3 November 2018.
Tiga hari sebelum kepulangan mereka ke Indonesia, rencana Dexter lebih besar lagi untuk liburan mereka. Kali ini dia merencanakan liburan ke Pulau Sentosa dan menginap 2 malam di sana. Mereka berangkat hari Sabtu malam, hari Minggu liburan seharian, Senin sore pulang. Tiket kepulangan mereka Selasa keesokan harinya sudah dipesan.
“Kita menginap di Hard Rock Hotel di Pulau Sentosa. Jalan-jalan sesukanya, tidur saja kalau kita malas, makan saja kalau lapar terus. No work, Lovie.” Dexter tersenyum lega. Sangat sulit mendapatkan waktu kosong untuk mereka tetapi bisa diusahakan kalau memang benar-benar ingin. Mereka sudah menyelesaikan pekerjaan secepat-cepatnya sebelum acara itu.
“Aku mau ke SEA Aquarium. Daniel akan suka juga.”
“Anywhere you want, Love, I will follow you. Kalau kamu mau tidur di pelukanku aja seharian, aku juga mau.”
Dan seperti biasa, reaksi Eve hanya diam memandangnya. Baiklah, ada senyum sedikit, mungkin hanya
Terima kasih sudah membaca novel ini. Evita dan Erick, pasangan ibu dan anak ideal, benar 'kan? Butuh seseorang seperti Evita untuk menghadapi karakter Erick. Hug and kiss, Josie.
Sebenarnya Dexter ingin berangkat lebih cepat supaya dia bisa tidur sebentar sebelum bergerilya mencari makan malam. Rasanya pasti nyaman tidur setelah pulang kerja dan berkendara menuju Sentosa Island, tidur di atas ranjang hotel kamar royal suite yang disewanya. Jarak perjalanan memang tidak jauh tetapi dia harus menyetir mobilnya pelan-pelan karena Daniel ikut bersama mereka.Akhirnya keberangkatan mereka tertunda karena Nanny Daniel terlihat lebih cerewet dari biasanya, berpesan ini dan itu. Eve dengan sopan mengangguk berkali-kali terhadap hal-hal yang sudah dia ketahui dengan baik sementara Dexter hanya tersenyum geli melihat Nanny. Mereka memang tidak pernah pergi menginap di tempat lain bertiga saja. Jadi Eve maklum kalau Nanny Daniel khawatir.Dexter memang sengaja mencari kamar berisi 2 double bed dalam satu kamar. Dia khawatir Daniel tidak bisa tidur jika berada di tengah Eve dan dirinya. Anak itu biasa tidur dengan tingkah yang tidak sopan, kaki di atas dan
Eve hanya memandang tubuh pria yang menjauh darinya, membuka pintu dan keluar dari kamar. Kamar yang ditempati Eve dan Daniel saat ini dipilih dan disewa oleh Dexter. Eve sangat menghargai semua usahanya. Semuanya dikerjakan Dexter sendiri tanpa meminta Eve untuk ikut berpikir kecuali untuk membantunya menyiapkan barang yang perlu dibawa. “Urusan liburan setiap hari Minggu ala keluarga Dexter dan Eve, serahkan sama Daddy Niel. Mommy Niel tinggal terima beres. Tapi itu nggak termasuk sesi packing barang, aku takut ada yang terlupa kalau aku yang siapkan.” Eve hanya mengangguk. Dia menuruti semua rencana Dexter termasuk menginap di Sentosa Island, meskipun sebenarnya Eve beranggapan mereka bisa saja langsung pulang. Tetapi Eve berusaha menikmati liburan ini yang entah kapan lagi akan didapatnya. Saat Eve selesai packing barang-barang Daniel dan miliknya sendiri, Dexter protes, “Kamu belum siapkan punyaku. Kamu lebih sayang anakmu daripada suamimu.
Eve menggeliat dalam tidurnya. Tidak biasanya dia terbangun di tengah-tengah tidurnya di malam hari, tetapi malam ini perutnya bernyanyi-nyanyi dan cacing-cacingnya menari-nari meminta diberi makan. Eve merasa geli, sesuatu bergerak di telapak kakinya. Membuatnya segera duduk dan menarik kakinya dengan cepat. Kaki Dexter! Pria itu sudah tertidur dengan posisi melintang di ranjang bagian paling bawah. Padahal dia bisa saja tidur di ranjang satunya. Ranjang kosong itu masih rapi seakan tidak pernah tersentuh. Tampaknya setelah pulang, Dexter langsung terbaring di ranjang yang ditempatinya dengan Daniel. Eve harus membangunkan Dexter meskipun dia belum pernah melakukannya. Tidak mungkin membiarkan dia tidur di ranjang ini, tubuhnya akan sakit besok dan bisa-bisa mereka batal ke mana-mana. Dan mungkin juga Dexter belum makan seperti dirinya. “Ex, Ex, bangun,” kata Eve. Tangannya menggerak-gerakkan kaki Dexter. Eve duduk melipat kakinya di
Dexter tidak mengira kalau apa yang dia tanyakan membuat Eve membalikkan badannya. “Apa kamu akan kangen aku? Kangen pelukanku? Kangen ciumanku?” Seharusnya itu diucapkan Dexter untuk menggoda Eve seperti biasanya, tetapi dia mengucapkannya dengan rasa kecewa kali ini. Dia tidak bisa berpura-pura tidak penasaran dengan apa yang mungkin dihadapinya setelah mereka pulang. “Memang kenapa, Ex?” “Nothing.” Jawaban itu tetap diucapkan dengan nada yang sama. Kecewa. Dexter melihat Eve membalik tubuhnya, miring menghadap Dexter yang juga tidur dengan miring. Jantungnya berdebar dengan kencang, tidak pernah mereka bertatapan seperti ini di saat-saat malam waktunya terlelap. Matanya sudah melirik ke bawah, nanti ada sofa yang bisa menjadi tempatnya melarikan diri kalau sudah tidak bisa lagi menahan diri. Jahat sekali Eve menyiksanya dengan cara seperti ini. Membiarkannya dalam senyap sambil memainkan jemari lentiknya di dadanya yang sedikit terbuka kare
“Tolong berhenti bilang begitu,” kata Dexter memohon di sela-sela hidung dan mulutnya meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Tidak peduli Eve yang tengah melakukan hal yang sama dengannya itu mendengar atau tidak. Ciuman kali ini rasanya benar-benar berbeda untuk Eve. Seperti semua jenis ciuman Dexter digabungkan menjadi satu dan masih saja terasa ada yang lebih, mungkin ini ciuman saat Dexter begitu menginginkannya. Dexter menarik tubuh Eve mendekat dan Eve berpegangan erat pada pinggang kuat yang menggeliat di tangannya itu. Jika saja tubuh itu akan menggilasnya di bawah, Eve tidak akan bisa berhenti menyentuh dan bermain dengannya, terlalu menakutkan untuk dilepas atau dipegang. Bibir Dexter melumat bibir Eve seperti anak yang baru saja mendapat permen kesukaannya. Bibir Eve memang manis, Dexter tidak bisa berhenti, dan nikmatnya bibir itu tidak akan pernah habis. Lidahnya mengusap semua bagian tanpa henti, bolak-balik menghantamkannya ke dinding mulut Eve yang terasa
Sungguh waktu yang tidak tepat menjalankan rencana gilanya. Apa nanti dan besok dia bisa berjalan lurus setelah malam ini dilewatinya dengan kegilaan? Eve teringat masih ada satu malam lagi di kamar ini, sesi yang barusan menguras energinya, bisa-bisa dia tidak ingin pulang. Tetapi dia tidak menemukan tempat lain mereka bisa melakukannya. Siapa yang tahu suara apa yang bisa mereka keluarkan saat berada di puncak? Pasti itu sangat memalukan, Dexter sangat berisik. Mungkin dirinya juga sama berisiknya hanya tidak sadar. Eve tidak ingin beranjak dari tempatnya berbaring sekarang. Udara sekitarnya dingin tetapi tubuhnya sangat kepanasan dengan keringat yang mengucur. Keringat itu lalu mengering dan dia masih tetap merasa hangat. Dia meringkuk saja di bawah selimut, tidak ada tenaga lagi memakai semua pakaiannya. Di saat seperti ini, dia sudah tidak ingin dipeluk, beberapa kali menepis tangan Dexter dan menjauhi tubuh itu, terlalu panas untuknya. “Aku nggak akan m
Eve bangun dari tidurnya, rasanya tidur itu sangat panjang. Dia menarik otot-ototnya dengan malas, merebahkan lagi kepalanya. Jika saja malam itu bisa diperpanjang, bukan karena bara dari semalam masih ada, tetapi supaya dia masih bisa tidur lagi. Daniel pasti akan protes kalau tidak ada yang mengajaknya bermain atau mengurusnya saat pagi sudah menjelang dan anak itu membuka matanya. Eve masih telentang dan meraba sisi ranjang di sebelahnya. Kosong dan hangat. Mungkin Dexter juga baru bangun, dia pasti lelah juga. Eve menegakkan tubuhnya dan menjulurkan tubuhnya melihat ranjang berpagar di sebelahnya. Daniel juga tidak ada. Eve berjalan mendekati kamar mandi. Kamar mandi dalam kamar yang mereka sewa itu agak jauh dari ranjang Eve dan Dexter, masih ada meja makan dan kitchen set mini di antaranya. Bisa saja kedua pria itu ada di dalam kamar mandi. Pintu kamar mandi merupakan pintu geser dari kayu yang hampir tidak mengeluarkan suara saat dibuka atau ditutup. P
Eve sibuk memilih makanan untuk Dexter. Bisa dibilang pria itu makan apa saja kecuali bubur atau makanan yang terlalu manis. Itu agak konyol namun sempat mengusik pikirannya, bibir yang terasa manis saat dikulum itu ternyata tidak suka makanan manis. Itu memang tidak ada hubungannya, bukan? Logikanya memang kadang mati kalau sudah terhubung dengan yang namanya Dexter dan Daniel.“Minum air putih aja.” Dexter terlihat terkejut mendengar suara itu. Pikirannya pasti sedang berkelana ke mana-mana. Eve menaruh 2 gelas air putih di atas meja mereka.“Iya,” jawab Dexter patuh. Eve mengerutkan keningnya sedikit, ini membingungkan.“Aku ambilkan nasi dan beberapa macam lauk. Aku sendiri ambil mie goreng. Tukarlah kalau kamu mau.” Dexter bahkan tidak menyadari kalau Eve sempat meninggalkannya lagi untuk mengambil piring mereka.“Nggak.” Lagi-lagi hanya jawaban singkat yang terdengar.“Sebentar, aku ambil