Eve menggeliat dalam tidurnya. Tidak biasanya dia terbangun di tengah-tengah tidurnya di malam hari, tetapi malam ini perutnya bernyanyi-nyanyi dan cacing-cacingnya menari-nari meminta diberi makan.
Eve merasa geli, sesuatu bergerak di telapak kakinya. Membuatnya segera duduk dan menarik kakinya dengan cepat.
Kaki Dexter!
Pria itu sudah tertidur dengan posisi melintang di ranjang bagian paling bawah. Padahal dia bisa saja tidur di ranjang satunya. Ranjang kosong itu masih rapi seakan tidak pernah tersentuh. Tampaknya setelah pulang, Dexter langsung terbaring di ranjang yang ditempatinya dengan Daniel.
Eve harus membangunkan Dexter meskipun dia belum pernah melakukannya. Tidak mungkin membiarkan dia tidur di ranjang ini, tubuhnya akan sakit besok dan bisa-bisa mereka batal ke mana-mana. Dan mungkin juga Dexter belum makan seperti dirinya.
“Ex, Ex, bangun,” kata Eve. Tangannya menggerak-gerakkan kaki Dexter. Eve duduk melipat kakinya di
Terima kasih sudah membaca novel ini. Hari ini up lebih banyak bab mumpung libur. Bagian yang aku suka adalah membuat cerita tentang hubungan yang makin berkembang, membuat aku berbunga-bunga juga, hehehe... Ditunggu support-nya. Hug and kiss, Josie.
Dexter tidak mengira kalau apa yang dia tanyakan membuat Eve membalikkan badannya. “Apa kamu akan kangen aku? Kangen pelukanku? Kangen ciumanku?” Seharusnya itu diucapkan Dexter untuk menggoda Eve seperti biasanya, tetapi dia mengucapkannya dengan rasa kecewa kali ini. Dia tidak bisa berpura-pura tidak penasaran dengan apa yang mungkin dihadapinya setelah mereka pulang. “Memang kenapa, Ex?” “Nothing.” Jawaban itu tetap diucapkan dengan nada yang sama. Kecewa. Dexter melihat Eve membalik tubuhnya, miring menghadap Dexter yang juga tidur dengan miring. Jantungnya berdebar dengan kencang, tidak pernah mereka bertatapan seperti ini di saat-saat malam waktunya terlelap. Matanya sudah melirik ke bawah, nanti ada sofa yang bisa menjadi tempatnya melarikan diri kalau sudah tidak bisa lagi menahan diri. Jahat sekali Eve menyiksanya dengan cara seperti ini. Membiarkannya dalam senyap sambil memainkan jemari lentiknya di dadanya yang sedikit terbuka kare
“Tolong berhenti bilang begitu,” kata Dexter memohon di sela-sela hidung dan mulutnya meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Tidak peduli Eve yang tengah melakukan hal yang sama dengannya itu mendengar atau tidak. Ciuman kali ini rasanya benar-benar berbeda untuk Eve. Seperti semua jenis ciuman Dexter digabungkan menjadi satu dan masih saja terasa ada yang lebih, mungkin ini ciuman saat Dexter begitu menginginkannya. Dexter menarik tubuh Eve mendekat dan Eve berpegangan erat pada pinggang kuat yang menggeliat di tangannya itu. Jika saja tubuh itu akan menggilasnya di bawah, Eve tidak akan bisa berhenti menyentuh dan bermain dengannya, terlalu menakutkan untuk dilepas atau dipegang. Bibir Dexter melumat bibir Eve seperti anak yang baru saja mendapat permen kesukaannya. Bibir Eve memang manis, Dexter tidak bisa berhenti, dan nikmatnya bibir itu tidak akan pernah habis. Lidahnya mengusap semua bagian tanpa henti, bolak-balik menghantamkannya ke dinding mulut Eve yang terasa
Sungguh waktu yang tidak tepat menjalankan rencana gilanya. Apa nanti dan besok dia bisa berjalan lurus setelah malam ini dilewatinya dengan kegilaan? Eve teringat masih ada satu malam lagi di kamar ini, sesi yang barusan menguras energinya, bisa-bisa dia tidak ingin pulang. Tetapi dia tidak menemukan tempat lain mereka bisa melakukannya. Siapa yang tahu suara apa yang bisa mereka keluarkan saat berada di puncak? Pasti itu sangat memalukan, Dexter sangat berisik. Mungkin dirinya juga sama berisiknya hanya tidak sadar. Eve tidak ingin beranjak dari tempatnya berbaring sekarang. Udara sekitarnya dingin tetapi tubuhnya sangat kepanasan dengan keringat yang mengucur. Keringat itu lalu mengering dan dia masih tetap merasa hangat. Dia meringkuk saja di bawah selimut, tidak ada tenaga lagi memakai semua pakaiannya. Di saat seperti ini, dia sudah tidak ingin dipeluk, beberapa kali menepis tangan Dexter dan menjauhi tubuh itu, terlalu panas untuknya. “Aku nggak akan m
Eve bangun dari tidurnya, rasanya tidur itu sangat panjang. Dia menarik otot-ototnya dengan malas, merebahkan lagi kepalanya. Jika saja malam itu bisa diperpanjang, bukan karena bara dari semalam masih ada, tetapi supaya dia masih bisa tidur lagi. Daniel pasti akan protes kalau tidak ada yang mengajaknya bermain atau mengurusnya saat pagi sudah menjelang dan anak itu membuka matanya. Eve masih telentang dan meraba sisi ranjang di sebelahnya. Kosong dan hangat. Mungkin Dexter juga baru bangun, dia pasti lelah juga. Eve menegakkan tubuhnya dan menjulurkan tubuhnya melihat ranjang berpagar di sebelahnya. Daniel juga tidak ada. Eve berjalan mendekati kamar mandi. Kamar mandi dalam kamar yang mereka sewa itu agak jauh dari ranjang Eve dan Dexter, masih ada meja makan dan kitchen set mini di antaranya. Bisa saja kedua pria itu ada di dalam kamar mandi. Pintu kamar mandi merupakan pintu geser dari kayu yang hampir tidak mengeluarkan suara saat dibuka atau ditutup. P
Eve sibuk memilih makanan untuk Dexter. Bisa dibilang pria itu makan apa saja kecuali bubur atau makanan yang terlalu manis. Itu agak konyol namun sempat mengusik pikirannya, bibir yang terasa manis saat dikulum itu ternyata tidak suka makanan manis. Itu memang tidak ada hubungannya, bukan? Logikanya memang kadang mati kalau sudah terhubung dengan yang namanya Dexter dan Daniel.“Minum air putih aja.” Dexter terlihat terkejut mendengar suara itu. Pikirannya pasti sedang berkelana ke mana-mana. Eve menaruh 2 gelas air putih di atas meja mereka.“Iya,” jawab Dexter patuh. Eve mengerutkan keningnya sedikit, ini membingungkan.“Aku ambilkan nasi dan beberapa macam lauk. Aku sendiri ambil mie goreng. Tukarlah kalau kamu mau.” Dexter bahkan tidak menyadari kalau Eve sempat meninggalkannya lagi untuk mengambil piring mereka.“Nggak.” Lagi-lagi hanya jawaban singkat yang terdengar.“Sebentar, aku ambil
Daniel memang selalu terbangun dengan senyuman yang lebar kecuali jika dia bangun untuk meminta asupan tenaganya sebelum tidur kembali. Hanya di tengah malam Daniel terbangun merengek atau menangis, selebihnya tidak pernah. Jadi tidak ada yang bisa menyalahkan Eve dan Dexter yang tidak menyadari bayi lincah itu sudah bangun. Dexter dan Eve bernapas lega hampir bersamaan saat mereka berdua sama-sama telentang. Keringat mereka sepertinya lebih banyak daripada yang sebelumnya. Eve sudah bisa lebih aktif menggoda lawannya karena rasa sakitnya yang mereda dan mulai lebih banyak menikmatinya. Dexter tidak melepaskan Eve semudah kemarin, lebih liar menarik Eve lebih dalam dan lebih dalam lagi. Tetapi Eve masih saja melayang seperti buih sabun, ringan dan siap meledak. Eve meringkuk, melipat tubuhnya seperti bayi di bawah selimut, menolak sentuhan atau pelukan Dexter di mana saja. Bersamaan dengan dorongan tangan Eve menepis tangan besar yang suka sekali menyasar di tubuhnya
6 November 2018 pukul 20.28 WIB. Sesuatu yang menyenangkan terasa berlalu begitu cepat, itu adalah sebuah kenyataan. Alasannya tentu mudah dipikirkan dengan logika tanpa perlu menjadi seorang jenius. Itu karena kita menikmati waktu itu tanpa pernah menjadi bosan setelah tidak sabar menantikan waktu itu akan datang. Tiga hari dua malam sudah berlalu di Sentosa Island, itu adalah waktu yang menyenangkan, waktu yang cepat berlalu. Tidak pernah Dexter berharap bisa menghentikan waktu, hanya membeku di waktu yang sama, bersama dengan orang yang sama. Jiwa muda seperti dirinya selalu berharap waktu terus berjalan dengan cepat seiring dengan jiwanya yang dinamis. Dia mulai tua atau mulai stabil? Rumah Besar D adalah sebutan untuk rumah utama Keluarga Daveno. Kepala keluarganya saat ini adalah Erickho Daveno, ayah Eve yang kebetulan juga ayah mertua Dexter. Di situlah mereka berada saat ini. Dexter berjalan di belakang Eve sambil menggendong Daniel. Nanny May
“Pagi, Pa,” sapa Eve. Dia bangkit dari tempat duduknya untuk menyambut pria setengah baya yang baru saja duduk di hadapannya. “Eve. Bagaimana kabarmu?” “Baik, Pa. Papa kelihatan sehat.” “Tentu saja. Papa harus selalu sehat supaya bisa segera bertemu dengan cucu Papa.” Sedingin-dinginnya sikap Eve pada orang di sekelilingnya, dia selalu dididik sopan pada orang yang lebih tua. Senyuman adalah elemen penting, terutama saat bertemu ayah mertuanya. “Eve sudah pesan kopi luwak buat Papa.” “Wah, dari mana kamu tahu? Itu kesukaan Papa.” Eve hanya tersenyum. Banyak yang dia ketahui tentang Keluarga Wongso secara misterius, tiba-tiba saja ada di otaknya. Itu memang tidak masuk akal, Eve adalah orang yang logis dan suka mengamati orang lain. Tetapi ada beberapa hal yang tiba-tiba saja terlintas di pikirannya tentang kedua mertuanya dan Dexter, padahal mereka tidak pernah dekat. “Maaf, belum sempat berkunjung ke rumah Papa dan Mam