Dexter tidak mengira kalau apa yang dia tanyakan membuat Eve membalikkan badannya.
“Apa kamu akan kangen aku? Kangen pelukanku? Kangen ciumanku?” Seharusnya itu diucapkan Dexter untuk menggoda Eve seperti biasanya, tetapi dia mengucapkannya dengan rasa kecewa kali ini. Dia tidak bisa berpura-pura tidak penasaran dengan apa yang mungkin dihadapinya setelah mereka pulang.
“Memang kenapa, Ex?”
“Nothing.” Jawaban itu tetap diucapkan dengan nada yang sama. Kecewa.
Dexter melihat Eve membalik tubuhnya, miring menghadap Dexter yang juga tidur dengan miring. Jantungnya berdebar dengan kencang, tidak pernah mereka bertatapan seperti ini di saat-saat malam waktunya terlelap. Matanya sudah melirik ke bawah, nanti ada sofa yang bisa menjadi tempatnya melarikan diri kalau sudah tidak bisa lagi menahan diri.
Jahat sekali Eve menyiksanya dengan cara seperti ini. Membiarkannya dalam senyap sambil memainkan jemari lentiknya di dadanya yang sedikit terbuka kare
Terima kasih sudah membaca novel ini. Buat yang sudah kasih comment dan diamond, itu dukungan buat aku biar selalu bersemangat, aku ucapkan terima kasih. Hug and kiss, Josie.
“Tolong berhenti bilang begitu,” kata Dexter memohon di sela-sela hidung dan mulutnya meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Tidak peduli Eve yang tengah melakukan hal yang sama dengannya itu mendengar atau tidak. Ciuman kali ini rasanya benar-benar berbeda untuk Eve. Seperti semua jenis ciuman Dexter digabungkan menjadi satu dan masih saja terasa ada yang lebih, mungkin ini ciuman saat Dexter begitu menginginkannya. Dexter menarik tubuh Eve mendekat dan Eve berpegangan erat pada pinggang kuat yang menggeliat di tangannya itu. Jika saja tubuh itu akan menggilasnya di bawah, Eve tidak akan bisa berhenti menyentuh dan bermain dengannya, terlalu menakutkan untuk dilepas atau dipegang. Bibir Dexter melumat bibir Eve seperti anak yang baru saja mendapat permen kesukaannya. Bibir Eve memang manis, Dexter tidak bisa berhenti, dan nikmatnya bibir itu tidak akan pernah habis. Lidahnya mengusap semua bagian tanpa henti, bolak-balik menghantamkannya ke dinding mulut Eve yang terasa
Sungguh waktu yang tidak tepat menjalankan rencana gilanya. Apa nanti dan besok dia bisa berjalan lurus setelah malam ini dilewatinya dengan kegilaan? Eve teringat masih ada satu malam lagi di kamar ini, sesi yang barusan menguras energinya, bisa-bisa dia tidak ingin pulang. Tetapi dia tidak menemukan tempat lain mereka bisa melakukannya. Siapa yang tahu suara apa yang bisa mereka keluarkan saat berada di puncak? Pasti itu sangat memalukan, Dexter sangat berisik. Mungkin dirinya juga sama berisiknya hanya tidak sadar. Eve tidak ingin beranjak dari tempatnya berbaring sekarang. Udara sekitarnya dingin tetapi tubuhnya sangat kepanasan dengan keringat yang mengucur. Keringat itu lalu mengering dan dia masih tetap merasa hangat. Dia meringkuk saja di bawah selimut, tidak ada tenaga lagi memakai semua pakaiannya. Di saat seperti ini, dia sudah tidak ingin dipeluk, beberapa kali menepis tangan Dexter dan menjauhi tubuh itu, terlalu panas untuknya. “Aku nggak akan m
Eve bangun dari tidurnya, rasanya tidur itu sangat panjang. Dia menarik otot-ototnya dengan malas, merebahkan lagi kepalanya. Jika saja malam itu bisa diperpanjang, bukan karena bara dari semalam masih ada, tetapi supaya dia masih bisa tidur lagi. Daniel pasti akan protes kalau tidak ada yang mengajaknya bermain atau mengurusnya saat pagi sudah menjelang dan anak itu membuka matanya. Eve masih telentang dan meraba sisi ranjang di sebelahnya. Kosong dan hangat. Mungkin Dexter juga baru bangun, dia pasti lelah juga. Eve menegakkan tubuhnya dan menjulurkan tubuhnya melihat ranjang berpagar di sebelahnya. Daniel juga tidak ada. Eve berjalan mendekati kamar mandi. Kamar mandi dalam kamar yang mereka sewa itu agak jauh dari ranjang Eve dan Dexter, masih ada meja makan dan kitchen set mini di antaranya. Bisa saja kedua pria itu ada di dalam kamar mandi. Pintu kamar mandi merupakan pintu geser dari kayu yang hampir tidak mengeluarkan suara saat dibuka atau ditutup. P
Eve sibuk memilih makanan untuk Dexter. Bisa dibilang pria itu makan apa saja kecuali bubur atau makanan yang terlalu manis. Itu agak konyol namun sempat mengusik pikirannya, bibir yang terasa manis saat dikulum itu ternyata tidak suka makanan manis. Itu memang tidak ada hubungannya, bukan? Logikanya memang kadang mati kalau sudah terhubung dengan yang namanya Dexter dan Daniel.“Minum air putih aja.” Dexter terlihat terkejut mendengar suara itu. Pikirannya pasti sedang berkelana ke mana-mana. Eve menaruh 2 gelas air putih di atas meja mereka.“Iya,” jawab Dexter patuh. Eve mengerutkan keningnya sedikit, ini membingungkan.“Aku ambilkan nasi dan beberapa macam lauk. Aku sendiri ambil mie goreng. Tukarlah kalau kamu mau.” Dexter bahkan tidak menyadari kalau Eve sempat meninggalkannya lagi untuk mengambil piring mereka.“Nggak.” Lagi-lagi hanya jawaban singkat yang terdengar.“Sebentar, aku ambil
Daniel memang selalu terbangun dengan senyuman yang lebar kecuali jika dia bangun untuk meminta asupan tenaganya sebelum tidur kembali. Hanya di tengah malam Daniel terbangun merengek atau menangis, selebihnya tidak pernah. Jadi tidak ada yang bisa menyalahkan Eve dan Dexter yang tidak menyadari bayi lincah itu sudah bangun. Dexter dan Eve bernapas lega hampir bersamaan saat mereka berdua sama-sama telentang. Keringat mereka sepertinya lebih banyak daripada yang sebelumnya. Eve sudah bisa lebih aktif menggoda lawannya karena rasa sakitnya yang mereda dan mulai lebih banyak menikmatinya. Dexter tidak melepaskan Eve semudah kemarin, lebih liar menarik Eve lebih dalam dan lebih dalam lagi. Tetapi Eve masih saja melayang seperti buih sabun, ringan dan siap meledak. Eve meringkuk, melipat tubuhnya seperti bayi di bawah selimut, menolak sentuhan atau pelukan Dexter di mana saja. Bersamaan dengan dorongan tangan Eve menepis tangan besar yang suka sekali menyasar di tubuhnya
6 November 2018 pukul 20.28 WIB. Sesuatu yang menyenangkan terasa berlalu begitu cepat, itu adalah sebuah kenyataan. Alasannya tentu mudah dipikirkan dengan logika tanpa perlu menjadi seorang jenius. Itu karena kita menikmati waktu itu tanpa pernah menjadi bosan setelah tidak sabar menantikan waktu itu akan datang. Tiga hari dua malam sudah berlalu di Sentosa Island, itu adalah waktu yang menyenangkan, waktu yang cepat berlalu. Tidak pernah Dexter berharap bisa menghentikan waktu, hanya membeku di waktu yang sama, bersama dengan orang yang sama. Jiwa muda seperti dirinya selalu berharap waktu terus berjalan dengan cepat seiring dengan jiwanya yang dinamis. Dia mulai tua atau mulai stabil? Rumah Besar D adalah sebutan untuk rumah utama Keluarga Daveno. Kepala keluarganya saat ini adalah Erickho Daveno, ayah Eve yang kebetulan juga ayah mertua Dexter. Di situlah mereka berada saat ini. Dexter berjalan di belakang Eve sambil menggendong Daniel. Nanny May
“Pagi, Pa,” sapa Eve. Dia bangkit dari tempat duduknya untuk menyambut pria setengah baya yang baru saja duduk di hadapannya. “Eve. Bagaimana kabarmu?” “Baik, Pa. Papa kelihatan sehat.” “Tentu saja. Papa harus selalu sehat supaya bisa segera bertemu dengan cucu Papa.” Sedingin-dinginnya sikap Eve pada orang di sekelilingnya, dia selalu dididik sopan pada orang yang lebih tua. Senyuman adalah elemen penting, terutama saat bertemu ayah mertuanya. “Eve sudah pesan kopi luwak buat Papa.” “Wah, dari mana kamu tahu? Itu kesukaan Papa.” Eve hanya tersenyum. Banyak yang dia ketahui tentang Keluarga Wongso secara misterius, tiba-tiba saja ada di otaknya. Itu memang tidak masuk akal, Eve adalah orang yang logis dan suka mengamati orang lain. Tetapi ada beberapa hal yang tiba-tiba saja terlintas di pikirannya tentang kedua mertuanya dan Dexter, padahal mereka tidak pernah dekat. “Maaf, belum sempat berkunjung ke rumah Papa dan Mam
11 November 2018. Biasanya hari Minggu adalah hari libur untuk Dexter, tetapi tidak hari itu. Pekerjaannya menumpuk dan tumpukannya harus diturunkan. Ayahnya sendiri sudah memintanya memeriksa ulang proyek di Semarang yang sempat dipegangnya. Dia sedang mencari hari untuk pergi ke sana. Ini adalah hari ke-5 sejak hari pertamanya bekerja, artinya sudah 5 hari dia tidak melihat Eve di rumah itu. Sudah 5 hari dia tidak melihat Daniel. Dia sempat bertemu dengan Nanny kemarin pagi. Tidak bisa menahan dirinya, dia bertanya bagaimana keadaan Daniel dan Eve. Jawabannya hanya singkat, “Mereka baik-baik saja, Tuan.” Lalu seakan merasa tidak enak, Nanny Daniel itu langsung pergi dari hadapannya. Akhirnya dia memutuskan untuk berangkat ke Semarang hari ini. Karena harapannya melihat Eve di hari itu pun menguap tak berbekas, Dexter ingin melarikan diri sejauh mungkin, berkutat dengan pekerjaan juga hal yang baik. Ayahnya terus memberikan pujian melihat dia serajin
“Kamu sudah mendapat 4 bulan cutimu, Eve. Kapan mau mulai kerja sungguhan?” tanya Erick. Sejak kehamilan Eve menginjak 8 bulan sampai Raven berusia 3 bulan, Eve mengerjakan semuanya dari rumah, kadang datang untuk rapat-rapat atau urusan penting lainnya, mungkin hanya 2-3 kali dalam seminggu. Tetapi Erick harus mengakui semua berjalan lancar di tangan Eve, seperti biasanya, tanpa cela. “Papa harus mulai memberikan Rana tanggung jawab yang lebih besar.” Adik lelaki Eve sudah datang dari Amerika Serikat 6 bulan yang lalu dan Eve mengajarinya dengan telaten. Rana juga bukannya tidak berpengalaman karena dia juga bekerja di sebuah perusahaan rekanan Angkasa Wongso di New York sembari menyelesaikan kuliah S2-nya. Eve hanya memperkenalkan aturan dan cara kerja mereka di Asterix Grup karena Asterix lebih besar dan lebih luas. “Aku akan berikan, tetapi jabatanmu tetap sama, tidak bisa diisi orang lain. Makanya lahirkan anak lagi supaya keluarga kita akan makin besar.
Angin semilir di taman samping membuat Eve membetulkan roknya yang sedikit berkibar. Pinggiran rok itu dia selipkan di bawah pahanya yang sedang berada di atas kursi taman dari batu yang berbentuk kursi. Beberapa daun tampak berjatuhan, membuat rumputnya yang kehijauan berbercak kekuningan. Bunga-bunga di saat-saat seperti ini juga tumbuh bermekaran meskipun kebanyakan di antaranya selalu ada yang mekar tanpa mengenal waktu sepanjang tahun. Semalam hujan jadi tanah masih terlihat sedikit basah pagi ini dengan cuaca yang cukup hangat. Eve lebih suka cuaca lebih dingin dari ini karena dia juga malas kulitnya yang terlalu putih itu terasa seperti tersengat berada di bawah terik sinar matahari. Namun demi untuk menjemur Raven, dia rela membiarkan kulitnya terkena sinar matahari pukul 8 pagi yang katanya menyehatkan. Tanaman di taman ini semakin banyak dari hari ke hari. Maria terus saja menambahkan tanaman-tanaman hias dan berbagai macam bunga setiap kali d
Eve membuka kotak berpita seukuran kotak gaun di hadapannya itu saat pesta usai 30 menit yang lalu. Semua tamu sudah pulang meninggalkan tuan rumah dalam kelelahan dan kebahagiaan. Kotak berwarna perak itu adalah kado pemberian Dexter sebagai ucapan terima kasihnya sudah menemani hidupnya dalam 2 tahun ini. Itu waktu yang singkat, tetapi mengingat mereka memiliki sejarah percintaan yang cukup panjang, rasanya ini juga hadiahnya atas masuknya Eve kembali dalam relung hatinya dan kesediaan wanita itu kembali ke dalam hidupnya. Dexter sebenarnya sedang memperhatikan Eve yang memegang dan membuka kotak itu dengan perlahan seakan waktu berjalan dengan sangat lambat. Tetapi memang dia harus bersabar seperti Eve bersabar menghadapi dirinya dulu. Eve mengeluarkan kertas yang berada dalam balutan plastik yang membungkusnya, menjaga rapuhnya kertas itu. “Kamu seorang Wongso, Love.” Kertas yang mengubah nama Eve dengan tambahan nama Wongso di belakangnya sudah a
4 Maret 2020 Eve sedang duduk di meja riasnya. Lelah, itu yang dirasakannya. Senang, itu perasaannya. Seorang wanita muda berdiri di belakang Eve dan tersenyum. “Kamu cantik, Eve.” “Terima kasih. Perut ini makin berat dan aku makin sering lelah, Aze.” Kandungan Eve sudah menginjak usia 5 bulan. Aze mengangguk. Dia juga ingat betapa besar perutnya saat itu, hampir2 tahun lalu. Eve yang jarang mengeluh juga akhirnya meloloskan keluhan juga, tidak salah, menjadi wanita hamil itu tidak mudah. Seingat Aze, hanya Eve yang selalu ada bersamanya, meredakan semua keluhannya, melakukan semua keinginannya, tentu dengan syarat-syarat, Eve memang selalu licik begitu. “Pesta memang merepotkan untuk wanita hamil,”sahut Aze. “Lebih enak berkeliling mall?” tanya Eve sambil tersenyum. Aze tertawa lirih dan mengangguk. Mereka akan segera menghadiri pesta perayaan perkawinan Dexter dan Eve yang kedua. Eve keberatan sebenarnya, perutnya yang makin
Sudah sejak awal Aksa merasa bersalah menyembunyikan semua fakta tentang Rosalind dan Reveline dari wanita yang dianggap sebagai ibunya sendiri. Evita tidak memiliki hubungan darah dengan Aksa tetapi mereka sudah sangat dekat. Pelan-pelan Aksa menceritakan masalah Rosalind sampai kehadiran Reveline pada Evita setelah kematian Rosalind. Selama ini Rosalind yang melarang melibatkan Keluarga Daveno dalam hal apa pun untuk melindungi keluarga itu. Aksa sangat mengerti bagaimana sifat Evita, wanita tua yang keras namun penyayang dan cukup bijaksana menilai semua hal. Evita tidak menyalahkan siapa pun. Dia hanya menyesali jalan hidup anaknya dan wanita yang dicintainya berakhir seperti sekarang. Namun yang paling besar adalah penyesalannya terhadap Reveline yang tidak bisa menjadi seorang Daveno. Evita dan Albert datang mengunjungi Reveline setiap bulan, tidak ada seorang Daveno yang bisa disia-siakan, termasuk Reveline. Semua orang lupa memperhitungk
Dexter, anak kedua Diana, yang kala itu berumur hampir 4 tahun yang paling gembira dengan kabar itu. Dia paling suka menemani Rosalind ke mana pun sambil mengelus perut buncit bibinya itu. Selain menyukai calon anak Rosalind, Dexter juga sangat menyukai mata coklat keemasan Rosalind. “Cantik. Mata Tante Ros cantik,” kata Dexter dengan polosnya. Rosalind akan terkekeh mendengarnya. Di dalam keluarga Aksa memang tidak ada yang bermata coklat keemasan seperti Rosalind jadi wajar Dexter begitu terpikat. “Ini namanya warna amber, Ex. Nanti anak ini juga mempunyai mata seperti Tante,” sahut Rosalind geli. Warna mata Rosalind didapatnya dari sang ibu yang berasal dari Italia. Mata Erick dan mata Rosalind yang coklat pasti akan menurun pada anaknya. Rosalind sangat menyayangi Dexter sampai memberikan nama panggilan kesayangan padanya dan rajin mendengarkan ocehan bocah berumur 4 tahun itu. “Berarti anak Tante nanti pasti cantik,” celoteh Dexter lagi. “Bisa ju
Hubungan keempat manusia itu memang amatlah rumit dan sulit untuk dijelaskan. Erick yang mencintai Rosalind malah berakhir menikahi Rita. Raja yang mencintai Rita malah berakhir menikahi Rosalind. Entah bagaimana kisah mereka penuh drama yang memilukan bisa berakhir seperti itu. Namun mereka belum tahu saja kalau itu barulah sebuah permulaan dari skandal yang lebih besar lagi. Erick tidak sepenuhnya jatuh dalam pesona seorang Amrita Adira yang cantik dan lemah lembut. Meskipun sudah menikah, dia tidak pernah menyentuh Rita yang setia menunggunya berpaling kepadanya. Rita juga mengetahui siapa yang dicintai Erick tetapi dia juga tidak keberatan untuk menunggu entah sampai kapan, waktu memang tidak bertepi untuk Rita. Raja pun tidak berbeda, dia masih belum jatuh sepenuhnya dalam pesona Rosalind yang memiliki jiwa pemberontak, tetapi bedanya Raja menyetubuhi Rosalind berkali-kali meskipun wanita itu juga berkali-kali menolak. Keras kepalanya Rosalind membuat Raja berte
Darwin menolak untuk merasa cemas akan tertangkap lagi. Untung didikan ayahnya membuat dia bisa mengendalikan emosi dalam berbagai suasana hati, jadi mudah saja untuk membohongi orang tua Eve dan Dexter yang tampaknya makin solid saja. Tetapi Eve adalah salah satu orang yang bisa membaca emosi Darwin di balik wajah tenangnya. Jadi Eve akan mudah sekali menangkap kecemasannya, yang untungnya masih tidur lelap. Tekanan jiwanya pasti terlalu banyak karena rupanya Eve lolos juga dari pengawasannya untuk mencari tahu tentang skandal kelahirannya yang mengejutkan. Kesalahan Eve yang jelas adalah informasi itu dipresentasikan dalam benaknya tanpa bicara pada saksi yang mengalaminya, mereka adalah orang tua Eve dan Dexter. Darwin berusaha menghalau orang tua Eve dan Dexter masuk ke dalam ruangan. “Eve belum bisa dikunjungi. Jangan khawatir, kami akan terus pantau. Nanti semua bisa masuk kalau dia sudah sadar.” Darwin bernapas lega karena tidak ada satu pun yang menya
Eve mematikan sambungan telponnya. Masih berusaha menarik napas dan menormalkan debaran jantungnya. Berpikirlah, Eve! Jangan memiliki perasaan apa pun, Eve! Perintah-perintah itu dibuat Eve untuk dirinya sendiri. Akhir-akhir ini dia sering sekali menggunakan perasaannya saat berpikir. Dia ingat benar kata-kata pria yang dia mintai keterangan, “Reveline Andrea Wongso lahir pada tanggal 5 Maret 1990, anak dari pasangan Angkasa Wongso dan Diana Hadis Wongso. Ini out of the record, Ibu Eve. Di berkas ini tertulis kalau Erickho Daveno berhasil membuktikan Reveline sebagai anaknya jadi akte kelahiran bisa berubah. Buktinya dengan test DNA.” Sebelumnya Eve memang tidak bertanya soal akte kelahirannya yang lama, dia hanya bisa bertanya soal pergantian namanya keluarga pada akte kelahirannya lewat sidang. Pria yang diajaknya bicara barusan dulu mengatakan kalau berkas Eve tidak lengkap. Eve mengabaikan instingnya kala itu, mengabaikan kalau pria itu menutupi sesuatu. Ja