Eve masih saja menertawakan wajah Dexter yang benar-benar kusut. Dia tidak marah terhadap apa yang dilakukan pria itu padanya. Dia mengerti kemarahannya karena merasa tidak dipedulikan.
Eve memang terlihat seperti hanya khawatir soal Daniel saja dan takut kehilangan Daniel saja, padahal pria itu salah besar. Tujuan Eve yang paling besar adalah membuat Daniel dan Dexter menjadi sangat dekat jadi tentu saja dia takut kehilangan kedua pria itu. Eve berada di tengah untuk merekatkan hubungan mereka.
Rasa khawatir dan takut kehilangan bisa membuat seseorang menjadi marah pada keadaan. Itulah yang dirasakan oleh Dexter. Kemarahan itu tidak sengaja ditumpahkan ke hati dan tubuh Eve yang ada di hadapannya, yang membuatnya terpojok ke sudut dinding untuk mengambil keputusan, yang akhirnya juga membuat pria itu menjadi berani. Berani menghadapi segalanya.
“Jangan kira aku nggak lihat mukamu yang tertawa itu!” Dexter menatap wajahnya pada cermin yang ada di dalam kamar
Terima kasih sudah membaca novel ini. Semoga kalian suka. Hug and kiss, Josie.
Eve memasukkan semua kebutuhan Daniel yang dibutuhkannya dengan bantuan Maya. Maya sempat mengingatkan beberapa barang yang sempat terlupa oleh Eve. “Baby wipes. Ini sudah hampir habis, Nona. Celana ini agak tebal nanti Daniel banyak berkeringat.” “Ah, benar. Celana ini saya tinggal saja. Tolong ambilkan yang lebih nyaman. Untung ada Ibu Maya.” Eve tersenyum. “Panggil Nanny. Tidak cocok majikan panggil ‘Ibu’ ke saya.” “Tidak cocok juga saya dipanggil Nona,” sahut Eve memasukkan baby wipes tambahan ke dalam tas besar dan satu baby wipes lain ke dalam tas kecilnya. Maya masih tertawa kecil. Nyonya Muda Eve lebih cocok dipanggil Nona, pantas saja semua pelayan masih memanggilnya Nona. Tubuhnya yang tinggi semampai membuat semua pakaian yang membalutnya terlihat sangat pas. Matanya yang berkilau cerdas itu selalu membuatnya kelihatan muda. Pantas saja mata suaminya itu tidak bisa melepaskan pandangan darinya. “Apa ada yang saya lupakan?” E
3 November 2018. Tiga hari sebelum kepulangan mereka ke Indonesia, rencana Dexter lebih besar lagi untuk liburan mereka. Kali ini dia merencanakan liburan ke Pulau Sentosa dan menginap 2 malam di sana. Mereka berangkat hari Sabtu malam, hari Minggu liburan seharian, Senin sore pulang. Tiket kepulangan mereka Selasa keesokan harinya sudah dipesan. “Kita menginap di Hard Rock Hotel di Pulau Sentosa. Jalan-jalan sesukanya, tidur saja kalau kita malas, makan saja kalau lapar terus. No work, Lovie.” Dexter tersenyum lega. Sangat sulit mendapatkan waktu kosong untuk mereka tetapi bisa diusahakan kalau memang benar-benar ingin. Mereka sudah menyelesaikan pekerjaan secepat-cepatnya sebelum acara itu. “Aku mau ke SEA Aquarium. Daniel akan suka juga.” “Anywhere you want, Love, I will follow you. Kalau kamu mau tidur di pelukanku aja seharian, aku juga mau.” Dan seperti biasa, reaksi Eve hanya diam memandangnya. Baiklah, ada senyum sedikit, mungkin hanya
Sebenarnya Dexter ingin berangkat lebih cepat supaya dia bisa tidur sebentar sebelum bergerilya mencari makan malam. Rasanya pasti nyaman tidur setelah pulang kerja dan berkendara menuju Sentosa Island, tidur di atas ranjang hotel kamar royal suite yang disewanya. Jarak perjalanan memang tidak jauh tetapi dia harus menyetir mobilnya pelan-pelan karena Daniel ikut bersama mereka.Akhirnya keberangkatan mereka tertunda karena Nanny Daniel terlihat lebih cerewet dari biasanya, berpesan ini dan itu. Eve dengan sopan mengangguk berkali-kali terhadap hal-hal yang sudah dia ketahui dengan baik sementara Dexter hanya tersenyum geli melihat Nanny. Mereka memang tidak pernah pergi menginap di tempat lain bertiga saja. Jadi Eve maklum kalau Nanny Daniel khawatir.Dexter memang sengaja mencari kamar berisi 2 double bed dalam satu kamar. Dia khawatir Daniel tidak bisa tidur jika berada di tengah Eve dan dirinya. Anak itu biasa tidur dengan tingkah yang tidak sopan, kaki di atas dan
Eve hanya memandang tubuh pria yang menjauh darinya, membuka pintu dan keluar dari kamar. Kamar yang ditempati Eve dan Daniel saat ini dipilih dan disewa oleh Dexter. Eve sangat menghargai semua usahanya. Semuanya dikerjakan Dexter sendiri tanpa meminta Eve untuk ikut berpikir kecuali untuk membantunya menyiapkan barang yang perlu dibawa. “Urusan liburan setiap hari Minggu ala keluarga Dexter dan Eve, serahkan sama Daddy Niel. Mommy Niel tinggal terima beres. Tapi itu nggak termasuk sesi packing barang, aku takut ada yang terlupa kalau aku yang siapkan.” Eve hanya mengangguk. Dia menuruti semua rencana Dexter termasuk menginap di Sentosa Island, meskipun sebenarnya Eve beranggapan mereka bisa saja langsung pulang. Tetapi Eve berusaha menikmati liburan ini yang entah kapan lagi akan didapatnya. Saat Eve selesai packing barang-barang Daniel dan miliknya sendiri, Dexter protes, “Kamu belum siapkan punyaku. Kamu lebih sayang anakmu daripada suamimu.
Eve menggeliat dalam tidurnya. Tidak biasanya dia terbangun di tengah-tengah tidurnya di malam hari, tetapi malam ini perutnya bernyanyi-nyanyi dan cacing-cacingnya menari-nari meminta diberi makan. Eve merasa geli, sesuatu bergerak di telapak kakinya. Membuatnya segera duduk dan menarik kakinya dengan cepat. Kaki Dexter! Pria itu sudah tertidur dengan posisi melintang di ranjang bagian paling bawah. Padahal dia bisa saja tidur di ranjang satunya. Ranjang kosong itu masih rapi seakan tidak pernah tersentuh. Tampaknya setelah pulang, Dexter langsung terbaring di ranjang yang ditempatinya dengan Daniel. Eve harus membangunkan Dexter meskipun dia belum pernah melakukannya. Tidak mungkin membiarkan dia tidur di ranjang ini, tubuhnya akan sakit besok dan bisa-bisa mereka batal ke mana-mana. Dan mungkin juga Dexter belum makan seperti dirinya. “Ex, Ex, bangun,” kata Eve. Tangannya menggerak-gerakkan kaki Dexter. Eve duduk melipat kakinya di
Dexter tidak mengira kalau apa yang dia tanyakan membuat Eve membalikkan badannya. “Apa kamu akan kangen aku? Kangen pelukanku? Kangen ciumanku?” Seharusnya itu diucapkan Dexter untuk menggoda Eve seperti biasanya, tetapi dia mengucapkannya dengan rasa kecewa kali ini. Dia tidak bisa berpura-pura tidak penasaran dengan apa yang mungkin dihadapinya setelah mereka pulang. “Memang kenapa, Ex?” “Nothing.” Jawaban itu tetap diucapkan dengan nada yang sama. Kecewa. Dexter melihat Eve membalik tubuhnya, miring menghadap Dexter yang juga tidur dengan miring. Jantungnya berdebar dengan kencang, tidak pernah mereka bertatapan seperti ini di saat-saat malam waktunya terlelap. Matanya sudah melirik ke bawah, nanti ada sofa yang bisa menjadi tempatnya melarikan diri kalau sudah tidak bisa lagi menahan diri. Jahat sekali Eve menyiksanya dengan cara seperti ini. Membiarkannya dalam senyap sambil memainkan jemari lentiknya di dadanya yang sedikit terbuka kare
“Tolong berhenti bilang begitu,” kata Dexter memohon di sela-sela hidung dan mulutnya meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Tidak peduli Eve yang tengah melakukan hal yang sama dengannya itu mendengar atau tidak. Ciuman kali ini rasanya benar-benar berbeda untuk Eve. Seperti semua jenis ciuman Dexter digabungkan menjadi satu dan masih saja terasa ada yang lebih, mungkin ini ciuman saat Dexter begitu menginginkannya. Dexter menarik tubuh Eve mendekat dan Eve berpegangan erat pada pinggang kuat yang menggeliat di tangannya itu. Jika saja tubuh itu akan menggilasnya di bawah, Eve tidak akan bisa berhenti menyentuh dan bermain dengannya, terlalu menakutkan untuk dilepas atau dipegang. Bibir Dexter melumat bibir Eve seperti anak yang baru saja mendapat permen kesukaannya. Bibir Eve memang manis, Dexter tidak bisa berhenti, dan nikmatnya bibir itu tidak akan pernah habis. Lidahnya mengusap semua bagian tanpa henti, bolak-balik menghantamkannya ke dinding mulut Eve yang terasa
Sungguh waktu yang tidak tepat menjalankan rencana gilanya. Apa nanti dan besok dia bisa berjalan lurus setelah malam ini dilewatinya dengan kegilaan? Eve teringat masih ada satu malam lagi di kamar ini, sesi yang barusan menguras energinya, bisa-bisa dia tidak ingin pulang. Tetapi dia tidak menemukan tempat lain mereka bisa melakukannya. Siapa yang tahu suara apa yang bisa mereka keluarkan saat berada di puncak? Pasti itu sangat memalukan, Dexter sangat berisik. Mungkin dirinya juga sama berisiknya hanya tidak sadar. Eve tidak ingin beranjak dari tempatnya berbaring sekarang. Udara sekitarnya dingin tetapi tubuhnya sangat kepanasan dengan keringat yang mengucur. Keringat itu lalu mengering dan dia masih tetap merasa hangat. Dia meringkuk saja di bawah selimut, tidak ada tenaga lagi memakai semua pakaiannya. Di saat seperti ini, dia sudah tidak ingin dipeluk, beberapa kali menepis tangan Dexter dan menjauhi tubuh itu, terlalu panas untuknya. “Aku nggak akan m
“Kamu sudah mendapat 4 bulan cutimu, Eve. Kapan mau mulai kerja sungguhan?” tanya Erick. Sejak kehamilan Eve menginjak 8 bulan sampai Raven berusia 3 bulan, Eve mengerjakan semuanya dari rumah, kadang datang untuk rapat-rapat atau urusan penting lainnya, mungkin hanya 2-3 kali dalam seminggu. Tetapi Erick harus mengakui semua berjalan lancar di tangan Eve, seperti biasanya, tanpa cela. “Papa harus mulai memberikan Rana tanggung jawab yang lebih besar.” Adik lelaki Eve sudah datang dari Amerika Serikat 6 bulan yang lalu dan Eve mengajarinya dengan telaten. Rana juga bukannya tidak berpengalaman karena dia juga bekerja di sebuah perusahaan rekanan Angkasa Wongso di New York sembari menyelesaikan kuliah S2-nya. Eve hanya memperkenalkan aturan dan cara kerja mereka di Asterix Grup karena Asterix lebih besar dan lebih luas. “Aku akan berikan, tetapi jabatanmu tetap sama, tidak bisa diisi orang lain. Makanya lahirkan anak lagi supaya keluarga kita akan makin besar.
Angin semilir di taman samping membuat Eve membetulkan roknya yang sedikit berkibar. Pinggiran rok itu dia selipkan di bawah pahanya yang sedang berada di atas kursi taman dari batu yang berbentuk kursi. Beberapa daun tampak berjatuhan, membuat rumputnya yang kehijauan berbercak kekuningan. Bunga-bunga di saat-saat seperti ini juga tumbuh bermekaran meskipun kebanyakan di antaranya selalu ada yang mekar tanpa mengenal waktu sepanjang tahun. Semalam hujan jadi tanah masih terlihat sedikit basah pagi ini dengan cuaca yang cukup hangat. Eve lebih suka cuaca lebih dingin dari ini karena dia juga malas kulitnya yang terlalu putih itu terasa seperti tersengat berada di bawah terik sinar matahari. Namun demi untuk menjemur Raven, dia rela membiarkan kulitnya terkena sinar matahari pukul 8 pagi yang katanya menyehatkan. Tanaman di taman ini semakin banyak dari hari ke hari. Maria terus saja menambahkan tanaman-tanaman hias dan berbagai macam bunga setiap kali d
Eve membuka kotak berpita seukuran kotak gaun di hadapannya itu saat pesta usai 30 menit yang lalu. Semua tamu sudah pulang meninggalkan tuan rumah dalam kelelahan dan kebahagiaan. Kotak berwarna perak itu adalah kado pemberian Dexter sebagai ucapan terima kasihnya sudah menemani hidupnya dalam 2 tahun ini. Itu waktu yang singkat, tetapi mengingat mereka memiliki sejarah percintaan yang cukup panjang, rasanya ini juga hadiahnya atas masuknya Eve kembali dalam relung hatinya dan kesediaan wanita itu kembali ke dalam hidupnya. Dexter sebenarnya sedang memperhatikan Eve yang memegang dan membuka kotak itu dengan perlahan seakan waktu berjalan dengan sangat lambat. Tetapi memang dia harus bersabar seperti Eve bersabar menghadapi dirinya dulu. Eve mengeluarkan kertas yang berada dalam balutan plastik yang membungkusnya, menjaga rapuhnya kertas itu. “Kamu seorang Wongso, Love.” Kertas yang mengubah nama Eve dengan tambahan nama Wongso di belakangnya sudah a
4 Maret 2020 Eve sedang duduk di meja riasnya. Lelah, itu yang dirasakannya. Senang, itu perasaannya. Seorang wanita muda berdiri di belakang Eve dan tersenyum. “Kamu cantik, Eve.” “Terima kasih. Perut ini makin berat dan aku makin sering lelah, Aze.” Kandungan Eve sudah menginjak usia 5 bulan. Aze mengangguk. Dia juga ingat betapa besar perutnya saat itu, hampir2 tahun lalu. Eve yang jarang mengeluh juga akhirnya meloloskan keluhan juga, tidak salah, menjadi wanita hamil itu tidak mudah. Seingat Aze, hanya Eve yang selalu ada bersamanya, meredakan semua keluhannya, melakukan semua keinginannya, tentu dengan syarat-syarat, Eve memang selalu licik begitu. “Pesta memang merepotkan untuk wanita hamil,”sahut Aze. “Lebih enak berkeliling mall?” tanya Eve sambil tersenyum. Aze tertawa lirih dan mengangguk. Mereka akan segera menghadiri pesta perayaan perkawinan Dexter dan Eve yang kedua. Eve keberatan sebenarnya, perutnya yang makin
Sudah sejak awal Aksa merasa bersalah menyembunyikan semua fakta tentang Rosalind dan Reveline dari wanita yang dianggap sebagai ibunya sendiri. Evita tidak memiliki hubungan darah dengan Aksa tetapi mereka sudah sangat dekat. Pelan-pelan Aksa menceritakan masalah Rosalind sampai kehadiran Reveline pada Evita setelah kematian Rosalind. Selama ini Rosalind yang melarang melibatkan Keluarga Daveno dalam hal apa pun untuk melindungi keluarga itu. Aksa sangat mengerti bagaimana sifat Evita, wanita tua yang keras namun penyayang dan cukup bijaksana menilai semua hal. Evita tidak menyalahkan siapa pun. Dia hanya menyesali jalan hidup anaknya dan wanita yang dicintainya berakhir seperti sekarang. Namun yang paling besar adalah penyesalannya terhadap Reveline yang tidak bisa menjadi seorang Daveno. Evita dan Albert datang mengunjungi Reveline setiap bulan, tidak ada seorang Daveno yang bisa disia-siakan, termasuk Reveline. Semua orang lupa memperhitungk
Dexter, anak kedua Diana, yang kala itu berumur hampir 4 tahun yang paling gembira dengan kabar itu. Dia paling suka menemani Rosalind ke mana pun sambil mengelus perut buncit bibinya itu. Selain menyukai calon anak Rosalind, Dexter juga sangat menyukai mata coklat keemasan Rosalind. “Cantik. Mata Tante Ros cantik,” kata Dexter dengan polosnya. Rosalind akan terkekeh mendengarnya. Di dalam keluarga Aksa memang tidak ada yang bermata coklat keemasan seperti Rosalind jadi wajar Dexter begitu terpikat. “Ini namanya warna amber, Ex. Nanti anak ini juga mempunyai mata seperti Tante,” sahut Rosalind geli. Warna mata Rosalind didapatnya dari sang ibu yang berasal dari Italia. Mata Erick dan mata Rosalind yang coklat pasti akan menurun pada anaknya. Rosalind sangat menyayangi Dexter sampai memberikan nama panggilan kesayangan padanya dan rajin mendengarkan ocehan bocah berumur 4 tahun itu. “Berarti anak Tante nanti pasti cantik,” celoteh Dexter lagi. “Bisa ju
Hubungan keempat manusia itu memang amatlah rumit dan sulit untuk dijelaskan. Erick yang mencintai Rosalind malah berakhir menikahi Rita. Raja yang mencintai Rita malah berakhir menikahi Rosalind. Entah bagaimana kisah mereka penuh drama yang memilukan bisa berakhir seperti itu. Namun mereka belum tahu saja kalau itu barulah sebuah permulaan dari skandal yang lebih besar lagi. Erick tidak sepenuhnya jatuh dalam pesona seorang Amrita Adira yang cantik dan lemah lembut. Meskipun sudah menikah, dia tidak pernah menyentuh Rita yang setia menunggunya berpaling kepadanya. Rita juga mengetahui siapa yang dicintai Erick tetapi dia juga tidak keberatan untuk menunggu entah sampai kapan, waktu memang tidak bertepi untuk Rita. Raja pun tidak berbeda, dia masih belum jatuh sepenuhnya dalam pesona Rosalind yang memiliki jiwa pemberontak, tetapi bedanya Raja menyetubuhi Rosalind berkali-kali meskipun wanita itu juga berkali-kali menolak. Keras kepalanya Rosalind membuat Raja berte
Darwin menolak untuk merasa cemas akan tertangkap lagi. Untung didikan ayahnya membuat dia bisa mengendalikan emosi dalam berbagai suasana hati, jadi mudah saja untuk membohongi orang tua Eve dan Dexter yang tampaknya makin solid saja. Tetapi Eve adalah salah satu orang yang bisa membaca emosi Darwin di balik wajah tenangnya. Jadi Eve akan mudah sekali menangkap kecemasannya, yang untungnya masih tidur lelap. Tekanan jiwanya pasti terlalu banyak karena rupanya Eve lolos juga dari pengawasannya untuk mencari tahu tentang skandal kelahirannya yang mengejutkan. Kesalahan Eve yang jelas adalah informasi itu dipresentasikan dalam benaknya tanpa bicara pada saksi yang mengalaminya, mereka adalah orang tua Eve dan Dexter. Darwin berusaha menghalau orang tua Eve dan Dexter masuk ke dalam ruangan. “Eve belum bisa dikunjungi. Jangan khawatir, kami akan terus pantau. Nanti semua bisa masuk kalau dia sudah sadar.” Darwin bernapas lega karena tidak ada satu pun yang menya
Eve mematikan sambungan telponnya. Masih berusaha menarik napas dan menormalkan debaran jantungnya. Berpikirlah, Eve! Jangan memiliki perasaan apa pun, Eve! Perintah-perintah itu dibuat Eve untuk dirinya sendiri. Akhir-akhir ini dia sering sekali menggunakan perasaannya saat berpikir. Dia ingat benar kata-kata pria yang dia mintai keterangan, “Reveline Andrea Wongso lahir pada tanggal 5 Maret 1990, anak dari pasangan Angkasa Wongso dan Diana Hadis Wongso. Ini out of the record, Ibu Eve. Di berkas ini tertulis kalau Erickho Daveno berhasil membuktikan Reveline sebagai anaknya jadi akte kelahiran bisa berubah. Buktinya dengan test DNA.” Sebelumnya Eve memang tidak bertanya soal akte kelahirannya yang lama, dia hanya bisa bertanya soal pergantian namanya keluarga pada akte kelahirannya lewat sidang. Pria yang diajaknya bicara barusan dulu mengatakan kalau berkas Eve tidak lengkap. Eve mengabaikan instingnya kala itu, mengabaikan kalau pria itu menutupi sesuatu. Ja