus, “Jadi, kita langsung ke rumah sakit kan habis ini?” tanyanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Jadwal saya apa saja?” seketika Tedja juga berubah ke mode kerja.

Segera Adira membuka tabletnya, lalu membacakan jadwal yang sudah disusun, “Hari ini ada rapat dengan komite medik dan beberapa direktur, setelah itu kita makan siang bersama dr. Gio yang akan bergabung dengan rumah sakit kita minggu depan.”

Tedja yang mendengarnya pun manggut-manggut paham. Setelah itu, Adira kembali membacakan jadwal hingga selesai sembari Tedja melajukan mobil ke jalanan kembali.

Sesuai jadwal yang tadi disebutkan, sesampainya di RS Alaric Medika mereka berdua menuju ruang rapat. Di sana, beberapa kursi sudah terisi oleh para undangan. Lalu, sembari menunggu yang lainnya, Adira menyediakan air mineral untuk mereka satu persatu.

Agenda rapat hari ini terkait pembelian alat kesehatan baru untuk lima cabang Rumah Sakit Alaric Medika. Dan berhubung hal ini terkait dengan cabang lain, tentu saja Zia yang merupakan salah satu direktur cabang juga hadir.

Zia yang duduk tepat di sebelah kanan Tedja hari itu sekilas terlihat biasa saja. Tetapi, Adira menyadari bahwa ada guratan kesal di tatapan wanita itu, terutama saat mata mereka bertemu.

“Jangan-jangan tadi dokter Zia cuma mau nelfon soal rapat. Harusnya gak usah saya omelin...” batin Adira.

Perasaannya benar-benar tidak enak. Ucapannya di telfon tadi lumayan menusuk seandainya Adira yang mendengarkan. Seharusnya tadi dia memilih kata yang lebih baik.

Tapi, bukankah itu juga salah Tedja yang menyuruhnya untuk menyingkirkan Zia. Kalau nanti Zia jadi memusuhinya, setidaknya dia bisa berlindung dibalik Tedja. Tapi, akankah Tedja melindunginya? Hal itu cukup membuatnya sangsi.

“Tenang aja,” ucap Tedja lirih sembari menepuk-nepuk punggung tangan Adira.

Adira sebetulnya sulit merasa tenang, tetapi mau tidak mau dia harus tetap profesional. Setelah mengambil napas beberapa kali, dia menegakkan badannya dan mulai fokus pada rapat.

...

Rapat baru selesai satu jam kemudian. Begitu ditutup, sebagian besar langsung beranjak dari ruangan tersebut. Adira dan Tedja juga berniat melakukan hal yang sama, tetapi kemudian Zia memanggil.

“Mas Tedja,” panggil wanita itu.

Tedja hanya menengok sedikit.

“Ini rumah sakit, panggil saya dengan benar.” ujarnya tegas.

Jantung Adira sudah mulai kembali bergemuruh. Padahal tadi dia sudah agak tenang. Dia kembali memikirkan konsekuensi yang akan diterimanya. Dia hanya berharap bahwa Zia tidak mengenali suaranya di telfon tadi.

“Dok..ter Tedja.” ucap Zia, nadanya bergetar, “Soal di telfon tadi... apa benar?”

“Ya,” jawab Tedja singkat.

“Siapa? Boleh saya tahu?” tanya Zia. Suaranya semakin serak.

Saat akan menjawab, Tedja sedikit melirik ke arah Adira. Nampak jelas kekhawatiran di wajahnya. Tatapan gadis itu pun seolah memohon agar Tedja tidak mengatakan apapun.

“Kamu tidak perlu tahu. Ini bukan urusanmu.” jawab Tedja akhirnya.

“Mananya? Aku calon tunanganmu, Mas! Aku perlu tahu!” sergah Zia.

Zia berjalan ke hadapan Tedja dan berusaha meraih tangannya. Namun, sedetik kemudian Tedja menepis tangan itu.

“Sudah saya bilang berkali-kali, kalau saya tidak setuju dengan perjodohan ini. Kamu juga tahu kalau sekarang saya sudah menikah. Untuk apa kamu ungkit terus?” tatapan Tedja menyalak.

Air mata Zia mulai mengalir. “Aku udah nungguin kamu dari lama, Mas. Dulu kita gak kayak gini, kenapa... kenapa kamu berubah?”

“Saya tidak pernah berubah, dr. Zia. Itu hanya dugaan kamu saja.” ucap Tedja dingin.

“Dan sekali lagi saya ingatkan kalau saya tidak suka dengan tindakan kamu yang membawa persoalan pribadi ke rumah sakit.” lanjutnya seraya pergi meninggalkan Zia di sana.

Zia semakin terisak. Siapapun yang melihatnya kini pasti akan merasa kasihan. Begitu pula Adira yang merupakan salah satu penyebab tangisan itu. Tetapi, dia tidak merasa bersalah. Adira yakin bahwa ada alasan mengapa Tedja memperlakukan Zia seperti itu.

Related chapters

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Kamu Tidak Penasaran?

    Adira dan Tedja meninggalkan rumah sakit dalam suasana yang sedikit tegang. Tedja tampak diam, matanya menatap lurus ke jalan. Pikirannya seolah masih tertinggal di ruang pertemuannya dengan Zia. Sementara itu, Adira memilih memandang keluar jendela, berusaha menikmati perjalanan menuju kafe tempat mereka janjian dengan dokter Giovanni. Hawa dingin dari AC mobil terasa menenangkan, meski atmosfer di dalam mobil tetap terasa berat. “Kamu nggak mau nanya apa-apa? Nggak penasaran?” Tedja tiba-tiba membuka pembicaraan. Suaranya terdengar datar, namun nadanya seperti menantang. “Hm... penasaran, sih. Tapi, sepertinya lebih baik saya tidak bertanya,” jawab Adira dengan tenang, meski nada bicaranya mengisyaratkan kehati-hatian. “Walaupun saya bersedia menjawab?” Tedja menoleh sedikit, menatapnya dengan alis terangkat. “Saya pikir itu urusan pribadi dokter yang tidak perlu saya pusingkan. Lagi pula, tugas saya kan cuma menjalankan keinginan dokter yang sudah membayar saya,” ucap Adira deng

    Last Updated : 2025-01-19
  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Masakan Istri

    Adira dan Tedja baru tiga hari menikah. Meski begitu, kehidupan sehari-hari mereka berjalan seperti biasa. Mereka tetap profesional dalam pekerjaan tanpa menunjukkan perubahan berarti. Satu-satunya hal yang berubah hanyalah saat malam tiba. Kini, mereka berbagi kamar yang sama, bahkan tidur di kasur yang sama. Anehnya, Adira terlihat santai. Tedja yang penasaran akhirnya bertanya, “Kamu nggak grogi tidur bareng saya di sini?” Adira melirik Tedja sekilas, lalu menjawab santai, “Grogi, dong. Kemarin kan saya protes ke dokter.” Tentu saja Tedja ingat tentang perdebatan mereka. Adira saja sampai voluntir untuk duduk di sofa, tapi Tedja halangi dengan alasan tidak ada selimut lain. “Saya anggap lagi tidur sama kak Edwin aja. Lagipula, kasur ini gede banget, dokter Tedja juga udah janji nggak akan macem-macem.” Tedja tertawa kecil mendengar jawaban itu. “Sama kakak, ya? Kamu yakin banget...” “Dokter Tedja, walaupun suka jahil, selalu menepati janjinya.” ujar Adira. “Kamu gak sangsi g

    Last Updated : 2025-01-19
  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Bertemu Mantan Bos

    Setelah Indah keluar dari penthouse, Adira akhirnya bisa menarik napas lega. Tapi sayangnya, itu bukan napas lega yang sepenuhnya menenangkan. Kata-kata terakhir Indah terus terngiang-ngiang di benaknya: "Kita lihat saja sampai kapan kamu bertahan dengan keputusan ini." Adira mengerutkan dahinya sambil memandang pintu yang baru saja ditutup Tedja. Dari semua hal yang ia bayangkan tentang kehidupan setelah menikah—meskipun hanya formalitas—berurusan dengan Indah adalah salah satu yang paling dia takutkan. Wanita itu begitu dingin dan hampir tidak pernah sekalipun Adira melihatnya tersenyum ramah. Dan, yang lebih membingungkan baginya, adalah hubungan antara Tedja dan ibunya yang terasa seperti dua orang asing. “Kamu kenapa, bengong gitu?” suara Tedja memecah lamunannya. Adira mendongak, lalu mengedikkan bahu kecilnya. “Cuma... kepikiran. Ibunya Dokter Tedja dingin banget kayak es batu beku di freezer. Ngeri tahu.” Tedja mendesah pendek sambil menyandarkan punggung ke kursi. “Begit

    Last Updated : 2025-01-20
  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Sup Placebo

    “Indah, ada angin apa ke sini?” Sofia menyambut dengan senyum yang terlihat manis, tapi nadanya mengandung sindiran yang sulit diabaikan. Sorot matanya menyelidik dari balik kacamata yang bertengger sempurna di hidungnya. Indah, menantu yang sejak lama jarang terlihat di rumah besar keluarga Daryanatha, hanya membalas dengan senyum tipis. Kepergiannya ke rumah itu selalu membawa alasan formal: pekerjaan, atau pembicaraan penting tentang urusan keluarga. Tidak pernah sekadar untuk bersilaturahmi, apalagi sejak kematian suaminya, Haryo. Namun, hari ini berbeda. “Saya hanya ingin berkunjung,” jawab Indah santai, mencoba menutupi kegelisahannya. Di sisi lain ruangan, Daryanatha, kepala keluarga yang sudah jarang berbicara di pertemuan-pertemuan kecil seperti ini, akhirnya membuka suara. “Tumben sekali,” katanya, disertai nada skeptis. Pandangannya beralih ke arah wanita muda yang berdiri di belakang Indah. “Anda dokter Zia, bukan?” Zia yang sejak tadi berdiri dengan gelisah segera mem

    Last Updated : 2025-01-21
  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Adegan di Kamar Mandi

    Adira terlonjak mendengar suara pintu yang terbuka, jantungnya berdebar. Namun, ia segera menenangkan diri dan melirik ke arah pintu, berusaha mencari tahu kenapa pintu itu, yang tadinya tertutup rapat, kini terbuka. Benar dugaan Tedja. Di balik pintu, terlihat sosok Sofia, neneknya, yang tampak sedikit terkejut karena ketahuan. Sepertinya dia berusaha mengintip diam-diam. “Nenek?” Tedja menyapa dengan suara santai, meski tatapan matanya sedikit menyelidik. Tedja berjalan menuju pintu, membukanya lebih lebar. Sofia, yang sebelumnya berusaha sembunyi-sembunyi, kini hanya bisa tersenyum canggung. Jelas, usahanya untuk menonton “aksi” di dalam kamar gagal total. “Kalian belum tidur?” tanya Sofia basa-basi, menyembunyikan rasa malunya. Tedja dan Adira saling bertukar pandang sebelum Tedja menjawab dengan tenang, “Masih jam sembilan, Nek. Biasanya kami masih banyak aktivitas malam, jadi belum mengantuk.” Adira mengangguk setuju, meski dalam hati ia berharap Sofia segera pergi. Namun,

    Last Updated : 2025-01-22
  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Gosip Sesat

    Adira masih memikirkan senyum Sofia yang tadi pagi terasa begitu penuh arti. Di sisi lain, Tedja yang duduk di sebelahnya hanya cengengesan, tampak menikmati situasi yang membuat istrinya bingung. “Dok, Nenek bisa seneng banget tadi pagi kenapa, ya?” tanya Adira akhirnya, memecah keheningan di dalam mobil. Tedja menoleh sebentar, senyum tipis masih tersungging di bibirnya. “Hmm, ya, yang jelas rencana kita buat meyakinkan mereka sudah berhasil.” “Hah? Kok bisa? Semalam kan kita gak ngapa-ngapain,” Adira mengernyit, semakin bingung. “Sudahlah, nggak usah dipikirin. Kita fokus kerja aja,” sahut Tedja, mencoba mengalihkan pembicaraan sambil menyalakan radio. Dia sebetulnya bisa menebak apa penyebab neneknya bisa sesenang itu. Tapi, akan lebih menyenangkan melihat wajah Adira yang kebingungan. “Ya udah, lah,” ujar Adira menyerah. Meski bingung, ia memutuskan tidak mempermasalahkannya lebih jauh. Setibanya di kantor pusat Alaric Medika, mereka langsung kembali ke rutinitas masing-masi

    Last Updated : 2025-01-22
  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Semangat Naik, terus Turun

    Cabang pusat Rumah Sakit Alaric Medika tengah diramaikan oleh gosip yang cukup menghebohkan. Dono, seorang office boy senior yang sudah lebih dari satu dekade bekerja di rumah sakit itu, tidak sengaja melihat sesuatu yang membuatnya nyaris tersedak. Ia menyaksikan Dr. Tedja, direktur utama rumah sakit, memeluk dan mencium pipi Adira, sekretaris pribadinya, di dalam ruang kerja. Kejadian itu langsung menjadi cerita panas yang menyebar cepat di kalangan karyawan, terutama karena Dono dikenal sebagai orang yang jujur dan tidak pernah menggembar-gemborkan kabar tanpa dasar. “Saya tuh nggak ngarang, lho!” Dono bersikeras saat mengobrol di pantry bersama salah seorang teknisi. “Saya lihat sendiri! Tangan saya aja sampai gemetaran, itu cangkir langsung meluncur ke lantai!” katanya dramatis. Teknisi itu membelalakkan matanya. “Seriusan, Mas? Bu Adira sama Dr. Tedja? Kayak... nggak mungkin, ya?” “Ya, saya juga nggak percaya awalnya. Tapi kan mata saya nggak minus!” jawab Dono sambil menggel

    Last Updated : 2025-01-23
  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Beli Cincin

    Ruangan klinik itu tidak terlalu luas, namun bersih dan tertata rapi. Di dinding, tergantung poster-poster edukasi tentang kesehatan, seperti cara mencuci tangan yang benar dan tabel makanan bergizi. Beberapa rak kecil di sudut ruangan dipenuhi dengan obat-obatan umum. Lampu LED putih terang membuat ruangan terasa steril. Tedja berdiri di tengah ruangan dengan postur tubuh tegap, mengenakan jas hitam yang memberi aura wibawa. Matanya tajam, menatap catatan di tangannya dengan ekspresi penuh analisis. Dia berbicara dengan dokter kepala klinik menggunakan nada suara yang tegas dan langsung. Sementara itu, Adira berdiri sedikit di belakangnya, berbincang santai namun tetap profesional dengan salah satu perawat. Namun, sikap santai Adira membuat Tedja, yang sedang bad mood, tak bisa menahan diri. "Jangan lama-lama di sini," gumam Tedja pelan, melirik Adira dengan sorot mata yang mencampur rasa bosan dan kesal. Adira menoleh, sedikit bingung dengan nada Tedja, namun memilih tidak menan

    Last Updated : 2025-01-23

Latest chapter

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Rencana Kabur

    Langkah Adira hampir mencapai pintu keluar ketika suara lembut namun penuh otoritas menghentikannya. "Adira?" Adira menoleh, mendapati seorang wanita paruh baya dengan senyum khasnya berdiri di dekatnya. Bu Dyah. Dari sekian banyak orang yang hadir di reuni ini, Bu Dyah adalah satu-satunya yang seharusnya bisa membuatnya merasa nyaman. Mantan wali kelasnya itu selalu terlihat lembut dan perhatian. Tapi, entah kenapa, tatapan hangatnya kini terasa mengikat, seperti jaring halus yang siap menahannya tetap di tempat. "Apa kamu sudah mau pulang?" tanya Bu Dyah dengan nada lembut, tapi ada sedikit nada keberatan di sana. Adira tetap menjaga ekspresi tenangnya. "Iya, Bu. Saya tidak bisa berlama-lama. Karena, niatnya cuma ikut makan saja." "Sayang sekali. Padahal saya ingin berbicara denganmu sebentar," ujar Bu Dyah. Dia melirik ke meja reuni di mana beberapa teman lama mereka masih sibuk mengobrol, tapi jelas memperhatikan mereka. "Kamu benar-benar tidak mau duduk sebentar lagi? Momen

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Reuni yang Membosankan

    Restoran Grand Orchid Hotel terasa semakin sesak bagi Adira. Bukan karena udara atau jumlah tamu yang banyak, melainkan karena atmosfer di meja reuni yang semakin lama semakin tidak nyaman. Dari tadi, obrolan terus mengalir tanpa melibatkan dirinya. Mereka membahas kisah sukses masing-masing, mulai dari bisnis yang berkembang pesat, perjalanan ke luar negeri, hingga pernikahan dengan pasangan kaya raya. Semua terdengar seperti ajang pamer terselubung. Adira memilih tetap diam. Tidak ada yang ingin dia ceritakan. Kenangan SMA baginya tidak lebih dari fase hidup yang ingin dia tinggalkan—fase di mana dia harus berjuang sendiri, menghadapi bully-an, dan bertahan dari tatapan merendahkan. Satu-satunya hal baik dari masa itu adalah Gina, Dewi, dan Giovanni. Namun, kini Adira bahkan mulai ragu apakah Dewi benar-benar teman yang bisa dia percayai. Dia menarik napas panjang, berusaha mengabaikan percakapan di sekelilingnya. Rasa bosan mulai menjalar, membuatnya tanpa sadar membuka ponsel

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Jebakan

    Chapter XX: Undangan Makan Malam di Grand Orchid Setelah insiden beberapa waktu lalu, Dewi tampak lebih kalem. Dia tidak lagi terlalu agresif saat menyapa Giovanni, tidak sok akrab dengan staf lainnya, dan yang paling penting bagi Adira, Dewi akhirnya bekerja dengan cukup baik—atau setidaknya berusaha terlihat baik. Namun, bagi sebagian besar staf di front office, perubahan Dewi ini terasa janggal. Baru saja seminggu lalu dia membuat kesalahan fatal, tetapi sekarang dia bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Di area resepsionis, beberapa pegawai sedang membahas perubahan sikap Dewi. "Kamu sadar gak sih? Dewi sekarang beda banget," ujar Rina, salah satu pegawai administrasi, dengan nada berbisik. "Iya, biasanya dia langsung sok akrab tiap lihat dr. Giovanni. Sekarang, malah kalem," timpal Feri, pegawai front office lainnya. "Mungkin dia kapok gara-gara kena teguran dr. Tedja," celetuk Rina lagi. Feri menggeleng. "Ya kapok sih kapok, tapi tetep aja. Dia kan baru kerja beberap

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Tipu Daya Dewi

    Hari reuni yang dinanti-nanti oleh teman-teman SMA Adira akhirnya tiba. Namun, seperti yang sudah direncanakan, Adira sama sekali tidak berniat untuk menghadirinya. Hari ini dia harus pergi ke luar kota bersama Dokter Tedja untuk survei lokasi klinik baru. Pagi itu, langit masih sedikit mendung ketika Adira dan Dokter Tedja sudah berada di dalam mobil. Perjalanan mereka ke Kota Y memakan waktu beberapa jam, jadi sejak awal mereka sudah bersiap untuk perjalanan panjang. Dokter Tedja yang menyetir tampak santai, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Sementara Adira duduk di kursi penumpang, sibuk dengan tabletnya, mengecek kembali daftar lokasi yang akan mereka survei hari ini. "Jadi, kita langsung ke lokasi pertama begitu sampai?" tanya Dokter Tedja, membelokkan mobil keluar dari parkiran basement rumah sakit. "Iya," jawab Adira tanpa mengalihkan pandangan dari layarnya. "Saya sudah mengatur jadwalnya. Tempat pertama yang kita survei ada di area perumahan eli

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Terabaikan

    Sejak pertama kali Adira menginjakkan kaki di kantor pagi ini, suasana di sekitar berubah drastis. Para staf yang biasanya sibuk mengobrol di dekat pantry atau berkumpul di meja kerja masing-masing langsung membubarkan diri begitu melihat ekspresi Adira yang gelap. Langkahnya cepat, hak sepatunya berdetak tegas di lantai, dan raut wajahnya penuh dengan aura ‘jangan ganggu aku kalau tidak ingin mati’. Bagi yang sudah mengenal Adira cukup lama, mereka tahu ada dua hal yang bisa membuatnya segalak ini: pekerjaan yang berantakan atau sesuatu yang berhubungan dengan Tedja. Dan pagi ini, tampaknya bukan masalah pekerjaan. “Permisi, Mbak Adira...” suara seorang staf bagian keuangan bergetar saat menyerahkan dokumen laporan keuangan mingguan. Biasanya, Adira akan menerima dengan tenang, mungkin menambahkan sedikit candaan atau komentar santai. Tapi kali ini, dia hanya menatap sekilas sebelum mengambil dokumen itu dengan sedikit hentakan. “Ada yang salah dalam laporan ini?” tanya staf itu h

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Cewek Tuh Serem Pas PMS

    Pagi itu, Gina berdiri di dekat mesin absen pegawai dengan tatapan tajam. Matanya terus mengawasi setiap pegawai yang masuk, tapi fokusnya hanya pada satu orang, yakni Adira. Dia sengaja datang lebih awal demi satu tujuan: menginterogasi Adira soal kejadian semalam. Masih jelas di ingatannya bagaimana suara Tedja terdengar dari telepon. Kenapa malam-malam Tedja bisa ada di tempat Adira? Kenapa Adira terdengar begitu panik ketika ketahuan? Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Adira berjalan lebih cepat beberapa langkah di depan Tedja, wajahnya masam, seperti seseorang yang sedang menahan kekesalan. Gerak-geriknya kaku, bibirnya terkatup rapat, dan ada aura jengkel yang terpancar jelas darinya. Sementara itu, Tedja justru tampak sangat santai di belakangnya. Ada sedikit seringai di bibirnya, seaka

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Undangan Reuni

    Dewi duduk di meja resepsionis, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Dia berusaha terlihat sibuk membaca berkas di depannya, tetapi pikirannya terus berputar pada satu hal, yaitu pemandangan yang baru saja dia lihat di rumah sakit tadi siang. Adira dan Giovanni. Mereka bercanda dengan akrab, tertawa dengan begitu alami seolah tidak ada orang lain di sekitar mereka. Giovanni bahkan menyentuh kepala Adira, membenarkan helaian rambut yang hampir masuk ke mulutnya saat tertawa. Dewi mengepalkan tangannya di bawah meja untuk menahan rasa kesalnya. Dulu, saat SMA, dia pernah melihat hal yang sama. Dewi sering memperhatikan Adira yang sedang berbicara dengan Giovanni. Mereka berdiri di dekat klinik sekolah, tampak asyik mengobrol. Giovanni saat itu adalah dokter muda yang baru mulai praktik di sekolah mereka, sementara Adira adalah murid beasiswa yang sering mengunjungi klinik karena sering begadang demi nilai sempurna. Dewi menggigit bibir. Dia bisa meliha

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Hasutan

    Tedja menatap Dewi dengan ekspresi tajam, kedua tangannya bersedekap di depan dada. Suasana di ruangan itu terasa dingin, hampir seperti udara di kamar operasi sebelum tindakan besar dilakukan. “Saya tidak bisa terus menoleransi kesalahan seperti ini, Dewi,” katanya dengan nada dingin dan tegas. Dewi, yang sedari tadi bisa berbicara banyak, kali ini benar-benar panik. Matanya sedikit berkaca-kaca saat dia meremas ujung bajunya dengan gugup. “Saya benar-benar minta maaf, Dok... Saya butuh pekerjaan ini... Saya janji tidak akan mengulangi kesalahan lagi. Mohon jangan pecat saya,” suaranya bergetar, jelas terdengar nada ketakutan. Tedja tidak langsung menjawab. Ia melirik Adira yang berdiri di sampingnya, menatap Dewi dengan ekspresi sulit diartikan. Dia tahu Adira mulai ragu. Dari ekspresinya, dia bisa melihat Adira bergumul dengan pikirannya sendiri. Entah mana yang akan dia pilih antara mengikuti perasaannya yang masih percaya pada Dewi, atau menerima fakta bahwa Dewi memang berm

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Kesalahan Beruntun

    Adira duduk di kursi kerjanya, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan gelisah. Laporan tentang Dewi mulai menumpuk, dan ini bukan pertama kalinya dia menerima komplain. Masalahnya, setiap kali ada staf yang melapor, mereka selalu menyebut satu hal yang sama: Dewi menggunakan nama Adira untuk menekan orang lain. Adira menghela napas panjang. Dia ingin percaya bahwa Dewi hanya kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru. Namun, nalurinya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Akhirnya, setelah jam makan siang, Adira memutuskan untuk bicara langsung dengan Dewi. Dia menghampiri meja resepsionis di bagian front office, tempat Dewi bekerja. Wanita itu tampak asyik berbincang dengan seorang perawat, seolah tidak ada beban sama sekali. "Dewi, bisa bicara sebentar?" suara Adira terdengar tenang, tapi ada ketegasan di baliknya. Dewi menoleh, tersenyum lebar. "Tentu dong, Ra." Mereka berjalan ke ruangan kosong di dekat front office. Begitu pintu tertutup, Adira langsung menatap

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status