“Pagi, Pa,” sapa Eve. Dia bangkit dari tempat duduknya untuk menyambut pria setengah baya yang baru saja duduk di hadapannya.
“Eve. Bagaimana kabarmu?”
“Baik, Pa. Papa kelihatan sehat.”
“Tentu saja. Papa harus selalu sehat supaya bisa segera bertemu dengan cucu Papa.”
Sedingin-dinginnya sikap Eve pada orang di sekelilingnya, dia selalu dididik sopan pada orang yang lebih tua. Senyuman adalah elemen penting, terutama saat bertemu ayah mertuanya.
“Eve sudah pesan kopi luwak buat Papa.”
“Wah, dari mana kamu tahu? Itu kesukaan Papa.”
Eve hanya tersenyum. Banyak yang dia ketahui tentang Keluarga Wongso secara misterius, tiba-tiba saja ada di otaknya. Itu memang tidak masuk akal, Eve adalah orang yang logis dan suka mengamati orang lain. Tetapi ada beberapa hal yang tiba-tiba saja terlintas di pikirannya tentang kedua mertuanya dan Dexter, padahal mereka tidak pernah dekat.
“Maaf, belum sempat berkunjung ke rumah Papa dan Mam
Terima kasih sudah membaca novel ini. Semoga kalian menikmati. Sesakit itu dibuat sebagai tanda dimulainya prahara dalam pernikahan Dexter-Eve. Hug and kiss, Josie.
11 November 2018. Biasanya hari Minggu adalah hari libur untuk Dexter, tetapi tidak hari itu. Pekerjaannya menumpuk dan tumpukannya harus diturunkan. Ayahnya sendiri sudah memintanya memeriksa ulang proyek di Semarang yang sempat dipegangnya. Dia sedang mencari hari untuk pergi ke sana. Ini adalah hari ke-5 sejak hari pertamanya bekerja, artinya sudah 5 hari dia tidak melihat Eve di rumah itu. Sudah 5 hari dia tidak melihat Daniel. Dia sempat bertemu dengan Nanny kemarin pagi. Tidak bisa menahan dirinya, dia bertanya bagaimana keadaan Daniel dan Eve. Jawabannya hanya singkat, “Mereka baik-baik saja, Tuan.” Lalu seakan merasa tidak enak, Nanny Daniel itu langsung pergi dari hadapannya. Akhirnya dia memutuskan untuk berangkat ke Semarang hari ini. Karena harapannya melihat Eve di hari itu pun menguap tak berbekas, Dexter ingin melarikan diri sejauh mungkin, berkutat dengan pekerjaan juga hal yang baik. Ayahnya terus memberikan pujian melihat dia serajin
“Berapa lama lagi?” tanya Dexter pada sopirnya. “2 jam lagi, Pak. Bapak istirahat saja. Saya bangunkan kalau kita sudah sampai.” “Cari jalan yang paling cepat!” Dexter itu seperti manusia yang mengejar waktu saat ini. “Ini sudah jalan yang paling cepat, Pak Dex,” sahut sopirnya mencoba meyakinkan Dexter. Dexter menutup mata lagi untuk menenangkan pikirannya. Seandainya dia bisa menerbangkan mobilnya, itu pasti akan dilakukannya. Seandainya dia bisa naik pesawat terbang saja, dia pasti akan melakukannya. Tetapi tidak ada jalan lain untuk sampai lebih cepat, dia harus berada di dalam mobil ini dan membiarkan sopirnya bekerja tanpa mengganggunya terus-menerus. Jari telunjuk dan jempol tangan kanan Dexter memijat pangkal hidungnya sendiri. Kepalanya terasa sakit sejak dia menerima telpon dari ibu mertuanya. “Dex, kenapa kamu tidak angkat telpon dari Eve?” tanya Rita. Mata Dexter otomatis melihat ponselnya sendiri, ada 15 panggilan tidak te
Dexter tidak pernah merasakan 2 jam paling lama dalam hidupnya. Ini bahkan belum sampai 2 jam, masih kurang 8 menit 3 detik lagi saat mobilnya tiba di depan lobi rumah sakit.“Saya Dexter Wongso, anak saya dirawat di paviliun Andromeda, kamar nomer 8. Bisa tunjukkan jalannya?” tanya Dexter pada salah satu resepsionis.“Malam, Pak. Bapak pasti suaminya Ibu Reveline Daveno. Atas nama anak Daniel Albert Wongso. Silahkan, Pak.” Salah satu pria yang ada di meja itu segera mengantar Dexter ke tujuannya.Sebenarnya jarak resepsionis dengan paviliun Andromeda tidak begitu jauh, hanya naik lift khusus paviliun yang berada di lantai 3 dan mereka sudah sampai. Paviliun paling mewah di rumah sakit itu terlihat seperti hotel bintang lima dengan sedikit bau rumah sakit di bagian luarnya.Dia tidak menemukan Eve saat masuk ke dalam kamar perawatan Daniel. Hanya ada Nanny dan ibu mertuanya. Daniel tampak tidur dengan tenang. Rasa lega menyus
Nyatanya memang Dexter yang memiliki tubuh panas seperti lautan api setiap merasakan kemarahan pada Eve tidak bisa berbuat banyak kecuali meredamnya ke dalam tubuh berhati sedingin es. Hati itu telah membiarkannya sendiri selama 5 malam membuat api itu berkumpul menjadi samudera api yang meluas. Dan dia tidak mungkin bisa meredamnya malam ini, tidak di tempat ini, tidak di saat seperti ini. Dexter bangun saat tubuhnya terasa demikian lelah, maunya tadi hanya ingin menunggu Eve kembali dan menyuruhnya pulang saja. Sebesar keinginannya untuk bisa memeluknya meski hanya sebentar, Dexter tidak bisa melupakan kalau Eve juga pasti lelah. Dia malah tertidur dengan memegang tangan anaknya. Eve sudah meringkuk di atas ranjang yang disediakan untuk orang yang menunggu pasien. Selimut coklat menyelubungi tubuh Eve dari dada sampai mata kakinya. Dexter memeriksa Daniel yang tidur dengan perutnya yang kembang-kempis dengan teratur, gerakannya tidak sebanyak biasanya karena
“Niel, sudah bangun?” Daniel sudah membuka matanya setelah semalaman tidur dengan tidak banyak gerakan tubuh semacam gasing seperti biasanya. Celoteh Daniel itu memang tidak terdengar jelas namun sangat jelas kalau itu semua diucapkan dengan gembira. “Daddy di sini. Niel kangen?” Celoteh itu mulai terdengar lagi. Sesekali dengan nada tinggi yang terdengar seperti omelan. Dexter tertawa, anaknya itu malah lebih cerewet daripada istrinya. Eve hampir tidak pernah mengomel, tetapi anaknya suka mengomel. Dexter masih sibuk membuat susu untuk Daniel. Eve sudah berpesan untuk mencoba memberi Daniel susu saat anak itu sudah bangun. Dokter akan melepas infusnya kalau Daniel sudah mau minum susu dan tidak kekurangan cairan lagi. “Maaf, Daddy sibuk kerja. Itu gara-gara Mommy. Mommy bikin Daddy kangen, Niel. Biar Daddy tidak terlalu kangen Mommy, jadi Daddy kerja terus. Niel jangan marah ya. Minum susunya dulu.” Daniel menerima botol susunya denga
Darwin tidak pernah menganggap dirinya sebagai teman Eve, dia lebih dari itu. Dia juga tidak pernah menganggap dirinya sebagai kekasih Eve, dia lebih dari itu. Darwin tidak pernah menganggap dirinya sebagai saudara Eve, dia lebih dari itu. Darwin adalah belahan jiwa Eve. Eve adalah separuh napas Darwin. Entah apakah itu pengertian dari cinta atau sayang, yang pasti Darwin merasa sangat bersalah pada Eve saat ini. Dia ingin memeluknya kemarin saat Eve datang dan memintanya memeriksa Daniel. Dia ingin mencekik suaminya yang sangat sibuk sampai tidak sempat bertemu Eve dan Daniel selama hampir 1 minggu. Dan yang baru Darwin sadari, dia mau dan sanggup menggantikan posisi Dexter di tempatnya berdiri sekarang. Reveline dan Darwin sama-sama lahir dari keluarga berada yang harus menjalankan semua kewajiban yang terasa berat. Anak pertama dari keluarga yang cukup sukses di bidangnya masing-masing sampai harus membuat anak-anak mereka melanjutkan jejak keluarga. Beber
Dexter tidak mau makan di luar rumah sakit atau di kantin rumah sakit. Dia tidak mau Eve membelikannya makanan, akhirnya menyuruh sopirnya datang hanya untuk membelikannya makanan dan mengantar pakaian ganti untuknya. Dan dia hanya mau makan di dalam kamar perawatan Daniel. Dia juga tidak mau mandi sampai orang tuanya datang menjenguk. Untung saja, dia tidak menolak menyikat giginya dan mencuci wajahnya yang mulai kusut. Dia hanya duduk dan mengawasi Eve agar istrinya tidak ke mana-mana.Konyolnya, Dexter tidak merasa dia cemburu pada siapapun. Ibaratnya seekor harimau, dia hanya menjaga daerah kekuasaannya, menjaga betinanya, menjaga keturunannya, hanya itu. Dia mau semuanya utuh, kekuasaannya, wanitanya, dan keturunannya, karena dia tetaplah rajanya.Dexter memang mengurus semuanya. Dia mengabari kedua orang tuanya dan kedua mertuanya tentang keadaan Daniel. Mertuanya sudah tidak akan berkunjung lagi, tinggal menunggu mereka pulang. Orang tuanya sendiri akan datang s
Aksa dan Diana sudah pulang setelah Dexter selesai mandi. Memang mereka agak bingung mengapa mandi saja harus menunggu mereka. Setelah Dexter berbisik pada ayahnya, pria setengah baya itu mengangguk, melirik Eve lalu duduk sambil melihat istrinya bermain dengan Daniel. “Jadi jelaskan hubunganmu dengan Darwin,” kata Dexter pada Eve. Sekarang Daniel sudah duduk di pangkuan Dexter, mereka menonton acara kartun penuh warna untuk bayi. Bayi itu sekilas mendongak ke Dexter lalu menatap televisi sambil berceloteh. “Kami teman akrab.” Eve masih menata barang-barang keperluan Daniel di dalam tas, bersiap untuk pulang nanti sore. “Seakrab apa?” “Seakrab aku dengan Ari dan Ana.” Dexter mulai ingat, Ari dan Ana sempat menyebut nama Darwin saat mereka bertemu. Darwin, si dokter anak, di Jakarta, fakta yang jelas. Makanya dia ingat sekilas siapa Darwin itu. Instingnya mengatakan Darwin dan Eve memiliki hubungan yang lebih akrab dari itu. “Kalian ber