Eve sibuk memilih makanan untuk Dexter. Bisa dibilang pria itu makan apa saja kecuali bubur atau makanan yang terlalu manis. Itu agak konyol namun sempat mengusik pikirannya, bibir yang terasa manis saat dikulum itu ternyata tidak suka makanan manis. Itu memang tidak ada hubungannya, bukan? Logikanya memang kadang mati kalau sudah terhubung dengan yang namanya Dexter dan Daniel.
“Minum air putih aja.” Dexter terlihat terkejut mendengar suara itu. Pikirannya pasti sedang berkelana ke mana-mana. Eve menaruh 2 gelas air putih di atas meja mereka.
“Iya,” jawab Dexter patuh. Eve mengerutkan keningnya sedikit, ini membingungkan.
“Aku ambilkan nasi dan beberapa macam lauk. Aku sendiri ambil mie goreng. Tukarlah kalau kamu mau.” Dexter bahkan tidak menyadari kalau Eve sempat meninggalkannya lagi untuk mengambil piring mereka.
“Nggak.” Lagi-lagi hanya jawaban singkat yang terdengar.
“Sebentar, aku ambil
Daniel memang selalu terbangun dengan senyuman yang lebar kecuali jika dia bangun untuk meminta asupan tenaganya sebelum tidur kembali. Hanya di tengah malam Daniel terbangun merengek atau menangis, selebihnya tidak pernah. Jadi tidak ada yang bisa menyalahkan Eve dan Dexter yang tidak menyadari bayi lincah itu sudah bangun. Dexter dan Eve bernapas lega hampir bersamaan saat mereka berdua sama-sama telentang. Keringat mereka sepertinya lebih banyak daripada yang sebelumnya. Eve sudah bisa lebih aktif menggoda lawannya karena rasa sakitnya yang mereda dan mulai lebih banyak menikmatinya. Dexter tidak melepaskan Eve semudah kemarin, lebih liar menarik Eve lebih dalam dan lebih dalam lagi. Tetapi Eve masih saja melayang seperti buih sabun, ringan dan siap meledak. Eve meringkuk, melipat tubuhnya seperti bayi di bawah selimut, menolak sentuhan atau pelukan Dexter di mana saja. Bersamaan dengan dorongan tangan Eve menepis tangan besar yang suka sekali menyasar di tubuhnya
6 November 2018 pukul 20.28 WIB. Sesuatu yang menyenangkan terasa berlalu begitu cepat, itu adalah sebuah kenyataan. Alasannya tentu mudah dipikirkan dengan logika tanpa perlu menjadi seorang jenius. Itu karena kita menikmati waktu itu tanpa pernah menjadi bosan setelah tidak sabar menantikan waktu itu akan datang. Tiga hari dua malam sudah berlalu di Sentosa Island, itu adalah waktu yang menyenangkan, waktu yang cepat berlalu. Tidak pernah Dexter berharap bisa menghentikan waktu, hanya membeku di waktu yang sama, bersama dengan orang yang sama. Jiwa muda seperti dirinya selalu berharap waktu terus berjalan dengan cepat seiring dengan jiwanya yang dinamis. Dia mulai tua atau mulai stabil? Rumah Besar D adalah sebutan untuk rumah utama Keluarga Daveno. Kepala keluarganya saat ini adalah Erickho Daveno, ayah Eve yang kebetulan juga ayah mertua Dexter. Di situlah mereka berada saat ini. Dexter berjalan di belakang Eve sambil menggendong Daniel. Nanny May
“Pagi, Pa,” sapa Eve. Dia bangkit dari tempat duduknya untuk menyambut pria setengah baya yang baru saja duduk di hadapannya. “Eve. Bagaimana kabarmu?” “Baik, Pa. Papa kelihatan sehat.” “Tentu saja. Papa harus selalu sehat supaya bisa segera bertemu dengan cucu Papa.” Sedingin-dinginnya sikap Eve pada orang di sekelilingnya, dia selalu dididik sopan pada orang yang lebih tua. Senyuman adalah elemen penting, terutama saat bertemu ayah mertuanya. “Eve sudah pesan kopi luwak buat Papa.” “Wah, dari mana kamu tahu? Itu kesukaan Papa.” Eve hanya tersenyum. Banyak yang dia ketahui tentang Keluarga Wongso secara misterius, tiba-tiba saja ada di otaknya. Itu memang tidak masuk akal, Eve adalah orang yang logis dan suka mengamati orang lain. Tetapi ada beberapa hal yang tiba-tiba saja terlintas di pikirannya tentang kedua mertuanya dan Dexter, padahal mereka tidak pernah dekat. “Maaf, belum sempat berkunjung ke rumah Papa dan Mam
11 November 2018. Biasanya hari Minggu adalah hari libur untuk Dexter, tetapi tidak hari itu. Pekerjaannya menumpuk dan tumpukannya harus diturunkan. Ayahnya sendiri sudah memintanya memeriksa ulang proyek di Semarang yang sempat dipegangnya. Dia sedang mencari hari untuk pergi ke sana. Ini adalah hari ke-5 sejak hari pertamanya bekerja, artinya sudah 5 hari dia tidak melihat Eve di rumah itu. Sudah 5 hari dia tidak melihat Daniel. Dia sempat bertemu dengan Nanny kemarin pagi. Tidak bisa menahan dirinya, dia bertanya bagaimana keadaan Daniel dan Eve. Jawabannya hanya singkat, “Mereka baik-baik saja, Tuan.” Lalu seakan merasa tidak enak, Nanny Daniel itu langsung pergi dari hadapannya. Akhirnya dia memutuskan untuk berangkat ke Semarang hari ini. Karena harapannya melihat Eve di hari itu pun menguap tak berbekas, Dexter ingin melarikan diri sejauh mungkin, berkutat dengan pekerjaan juga hal yang baik. Ayahnya terus memberikan pujian melihat dia serajin
“Berapa lama lagi?” tanya Dexter pada sopirnya. “2 jam lagi, Pak. Bapak istirahat saja. Saya bangunkan kalau kita sudah sampai.” “Cari jalan yang paling cepat!” Dexter itu seperti manusia yang mengejar waktu saat ini. “Ini sudah jalan yang paling cepat, Pak Dex,” sahut sopirnya mencoba meyakinkan Dexter. Dexter menutup mata lagi untuk menenangkan pikirannya. Seandainya dia bisa menerbangkan mobilnya, itu pasti akan dilakukannya. Seandainya dia bisa naik pesawat terbang saja, dia pasti akan melakukannya. Tetapi tidak ada jalan lain untuk sampai lebih cepat, dia harus berada di dalam mobil ini dan membiarkan sopirnya bekerja tanpa mengganggunya terus-menerus. Jari telunjuk dan jempol tangan kanan Dexter memijat pangkal hidungnya sendiri. Kepalanya terasa sakit sejak dia menerima telpon dari ibu mertuanya. “Dex, kenapa kamu tidak angkat telpon dari Eve?” tanya Rita. Mata Dexter otomatis melihat ponselnya sendiri, ada 15 panggilan tidak te
Dexter tidak pernah merasakan 2 jam paling lama dalam hidupnya. Ini bahkan belum sampai 2 jam, masih kurang 8 menit 3 detik lagi saat mobilnya tiba di depan lobi rumah sakit.“Saya Dexter Wongso, anak saya dirawat di paviliun Andromeda, kamar nomer 8. Bisa tunjukkan jalannya?” tanya Dexter pada salah satu resepsionis.“Malam, Pak. Bapak pasti suaminya Ibu Reveline Daveno. Atas nama anak Daniel Albert Wongso. Silahkan, Pak.” Salah satu pria yang ada di meja itu segera mengantar Dexter ke tujuannya.Sebenarnya jarak resepsionis dengan paviliun Andromeda tidak begitu jauh, hanya naik lift khusus paviliun yang berada di lantai 3 dan mereka sudah sampai. Paviliun paling mewah di rumah sakit itu terlihat seperti hotel bintang lima dengan sedikit bau rumah sakit di bagian luarnya.Dia tidak menemukan Eve saat masuk ke dalam kamar perawatan Daniel. Hanya ada Nanny dan ibu mertuanya. Daniel tampak tidur dengan tenang. Rasa lega menyus
Nyatanya memang Dexter yang memiliki tubuh panas seperti lautan api setiap merasakan kemarahan pada Eve tidak bisa berbuat banyak kecuali meredamnya ke dalam tubuh berhati sedingin es. Hati itu telah membiarkannya sendiri selama 5 malam membuat api itu berkumpul menjadi samudera api yang meluas. Dan dia tidak mungkin bisa meredamnya malam ini, tidak di tempat ini, tidak di saat seperti ini. Dexter bangun saat tubuhnya terasa demikian lelah, maunya tadi hanya ingin menunggu Eve kembali dan menyuruhnya pulang saja. Sebesar keinginannya untuk bisa memeluknya meski hanya sebentar, Dexter tidak bisa melupakan kalau Eve juga pasti lelah. Dia malah tertidur dengan memegang tangan anaknya. Eve sudah meringkuk di atas ranjang yang disediakan untuk orang yang menunggu pasien. Selimut coklat menyelubungi tubuh Eve dari dada sampai mata kakinya. Dexter memeriksa Daniel yang tidur dengan perutnya yang kembang-kempis dengan teratur, gerakannya tidak sebanyak biasanya karena
“Niel, sudah bangun?” Daniel sudah membuka matanya setelah semalaman tidur dengan tidak banyak gerakan tubuh semacam gasing seperti biasanya. Celoteh Daniel itu memang tidak terdengar jelas namun sangat jelas kalau itu semua diucapkan dengan gembira. “Daddy di sini. Niel kangen?” Celoteh itu mulai terdengar lagi. Sesekali dengan nada tinggi yang terdengar seperti omelan. Dexter tertawa, anaknya itu malah lebih cerewet daripada istrinya. Eve hampir tidak pernah mengomel, tetapi anaknya suka mengomel. Dexter masih sibuk membuat susu untuk Daniel. Eve sudah berpesan untuk mencoba memberi Daniel susu saat anak itu sudah bangun. Dokter akan melepas infusnya kalau Daniel sudah mau minum susu dan tidak kekurangan cairan lagi. “Maaf, Daddy sibuk kerja. Itu gara-gara Mommy. Mommy bikin Daddy kangen, Niel. Biar Daddy tidak terlalu kangen Mommy, jadi Daddy kerja terus. Niel jangan marah ya. Minum susunya dulu.” Daniel menerima botol susunya denga